Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.

Iklan

Asia

Analisis: Malaysia wajibkan platform medsos punya lisensi, pengamat duga ada motif politik di baliknya

Malaysia mengeluarkan kebijakan ketat terhadap perusahaan teknologi dengan alasan meregulasi media sosial. Namun para pengamat menduga, keputusan ini bermotifkan politik.

Analisis: Malaysia wajibkan platform medsos punya lisensi, pengamat duga ada motif politik di baliknya

Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim. (Reuters/Franck Robichon)

KUALA LUMPUR: Di tengah upaya Malaysia memperketat peraturan bagi perusahaan media sosial dan raksasa teknologi, para pengamat mengatakan pemerintahan Perdana Menteri Anwar Ibrahim dihadapkan pada pertanyaan yang sulit.

Menurut pengamat, alasan pemerintahan Anwar meregulasi medsos memang terdengar bisa diterima, namun ada potensi penyalahgunaan wewenang oleh penguasa di dalamnya. Upaya pengekangan kebebasan berbicara dan mengkritik pemerintah sulit diabaikan, kata pengamat, apalagi jika melihat rekam jejak Malaysia yang kerap meminta penghapusan postingan di medsos.

Pemerintah Malaysia sebelumnya telah mengatakan keputusan mereka semata bertujuan mengatasi bahaya di dunia maya, seperti penyebaran berita palsu, penipuan dan kejahatan seksual. Namun pengamat mensinyalir ada motivasi politik di balik keputusan tersebut, mengingat keberhasilan partai-partai Malaysia memanfaatkan medsos untuk mendulang suara pada pemilu.

Apa pun alasannya, pengamat mengatakan platform medsos tetap akan mematuhi peraturan itu walau dengan berat hati demi tidak kehilangan pasar di Malaysia. Perlawanan nantinya malah bisa jadi akan datang dari para penggunanya, kata pengamat.

Menurut DataReportal, ada 28,68 juta pengguna medsos di Malaysia per Januari 2024, mencakup 83,1 persen dari total populasi negara itu.

Beberapa bulan terakhir hubungan antara pemerintah Malaysia dan platform medsos memang tengah tegang. Salah satunya disebabkan oleh kemarahan pemerintah Putrajaya setelah Meta mencopot postingan Anwar soal kematian pemimpin Hamas, disusul oleh ancaman Malaysia akan membuat aplikasi medsos sendiri.

Bunuh dirinya seorang TikToker Malaysia karena cyberbullying pada 5 Juli lalu juga mendorong pemerintah Malaysia menerapkan kebijakan baru, alasannya demi menjaga internet tetap aman bagi keluarga dan anak-anak. 

Pada 27 Juli lalu, Malaysia mengatakan akan mewajibkan medsos dan platform berbagi pesan internet dengan sedikitnya delapan juta pengguna punya lisensi pada 2025 atau mendapatkan penalti. Kebijakan ini menuai kritikan dari publik yang menganggapnya sebagai sarana pengekangan kebebasan berbicara dan mengkritik pemerintah.

Keesokan harinya seperti dikutip Bernama, Menteri Kehakiman Malaysia Azalina Othman Said mengatakan bahwa pemerintah pada Oktober mendatang akan menerapkan peraturan baru soal "kill switch" yang akan memaksa medsos dan platform berbagi pesan internet turut bertanggung jawab mengatasi kejahatan online.  

Berbagai kebijakan ini adalah bagian dari perluasan Undang-Undang Multimedia dan Komunikasi Malaysia, serta menjadi bagian pembuka dari Undang-Undang Keselamatan Online. Para kritikus khawatir, berbagai kebijakan ini akan semakin memberangus aspirasi.

PERMINTAAN TURUNKAN KONTEN

Pada Juni lalu, TikTok dan Meta - operator Facebook dan Instagram - mengeluarkan laporan transparansi yang menunjukkan adanya permintaan sensor selama tahun pertama pemerintahan Anwar Ibrahim, terutama di paruh kedua.

Pada paruh kedua 2023, TikTok melaporkan menerima 1.862 permintaan turunkan konten dari pemerintah Malaysia, terbanyak di seluruh dunia. Angka ini jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan hanya 55 permintaan pada paruh kedua 2022.

Anwar menjadi PM setelah memenangi Pemilihan Umum ke-15 (GE15) pada November 2022 lalu.

Meta juga melaporkan bahwa mereka telah membatasi akses ke lebih dari 4.700 item di Malaysia pada paruh kedua 2023. Pada periode yang sama setahun sebelumnya, hanya ada 500 item yang ditutup aksesnya.

Pembatasan item-item ini, kata Meta, dilakukan atas pelaporan dari Komisi Multimedia dan Komunikasi Malaysia (MCMC). Termasuk item yang dilarang adalah konten yang mengandung judi ilegal, penipuan, ujaran kebencian berdasarkan agama, konten rasialisme, dan kritikan terhadpa pemerintah.

Kritikus mengatakan, permintaan itu bertujuan untuk membungkam kritikan dan suara-suara oposisi politik. Namun tuduhan itu dibantah pemerintah Malaysia yang berdalih mereka hanya ingin mencegah munculnya postingan yang menyinggung isu-isu sensitif, seperti ras, agama dan kerajaan.

Pengamat politik independen Malaysia, Asrul Hadi Abdullah Sani, mengatakan meningkatnya jumlah item yang diturunkan di medsos bertolak belakang dengan janji koalisi Anwar, Pakatan Harapan (PH), tentang reformasi dan kebebasan berekspresi saat kampanye GE15.

"Ini bisa dilihat sebagai kemunafikan, karena tindakan PH mirip dengan pemerintahan Barisan Nasional (BN) yang sebelumnya mereka kritik," kata dia kepada CNA. Saat memerintah Malaysia, BN kerap menggunakan UU untuk membredel koran dan membungkam aktivis serta politisi yang dianggap musuh.

"Meningkatkan kendali atas media sosial bisa dipandang sebagai respons dari ketidakmampuan pemerintah dalam mengendalikan narasi politik. Para pemimpin PH salah besar jika mengira bisa mendapat dukungan masyarakat dengan melakukan sensor."

Kendati demikian, Asrul Hadi memang mengakui adanya alasan yang bisa dibenarkan dari langkah pemerintah itu, yaitu meningkatnya ancaman keamanan internet. Saat ini di platform medsos, kata dia, terus merebak konten-konten radikalisasi, ujaran kebencian dan pornografi.

"Namun, daripada menerapkan regulasi ketat, pemerintah seharusnya bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan ini untuk mengatasi masalah, memanfaatkan mekanisme keamanan online yang sudah ada di platform-platform tersebut," kata dia.

"Rencana dan upaya pemerintah meregulasi media sosial terlihat memiliki motif politik, terutama jika kita melihat keberhasilan oposisi dalam menggunakan platform seperti TikTok untuk memenangkan dukungan pada pemilu sebelumnya."

Ilustrasi media sosial di ponsel. (iStock)

Pada GE15, terlihat perubahan dukungan yang besar terhadap koalisi oposisi Perikatan Nasional (PN). Para pengamat mengatakan, kemenangan PN adalah berkat "green wave", yaitu menggunakan propaganda media sosial dan karena hilangnya kepercayaan rakyat terhadap BN.

Dalam enam pemilihan umum negara bagian pada Agustus 2023, pemerintahan Anwar juga mengalami kemerosotan. Kubu oposisi menuai banyak dukungan di daerah-daerah yang sebelumnya dikuasai koalisi pemerintahan.

Tapi saat ini posisi politik Anwar sepertinya sudah aman, terutama setelah enam anggota parlemen oposisi menyatakan pindah dukungan ke pemerintah dengan imbalan alokasi konstituen tanpa perlu angkat kaki dari parlemen.

Malaysia akan mengadakan pemilihan umum lagi pada Februari 2028, dan Anwar masih akan diusung partainya untuk menjadi perdana menteri.

MEMBUNGKAM KRITIK

Praba Ganesan, kepala eksekutif di organisasi KUASA, mengatakan kewajiban lisensi bagi medsos bisa dilihat sebagai cara Kabinet Persatuan Anwar untuk membentengi petahana dari "cibiran" di dunia maya.

"Tentu saja, Pakatan-BN ingin membungkam media sosial PN jika oposisi terlalu unggul pada musim pemilu," tulis Ganesan dalam tulisan opininya di Malay Mail pada 1 Agustus lalu.

Ganesan mengatakan pemerintah di negara mana pun tidak ada yang akan mengabaikan peran media sosial dan kewajiban meregulasinya. Namun, kata Ganesan, pemerintah juga bisa melakukan sensor medsos untuk "melindungi kekuasaan mereka." 

"Upaya Malaysia bukan hal yang unik, tapi tetap mengkhawatirkan. Terutama ketika kata-kata seperti 'kill switch' disematkan," kata dia.

Pada 1 Agustus lalu, MCMC memberikan paparan yang lebih jelas mengenai lisensi kelas bagi platform media sosial, sembari menekankan bahwa peraturan ini penting di tengah meningkatnya kejahatan di internet dalam beberapa tahun terakhir.

MCMC mengatakan bahwa lisensi kelas ini merupakan lisensi yang sudah ada sebelumnya, namun belum diwajibkan bagi platform media sosial. Pemegang lisensi wajib memiliki "kebijakan yang tegas" terkait bahaya online dan mematuhi arahan MCMC yang dikeluarkan di bawah Undang-Undang Komunikasi dan Multimedia atau undang-undang turunannya.

Peraturan ini berlaku untuk medsos dan aplikasi berbagi pesan yang memiliki pengguna paling tidak delapan juta orang di Malaysia. Tidak memiliki lisensi ini terancam penjara hingga lima tahun dan denda maksimal RM500.000 (Rp1,7 miliar). Operator juga diancam denda RM1.000 (Rp3,5 juta) untuk setiap hari mereka tidak memiliki lisensi.

MCMC mengatakan bahwa peraturan ini tidak akan dikeluarkan secara sepihak dan harus berdasarkan hukum yang berlaku. Pihak-pihak lain, kata MCMC, akan diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapat mereka sebelum peraturan diberlakukan. Mereka yang keberatan juga bisa menggugatnya ke pengadilan untuk menjalani uji materi.

Namun menurut Ganesan, masih ada pertanyaan yang menggantung: "Jika platform gagal mendapatkan lisensi, apakah mereka dilarang beroperasi di Malaysia?"

MEDIA SOSIAL SIAP PATUH

Wakil Perdana Menteri Ahmad Zahid Hamidi, yang juga merupakan ketua BN, mengancam untuk melarang platform tanpa lisensi beroperasi di Malaysia. Namun Menteri Komunikasi Fahmi Fadzil mengatakan pemerintah tidak punya niatan seperti itu.

Dikutip media, Fahmi sebelumnya mengaku pentingnya medsos bagi negara seperti Malaysia. CNA telah menghubungi Meta, TikTok, dan Youtube milik Google untuk meminta komentar terkait rencana Malaysia ini, namun belum mendapatkan respons.

MCMC tidak menyebutkan platform media sosial mana saja yang memiliki delapan juta pengguna di Malaysia. MCMC mengatakan, mereka menggunakan data dari survei resmi dan data-data yang tersedia secara publik untuk menghitung jumlah pengguna medsos.

Namun menurut laporan media lokal, platform-platform tersebut di antaranya adalah Facebook dan WhatsApp milik Meta, TikTok milik Bytedance dan juga X milik Elon Musk.

Dr Benjamin Loh, dosen senior di bidang media dan komunikasi di Taylor's University, percaya bahwa tidak ada pilihan lain bagi platform-platform tersebut selain mematuhi peraturan tersebut. 

"Saya percaya bahwa platform-platform tersebut kemungkinan besar akan setuju, karena kemungkinan akan ada efek domino di seluruh kawasan Asia Tenggara," katanya kepada CNA, sembari mencatat bahwa Indonesia dan Filipina adalah pengguna media sosial terbesar di kawasan.

"Kebanyakan perusahaan teknologi lawas itu kini tengah berada di fase menangguk untung, artinya mereka tidak bisa mengambil risiko kehilangan pasar."

Untuk saat ini, kebanyakan media sosial besar siap mematuhi aturan yang akan dikeluarkan.

MCMC menunjukkan bahwa platform Instagram, Facebook dan WhatsApp milik Meta telah mematuhi perintah menurunkan konten rata-rata 79 hingga 88 persen, sementara TikTok 76 persen.

Pada 6 Agustus lalu, Meta meminta maaf karena telah menghapus postingan medsos PM Anwar yang berisikan ucapan belasungkawa atas tewasnya pemimpin Hamas Ismail Haniyeh. Haniyeh terbunuh di Tehran, Iran, pada 31 Juli silam.

Kantor PM Malaysia memanggil perwakilan Meta pada 5 Agustus untuk menyampaikan amarah mereka secara langsung. Menurut mereka, tindakan Meta tersebut "diskriminatif, tidak adil, dan bentuk gamblang dari pengekangan kebebasan berekspresi". Meta kemudian mengembalikan postingan tersebut dengan label "berita yang benar".

Sebelumnya pada Mei lalu, Meta juga menghapuskan beberapa postingan terkait laporan media soal pertemuan Anwar dengan Haniyeh di Qatar.

Dr Loh mengatakan, kemungkinan penolakan kebijakan lisensi ini justru akan datang dari pengguna medsos itu sendiri. Mereka bisa saja memprotes sensor yang dilakukan pemerintah.

"Itu bisa saja terjadi, tapi masih terlalu dini untuk mengetahui seperti apa protesnya dan apa argumen mereka," kata dia.

"Medsos di Malaysia sebagian besar 'tidak dimoderasi' dalam artian banyak postingan ujaran kebencian dan seruan kekerasan bisa lolos karna buruknya moderasi konten terlokalisasi yang menjadi tugas platform. Jika itu berubah, mungkin akan ada protes dari masyarakat."

MALAYSIA PUNYA MEDSOS SENDIRI?

Pada 4 Agustus lalu, Fahmi mengisyaratkan Malaysia akan memiliki medsos sendiri sebagai alternatif. Menurut dia, medsos yang ada saat ini hanya mau mengambil untung dari pengguna di Malaysia tapi lalai menjaga keamanan mereka.

"Mereka (platform) kurang memiliki komitmen, jadi kami perlu mempelajari dan meninjau situasinya. Tidak mudah untuk mengembangkan platform media sosial sendiri, tapi beberapa negara telah berhasil. Kami akan mempelajarinya," kata Fahmi kepada Bernama.

Dua hari kemudian, Fahmi seakan menarik pernyataannya, mengatakan bahwa pemerintah untuk saat ini tidak punya rencana untuk itu karena biayanya pasti tinggi.

"Tapi jika ada perusahaan swasta di Malaysia yang ingin mengembangkannya, terserah mereka. Kami tidak akan melarang," kata dia.

Dr Loh mengatakan, ide membuat platform sendiri memang mungkin dilakukan, tapi membuat masyarakat menggunakannya akan sulit. Padahal keberhasilan sebuah medsos terletak dari banyaknya pengguna.

"Malaysia telah seringkali gagal menciptakan produk-produk lokal yang didukung pemerintah," kata dia. 

Misalnya pada 2019, pemerintah Malaysia mengklaim telah mengembangkan "mobil terbang" menggunakan teknologi dalam negeri. 

Namun klaim itu menuai keraguan dari banyak pihak, termasuk parlemen. Belakangan, pemerintah mengklarifikasi bahwa mobil terbang itu adalah drone yang bisa membawa orang dan kargo.

"Rencana ini (medsos dalam negeri) sepertinya hanya akan menjadi seperti proyek mobil terbang beberapa tahun lalu," kata Loh.

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini.

Source: CNA/da

Juga layak dibaca

Iklan

Iklan