Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.

Iklan

Asia

Alasan kota-kota di China larang mobil listrik mini 'laotoule' yang jadi favorit para lansia

Dengan meningkatnya kasus kecelakaan, kehadiran mobil listrik mini atau "laotoule" di China menjadi kontroversi. Namun menurut para ahli, mengatasi masalah ini bukan perkara mudah, terutama di negara sebesar China.

Alasan kota-kota di China larang mobil listrik mini 'laotoule' yang jadi favorit para lansia

Deretan mobil listrik mini atau laotoule yang diparkir di luar SD Bo'xing Experimental di kota Binzhou, provinsi Shandong, China. (Foto: Chen Qian)

SINGAPURA: Huang, 50 tahun, rajin mengantarkan cucunya yang berusia 8 tahun ke sekolahnya di SD Bo'xing Experimental di kota Binzhou, Provinsi Shandong, China, menggunakan mobil listrik mini atau yang dijuluki "laotoule".

Laotoule - yang dalam bahasa Mandarin bisa diartikan kakek yang bahagia atau kebahagiaan lansia - milik Huang memiliki empat roda, mirip dengan mobil golf.

Alasan utamanya menggunakan mobil listrik mini itu adalah kenyamanan dan harganya yang terjangkau.

"Memarkirkan kendaraan besar di sini adalah mimpi buruk," kata dia dalam percakapan telepon dengan CNA. "Kami perlu kendaraan semacam ini. Coba bayangkan - mobil biasa sulit diparkir, dan di tempat parkir untuk tiga atau lima mobil, bisa muat hingga 10 kendaraan laotoule."

Cuaca juga jadi alasan berikutnya, kata dia. Pasalnya, suhu udara di Binzhou bisa turun hingga mencapai 2 derajat Celcius.

"Motor listrik atau sepeda bisa dipakai ketika musim panas, tapi tidak mungkin saat musim dingin," ujar Huang.

Sama seperti dirinya, kebanyakan orang tua dan kakek-nenek di Binzhou juga mengandalkan laotoule untuk mengantarkan anak atau cucu ke sekolah.

Laotoule yang seliweran sudah menjadi pemandangan jamak di perdesaan maupun kota-kota kecil di seluruh China. Namun di beberapa kota lainnya, penggunaan mobil listrik mini sudah dilarang.

Kota-kota seperti Beijing dan Shanghai, dan juga beberapa provinsi seperti Jiangxi, hebei, Jiangsu dan Anhui, telah menerapkan larangan penggunaan laotoule yang telah menjadi favorit para lansia.

Namun menurut para pengamat, akan sulit untuk menerapkan larangan itu di seluruh China karena adanya perbedaan kualitas transportasi publik dan kepadatan jumlah penduduk.

Meskipun dilarang di beberapa kota, laotoule tetap menjadi pemandangan umum di kota-kota tingkat bawah di Tiongkok. (Foto: Chen Qian)

KEBAHAGIAAN UNTUK PARA LANSIA

Mobil listrik mini mulai bermunculan di jalanan China pada awal 2000-an dan kini menjadi salah satu alat transportasi favorit para lansia - dengan 10 juta unit telah mengaspal per 2020, berdasarkan data resmi industri otomotif China.

Dengan harga antara 2.000 yuan (Rp4,4 juta) hingga paling mahal 22.000 yuan (Rp48 juta), laotoule masih lebih murah ketimbang mobil dan van konvensional. Selain itu, ukurannya yang kecil memudahkannya untuk diparkir.

Laotoule juga tidak membutuhkan surat izin atau nomor registrasi kendaraan, serta tidak terikat pada rambu dan peraturan lalu lintas yang diterapkan bagi kendaraan konvensional. Hal ini tentu saja membuat popularitas laotoule terus meroket.

Namun kehadiran kendaraan-kendaraan listrik mini ini lantas menjadi kontroversi.

Berbagai kecelakaan maut dan tiadanya peraturan penggunaannya membuat beberapa kota besar di China melarang laotoule.

Laporan aparat di seluruh China antara 2012 dan 2016 menunjukkan hampir 20.000 orang meninggal dunia akibat kecelakaan kendaraan listrik berkecepatan rendah.

Setelah terjadi lebih dari 100 kematian pada 2022, akhirnya pemerintah Beijing melarang penggunaan laotoule, baik di jalanan maupun untuk diparkir di tempat umum.

Kecelakaan yang melibatkan laotoule di kota-kota dan provinsi China masih berlanjut hingga saat ini.

Kecelakaan pada akhir November tahun lalu dilaporkan terjadi di kota Ganzhou, provinsi Jiangxi. Ketika itu, lansia pengendara Laotoule menerobos lampu merah dan melukai pengendara mobil listrik mini lainnya.

Kecelakaan tersebut membuat pemerintah Ganzhou bertindak dengan menyita 2.000 laotoule di seluruh kota dan ratusan lainnya dilarang beredar.

Pada 12 Oktober lalu, kecelakaan parah terjadi di Sichuan, kota di mana laotoule hanya boleh digunakan jika memiliki izin dan registrasi. Ketika itu pria 74 tahun berkendara lawan arah, menyebabkan tabrakan yang menewaskan dua orang.

Pengamat transportasi publik China yang juga manajer di perusahaan konsultasi Easy Traffic Consulting Firm di Shanghai, Wan Yuanyuan, mengatakan kebanyakan pengendara laotoule tidak memiliki izin dan kerap melanggar rambu lalu lintas, sehingga sangat rawan kecelakaan.

"Kendaraan-kendaraan ini seringkali tidak memenuhi standar keamanan otomotif, seperti kekokohan rangka dan perlindungan pengendara jika terjadi kecelakaan. Kekurangan ini bisa menyebabkan jatuhnya korban jiwa," kata Wang, menambahkan bahwa buruknya kualitas baterai serta tidak layaknya fasilitas pengisian daya juga bisa memicu kebakaran. 

"Selain itu, belum ada sistem asuransinya, sehingga menyulitkan untuk mengatasi kondisi setelah kecelakaan."

Zhang Xiang, direktur Digital Automotive International Cooperation Research Center di World Digital Economy Forum juga menyuarakan keresahan yang sama. 

"Tanpa adanya izin berkendara, banyak pengemudi yang melanggar peraturan lalu lintas," kata Zhang.

"Jika pengemudinya melakukan pelanggaran dan kabur, sulit untuk menindak mereka. Mereka telah mengganggu ketertiban lalu lintas dan mengancam keamanan di jalan."

Zhang mencermati bahwa penjualan laotoule telah menurun setelah kendaraan ini dilarang di Beijing. "Sekarang banyak tempat yang telah menetapkan peraturan tentang kendaraan ini, tidak seperti di masa lalu ketika mereka beroperasi di area yang abu-abu," kata dia.

Meski pengendara laotoule seperti Huang menyadari adanya masalah keamanan pada kendaraannya, namun dia sangat berat untuk melepaskannya. Pasalnya, kendaraan itu masih jadi pilihan yang murah dan nyaman untuk bepergian.

"Dari sudut pandang keamanan, bisa dipahami jika ingin agar kendaraan ini diregulasi dan diasuransikan, tapi untuk beberapa kasus itu tidak mungkin," kata Huang.

Dengan harga antara 2.000 yuan (Rp4,4 juta) hingga 22.000 yuan (Rp48 juta), laotoule masih lebih murah ketimbang mobil dan vans konvensional. Selain itu, ukurannya yang kecil memudahkannya untuk diparkir. (Foto: Chen Qian)

TIDAK BISA DISAMARATAKAN

Menurut pengamat, mengatasi masalah laotoule tidak bisa disamaratakan di semua kota, terutama di negara sebesar China. Ada 1.700 kota di China dengan karakteristiknya masing-masing, sehingga regulasi yang sama malah akan menyulitkan.

"Pembuatan kebijakan di China terkait transportasi publik memiliki kompleksitas kepentingan," kata Wang.

"Opini publik memang bisa mempengaruhi kebijakan, tapi keputusan biasanya dari atas ke bawah, dengan memprioritaskan kesejahteraan, keamanan dan stabilitas sosial. Tetap bersikeras melarang kendaraan akan menemui tantangan seperti bagaimana mengatasi banyaknya permintaan dan penegakan kebijakan yang efektif dalam lanskap yang berubah dengan cepat."

Pakar transportasi Raymond Ong Ghim Ping, profesor di National University of Singapore, mengatakan kepada CNA bahwa ukuran geografis China yang luas, keragaman masyarakatnya, perbedaan ekonomi dan tingkat urbanisasi yang bervariasi akan membuat kebijakan yang seragam sulit untuk dilakukan. 

Kota-kota tingkat pertama seperti Beijing dan Shanghai juga membutuhkan pendekatan yang berbeda dengan kota-kota tingkat kedua dan ketiga, katanya. 

“Jalan-jalan di China terbagi menjadi lajur kecepatan tinggi dan rendah,” kata Ong. “Semua faktor ini dapat meningkatkan kemungkinan kecelakaan dan itulah sebabnya mengapa masalah ini menjadi sangat kentara di kota-kota yang lebih padat.”

Beijing, Shanghai dan berbagai kota di provinsi Jiangsu telah mengambil pendekatan yang lebih tegas terhadap kendaraan yang ramah terhadap lansia ini.

Kota-kota di provinsi lain seperti Anhui dan Shandong telah memilih untuk mengadopsi pendekatan yang lebih fleksibel seperti melarang penjualan baru atau mewajibkan perizinan dan asuransi yang tepat.

Kendaraan laotoule diparkir di luar rumah sakit di Shanghai. Di kota ini laotoule dilarang, tapi ada pengecualian bagi penyandang disabilitas dengan mengajukan izin. (Foto: Wang Yuanyuan)

Di Jinan, sebuah kota di Shandong, beberapa model laotoule diklasifikasikan sebagai sepeda motor roda tiga atau empat yang membutuhkan registrasi dan plat nomor resmi.

Media lokal Jinan, Qiluwanbao, melaporkan bahwa setelah adanya kampanye kesadaran publik, permintaan untuk tes mengemudi laotoule melonjak di Jinan, dengan slot yang sudah penuh dipesan hingga akhir Desember.

Pihak berwenang Anhui telah memperketat aturan untuk pengemudi laotoule, mewajibkan mengenakan helm dan mematuhi peraturan lalu lintas dengan ketat.

“Kota-kota tanpa insiden besar mungkin tidak akan melakukan penerapan peraturan seketat itu, yang berarti pengemudi dapat berkendara seperti sebelumnya sampai ada kejadian serius yang mendorong tindakan yang lebih tegas,” ujar Wang, seraya menambahkan bahwa ‘pengambilan kebijakan yang reaktif adalah hal yang cukup umum’ di China dan sering kali dipicu oleh kejadian-kejadian yang terjadi di daerah-daerah. 

Guo Baoyu, pemilik kendaraan roda tiga merek Shenghao di Jinan, menyambut baik langkah-langkah baru ini dan mengatakan bahwa kebijakan ini memberikan rasa aman dan nyaman bagi para pengemudi laotoule seperti dirinya. 

“Keselamatan selalu menjadi prioritas saya,” kata dia, seraya menambahkan bahwa ia sering memilih jalan yang tidak banyak dilalui kendaraan berat dan membatasi jarak tempuh sekitar 40 km dari rumah sehingga ia dapat pergi dan pulang ke tempat penitipan anak dengan mudah. 

Guo Baoyu berbagi pengalaman dan modifikasi laotoule-nya di Xiaohongshu, di mana akunnya telah mendapatkan 10,6 ribu pengikut. (Gambar: Xiaohongshu/@guobaoyu)

TRANSPORTASI UMUM YANG LEBIH BAIK SEBAGAI ALTERNATIF? 

Meskipun ada larangan dan tindakan tegas terhadap laotoule, namun para ahli transportasi tidak yakin kendaraan ini akan menghilang dari jalanan China dalam waktu dekat.

Zhang dari World Digital Economy Forum memprediksi bahwa kendaraan listrik (EV) pada akhirnya akan menggantikan laotoule, terutama di kota-kota yang produksinya sudah dihentikan. 

“Setelah laotoule dihapuskan, yang akan menggantikannya adalah mobil listrik berukuran mikro,” kata Zhang. 

Kendaraan semacam itu akan menjadi pilihan yang lebih murah dan lebih baik bagi para lansia, dengan harga yang terjangkau antara 20.000 hingga 30.000 yuan (sekitar Rp44 juta hingga Rp66 juta). Kendaraan ini juga dilengkapi pendingin ruangan dan sistem pengereman yang lebih mumpuni, memberikan standar keamanan dan kenyamanan yang lebih baik. 

"Kendaraan-kendaraan ini legal dan lebih baik. Mereka akan menggantikan laotoule,” katanya. 

Namun, menurut para ahli, menyelesaikan masalah ini akan membutuhkan waktu, terutama karena laotoule masih populer di kalangan lansia.  

Alternatif seperti meningkatkan sistem transportasi umum seperti bus, bus listrik, dan kereta api, atau menyediakan pilihan seperti berbagi sepeda akan sangat penting, tambah mereka. 

Transportasi umum jauh lebih nyaman di daerah perkotaan, kata Zhang. “Ada lebih banyak jalur metro dan bus yang tersedia (di perkotaan) sehingga orang-orang meninggalkan laotoule mereka yang dulu sempat jadi moda transportasi yang lebih sering digunakan.” 

Konsultan Wang mencatat bahwa para lansia yang tinggal di kota-kota besar di China sering menikmati tarif gratis atau diskon ketika bepergian dengan transportasi umum. “Namun, fleksibilitas dan cakupan spasial dari angkutan umum masih tertinggal dari apa yang ditawarkan oleh laotoule,” katanya. 

“Dengan kemajuan teknologi informasi, layanan bus sesuai permintaan dapat menjadi solusi, meskipun orang dewasa yang lebih tua mungkin menghadapi tantangan dalam menggunakan platform digital.” 

Bagi pengemudi laotoule seperti Huang, kendaraan mereka masih menjadi kebutuhan yang diperlukan untuk mengantar cucu-cucu dan menjalankan tugas sehari-hari. 

Dengan ratusan laotoule yang masih memadati jalanan dan trotoar di Binzhou, tampaknya tidak mungkin larangan penuh akan diterapkan dalam waktu dekat. 

Dan untuk saat ini, Huang mengambil pendekatan pragmatis. “Dipikirkannya nanti saja kalau sudah dilarang,” katanya. 

Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. ​​​​​

Source: CNA/da

Juga layak dibaca

Iklan

Iklan