Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.

Iklan

Asia

Kewajiban papan nama berbahasa Melayu picu polemik di Malaysia

Dewan Kota Kuala Lumpur menertibkan papan nama tempat usaha yang tidak menggunakan bahasa Melayu. Meski membantah kebijakan ini tidak mengincar tempat usaha warga Tionghoa, namun langkah ini telah memicu polemik.  

Kewajiban papan nama berbahasa Melayu picu polemik di Malaysia

“Mini Dhaka” di Kuala Lumpur pada 25 November 2024. Pemerintahan Kuala Lumpur menertibkan papan nama yang tidak menggunakan bahasa bahasa Melayu. (Foto: CNA/Fadza Ishak)

KUALA LUMPUR: Di daerah yang dikenal sebagai "Mini Dhaka" di jantung kota Kuala Lumpur, Malaysia, dulunya dipenuhi oleh papan-papan nama tempat usaha bertuliskan bahasa Bengali, Myanmar atau Nepal, tertempel di tiang-tiang atau dinding bangunan.

Namun setelah Dewan Bandaraya Kuala Lumpur (DBKL) melakukan razia dalam beberapa pekan terakhir, papan-papan nama tersebut telah diubah atau dicopot.

Mini Dhaka memang menjadi salah satu daerah target DBKL dalam menegakkan peraturan terkait kewajiban penggunaan bahasa Melayu dalam papan nama tempat usaha.

Namun, langkah tersebut menuai polemik dan kontroversi di Malaysia lantaran yang diposting DBKL di Facebook bulan lalu hanya razia papan nama bahasa Mandarin di restoran-restoran China. Netizen beranggapan razia itu bermotifkan politik.

Polemik semakin memanas setelah mantan perdana menteri Malaysia Mahathir Mohamad berkomentar dalam postingan Facebook pada 18 November lalu. Ketika itu, dia mengatakan merasa seperti sedang di China ketika berada di salah satu kompleks perbelanjaan di Kuala Lumpur.

"Semua papan namanya berbahasa Mandarin dengan terjemahan Inggris. Tidak ada yang bahasa Melayu. Sama sekali. Jadi apakah ini di Malaysia. Atau kita sudah jadi bagian dari China," kata Mahathir.

Sebuah restoran Bangladesh dengan papan nama yang ditulis tangan di pintu masuknya di Kuala Lumpur pada 25 November 2024. (Foto: CNA/Fadza Ishak)

Namun anggota dewan penasihat DBKL, Lai Chen Heng, mengatakan kepada CNA bahwa ada kesalahpahaman yang terjadi.

Dia mengatakan, tindakan tegas tidak hanya diambil untuk tempat usaha milik warga China, tetapi juga terhadap tempat-tempat usaha Korea, Bangladesh, dan Arab yang tidak menggunakan bahasa Melayu di papan nama mereka.

"Hukum tetaplah hukum. Dan bahasa nasional itu penting, sehingga harus didahulukan," kata dia.

Dalam pernyataannya pada 25 November, DBKL mengatakan bahwa penegakan hukum ini sesuai dengan peran Melayu sebagai bahasa nasional Malaysia dan selaras dengan Undang-undang Pemerintahan Lokal.

Selain menggunakan bahasa Melayu, di bawah peraturan itu pemilik usaha juga harus mengajukan izin untuk papan nama yang akan dipajang dan harus lolos verifikasi Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia (DBP).

"Semua reklame harus menggunakan bahasa nasional, dan bisa juga disandingkan dengan bahasa lain. Namun penulisan dalam bahasa nasional jadi prioritas dan aksaranya harus lebih besar dibanding bahasa lain," ujar DBKL.

Namun DBKL menjelaskan bahwa aturan ini tidak berlaku untuk nama perusahaan atau asosiasi yang nama mereknya memang menggunakan bahasa asing. Misalnya McDonald's dan Kentucky Fried Chicken (KFC), tidak perlu menerjemahkan namanya menjadi bahasa Melayu.

BERGULIR JADI SENTIMEN RASIALIS

Kontroversi papan nama berbahasa Melayu ini kemudian terus bergulir karena dianggap rasialis terhadap etnis China. 

Menteri Pariwisata Malaysia Tiong King Sing menyebut tindakan DBKL ekstrem, karena bisa membuat para turis jadi mempertanyakan soal keterbukaan dan inklusivitas Malaysia.

"Banyak pengunjung asing yang bertanya kepada saya, apakah Malaysia adalah negara rasis atau ekstrem," kata dia dalam postingan di Facebook pada 24 November lalu.

Beberapa papan nama restoran beraksara Mandarin di Jalan Imbi, Kuala Lumpur, 25 November 2024. (Foto: CNA/Fadza Ishak)

Tiong mengatakan, razia papan nama tersebut bisa berdampak buruk bagi pariwisata di Malaysia, terutama bagi turis asal China.

The Star melaporkan bahwa dalam delapan bulan pertama tahun ini, Malaysia kedatangan 2,29 juta turis asal China, meningkat 160 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Pengamat politik Dr Syaza Shukri dari International Islamic University Malaysia (IIUM) mengatakan kepada CNA bahwa isu ini memanas karena media hanya menyoroti razia papan nama tempat usaha berbahasa Mandarin di Kuala Lumpur. Padahal razia itu juga mengincar papan nama berbahasa lainnya.

"Ditambah komentar Mahathir soal mal-mal di KL, maka ini menjadi isu politik," kata dia.

"Fokusnya adalah bahasa Mandarin karena orang Melayu khawatir akan terjadi China-isasi di Malaysia karena kedigdayaan ekonomi China dibandingkan dengan negara lain. Ketakutan ini perkuat dengan pengumuman bahwa China akan mengadakan peringatan Tahun Baru Imlek di Malaysia," kata Syaza.

Pada 25 November lalu, Tiong mengumumkan bahwa China telah memilih Malaysia sebagai negara tempat perayaan Imlek pertama di luar negeri pada Januari 2025 mendatang.

Menurut Syaza, pemerintah harus melakukan lebih banyak demi mencegah sentimen rasialis ini semakin berkembang di Malaysia dan mencegah perang budaya semakin buruk.

"Komunitas Tionghoa merasa mereka diincar. Sementara orang Melayu merasa penolakan (bahasa Melayu) oleh orang Tionghoa adalah bentuk 'ketidaksetiaan', dan situasi ini bisa dengan mudah memburuk. Pemerintah harus turun tangan," kata Syaza.

Pada 29 November lalu, Menteri Wilayah Federal Malaysia Zaliha Mustafa mengeluarkan seruan agar semua pihak, termasuk politisi, untuk berhenti membuat situasi menjadi semakin panas.

"Kita punya banyak agenda penting yang butuh perhatian, dan memainkan sentimen rasial seperti ini hanya akan memicu perpecahan dan polarisasi masyarakat," kata dia, seperti dikutip dari Free Malaysia Today.

Zaliha mengatakan bahwa DBKL telah mengeluarkan 264 surat peringatan dan telah menindak tegas 26 tempat usaha atas pelanggaran aturan papan nama tahun ini, dan bukan hanya yang milik warga Tionghoa.

Beda kota, beda pula aturannya di Malaysia. Di negara bagian Pahang, penggunaan bahasa Jawi atau tulisan Arab Melayu diwajibkan di papan nama usaha, rambu lalu lintas, nama kantor, institusi pemerintah dan lembaga pendidikan. 

Pada 2020, Pahang melakukan razia dan mengganjar denda hingga RM250 (Rp890 ribu) dan mencabut izin usaha bagi yang melanggar.

Sebuah restoran China di Jalan Imbi, Kuala Lumpur memasang papan nama baru berbahasa Melayu di atas bangunan mereka. Foto diambil pada 25 November 2024. (Foto: CNA/Fadza Ishak)

'KAMI SALAH DAN TELAH MEMPERBAIKINYA'

Denda yang lebih besar dijatuhkan terhadap pemilik usaha di Kuala Lumpur oleh DBKL. 

Seorang pemilik usaha di Mini Dhaka bernama Raja mengaku dijatuhi denda RM2000 (Rp7 juta) karena menggunakan bahasa Inggris di papan nama. Dia juga diminta mendaftarkan nama tempat usahanya dulu.

"Tidak pernah ada masalah sejak saya membuka toko ini empat tahun lalu. Saya tidak tahu kenapa saya tiba-tiba dipanggil dan harus mengganti papan nama," kata dia.

Di Jalan Imbi, setidaknya tiga restoran masakan China yang diposting oleh DBKL telah mengganti papan nama mereka. Sekarang, selain bahasa Inggris dan Mandarin, ada bahasa Melayu di papan nama tersebut.

Pelanggan dari ketiga restoran itu kebanyakan adalah turis asal China atau warga Tionghoa Malaysia.

Seorang manajer restoran di Jalan Imbi mengakui bahwa mereka tidak mematuhi peraturan berbahasa yang diterapkan oleh DBKL.

"Kami salah dan telah memperbaikinya. Tidak ada masalah lagi sekarang," kata dia yang tidak ingin disebut namanya. Menurut dia, meski mengundang kontroversi namun kisruh papan nama itu tidak akan sampai membuat para pelanggan jera makan di restorannya.

Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. ​​​​​

Source: CNA/da

Juga layak dibaca

Iklan

Iklan