Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.

Iklan

Asia

Kisah pekerja migran Indonesia dan Filipina: Kejar gaji tinggi di luar negeri, anak telantar di kampung sendiri

Rendahnya upah dan minimnya peluang memaksa para orangtua bekerja di luar negeri, meninggalkan anak-anak mereka. Pada seri pertama kisah pekerja migran di Asia Tenggara ini, CNA mengulas penyebab jutaan orang memilih bekerja di negara lain dan apa artinya bagi orang-orang terkasih yang ditinggalkan di kampung halaman.

Kisah pekerja migran Indonesia dan Filipina: Kejar gaji tinggi di luar negeri, anak telantar di kampung sendiri

Gina Fabiano, 43, menjadi pekerja rumah tangga di Arab Saudi karena penghasilannya tidak mencukupi sebagai pemulung di San Isidro, Provinsi Rizal, Filipina. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

SAN ISIDRO, FILIPINA/KUNIRAN, INDONESIA: Ketika Gina Fabiano pertama kali memutuskan bekerja di Arab Saudi, 7.000km jauhnya dari rumah kayu tempat dia tinggal di Rodriguez, Filipina, anak-anaknya memohon agar dia tidak pergi.

Tidak pernah sekali pun Fabiano berpisah dengan buah hatinya, apalagi sejauh dan selama itu. Anak-anak tidak akan bisa hidup tanpanya, pikir Fabiano.

Tapi kala itu Fabiano yang kini berusia 43 tahun tidak punya banyak pilihan. Akhirnya ibu lima anak itu bekerja selama tiga tahun di Timur Tengah antara 2016 hingga 2019.

Kesulitan hidup Fabiano bermula ketika pertanian keluarganya sudah tidak produktif lagi setelah pemerintah membuka tempat pembuangan akhir (TPA) tak jauh dari lahan mereka pada 2002.

Bersama dengan keluarga lain yang pertaniannya juga rusak, Fabiano dan suaminya bekerja sebagai pemulung. Mereka mengorek sampah pembuangan dari Metro Manila, kota yang terletak satu jam jauhnya, untuk mengumpulkan besi, plastik atau benda berharga lainnya lalu dijual di pabrik daur ulang.

Pendapatan keluarganya tidak pernah stabil. Berdua dengan suaminya, penghasilan mereka sebulan hanya berkisar 1.000 sampai 2.000 peso (Rp275 ribu sampai Rp550 ribu). Uang itu hampir tidak cukup untuk beli makan dan membayar sekolah anak-anak.

Lalu ibunya meninggal pada 2016. Fabiano sebagai yang tertua dari 14 bersaudara harus mengemban tugas sebagai kepala keluarga bagi adik-adiknya, beberapa dari mereka masih sekolah.

"Ketika itu, kami tidak punya uang untuk membawa ibu ke rumah sakit. Saya berpikir, mungkin ibu saya tidak akan meninggal jika saya bekerja di luar negeri lebih cepat," kata Fabiano kepada CNA, sambil menggenggam kalung salib di lehernya.

Ketika di tahun itu muncul tawaran menjadi pekerja rumah tangga di Arab Saudi dengan bayaran US$400 (Rp6 juta), Fabiano tidak pikir panjang lagi.

Berdasarkan data Departemen Pekerja Migran Filipina, ada 2,1 juta warga Filipina yang bekerja di luar negeri pada 2016. Angka ini turun di masa pandemi, lalu kembali naik mencapai rekor tertinggi sebanyak 2,3 juta orang pada 2023.

Kebanyakan mereka berasal dari wilayah perdesaan atau permukiman miskin, seperti distrik San Isidro di Rodriguez. Sedikit sekali kesempatan kerja di daerah ini, terutama bagi orang seperti Fabiano yang hanya lulusan SMP.

Dengan bekerja di luar negeri, mereka bisa mendapat gaji hingga dua kali lipat dibanding upah minimum sebesar US$10 per hari di Filipina. Tapi ada harga lain yang harus dibayar dengan keputusan tersebut.

Untuk ibu seperti Fabiano, bekerja di luar negeri membuat dia kehilangan kesempatan melihat anak-anaknya tumbuh dewasa, merayakan hari spesial seperti ulang tahun dan Natal bersama mereka, atau menghadiri momen penting seperti hari pertama sekolah atau wisuda.

Sementara bagi yang ditinggalkan, mereka kehilangan seseorang yang terkasih, pelindung, mentor dan tempat berkeluh kesah.

"Hal yang terberat adalah saya tidak mampu merawat putri saya satu-satunya," kata Fabiano. Putri bungsunya itu masih di TK ketika dia pergi.

"Saya cuma bisa meneleponnya dan bertanya: 'Sedang apa? Sudah makan? Tadi sekolah tidak?' Itu saja. Saya merawat anak perempuan di Saudi: Saya kepang rambutnya, menyuapinya makan, merapikan tempat tidurnya."

"Saya bisa merawat dia, tapi tidak bisa merawat anak sendiri."

Seorang anak membawa air di pundaknya di daerah miskin di distrik San Isidro, Rodriguez, Provinsi Rizal, Filipina. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

Pekerja migran ASEAN dalam angka:

  • Indonesia: 4,8 juta (2023) 
  • Myanmar: 4,5 juta (2019) 
  • Filipina: 2,3 juta (2023) 
  • Malaysia: 1,86 juta (2022) 
  • Kamboja: 1,3 juta (2024) 
  • Laos 0,31 juta (2023) 
  • Thailand: 0,12 juta (2023)

Angka terakhir ini diperoleh dari berbagai sumber, termasuk laporan media dan instansi pemerintah.

Angka tersebut menunjukkan jumlah pekerja migran yang saat ini tinggal dan bekerja di luar negara asalnya. Meskipun jumlah ini mungkin termasuk pekerja terampil, namun sebagian besar pekerja migran bekerja di industri kerah biru.  

Singapura dan Brunei tidak termasuk di dalamnya. Laporan Migrasi ASEAN yang dirilis pada 2022 mengidentifikasi kedua negara tersebut sebagai salah satu tujuan utama pekerja migran untuk pekerjaan berketerampilan rendah.

Jumlah total pekerja migran dari Vietnam di luar negeri masih belum jelas, meskipun media lokal melaporkan bahwa negara ini menargetkan mengirim 125.000 pekerja ke luar negeri di bawah kontrak pada tahun 2024. Pada kuartal pertama tahun ini, hampir 36.000 pekerja migran dari negara ini pergi ke luar negeri, menurut Kementerian Tenaga Kerja, Penyandang Cacat, dan Sosial Vietnam.

Secara keseluruhan, meski para pekerja migran ASEAN tercatat ada di negara-negara seluruh dunia, namun kebanyakan memilih bekerja di kawasan regional.

Hal ini misalnya ditunjukkan oleh laporan Organisasi Tenaga Kerja Internasional (ILO) tahun lalu yang menyebut ada 1,7 juta pekerja migran Myanmar tercatat di Thailand pada 2023.

"Angka itu menjadi dua kali lipat jika kita juga menghitung para pekerja migran tidak tetap," kata laporan ILO, merujuk pada pekerja migran ilegal.  

Laporan tersebut menambahkan bahwa warga negara Myanmar merupakan populasi migran terbesar di Thailand dan mewakili populasi diaspora terbesar warga negara Myanmar.

Sementara itu menurut harian Kompas, ada sekitar 1,66 juta pekerja migran Indonesia di Malaysia pada 2022.

Malaysia telah lama menjadi negara tujuan pekerja migran, dengan angka tidak resmi yang mencapai antara 1,2 hingga 3,5 juta orang.

Gelombang kedatangan pekerja migran ilegal asal Indonesia ke Malaysia selalu menjadi masalah pelik yang dihadapi kedua negara.

Pada Juni tahun lalu, isu imigran ilegal asal Indonesia menjadi topik utama dalam pertemuan antara kepala departemen imigrasi kedua negara, seperti yang dikutip dari Bernama.

Perbatasan antar negara-negara Asia Tenggara yang penuh celah menjadikan masalah perpindahan orang tanpa dokumen - termasuk pekerja ilegal - akan terus ada. 

Kondisi ini juga menghadirkan bahaya dan kerawanan yang akan dihadapi para pekerja itu sendiri.

Collapse

KETERBATASAN PELUANG KERJA 

Bagi warga di Asia Tenggara seperti Filipina dan Indonesia, pindah ke luar negeri untuk mendapatkan kesempatan kerja dan gaji yang lebih baik adalah hal biasa.

Pemerintahan di kedua negara dan sektor swastanya juga telah mengambil pendekatan berbeda untuk jenis lapangan kerja ini. 

Mereka yang bekerja di luar negeri telah memberi sumbangan besar pada perekonomian Filipina, negara yang 15,5 persen dari 117 juta warganya berada di bawah garis kemiskinan dengan pendapatan per orangnya kurang dari US$1,35 per hari, berdasarkan data Badan Statistik Filipina.

Sebuah lingkungan miskin di Manila, Filipina. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

Data bank Dunia menunjukkan, tahun lalu para pekerja Filipina di luar negeri telah mengirim uang ke rumah sebesar US$40 miliar atau sekitar 9,2 persen dari PDB negara ini. Angka ini menjadikan Filipina negara keempat dunia penerima remitansi setelah India (US$125 miliar), Meksiko (US$67 miliar) dan China (US$50 miliar).

Saking pentingnya bagi perekonomian negara, pemerintah Filipina telah menerapkan berbagai kebijakan untuk mendorong dan mendukung emigrasi. Di antaranya adalah memberi perlindungan yang lebih baik bagi pekerja di luar negeri hingga menawarkan program untuk meningkatkan kesejahteraan mereka sekembalinya ke kampung halaman.

Mantan presiden Filipina Rodrigo Duterte, misalnya, pada 2018 mendirikan Overseas Filipino Bank untuk memudahkan remitansi bagi para pekerja di luar negeri mengirim uang ke keluarga di rumah. Tiga tahun kemudian, pemerintahannya membangun Departemen Pekerja Migran untuk menjadikan seluruh instansi yang mengurus emigrasi pekerja berada di bawah satu atap.

Presiden berikutnya, Ferdinand "Bongbong" Marcos Jr yang memimpin sejak 2022, telah berjanji memberikan para pekerja migran dan keluarganya asuransi kesehatan, beasiswa dan tunjangan pensiun.

Namun para kritikus mengatakan, langkah ini gagal menciptakan lapangan kerja di dalam negeri dan penyebab tingginya angka pengangguran di Filipina, yang menurut Dana Moneter Internasional (IMF) akan mencapai 5,1 persen tahun ini.

"Mayoritas yang bekerja ke luar negeri datang dari daerah-daerah di mana kesempatan kerja sangat terbatas, peluang bekerja tetap sangat langka. Bahkan jika mereka punya pekerjaan tetap pun, gajinya seringkali tidak cukup memenuhi kebutuhan dasar keluarga," kata Marvin Rimas, sekretaris jenderal lembaga advokasi Migrante Philippine, kepada CNA.

Itulah mengapa, pekerja migran Filipina akan langsung mencari pekerjaan lain di luar negeri jika kontrak awal mereka sudah habis. "Tidak ada pekerjaan untuk mereka di rumah," kata Rimas.

Marvin Rimas, sekretaris jenderal lembaga advokasi Migrante Filipina. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

Begitu pula di Indonesia. Sebanyak 4,8 juta WNI yang bekerja di luar negeri berasal dari daerah-daerah miskin dengan keterbatasan lapangan kerja. Tapi tidak seperti Filipina, pemerintah Indonesia tidak secara aktif mendorong emigrasi.

"Sektor-sektor swasta-lah yang berperan besar dalam mengirim pekerja ke luar negeri," kata Wahyu Susilo, direktur eksekutif lembaga Migrant Care kepada CNA.

Pemerintah, kata Wahyu, lebih berperan sebagai pengawas dan pembuat regulasi bagi 443 perusahaan penempatan tenaga kerja resmi yang terdaftar di Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI).

Perusahaan-perusahaan ini seringkali mempekerjakan makelar yang keluar masuk kampung untuk mencari orang yang tertarik bekerja di luar negeri menjadi PMI (pekerja migran Indonesia).

Salah satu makelar, Sutarno, mengaku awalnya kesulitan mencari calon pekerja ketika mulai menekuni bidang ini pada 1998. Ketika itu sedang terjadi Krisis Keuangan Asia.

"Karena nilai tukar rupiah sangat lemah, banyak negara yang melirik Indonesia untuk mencari pekerja yang bisa digaji murah," kata pria 69 tahun ini kepada CNA.

Ketika krisis keuangan '98, banyak warga Indonesia yang kehilangan pekerjaan. Tapi meski demikian, tidak banyak orang yang tertarik jadi PMI karena pekerjaan yang ditawarkan saat itu kebanyakan repetitif dan melelahkan, seperti menanam benih kelapa sawit dan pekerja bangunan.

Sutarno hanya mampu merekrut 10 orang dari desanya sendiri, Kuniran, yang terletak di daerah perbukitan Jawa Timur. Tapi ketika gelombang pertama pekerja itu mengirimkan uang ke rumah, langsung banyak orang yang tertarik menjadi PMI.

"Dalam waktu hanya dua bulan, para pekerja migran ini mampu mengumpulkan uang untuk membeli motor merek terbaru. Saat itu di desa ini, bahkan pemilik perkebunan yang sukses sekalipun, tidak mampu membelinya dalam waktu singkat," kata dia.

"Tiba-tiba, semua orang mau jadi pekerja migran."

Sutarno, 69, dari desa Kuniran, Jawa Timur, berkeliling ke kampung-kampung untuk mencari orang-orang yang bersedia menjadi pekerja migran. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

DESA-DESA PMI

Saat ini di desa Kuniran, hampir setiap rumah memiliki setidaknya satu anggota keluarga yang menjadi PMI atau punya pengalaman jadi pekerja migran.

Rumah-rumah para PMI ini mudah dikenali. Warga desa yang belum pernah jadi PMI biasanya tinggal di rumah tradisional berdinding kayu atau bambu.

Sementara mereka yang pernah bekerja di luar negeri punya cukup uang untuk membangun rumah dari batu bata atau beton. Sebelumnya di Kuniran, rumah seperti ini hanya bisa dimiliki mereka yang berpendidikan tinggi lalu kerja di pemerintahan.

Kuniran bukan satu-satunya. Di seluruh Indonesia, ada banyak "desa-desa PMI" yang sebagian besar warganya bekerja di luar negeri. Jika digabungkan, data Bank Dunia menunjukkan, para PMI ini tahun lalu mengirimkan uang lebih dari US$11 miliar ke rumah mereka.    

Salah satu penanda desa-desa PMI adalah banyaknya anak-anak yang diurus oleh kakek-nenek atau kerabat, bukan orangtua mereka. Meski sepanjang tahun desa semacam ini sepi dan kosong, namun bisa mendadak ramai pada hari-hari besar seperti Idul Fitri.

Banyak para pemuda dari desa-desa ini tertarik bekerja di luar negeri karena gajinya yang menggiurkan, bisa dua hingga tiga kali lipat upah minimum rata-rata Indonesia, yaitu sekitar Rp3 juta. 

Banyak peminat juga membuat para penipu bermunculan, ingin memanfaatkan anak-anak muda lugu yang tidak pernah keluar dari desanya, apalagi keluar negeri.

Wahyu Susilo dari Migrant Care mencontohkan satu kasus di mana makelar menarik uang hingga Rp3 juta rupiah kepada para calon PMI untuk mengurus paspor. Jumlah itu tiga kali lipat dari harga sebenarnya.

Ada juga kasus-kasus ketika para pekerja berakhir bekerja di negara bukan tujuan mereka. Para PMI ini bekerja secara ilegal karena belum mendapatkan izin untuk bekerja di negara tujuan awal.

"Para pekerja ini belum pernah melihat bentuk paspor sebelumnya, apalagi visa pekerja. Mereka baru tahu telah bekerja dengan visa turis atau visa kunjungan sementara ketika sudah tertangkap," kata Wahyu. 

Wahyu Susilo, direktur lembaga Migrant Care di Jakarta. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

Seorang warga Kuniran, Suparni, mengaku sedari muda sudah tahu ada banyak penipu di industri ini. Tapi hal itu tidak menghentikannya untuk menjadi PMI seperti kakaknya.

"(Kakak) pulang setiap dua tahun sekali atau lebih dengan pakaian yang bagus. Dia akan membawakan saya t-shirt, kosmetik dan coklat. Dia akan mengajak ayah saya ke toko elektronik, membeli televisi atau kulkas baru," ujar warga Kuniran berusia 40 tahun ini kepada CNA.

"Saya lalu berpikir, 'Saya juga ingin seperti itu, bekerja di luar negeri'."

Selepas lulus SMA, Suparni sempat bekerja sebentar di pabrik. Tapi dia tetap ingin menjadi PMI, lalu kesempatan itu akhirnya datang pada 2006.

Pekerjaan pertamanya di luar negeri adalah sebagai pekerja pabrik di Malaysia selama dua tahun. Di tahun ketiga, dia ganti profesi sebagai staf pembersih di sebuah hotel di negara yang sama. Suparni kemudian menjadi pekerja rumah tangga di Singapura.

Setelah bekerja lima tahun di luar negeri, Suparni ingin tinggal menetap di Indonesia. Dia pulang pada 2011, menikah setahun kemudian dan melahirkan putri pada 2014.

Tapi hidup di Kuniran tidak mudah, pekerjaannya sangat sedikit. Suaminya, Kusno, yang juga mantan pekerja migran, hanya berpenghasilan sekitar Rp100 ribu per hari sebagai tukang bangunan.

Sementara itu, Suparni hanya bisa bekerja sebagai pedagang sayuran di pasar dengan penghasilan rata-rata Rp50.000 per hari.

"Pengeluaran kami lebih besar dari penghasilan. Utang kami mulai menumpuk," kata dia.

Pada 2017, akhirnya Suparni mengambil keputusan sulit dengan menjadi PMI di Singapura untuk kedua kalinya. Dia meninggalkan putrinya, Noni, yang kala itu masih berusia 2,5 tahun untuk diasuh suaminya.

RISIKO YANG HARUS DITANGGUNG

Noni hampir tidak mengenalinya ketika Suparni pulang setiap beberapa tahun sekali. Putrinya lebih dekat kepada ayahnya dan kakek-neneknya, hampir tidak memedulikan Suparni.

Sampai saat ini, Suparni yang sekarang bekerja di Taiwan sebagai pekerja rumah tangga, masih berusaha mengambil hati putrinya yang kini berusia 10 tahun.

Noni terkadang enggan berbicara kepada ibunya setiap kali Suparni menelepon. Bahkan ketika Noni akhirnya mau berbicara, dia hanya menjawab dengan pendek dan dingin.

"Saya merasa seperti orang asing bagi dia. Saya ingin dekat dengannya, tapi tidak tahu bagaimana," kata Suparni.

Kusno, 40, harus berperan sebagai ayah sekaligus ibu bagi putrinya yang berusia 10 tahun, Noni, setelah istrinya, Suparni, memutuskan untuk menjadi pekerja rumah tangga di luar negeri. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

Kasus-kasus seperti ini banyak ditemui, kata Anis Hidayah, komisaris di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Berpengalaman lama sebagai advokat bagi pekerja migran, Anis tahu betul apa risiko dari bekerja di luar negeri bagi keluarga yang ditinggalkan.

Menurut Anis, tanpa struktur keluarga yang normal, serta cinta dan perhatian yang diberikan oleh orangtua, anak-anak biasanya akan berperilaku buruk, prestasi menurun di sekolah atau terlibat masalah.

"Ada banyak dampak sosial yang muncul dari migrasi, yang saya kira belum termitigasi dengan baik oleh pemerintah," kata Anis kepada CNA.

Anak-anak di Filipina juga mengalami masalah yang sama, kata Rimas dari lembaga Migrante Philippines.

"Anak-anak (pekerja migran) itu, mereka tidak memiliki bimbingan orangtua, terutama dari sang ibu. Ibu mereka bekerja di luar negeri dan anak-anak itu mengalami Kecemasan akan perpisahan (separation anxiety). Mereka mengalami depresi. Lalu mereka mencari sesuatu untuk mengobati atau meringankan depresi itu," kata dia.

Rimas mengatakan lembaganya mencatatkan banyak kasus anak-anak pekerja migran yang terlibat narkoba atau berkelahi di sekolah karena kurangnya pengawasan dan pendisiplinan dari kedua orangtua.

Orangtua bekerja di luar negeri dengan harapan dapat mewujudkan masa lebih baik bagi anak-anak mereka. Ironisnya, adalah hal lumrah bagi anak-anak pekerja migran ini yang putus sekolah akibat kenakalan atau perilaku buruk.

Maryjane Yago, 19, mengatakan bahwa kakak perempuannya sering merundungnya. Perundungan itu semakin parah ketika ibu mereka pergi untuk bekerja sebagai pekerja rumah tanggal di Arab Saudi pada 2020.

Akibatnya, Yago merasa lebih betah tinggal di rumah teman-temannya. "Saya cuma tinggal di rumah sendiri mungkin dua atau tiga kali seminggu," kata dia.

Ketika pergi dari rumah itulah, Yaho hamil di usianya yang baru 17 tahun. Kehamilan ini membuatnya tidak menyelesaikan SMA.

Dia melahirkan bayi perempuan, beberapa bulan sebelum ibunya pulang ke Filipina pada 2023. 

"Awalnya saya terkejut, tapi akhirnya saya memaafkan dia atas apa yang terjadi," kata ibunda Yago, Gemma Yago, 47, kepada CNA. "Ada penyesalan karena bekerja di luar negeri. Jika saya tidak pergi, saya mungkin bisa mengurus anak-anak dengan lebih baik."

Mdm Gemma Yago, 47, posing in front of her home made out of bamboo and tarpaulin in San Isidro, Rodriguez municipality, Rizal province, the Philippines. (Photo: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

Seperti halnya Gemma Yago, Fabiano juga mengaku menyesal pergi ke luar negeri.

Kecewa karena ditinggalkan ibunya, anak-anak Fabiano memiliki nilai akademis yang sangat buruk, membuat empat dari mereka keluar dari SMA. Anaknya yang terkecil baru kelas sembilan, dan Fabiano bertekad agar putrinya ini tidak mengikuti jejak kakak-kakaknya.

"Ketika saya menjadi pekerja migran, mimpi saya adalah agar mereka (anak-anak) bisa menyelesaikan sekolah. Tapi saya sadar sekarang, bekerja di luar negeri bukanlah jawabannya," kata dia.

"Meski hidup susah di Filipina, tapi setidaknya saya bisa berada bersama anak-anak dan keluarga."

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini.

Source: CNA/da

Juga layak dibaca

Iklan

Iklan