Malaysia akan wajibkan platform media sosial memiliki lisensi, apa alasannya?
Malaysia akan mewajibkan lisensi baru untuk platform media sosial mulai 1 Januari tahun depan. Jika tidak memiliki lisensi ini, platform tersebut terancam dilarang.
KUALA LUMPUR: Pada Kamis pekan lalu (1 Agustus) Malaysia memperkenalkan peraturan baru bagi platform media sosial dan layanan berbagi pesan internet yang memiliki setidaknya delapan juta pengguna.
Komisi Multimedia dan Komunikasi Malaysia (MCMC) mengatakan bahwa mulai 1 Januari tahun depan, platform medsos yang beroperasi di negara itu harus memiliki lisensi kelas terbaru.
Artinya, berbagai platform populer seperti Facebook, Instagram, WhatsApp, YouTube, TikTok dan Telegram harus segera mengajukan lisensi ini atau mereka terancam dilarang beroperasi di Malaysia.
"Langkah ini akan menciptakan ekosistem daring yang aman dan pengalaman pengguna yang lebih baik, terutama bagi keluarga dan anak-anak," kata MCMC.
Namun kebijakan terbaru ini menuai perdebatan di Malaysia.
Beberapa organisasi masyarakat sipil mengatakan kebijakan ini berisiko mengekang kebebasan berpendapat dan mengkritik pemerintah. Sementara para pengamat internet mengatakan kebijakan ini perlu ditegakkan untuk menyikapi meningkatnya kejahatan siber.
Berikut adalah hal-hal yang perlu diketahui tentang lisensi medsos di Malaysia:
Mengapa Malaysia memutuskan mencanangkan lisensi medsos?
MCMC pekan lalu mengatakan bahwa kebijakan ini selaras dengan keputusan Kabinet Malaysia yang menyatakan platform medsos dan layanan pesan di internet harus mematuhi aturan setempat demi menanggulangi meningkatnya kejahatan siber, seperti penipuan online, atau cyberbullying.
"Tidak memiliki lisensi ini setelah tanggal pemberlakuan efektif (1 Januari 2025) adalah sebuah pelanggaran dan tindakan hukum akan diambil di bawah Undang-undang Multimedia dan Komunikasi," ujar MCMC.
Kejahatan siber di Malaysia memang tengah meningkat belakangan ini. Dari Januari 2020 hingga Oktober 2023, MCMC mencatatkan kerugian akibat penipuan online mencapai hingga US$506 juta (Rp8 triliun). MCMC juga menerima 3.419 keluhan akibat ujaran kebencian di media sosial pada periode tersebut.
Kasus terbaru adalah seorang influencer TikTok Malaysia yang tewas bunuh diri karena perundungan di medsos. Peristiwa ini menuai kemarahan publik yang mendesak pemerintah turun tangan.
Studi lembaga riset We Are Social terhadap 10 negara Asia menunjukkan bahwa warga Malaysia yang berusia 16 hingga 64 tahun rata-rata menggunakan hampir delapan platform media sosial, nomor dua terbanyak setelah Filipina, dan berada di atas Indonesia, India, Singapura, Thailand, dan Vietnam.
Menteri Komunikasi Malaysia Fahmi Fadzil mengatakan kepada CNA bahwa aturan kewajiban lisensi medsos adalah untuk memastikan internet aman bagi anak-anak dan keluarga. Menurut dia, medsos memang mematuhi permintaan pemerintah untuk menghapus konten terkait penipuan dan perjudian, namun itu belum cukup.
Apa dampaknya bagi pengguna medsos di Malaysia?
MCMC mengatakan peraturan baru ini hanya akan berlaku bagi platform medsos, dan bukan pada penggunanya.
Namun anggota parlemen dan aktivis Syahredzan Johan mengatakan peraturan lisensi ini berpotensi menjadi alat pemerintah dalam mengekang kebebasan berekspresi. Kendati demikian, Johan mengaku mendukung pemberian lisensi ini.
"Platform media sosial kurang memiliki tanggung jawab sehingga memunculkan penipuan, pencurian identitas, cyberbullying dan kejahatan seksual terhadap anak ... mereka tidak melakukan cukup banyak hal untuk mengatasi masalah ini."
Apa jadinya jika platform medsos di Malaysia tidak memiliki lisensi?
MCMC mengatakan, jika setelah 1 Januari 2025 ada platform medsos yang tidak memiliki lisensi maka mereka dianggap melanggar peraturan dan akan dilakukan tindakan hukum.
Wakil Perdana Menteri Ahmad Zahid Hamidi mengatakan kepada media lokal bahwa pemerintah akan melarang platform apa pun yang menolak lisensi.
Namun Menteri Komunikasi Malaysia, Fahmi, kepada CNA mengatakan bahwa mereka tidak berniat memblokir atau melarang platform media sosial karena negara itu merupakan pasar penting. Sebaliknya, keberadaan medsos juga memberikan nilai tersendiri bagi negara itu.
Apa kata pihak yang menentang peraturan baru ini?
Beberapa organisasi masyarakat sipil, di antaranya Malaysia’s Centre for Independent Journalism dan Article 19, mengaku sangat khawatir dengan kewajiban lisensi ini.
"Peraturan ini bisa dilihat sebagai upaya langsung dalam mengendalikan media sosial, yang bisa berimbas pada kebebasan berekspresi yang dijamin dalam Konstitusi Federal Malaysia," ujar mereka dalam pernyataannya.
Sebelumnya pada Juni lalu, sebanyak 44 organisasi masyarakat sipil menulis surat terbuka untuk Perdana Menteri anwar Ibrahim. Mereka mengatakan, Malaysia saat ini tengah mengarah pada rezim otoriter.
Kepada CNA, Menteri Fahmi yang sebelumnya berada di kubu oposisi pemerintah, mengaku memahami soal kekhawatiran tersebut dan munculnya anggapan bahwa kebijakan ini untuk menguntungkan pemerintahan petahana.
Fahmi sendiri pernah berada di barisan penentang pemerintah sebelumnya di bawah Najib Razak dan koalisi Barisan Nasional (BN). Ketika itu, Najib membuat Undang-undang Anti-Berita Palsu dengan ancaman denda RM500.000 dan penjara maksimum enam tahun bagi pelanggarnya.
Kubu oposisi kala itu mengatakan bahwa peraturan tersebut digunakan Najib untuk meredam opini yang mengkritik pemerintahan. Setelah pemerintahan baru Malaysia terbentuk pada 2018, peraturan tersebut dicabut.
Fahmi mengaku sangat peduli pada peraturan yang berpotensi mengekang kebebasan berpendapat. Namun menurut dia, kematian influencer TikTok karena bunuh diri adalah pemicunya. Insiden tersebut, kata Fahmi, membuat pemerintah meninjau kembali hubungan mereka dengan penyedia layanan internet.
Perdana Menteri Anwar Ibrahim bulan ini menegaskan bahwa lisensi medsos tidak akan mengekang kebebasan berpendapat di Malaysia. Peraturan baru ini, tegas dia, malah bertujuan untuk menghentikan penyebaran informasi menyesatkan dan merugikan di medsos.
"Ini adalah negara demokrasi, kebebasan harus diberikan kepada rakyat untuk menyuarakan pandangan mereka, persetujuan, kritik atau penentangan," kata Anwar dikutip dari Malay Mail.
"Ketika saya mengatakan kita harus memblokir (postingan di medsos), apakah itu pengekangan kebebasan. Apakah kebebasan itu untuk menipu orang? Untuk mencuri dan menyebabkan orang lain bunuh diri?"
Baca:
Apa kata mereka yang mendukung kebijakan pemerintah ini?
Dr Noor Nirwandy Mat Noordin, analis keamanan dan politik dari Pusat Studi Perang Media dan Informasi Universiti Teknologi Mara, mengatakan kepada Bernama bahwa kebijakan ini dikeluarkan tepat pada waktunya. Menurut dia, lisensi diperlukan untuk mengatur lanskap media sosial, terutama yang berkaitan dengan kasus-kasus perdata dan kriminal serta kejahatan siber.
"Hal ini juga penting untuk memastikan kontrol terhadap elemen-elemen yang muncul seperti kecerdasan buatan (AI) dan, yang lebih memprihatinkan, AI generatif yang dapat menghasilkan informasi yang menyesatkan atau konten yang digunakan untuk tujuan jahat," katanya.
Pendiri lembaga Malaysians Against Rape, Assault and Snatch Theft, Dave Avran, mengatakan kepada The Star bahwa langkah ini merupakan langkah yang baik untuk negara ini.
"Kejahatan siber seperti cyberbullying harus ditangani dengan tegas untuk mencegah jatuhnya korban lebih banyak," ujarnya.
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini.