Kuasa China: Beijing merambah Asia Tenggara 'seperti tsunami', warga lokal takut tersisih
Dari toko kelontong di Dili hingga pabrik nikel di Morowali, kehadiran China di Asia Tenggara disambut dengan gembira dan resah. Simak ulasan selengkapnya dalam serial kuasa China di kawasan berikut ini.

Timor-Leste telah melihat merangseknya bisnis-bisnis China dalam beberapa tahun terakhir dan penduduk lokal berjuang untuk dapat bersaing. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)
LIQUICA, Timor-Leste/MOROWALI, Indonesia: Kebanyakan orang pasti tidak suka jika setiap hari dikelilingi oleh lautan sampah, tapi tidak demikian dengan Dion Gonsalves. Dia mengaku bersyukur bisa bekerja di tempat pembuangan akhir (TPA) seluas 23 hektare di distrik Liquica, sebelah barat Dili, ibu kota Timor-Leste.
Rencananya, tempat itu akan menjadi TPA pertama di Timor-Leste yang terintegrasi dengan sistem daur ulang. Direncanakan rampung akhir tahun ini, TPA itu akan mampu menangani sekitar 200 ton sampah setiap harinya, sebuah keberhasilan dalam upaya manajemen limbah domestik di negara itu.
Gonsalves dan puluhan warga Timor-Leste lainnya bekerja untuk China Harbour Engineering Company, yang merancang, membangun dan akan mengoperasikan TPA tersebut.
China Harbour Engineering Company adalah salah satu dari sekian banyak perusahaan China yang beroperasi di Timor-Leste, negara termuda di Asia yang merdeka pada 2002.
"Saya rasa pemerintah Timor-Leste menyambut baik perusahaan-perusahaan China yang tertarik membangun negara ini," kata Gonsalves, yang menjabat manajer operasi di perusahaan tersebut.
"Saya merasa itu hal positif (bahwa mereka beroperasi di Timor-Leste). Ada pembangunan (karena kehadiran mereka) di negara ini. Karena negara ini masih muda, saya rasa kita membutuhkan banyak perusahaan yang datang untuk berinvestasi," kata pria berusia 36 tahun yang telah bekerja selama 12 tahun di tempat itu.

Seperti negara-negara Asia Tenggara lainnya, Timor-Leste telah menyaksikan keterlibatan China dalam proyek-proyek infrastruktur besar mereka, seperti jaringan listrik nasional dan istana kepresidenan.
Menurut Sekretariat ASEAN, China merupakan sumber investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI) terbesar ketiga bagi negara-negara ASEAN, setelah Amerika Serikat dan Uni Eropa. Investasi China di kawasan ASEAN mencapai US$17,3 miliar pada tahun 2023.
Beberapa proyek memang membawa manfaat, namun ada kekhawatiran kehadiran China membuat masyarakat dan pengusaha lokal menjadi tersisih dan tertekan.
Survei tahunan dari ISEAS-Yusof Ishak Institute yang dirilis pada 3 April menunjukkan bahwa China tetap menjadi kekuatan paling berpengaruh dalam bidang ekonomi serta strategi politik di Asia Tenggara, mengungguli Amerika Serikat dengan selisih yang cukup besar.
Untuk pertama kalinya survei itu juga mencakup pendapat dari warga Timor-Leste, seiring upaya negara tersebut untuk menjadi anggota ASEAN.
Warga Timor-Leste hanya mencakup 3,3 persen responden, dan hanya setengahnya yang menganggap China adalah kekuatan ekonomi paling berpengaruh di Asia Tenggara.
Sekitar 7 dari 10 responden Timor-Leste mengaku khawatir akan pengaruh ekonomi China yang semakin besar di kawasan, sisanya menyambut baik. Angka ini lebih tinggi dari rata-rata responden ASEAN, yang 6 dari 10 mengaku khawatir.
Berdasarkan wawancara CNA dengan beberapa orang di Timor-Leste dan Indonesia, kehadiran China memang membawa keuntungan ekonomi yang positif. Namun beberapa proyek dianggap memiliki dampak negatif, memunculkan persepsi bahwa China terlalu dominan dan keberadaannya di Asia Tenggara harus dikurangi.
"MEREKA MENDOMINASI SEMUA ASPEK KEHIDUPAN"
China merupakan salah satu negara pertama yang mengakui kemerdekaan Timor-Leste dan sejak awal telah memberikan dukungan.
Pada suatu sore di Dili, Jaimito Da Cruz berdiri menyemangati anak-anak muda yang bermain bola di lapangan yang disumbangkan oleh Kedutaan Besar China di Timor-Leste.
Ia bekerja sebagai perawat di sebuah klinik kesehatan di Dili, namun sejak kedutaan China menyumbangkan lapangan sepak bola pada akhir tahun 2022, Da Cruz menghabiskan waktu luangnya untuk melatih generasi muda agar menjadi “Pele” berikutnya.
Da Cruz, 30 tahun, bersyukur atas keberadaan lapangan sepak bola di pusat kota yang dapat diakses oleh semua orang.
Dengan populasi sekitar 1,4 juta jiwa, Timor-Leste merupakan salah satu negara termiskin di Asia. Tanpa basis industri manufaktur, negara ini bergantung pada impor serta pendapatan dari minyak dan gas.
China, sebagai negara ekonomi terbesar kedua di dunia, telah membantu dengan menyediakan pendanaan untuk berbagai proyek. Perusahaan-perusahaannya, termasuk yang dimiliki negara, juga memenangkan kontrak untuk membangun infrastruktur penting bagi Timor-Leste.

Da Cruz meyakini ada dua sisi kehadiran China di Timor-Leste.
"Mereka membuka kesempatan kerja bagi anak-anak muda di sini, baik lelaki dan perempuan. Itu bagus, mengurangi pengangguran," kata dia.
Tapi sisi negatifnya, seiring Timor-Leste yang semakin terbuka, banyak perusahaan-perusahaan China datang dan menguasai industri-industri yang sebelumnya didominasi warga lokal, kata Da Cruz.
"Mereka mendominasi semua aspek kehidupan di sini, jadi peluang warga Timor semakin terbatas untuk berbisnis, membuka restoran atau membangun infrastruktur," kata dia.
Dalam wawancara dengan CNA, Presiden Timor-Leste José Ramos-Horta mengatakan bahwa kehadiran China “sangat bermanfaat bagi ekonomi kami”.
“Sekarang membangun rumah jadi jauh lebih murah. Membeli peralatan untuk pertanian, irigasi, peralatan rumah tangga, dan sebagainya juga jadi lebih murah,” ujarnya, membandingkan kondisi saat ini dengan masa-masa awal kemerdekaan Timor-Leste.
Ia menyatakan bahwa tanpa kehadiran bisnis-bisnis China, negara tersebut akan kembali ke masa-masa awal kemerdekaannya, dari tahun 2002 hingga 2007, “saat segalanya sangat mahal”.
Sebagai contoh, harga sebuah buku tulis A4 dulunya sekitar US$20 sebelum para pedagang China membuka usaha, namun kini harganya kurang dari US$5. Rata-rata upah bulanan pada tahun 2021 di Timor-Leste adalah sekitar US$250.
WARGA TIMOR-LESTE MERASA TERTINGGAL
Kehadiran China di perekonomian Timor-Leste telah meluas, tidak hanya proyek-proyek infrastruktur, terutama dalam dua tahun terakhir setelah pandemi COVID-19, ujar para pengusaha di negara itu.
Kathleen Goncalves, wakil presiden Kamar Dagang dan Industri Timor-Leste, mengatakan para pengusaha China mulai datang ke Timor-Leste pada awal tahun 2000-an ketika negara itu masih di bawah Indonesia.
Saat ini, pengusaha China ada di mana-mana di Timor-Leste.
"Kehadiran perusahaan China di Timor-Leste terus bertambah setiap harinya. Bukan setiap bulan atau tahun, tapi setiap hari," kata Goncalves yang telah berkecimpung di dunia konstruksi dan industri makanan serta minuman selama lebih dari 20 tahun.
"Perusahaan-perusahaan China datang ke Timor-Leste seperti tsunami."
Menurut dia, saat ini warga asal China telah membentuk komunitas penguasa asing terbesar di Timor-Leste.
Dibandingkan komunitas pengusaha kecil Timor-Leste dan sektor manufaktur negara itu yang belum berkembang, kata dia, para pengusaha China lebih memiliki modal dan pengalaman.
"Para pengusaha lokal merasa terancam dengan keterampilan, harga, layanan dan pengetahuan pasar mereka," ujar dia.
"Mereka merasa tertinggal."
Herna Gulo, pemilik toko kelontong di Dili selama 20 tahun bersama suaminya, adalah yang merasakannya.
Dia mengaku bisnisnya relatif sukses sampai sekitar dua tahun lalu ketitka pedagang China membangun toko yang lebih modern dan besar di dekat tokonya. Barang-barang mereka juga lebih murah.

Herna mengatakan, warga awalnya senang dengan toko China yang mengimpor dan menjual barang-barang kebutuhan sehari-hari seperti sepatu dan alat tulis dengan harga lebih murah.
Namun seiring waktu, masyarakat khawatir akan dampaknya terhadap usaha kecil dan besar di Timor-Leste.
"Sulit bersaing dengan mereka. Bahkan banyak toko dari Indonesia dan negara lain yang mulai hilang satu per satu."
Dia mengaku tokonya bisa untung ribuan dolar AS setiap bulannya sebelum pedagang China membuka toko dekat mereka.
Sejak saat itu, keuntungannya berkurang hingga 50 persen.
Toni Khuan, manajer di toko China, mengungkapkan mengapa barang-barang mereka bisa lebih murah.
"Produk kami langsung dari China. Jadi dalam soal harga, tidak bisa disaingi," kata Khuan, warga Indonesia yang pindah dari Kalimantan Barat untuk bekerja di Dili.
Menurut pengusaha asal China Wang Jia Sheng, pemerintah China memberikan insentif seperti subsidi sewa bangunan dan keringanan pajak untuk perusahaan-perusahaan yang beroperasi di luar negeri.
Dengan insentif ini, Wang bisa membuka restoran burger di Dili setahun yang lalu. Dia memutuskan mengadu nasib ke Timor-Leste karena mendengar soal peluang bisnis yang belum banyak dimanfaatkan di negara ini.
Di China, kata Wang, persaingannya sangat ketat. Meski China jauh lebih modern, namun Wang mengaku senang tinggal di Timor-Leste dan sudah menganggapnya rumah kedua.
"Timor-Leste adalah negara yang indah. Saya menyukai negara ini," kata Wang, yang juga wakil presiden Asosiasi Pengusaha Muda China di Timor-Leste yang beranggotakan 300 orang.
"Saya rasa warga setempat suka makanan saya (burger)," kata dia lagi, sambil tertawa.
Namun Perdana Menteri Xanana Gusmao kepada CNA akhir tahun lalu mengatakan meningkatnya jumlah pedagang China di negaranya cukup mengkhawatirkan.
"Ini jadi masalah. Masalahnya kami harus mendorong peningkatan budaya dalam berbisnis," kata Gusmao kepada CNA, sehari setelah dia menyambut wakil ketua Komite Nasional Konferensi Permusyawaratan Politik Rakyat China di kantornya di Dili.
"Karena masalahnya juga, kami mengimpor semuanya. Dan dalam sektor ekonomi, kami harus mengubah ini. Kami harus mulai memproduksi," kata dia.
Gusmao mengatakan pemerintahnya berniat menciptakan bank pembangunan untuk membantu usaha kecil dan mikro agar masyarakat bisa melakukan produksi dan tidak lagi bergantung pada impor.

China adalah salah satu importir terbesar bagi Timor-Leste dengan nilai impor hingga US$262 juga pada 2023, berdasarkan data Comtrade PBB.
Namun, Guzmao membantah asumsi bahwa negaranya bergantung pada China.
"Kami tidak mengatakan bergantung kepada China. Sekarang impor kami bergantung pada negara-negara ASEAN," kata dia.
Indonesia, yang berbagi daratan dengan Timor-Leste, melampaui China dalam hal nilai impor.
Sebagai negara ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia mengekspor barang senilai US$340 juta ke Timor-Leste pada tahun 2023, menjadikannya sumber impor utama bagi negara tersebut.
Setelah mengajukan permohonan untuk menjadi anggota pada 2011, Gusmao berharap Timor-Leste akhirnya dapat menjadi anggota ke-11 ASEAN tahun ini. “ASEAN telah terbukti menjadi pusat ekonomi dunia, dan kami mencoba memanfaatkan kemajuan ini serta memperoleh sebagian manfaatnya,” ujarnya.
DAMPAK BAIK DAN BURUK PRODUKSI NIKEL DI INDONESIA
Indonesia juga tidak asing dengan infrastruktur dan investasi China.
Kereta cepat pertama di Asia Tenggara, Whoosh, yang diluncurkan pada Oktober 2023 dan menghubungkan Jakarta dengan Bandung, merupakan proyek besar pertama dalam kerangka Belt and Road Initiative (BRI) yang diselesaikan di Indonesia.
Di Sulawesi Tengah, Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) memproduksi nikel, komponen penting dalam berbagai produk seperti baterai untuk kendaraan listrik.
Diluncurkan pada tahun 2015, IMIP memiliki sekitar 94.000 pekerja. Hampir 8.500 di antaranya adalah warga negara China, atau sekitar 10 persen dari total tenaga kerja, menurut Kepala Hubungan Media IMIP, Dedy Kurniawan, kepada CNA.
Dengan luas mencapai 2.000 hektare, IMIP merupakan pusat produksi baja tahan karat dan nikel yang terintegrasi. Kawasan ini memiliki 56 tenant, termasuk banyak perusahaan China seperti Shanghai Decent Investment, anak perusahaan dari produsen baja tahan karat terbesar di dunia, Tsingshan.
Pemerintah Indonesia mengklaim keberadaan IMIP telah mendorong pembangunan di Morowali yang satu dekade lalu masih kekurangan pasokan listrik.
Ketika CNA mengunjungi Morowali tahun lalu, IMIP tampak telah menarik pendatang dari berbagai wilayah di pulau yang luas tersebut.
Berasal dari Sulawesi Tenggara, Aris dan Sahidah membuka sebuah warung kelontong kecil di Morowali beberapa tahun lalu untuk mencari penghidupan yang lebih baik.
Di kampung, mereka hanya mendapat Rp1,5 juta per bulan dari berjualan pakaian di pasar. Tetapi di Morowali, mereka bisa mendapatkan Rp5 juta per bulannya.

CNA juga berbicara dengan seorang karyawan dari salah satu tenant IMIP, yang pemegang saham terbesarnya berasal dari China.
“Yang membuat saya tetap bertahan (di IMIP) adalah atasan saya. Ada yang bilang pekerja asing atau pekerja China itu pelit dan banyak maunya. Tapi di departemen saya, tidak begitu. Semuanya baik-baik saja,” kata Asri, perempuan usia 20 tahunan dari Sulawesi Selatan, yang meminta hanya disebut nama depan.
“Yang penting pekerjaan selesai tepat waktu dan tidak ada kesalahan. Jadi selama kurang lebih 1,5 tahun saya bekerja di IMIP, saya senang karena atasan asing saya sangat ramah dan baik,” ujar Asri yang bekerja di bagian administrasi.

Namun, beberapa pekerja IMIP lainnya mengaku tidak puas dengan kondisi kerja mereka dan menyebutkan minimnya keselamatan serta kesehatan kerja.
“Toilet perempuan di area gudang bagi kami karyawan Indonesia sangat buruk, tidak manusiawi,” kata Winarsih, 32.
“Airnya kotor, tidak ada kloset duduk, hanya saluran air; tidak bisa disebut toilet.”
Karyawan lain, Mulyono (bukan nama sebenarnya), yang bekerja untuk salah satu tenant China di IMIP pada bagian kesehatan, keselamatan, dan lingkungan, mengatakan akses terhadap alat pelindung diri terhadap para pekerja sangat terbatas.
Hal ini pernah diadukannya kepada atasannya asal China, dan dijawab keterbatasan itu karena kurangnya anggaran.
“Itu berarti produksi lebih diutamakan, keselamatan nomor dua. Mereka tidak menerapkan tindakan pencegahan.”
Kecelakaan kerja yang menyebabkan kematian kerap terjadi di IMIP, menurut Mulyono.
Beberapa kecelakaan fatal yang diberitakan media adalah tewasnya karyawan PT Ocean Sky Metal Industry pada 16 Februari tahun ini setelah tergencet beban seberat 150kg. Seorang pekerja lain meninggal dalam ledakan di PT Dexin Steel Indonesia pada Oktober 2024.
Menurut organisasi non-pemerintah yang fokus pada energi berkelanjutan, Trend Asia, puluhan kecelakaan telah terjadi di IMIP sejak 2015.
Salah satu kecelakaan besar terjadi pada Desember 2023 ketika tungku di PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel meledak dan menewaskan 21 orang.
Protes yang berujung bentrokan juga pernah terjadi. Insiden terbaru terjadi pada awal Maret ketika IMIP melarang truk bak terbuka yang mengangkut orang untuk masuk ke lokasi.
Peraturan baru kini mewajibkan pekerja diangkut menggunakan bus demi alasan keselamatan. Namun beberapa kontraktor menolak aturan tersebut, yang menyebabkan bentrokan dengan petugas keamanan dan pembakaran kendaraan patroli.
“Apa yang kami lakukan (menerbitkan peraturan baru) adalah demi menjaga keselamatan dan keamanan pekerja kontraktor, serta bagian dari upaya kami untuk menegakkan peraturan negara dan mematuhi regulasi pemerintah terkait keselamatan dan kesehatan kerja,” kata Dedy dari IMIP.

POLUSI DAN KONFLIK AGRARIA
Beberapa warga yang tinggal dekat IMIP mengatakan, proyek-proyek yang disokong China di Morowali juga menyebabkan degradasi lingkungan dan polusi.
Morowali menghadap Laut Banda, yang merupakan bagian dari Segitiga Terumbu Karang dengan keanekaragaman terumbu karang tertinggi di dunia.
Ekosistem laut yang kaya memungkinkan nelayan lokal untuk mencari ikan, namun kondisi berubah sejak berdirinya IMIP.
Menurut warga, air kini berwarna cokelat dan keruh akibat limbah industri yang dibuang ke laut, membuat nelayan kesulitan untuk mendapatkan tangkapan yang layak.
“Saya sekarang harus pergi sangat jauh untuk menangkap ikan,” kata Man, seorang nelayan setempat.
Udara juga tidak sebersih sekitar 10 tahun lalu, kata warga kepada CNA.

Saharudin, guru yang mengajar di SMP Islam Al-Jariyah yang berada tepat di belakang IMIP, mengatakan kondisi saat ini sangat bising dan para muridnya sering mengalami sakit tenggorokan dan batuk.
“Ada debu bukan hanya dari jalan tapi … (dari) pembangkit listrik tenaga batu bara milik perusahaan, lantai sekolah hitam meskipun kami menyapunya setiap hari,” kata Saharudin.
IMIP dan para penyewanya tidak pernah memberikan kompensasi kepada warga sekitar atas penderitaan mereka, kata Saharudin.
Dedy dari IMIP mengatakan bahwa Indonesia belum memiliki regulasi mengenai kompensasi atas polusi debu, tetapi ia mengklaim kawasan industri tersebut memiliki rencana untuk membantu perluasan sekolah.
Sekitar dua jam berkendara ke utara dari IMIP, perluasan kompleks industri lain, Indonesia Huabao Industrial Park (IHIP), telah mengambil alih jalan di desa Topogaro, sehingga warga tidak bisa melintasinya.
Konflik agraria ini memicu protes dari warga desa, yang memblokade jalan pada 11 Maret, 15 Maret, dan 20 Juni tahun lalu.
Akibatnya, IHIP – yang juga berfokus pada pengolahan nikel – mengaku mengalami kerugian. Mereka menggugat lima orang, menuntut kompensasi sebesar Rp14 miliar, yang disebut sebagai kerugian selama tiga hari blokade.
IHIP dioperasikan oleh Yashi Indonesia Investment, yang didirikan oleh Zhenshi Holding Group, Shanghai Decent Investment, dan Zhejiang Huajun.
Warga desa Safa’at Ladanu, 42, salah satu dari lima orang yang digugat, mengatakan warga marah bukan hanya karena jalan tertutup, tapi juga atas keberadaan IHIP dan dampak negatifnya selama tiga tahun terakhir.
“Bagaimana dengan dampak abu batu bara (dari pembangkit listrik)? Masyarakat terkena infeksi saluran pernapasan akut. Belum lagi kebisingannya,” katanya.
“Setiap hari, tidur kami terganggu oleh suara aktivitas perusahaan, dan juga ada sampah serta penyakit. Kalau bicara soal kerugian, kami juga rugi.”
CNA telah menghubungi IHIP untuk meminta komentar.

INTERAKSI SOSIAL PERLU DITINGKATKAN
Para pengamat memaklumi jika warga lokal memiliki sejumlah keluhan terhadap dominasi China di kawasan.
Habib Dzakwan, peneliti yang berfokus pada China di lembaga pemikir Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta, mengatakan hal ini terutama terjadi di wilayah Indonesia yang kaya sumber daya seperti Morowali dan Papua, di mana masyarakat tidak mendapatkan banyak manfaat dari pembangunan dibandingkan perusahaan asing.
Ia mengatakan salah satu cara masyarakat Morowali dapat mengambil kendali atas situasi tersebut adalah dengan mengajukan gugatan class action terhadap pihak-pihak yang mereka anggap bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan.
“Mereka juga bisa mengajukan pengaduan ke Komnas HAM,” katanya.

Namun upaya mendapatkan keadilan juga bergantung pada kemauan politik pemerintah dan apakah pemerintah memilih menggunakan kekuasaannya dalam melindungi warga negara, ujarnya.
Seiring dengan semakin besarnya peran China dalam perekonomian global, Habib mengatakan kehadirannya di Indonesia dan Timor-Leste kemungkinan juga akan semakin meningkat.
“Saya pikir China adalah mitra yang tak tergantikan bagi banyak negara berkembang,” katanya.
Sementara itu, Indonesia dapat berbagi pengalamannya dengan Timor-Leste dalam membantu usaha kecil dan menengah – misalnya dalam mengakses pembiayaan dan bagaimana menghadapi perubahan iklim bisnis, ujarnya.
Goncalves dari Kamar Dagang dan Industri Timor-Leste mengatakan pemerintah sebaiknya memperkenalkan lebih banyak inisiatif untuk memperkuat keterampilan dan pengetahuan masyarakat lokal, serta mengembangkan kerangka hukum guna mendukung sektor swasta.
“Misalnya, memberikan akses terhadap pembiayaan dan kepemilikan lahan dengan ... suku bunga bank yang lebih rendah,” katanya.

Secara umum, menurut Habib, perlu lebih banyak interaksi sosial antara pekerja migran asal China dan tenaga kerja lokal agar mereka bisa saling memahami. Pemerintah dapat membantu dengan menyediakan kelas bahasa untuk menjembatani kesenjangan.
Secara khusus bagi para pekerja di kawasan industri seperti IMIP, Habib mengatakan perusahaan China harus memberi edukasi kepada pekerja lokal soal budaya korporat dan ekspektasi yang diharapkan dari mereka. Pemberi kerja, tambahnya, juga harus mendengarkan keluhan staf dan berupaya memahami budaya lokal.
Muhammad Zulfikar Rakhmat, direktur desk China-Indonesia di Center of Economic and Law Studies (CELIOS), mengatakan institusinya melakukan survei daring tahun lalu tentang persepsi masyarakat Indonesia terhadap pengaruh China.
Sekitar 57 persen dari 1.414 responden khawatir bahwa ketergantungan yang semakin besar terhadap China dapat memperburuk pandangan negatif.
Survei CELIOS bertujuan memberikan wawasan tentang dinamika hubungan Indonesia dan China, terutama dengan pergantian presiden dari Joko Widodo ke Prabowo Subianto pada Oktober tahun lalu.
Sekitar 58 persen responden ingin pemerintah Indonesia meningkatkan kerja sama ekonomi dengan China, namun persepsi publik terhadap proyek infrastruktur China di Indonesia tidak sepenuhnya positif. Sekitar 43 persen responden percaya proyek-proyek tersebut berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan di Indonesia.
Pemerintah tidak perlu takut untuk bernegosiasi dengan China demi mendapatkan keuntungan terbaik bagi pekerja Indonesia, kata Zulfikar.
“Kalau (para pemimpin Indonesia) merasa kita butuh China, dan mereka tidak peduli dengan persepsi publik, maka ini bisa membuat China juga tidak peduli dengan persepsi publik,” ujarnya.
Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. Pastikan fungsi notifikasi telah dinyalakan dengan menekan tombol lonceng.