Lari dari pengekangan, ribuan migran China bertaruh nyawa memasuki AS melalui jalur ilegal
Orang China menjadi kelompok migran yang berkembang paling cepat di perbatasan selatan Amerika Serikat. Film dokumenter CNA bertajuk Walk The Line mengisahkan perjalanan mereka melintasi salah satu jalur migrasi paling berbahaya, yang dimulai dari Amerika Selatan.
NECOLI, Kolombia, dan SAN DIEGO: Dulu, ketika Lucy masih tinggal di kota Chengdu, ia menimba ilmu di sekolah gereja. Di China, itu ilegal, jadi sekolah tersebut beroperasi secara diam-diam.
Namun belakangan, gereja itu dilarang beroperasi, dan sekolah itu ditutup. Selama beberapa bulan, kelas dibuka di rumahnya. Itu pun pada akhirnya ketahuan, dan pihak berwajib menghentikannya.
"Kemudian, tuan tanah kami di Chengdu datang ke kami dan bilang bahwa ia tidak bisa memperpanjang sewa kami lagi," ingat sang Ayah. Setelah itu, ia dan istrinya mengambil keputusan. "Kami mau bawa anak kami keluar dari China," kata sang Ibu.
Sang Ayah mencari-cari informasi, sampai melihat ke YouTube dan Telegram. Hingga pada bulan Desember, mereka dan anak 13 tahunnya berada di Amerika Selatan, mengikuti jejak ribuan masyarakat China yang pernah mencoba memasuki Amerika Serikat secara ilegal.
Tahun lalu, lebih dari 37.400 migran China masuk ke AS secara ilegal melalui perbatasan di selatan, 50 kali lipat lebih besar daripada jumlah di tahun 2021, menurut data dari Badan Pabean dan Perlindungan Perbatasan AS.
Meski pada tahun lalu, orang Amerika Tengah dan Selatan menjadi kelompok terbesar dengan jumlah 2,54 juta migran yang masuk secara ilegal melalui perbatasan di selatan, kini orang China menjadi kelompok migran yang berkembang paling cepat yang pernah dijumpai oleh Patroli Perbatasan AS.
Sampai-sampai ada ungkapan baru di dunia maya China untuk menyebut apa yang tengah mereka lakukan: Menapaki jalur.
Jalur ini dimulai dari ujung Ekuador di bagian selatan — negara paling dekat dengan AS yang menerapkan bebas-visa bagi pemegang paspor China. Lalu dari Ekuador para migran China harus mengambil jalan memutar yang sulit dan membutuhkan waktu lama untuk bisa sampai ke AS.
Artinya, mereka akan melintasi hutan rimbun di wilayah kartel narkoba serta menghadapi perampokan dan pemerasan polisi di sepanjang jalan.
Perjalanan mereka melintasi salah satu jalur migrasi paling berbahaya di dunia dibahas dalam serial terbaru CNA, Walk The Line. Serial ini mengikuti perjalanan beberapa migran selama tujuh minggu.
Mereka bersedia untuk difilmkan namun dengan syarat, tidak menyebutkan nama asli. Mereka, sebagian besar, tidak siap menghadapi kerasnya perjalanan yang ada di hadapan.
'BUKAN PELANGGAN BIASA KAMI'
Sejak 2021, AS memiliki tembok perbatasan utama dan lainnya yang membentang hingga 1.250 kilometer di sepanjang perbatasan yang melintang 3.140 km dengan Meksiko. Namun itu tidak cukup untuk mencegah migran gelap masuk ke negaranya.
Salah satu pintu tembok perbatasan berada dekat dengan lahan seorang pria 75 tahun bernama Jerry Shuster di Jacumba, California. Dan para migran termasuk orang China berkemah di wilayah propertinya sembari menunggu Patroli Perbatasan AS memproses mereka.
"Apa saya bisa usir mereka dari sini? Saya sudah keluarkan senjata saya, dan saya tembakkan empat peluru ke udara. Polisi tangkap saya. ... Bahkan Patroli Perbatasan bilang ke saya, 'Jangan ganggu mereka, Anda tak bisa usir mereka dari sini,'" ucapnya.
"Saya pikir orang China lebih punya banyak hak daripada kami-kami di sini. ... Tapi saya tak mengerti mengapa mereka ke sini. Saya sendiri juga mau tahu."
Salah satu migran yang berkemah itu menjelaskan pandangannya kepada koresponden CNA Wei Du dengan singkat: "Kami tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup di China. Jika bisa, untuk apa kami ke sini?”
Seorang migran China lainnya, yang harus menjual apartemen dan mobilnya dan menanggung "hutang yang banyak", menyuarakan keluhannya: "Pemerintah bisa membuat Anda melakukan tes PCR atau menutup bisnis Anda kapan pun mereka mau.
Mengingat adanya lonjakan orang-orang yang melintasi perbatasan dengan ilegal dari Meksiko dalam beberapa bulan terakhir, Patroli Perbatasan AS memberikan prioritas untuk memproses mereka yang berkeluarga, sedangkan migran lainnya dapat menunggu berhari-hari sebelum akhirnya ditahan.
Kala November lalu, CNA sedang berada di sana ketika salah satu kelompok migran China bersiap-siap bermalam di gurun California, yang letaknya tidak jauh dari San Diego. "Baru jam 6 sore," gumam salah satu dari mereka. "Dinginnya tak tahan."
Terdapat pula relawan yang memberi makan para migran yang menunggu diproses oleh Patroli Perbatasan. Pemimpin timnya, Sam Schultz, yang merupakan seorang penduduk setempat, memperkirakan bahwa biasanya, "lebih dari 50 persen" migran adalah orang China.
Schultz sudah kerap membantu memberi makanan dan persediaan air selama hampir 10 minggu saat itu. Dan satu hal yang ia perhatikan adalah bagaimana sulitnya "membuat rombongan orang China untuk berbaris mengantri".
"Mereka takut kalau makanannya tidak cukup untuk semuanya, jadinya mereka berebut ingin berada di depan," ujarnya. "Dan mereka benar. Sayangnya, makanannya tidak cukup untuk semuanya."
Dia mengatakan situasinya kacau di perbatasan. Sebagian besar migran China, ia amati, "tidak begitu terbiasa dengan berkemah di luar, ... menghadapi situasi sulit seperti yang kita alami di sini".
Atau seperti yang dikatakan seorang petugas Patroli Perbatasan kepada Du, yang mengungkapkan rasa kagetnya melihat banyak migran China akhir-akhir ini: "Bukan pelanggan biasa kami."
MIMPI BESAR, RISIKO BESAR
Keluarga Lucy berjumpa dengan Du di California, sebelum mereka menuju Darien Gap, hutan yang memisahkan AS dari Panama. Hingga saat ini, Darien Gap belum memiliki jalan. Sehingga, untuk melewatinya, bisa memakan waktu hingga satu minggu.
Sang Ibu yang kala itu cemas berkata: "Putri saya bukan anak yang kuat. Ia bisa sakit kepala kalau ia terlalu banyak berjalan. Saya tak tahu apakah ia bisa tahan."
Penyelundup membawa sekelompok migran melewati hutan menuju Panama. Namun, perjalanannya sendiri sebenarnya tidak terlalu rawan. Justru, kartel narkoba yang menguasai wilayah tersebut yang lebih berbahaya.
Ketika ditanya apakah ada jalan untuk kembali, sang Ayah yang sudah berlinang air mata menjawab: "Tidak ada. Saya mau bebas — bebas dari cemas — (dan bisa) berkata dan melakukan apapun yang saya mau selagi tidak menyakiti orang lain. Saya mau merasakan itu."
Barangkali, istrinya tidak memiliki "impian seperti dia", namun ia tentunya mau Lucy bisa menikmati "kehidupan yang lebih mudah". Ia berkata: "Hidup saya terlalu melelahkan."
Tetapi di saat mereka beringsut-ingsut tiba di Tanah yang Dijanjikan bagi kebanyakan keluarga imigran, ia mengakui bahwa bayangan mereka terhadap AS tidak sesuai dengan kenyataannya.
Ia berkata, "Kami naif. Kami kira mudah untuk mendapatkan uang di Amerika, hanya dengan memungutnya saja."
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini.