Bandara KLIA di Malaysia jadi megahub terbaik dunia, namun apa yang perlu dibenahi?
Bandara Internasional Kuala Lumpur (KLIA) dinobatkan sebagai megahub maskapai berbiaya rendah paling “terhubung” di dunia bulan lalu. Namun di balik prestasi itu, para ahli menilai bandara tersebut masih menyimpan banyak kekurangan operasional dan infrastruktur.
Pesawat AirAsia terlihat di landasan Bandara Internasional Kuala Lumpur Terminal 2 (KLIA2) di Sepang, Malaysia, 26 Februari 2024. (Foto: Reuters/Hasnoor Hussain)
KUALA LUMPUR: Ketika Bandara Internasional Kuala Lumpur (KLIA) kembali dinobatkan oleh Official Aviation Guide (OAG) sebagai megahub maskapai berbiaya rendah (LCC) paling “terhubung” di dunia untuk tahun kedua berturut-turut bulan lalu, warganet ramai menanggapinya.
Sebagian memberi selamat kepada bandara dan operatornya, Malaysia Airports Holdings Berhad, sementara yang lain justru menyoroti masalah seperti seringnya gangguan pada layanan aerotrain yang menghubungkan terminal utama dengan gedung satelit.
Menurut OAG, gelar itu diberikan berkat jaringan penerbangan luas yang ditawarkan maskapai utama AirAsia, yang menyumbang 36 persen dari total penerbangan di KLIA.
Dari Terminal 2 KLIA, AirAsia melayani lebih dari 100 destinasi di 25 negara, dengan sekitar 4.500 penerbangan setiap pekan.
OAG mencatat, KLIA memiliki 16.502 koneksi maskapai berbiaya rendah (LCC) ke 151 destinasi.
Bandara ini juga menempati peringkat tinggi dalam kategori konektivitas global secara keseluruhan, berbagi posisi keempat dengan Bandara Internasional Frankfurt di Jerman dalam daftar megahub terbaik dunia.
Menurut OAG, Bandara Heathrow di London menjadi bandara paling terhubung di dunia selama tiga tahun berturut-turut, diikuti Bandara Istanbul di Turki dan Bandara Schiphol di Amsterdam, Belanda.
Bandara Changi di Singapura menempati peringkat ke-11 secara keseluruhan.
Setelah berada di posisi ke-12 pada 2019, KLIA naik ke peringkat keempat pada 2023, sempat mencapai posisi kedua tahun lalu, sebelum turun kembali ke peringkat keempat tahun ini.
Analis utama OAG, John Grant, mengatakan kepada CNA bahwa penilaian tersebut didasarkan pada sejumlah parameter, termasuk jumlah destinasi yang dilayani serta frekuensi penerbangan ke masing-masing tujuan.
“Hasil ini sekali lagi menunjukkan bahwa KLIA merupakan titik transit yang sangat sukses bagi penumpang dari seluruh dunia, dengan kombinasi maskapai dan destinasi yang sangat beragam,” ujarnya.
Analisis OAG menggunakan data penerbangan dari hari tersibuk industri penerbangan global antara September 2024 hingga Agustus 2025 — yakni 1 Agustus 2025 — berdasarkan total jumlah kursi terjadwal di 100 bandara terbesar dunia, baik secara keseluruhan maupun internasional.
OAG menjelaskan, total koneksi yang memungkinkan dihitung dari penerbangan kedatangan dan keberangkatan dalam rentang waktu enam jam, mencakup penerbangan di mana salah satu atau kedua rutenya merupakan penerbangan internasional.
Kriteria lain yang digunakan mencakup koneksi tunggal ke atau dari bandara yang dipilih, batas maksimum sirkuit 150, serta jendela koneksi enam jam. Batas sirkuit 150 berarti panjang lintasan aktual penerbangan—terutama untuk penerbangan lanjutan—tidak boleh melebihi 150 persen dari rute paling langsung.
Peringkat megahub maskapai berbiaya rendah (LCC) OAG disusun dengan metodologi yang sama, namun hanya memperhitungkan penerbangan berbiaya rendah.
Meski peringkat ini mencerminkan kontribusi KLIA terhadap posisi Malaysia di panggung global—menurut Malaysia Airports—para analis dan pelaku industri penerbangan menilai capaian tersebut menutupi berbagai kekurangan operasional dan infrastruktur.
Kesenjangan ini harus segera dibenahi jika KLIA ingin bersaing di tingkat global dengan bandara-bandara lain, kata mereka.
“Ada perbedaan besar antara menjadi ‘megahub terbaik’ secara angka dan menjadi bandara yang sangat tidak efisien dari sisi kenyamanan penumpang,” ujar Shukor Yusof dari Endau Analytics.
“Peringkat bandara dan maskapai sebaiknya disikapi dengan sangat hati-hati,” ujar Shukor.
Ia menambahkan, KLIA masih tertinggal dalam hal pemeliharaan fasilitasnya, dengan mencontohkan Bandara Changi di Singapura sebagai tolok ukur yang perlu dicapai KLIA.
KONEKTIVITAS REGIONAL JADI KEKUATAN UTAMA KLIA
Per Juni tahun ini, KLIA tercatat melayani 70 maskapai, melampaui angka pra-pandemi COVID-19 yang berjumlah 69 maskapai.
“Sepanjang tahun ini saja, bandara telah menyambut enam maskapai baru dan membuka 11 rute baru di seluruh jaringannya,” kata Malaysia Airports dalam pernyataan tertanggal 24 September.
“Penerbangan jarak jauh juga bertambah dengan frekuensi lebih tinggi dari maskapai internasional, sementara kehadiran maskapai asal Tiongkok meningkat lebih dari dua kali lipat dibanding masa sebelum pandemi.”
Tahun lalu, sejumlah maskapai baru yang membuka rute ke KLIA antara lain Air Macau, Iraqi Airways, dan Turkmenistan Airlines, turut memperluas konektivitas global bandara tersebut, ujar Harridon Mohamed Suffian dari Malaysian Institute of Aviation Technology, Universiti Kuala Lumpur.
“Masuknya maskapai-maskapai baru ini secara signifikan meningkatkan konektivitas internasional, sementara kami juga melihat maskapai yang sudah ada menambah frekuensi penerbangan,” kata Harridon, yang juga seorang pakar penerbangan dan ekonomi.
Proses imigrasi dan pemeriksaan keamanan yang kini lebih efisien—berkat penerapan peralatan biometrik dan kios baru—telah berhasil meningkatkan ketepatan waktu (on-time performance/OTP) penerbangan di KLIA serta maskapai-maskapai yang beroperasi di sana, kata Harridon.
Pada Agustus 2025, menurut data Otoritas Penerbangan Sipil Malaysia, Malaysia Airlines menjadi satu-satunya maskapai nasional yang memenuhi target ketepatan waktu 85 persen untuk penerbangan yang berangkat dalam 15 menit dari jadwal, baik untuk rute domestik maupun internasional.
Sementara itu, OTP penerbangan domestik AirAsia, Batik Air, dan Firefly pada bulan yang sama berkisar antara 52,7 hingga 71,9 persen—masih di bawah target. Untuk penerbangan internasional, OTP AirAsia, AirAsia X, Batik Air, dan Firefly tercatat antara 49 hingga 73,4 persen.
Meski angka tersebut berubah-ubah tiap bulan, pada Agustus 2024, AirAsia X tercatat sebagai satu-satunya maskapai Malaysia yang memenuhi target 85 persen untuk penerbangan domestik.
Harridon menjelaskan, “Saat maskapai mempertimbangkan suatu bandara sebagai basis regional, mereka biasanya melihat peningkatan signifikan dalam OTP bandara tersebut, karena hal itu menunjukkan lingkungan operasional yang kondusif.”
KLIA—yang berlokasi sekitar 55 km dari Kuala Lumpur—resmi dibuka pada Juni 1998, menjelang penyelenggaraan Commonwealth Games di ibu kota.
Awalnya hanya memiliki satu terminal utama, bandara ini kemudian memperluas infrastrukturnya dengan membuka Terminal 2 pada 2014 untuk menampung pertumbuhan pesat penerbangan berbiaya rendah.
Analis penerbangan Brendan Sobie mengatakan KLIA merupakan bandara utama di kawasan ASEAN, terutama karena jaringan yang dibangun AirAsia.
“Konektivitas regional inilah kekuatan utama KLIA dan kemungkinan besar menjadi faktor yang mendorong perolehan skor tinggi dalam indeks OAG Megahub,” ujarnya.
Laporan OAG Megahubs 2025 menyoroti perubahan lanskap konektivitas udara—dari model hub jarak jauh tradisional menuju jaringan regional yang lebih lincah, dengan penekanan pada aksesibilitas, digitalisasi, dan efisiensi, kata Bo Lingam, Group Chief Executive AirAsia Aviation Group, kepada CNA.
“Transformasi Kuala Lumpur menjadi hub maskapai berbiaya rendah terbesar dunia mencerminkan bagaimana ekosistem penerbangan Malaysia beradaptasi dengan perilaku dan dinamika pasar yang baru,” ujar Bo.
Ia menambahkan, jaringan dan jadwal penerbangan kini disesuaikan untuk memenuhi lonjakan permintaan perjalanan terjangkau jarak pendek dan menengah di Asia.
AirAsia, lanjut Bo, berfokus membangun hub yang mendorong pertumbuhan dan peluang—dari Kuala Lumpur dan Bangkok (Don Mueang) hingga Bali, Cebu, dan Phnom Penh—guna membentuk ekosistem multi-hub yang menghubungkan kota-kota berkembang dengan destinasi global.
Maskapai itu terus memperluas jangkauan ke “koridor pertumbuhan baru” di Timur Tengah, Asia Tengah, dan wilayah lain, seiring ambisinya menjadi jaringan maskapai berbiaya rendah pertama di dunia, kata Bo.
PAKAR DORONG PERBAIKAN
Meski konektivitas KLIA terus membaik, para ahli industri menilai bandara tersebut masih harus berbenah agar mampu menandingi standar keseluruhan bandara-bandara unggulan di kawasan.
Analis penerbangan Brendan Sobie mengatakan, desain dan infrastruktur dua terminal KLIA secara inheren menempatkannya dalam posisi yang kurang menguntungkan secara kompetitif.
Terminal 1 dan Terminal 2 KLIA tidak terhubung di area udara (airside), sehingga penumpang transit harus keluar dan masuk kembali melalui pemeriksaan imigrasi, mengambil bagasi (jika ada), dan menjalani pemeriksaan keamanan ulang.
Sebaliknya, Bandara Changi di Singapura memiliki konektivitas airside antar-terminal yang memudahkan perpindahan penumpang.
Sobie menambahkan, KLIA lebih berfokus pada konektivitas regional, sementara Changi dan hub besar lain di Asia Tenggara seperti Bandara Suvarnabhumi Bangkok memiliki lalu lintas antarbenua yang signifikan, termasuk penumpang transit internasional.
“Ada banyak peluang bagi pemilik baru KLIA untuk meningkatkan infrastruktur dan memperkecil kesenjangan dengan bandara-bandara yang secara umum dianggap lebih baik, meskipun skor mereka dalam indeks OAG Megahub lebih rendah,” kata Sobie.
Setelah 25 tahun tercatat di bursa, Malaysia Airports tahun ini resmi keluar dari daftar perusahaan publik setelah proses privatisasi oleh Gateway Development Alliance (GDA), konsorsium yang 70 persen sahamnya dimiliki oleh perusahaan investasi terkait pemerintah Malaysia, yaitu Khazanah Nasional Berhad melalui anak usahanya UEM Group Berhad, serta Dana Tabungan Pegawai (Employees Provident Fund).
Investor lainnya adalah Abu Dhabi Investment Authority dan Global Infrastructure Partners, menurut situs resmi Malaysia Airports. Pemerintah Malaysia tetap menjadi pemegang saham khusus untuk melindungi kepentingan strategis nasional.
KLIA tercatat berada di posisi ke-65 dalam Skytrax World Airport Awards 2025, ajang penilaian yang digelar lembaga asal Inggris berdasarkan survei penumpang terhadap kualitas layanan dan fasilitas bandara, termasuk check-in, transfer, belanja, keamanan, dan imigrasi.
Posisi KLIA saat ini jauh tertinggal dari hub utama kawasan, dengan Bandara Changi di Singapura menempati peringkat pertama, Bandara Soekarno-Hatta Jakarta di posisi ke-25, dan Bandara Suvarnabhumi Bangkok di peringkat ke-39.
KLIA pernah masuk daftar 10 besar Skytrax sebanyak empat kali sejak 1999: peringkat kedua pada 2001, kelima pada 2010, kesembilan pada 2011, dan kedelapan pada 2012. Namun peringkatnya terus menurun sejak saat itu.
Pada 2023, Menteri Transportasi Anthony Loke menyatakan kekecewaannya terhadap posisi KLIA yang berada di peringkat ke-67 dalam penghargaan tersebut.
“Ini tugas besar bagi manajemen bandara untuk memperbaiki peringkat dan menjadikan KLIA ikon yang membanggakan bagi seluruh rakyat Malaysia,” ujarnya seperti dikutip Malay Mail.
Di situs Skytrax, tempat penumpang dapat menulis ulasan, keluhan umum tentang KLIA mencakup antrean imigrasi yang panjang, desain bandara yang membingungkan, serta fasilitas yang kurang memadai.
Menceritakan pengalamannya di Terminal 2 KLIA, Shukor menyoroti perbedaan mencolok waktu antrean imigrasi antara penumpang Malaysia dan warga asing.
Sebagai warga Malaysia, ia hanya membutuhkan kurang dari satu menit untuk melewati imigrasi, sementara istrinya yang berkewarganegaraan Jepang harus menunggu hingga 75 menit di antrean khusus pemegang paspor asing.
Ia juga menilai desain bandara menyebabkan jarak berjalan kaki yang jauh dari terminal menuju area imigrasi.
“Saya memang melihat volume penumpang yang tinggi di bandara — ini indikator positif — tapi saya masih mempertanyakan apakah kualitas layanannya sepadan dengan lonjakan jumlah tersebut,” kata Shukor.
PERLU INVESTASI BERKELANJUTAN
Menurut Harridon, meningkatkan konektivitas saja—yang memang berdampak pada naiknya jumlah penumpang—tidak cukup untuk mempertahankan peringkat tinggi.
Untuk menghadapi lonjakan penumpang, ia menilai KLIA perlu memastikan jumlah kios layanan mandiri yang memadai agar proses berjalan efisien dan nilai ketepatan waktu (OTP) tetap optimal. Ia juga menekankan pentingnya perencanaan jangka panjang, termasuk perluasan terminal sebagai langkah strategis.
Pada Desember tahun lalu, Menteri Transportasi Anthony Loke mengatakan Malaysia Airports tengah merencanakan penambahan landasan pacu keempat serta pembangunan terminal baru di KLIA sebagai bagian dari solusi jangka panjang guna menampung pertumbuhan jumlah penumpang.
Menurutnya, rencana tersebut mencakup peningkatan kapasitas Terminal 1 KLIA dari 30 juta menjadi 59 juta penumpang per tahun, serta Terminal 2 dari 45 juta menjadi 67 juta penumpang per tahun.
Rencana jangka panjang itu juga meliputi pembangunan terminal premium khusus dan terminal untuk jamaah haji dan umrah yang akan berangkat ke Arab Saudi.
Bo Lingam dari AirAsia mengatakan, bagi hub seperti KLIA, “daya saing strategis bergantung pada seberapa efisien penumpang diberangkatkan, seberapa intuitif proses kedatangan, dan seberapa lancar koneksi di antaranya.”
Ia menjelaskan, AirAsia menjadi pelopor solusi digital seperti check-in mandiri sepenuhnya, drop bagasi tanpa sentuh, serta boarding pass digital, yang telah membantu menciptakan pengalaman keberangkatan yang lebih mulus dan efisien bagi jutaan penumpang.
Bo menambahkan, seiring meningkatnya arus penumpang di Asia Tenggara, bandara perlu “melangkah lebih jauh dari sekadar infrastruktur menuju orkestrasi”—yakni merancang lingkungan di mana operasi, data, dan pengalaman penumpang berjalan selaras—agar Malaysia dapat mempertahankan posisinya sebagai pemimpin global dalam konektivitas maskapai berbiaya rendah.
Chen Chuanren, editor Air Transport World, menilai KLIA tetap menjadi hub penting di Asia Tenggara, tetapi bertahun-tahun minim investasi dan kurangnya perencanaan jangka panjang telah menghambat kemampuannya bersaing di tingkat global.
Ia mengatakan, investasi berkelanjutan sangat dibutuhkan untuk memodernisasi dan memelihara fasilitas KLIA, mencontohkan layanan aerotrain yang baru kembali beroperasi pada 1 Juli setelah hampir dua tahun tertunda.
Dari 2 Juli hingga 30 September, tercatat 19 gangguan layanan aerotrain, ungkap Wakil Menteri Transportasi Hasbi Hasbollah di Dewan Rakyat pada 13 Oktober.
“Memang ada sejumlah perbaikan, seperti pemasangan e-gate otomatis yang mempercepat proses imigrasi, tetapi banyak bagian bandara yang masih menunjukkan usianya,” kata Chen.
“Pada akhirnya, memperkuat posisi KLIA tidak cukup hanya dengan peningkatan infrastruktur—diperlukan upaya terkoordinasi lintas pemerintahan untuk memperkuat daya tarik Malaysia sebagai destinasi dan mendorong lebih banyak maskapai membuka rute ke sana.”
Pakar pariwisata Tan Kok Liang sependapat, dengan menekankan bahwa bandara adalah kesan pertama yang diterima wisatawan tentang sebuah negara.
Tan mengatakan, tanpa perluasan dan peningkatan infrastruktur KLIA, “tidak mungkin menampung lonjakan terus-menerus dari maskapai baru dan peningkatan volume penumpang.”
“Kita patut bangga dengan peringkat yang diraih, tapi jangan sampai terlena karenanya,” ujarnya.
Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. Pastikan fungsi notifikasi telah dinyalakan dengan menekan tombol lonceng.