Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.
Iklan

Asia

Survei: Ketimbang China, ASEAN kini lebih condong ke AS. Apa alasannya?

Survei oleh lembaga pemikir ISEAS menunjukkan bahwa AS kembali jadi mitra pilihan Asia Tenggara, setelah pada 2024 terkalahkan oleh China.

Survei: Ketimbang China, ASEAN kini lebih condong ke AS. Apa alasannya?

Bendera China dan AS dalam ilustrasi Reuters. (Foto: Reuters/Dado Ruvic/Ilustrasi)

SINGAPURA: Lebih dari 2.023 responden dari 11 negara Asia Tenggara lebih berpihak kepada Amerika Serikat ketimbang China "jika dipaksa harus memilih satu dari dua mitra strategis". Hal ini terungkap dalam hasil survei lembaga pemikir ISEAS-Yusof Ishak Institute (ISEAS), Singapura, yang dirilis pekan lalu.

Dalam laporan Negara Asia Tenggara 2025 tersebut, ISEAS menggelar survei antara 3 Januari hingga 15 Februari mengenai persepsi regional terkait isu strategis dan pengaruh kekuatan-kekuatan besar.

Ketika diminta memilih antara AS dan China, sebanyak 52,3 persen responden memilih AS, sementara 47,7 persen memihak China.

Laporan ISEAS juga menunjukkan lebih dari setengah responden berharap ASEAN dapat meningkatkan "ketahanan dan persatuan dalam menghadapi tekanan dari dua kekuatan global" tersebut.

“Margin yang tipis ini menunjukkan upaya ASEAN yang penuh kehati-hatian dalam menjaga keseimbangan antara dua kekuatan besar, karena ketergantungan ekonomi dengan China bersaing dengan pertimbangan keamanan dan hubungan historis yang lebih nyaman dengan AS,” ujar laporan tersebut.

Survei terbaru ini kembali menempatkan AS sebagai mitra pilihan Asia Tenggara dibanding China. Selama empat tahun berturut-turut sebelumnya, China selalu lebih unggul dalam survei ini ketimbang AS.

Tahun ini, ISEAS melakukan survei terhadap 2.023 orang di 10 negara anggota ASEAN, dan untuk pertama kalinya menyertakan Timor-Leste yang diperkirakan akan jadi anggota ASEAN pada 2025.

Para responden adalah peneliti, perwakilan media, anggota lembaga swadaya masyarakat (LSM), pegawai pemerintah daerah, perwakilan sektor swasta dan masyarakat sipil.

Keberpihakan terhadap AS paling kuat ditunjukkan oleh responden dari Vietnam dan Filipina, dua negara ASEAN yang terlibat sengketa Laut China Selatan dengan pemerintah Beijing. Selain itu, kedua negara ini juga meningkatkan kerja sama keamanan dengan AS, kata ISEAS.

Sementara keberpihakan terhadap China ditunjukkan oleh responden dari Indonesia, Malaysia, Thailand, Brunei dan Laos, negara-negara yang memiliki hubungan ekonomi mendalam dan kebergantungan perdagangan dengan China sekaligus tidak puas dengan kebijakan AS, terutama setelah Donald Trump menjadi presiden.

CHINA MASIH DIANGGAP PALING BERPENGARUH

Meski AS memimpin dalam survei tersebut, namun ISEAS melihat China masih merupakan kekuatan ekonomi dan politik-strategis paling berpengaruh di Asia Tenggara.

"China masih merupakan pilihan utama para responden di ASEAN, kecuali Filipina yang masih memandang AS sebagai kekuatan politik dan strategis paling berpengaruh," ujar laporan ISEAS.

China juga merupakan kekuatan ekonomi yang paling berpengaruh berdasarkan survei, mendapatkan 56,4 persen di antara para responden Thailand, Malaysia, dan Singapura.

"Posisi China ini menunjukkan hubungan ekonomi yang mendalam dengan negara-negara di kawasan, terutama melalui perdagangan dan investasi infrastruktur di bawah Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI)," tutur laporan ISEAS.

Meski demikian, mayoritas responden dari tujuh dari 10 negara ASEAN mengaku khawatir akan meningkatnya pengaruh politik dan strategis China.

"Hal ini sangat dirasakan oleh Thailand, Vietnam dan Filipina. Sementara itu, Kamboja, Brunei, dan Malaysia adalah negara yang paling menerima pengaruh ekonomi Tiongkok."

Pemandangan udara menunjukkan Pulau Thitu yang diduduki Filipina, yang secara lokal dikenal sebagai Pag-asa, bagian dari Kepulauan Spratly di Laut China Selatan, 9 Maret 2023. (Foto: Reuters/Eloisa Lopez)

Namun dalam soal kepatuhan terhadap hukum internasional, AS dianggap lebih unggul, terutama oleh responden dari Kamboja, Vietnam dan Filipina.

"Meskipun ada kekhawatiran atas pendekatan transaksional Presiden Trump dan penarikan diri AS dari organisasi-organisasi internasional, para responden ASEAN masih melihat AS sebagai pembela utama tata kelola global," kata laporan itu.

MASALAH KEPERCAYAAN?

ISEAS mengatakan, responden masih terbelah soal rasa percaya mereka terhadap China sebagai negara adidaya, terutama dari Vietnam dan Filipina yang terlihat sengketa wilayah perairan.

Sementara responden Thailand dan Myanmar, dua negara yang ekonominya sangat bergantung pada pariwisata dan perdagangan dari China, mengeluhkan campur tangan Beijing pada masalah dalam negeri mereka.

Namun ada juga responden dari ASEAN yang percaya kepada China, terutama karena sumber daya ekonomi Beijing yang berlimpah dan kemauan politik mereka untuk menjadi pemimpin global.

Kepercayaan terhadap AS secara keseluruhan tetap kuat dan bahkan meningkat, kata ISEAS - naik menjadi 47,2 persen dari 42,4 persen tahun lalu. Ketidakpercayaan terhadap AS juga menurun meskipun Trump dengan kebijakan "America First"-nya banyak menuai kekhawatiran.

Peningkatan paling tajam datang dari responden di Laos, di mana kepercayaan terhadap Washington melonjak lebih dari 30 poin persentase.

MASA DEPAN ASEAN

Lebih dari separuh responden ASEAN memperkirakan hubungan dengan China akan membaik dalam tiga tahun mendatang, dengan prioritas utama mencakup penyelesaian damai atas sengketa wilayah dan maritim serta penghormatan terhadap kedaulatan nasional.

Peningkatan perdagangan bilateral juga tetap menjadi perhatian utama, begitu pula dengan pendalaman pemahaman bersama melalui hubungan antar masyarakat, tambah laporan ISEAS.

Serupa dengan temuan tahun 2024, para responden tetap optimistis terhadap arah hubungan dengan China dalam tiga tahun ke depan—dengan 50,3 persen responden meyakini hubungan tersebut akan membaik.

Optimisme paling tinggi tercatat di Laos (68,9 persen), diikuti Indonesia (67,8 persen) dan Malaysia (63,8 persen), negara-negara dengan pertumbuhan proyek infrastruktur dan ekonomi yang disokong China.

Responden juga secara umum bersikap positif terhadap hubungan dengan AS, bahkan di bawah kepemimpinan Trump, dengan 46 persen memperkirakan hubungan akan membaik. Optimisme ini sangat tinggi di Vietnam, Laos, dan Kamboja.

Kepercayaan negara termuda di Asia, Timor-Leste, terhadap China juga menonjol, dengan hampir 70 persen responden memperkirakan hubungan dengan China akan membaik—sebuah tanda peran China yang semakin besar sebagai mitra pembangunan di kawasan.

Michael Green, kepala eksekutif Pusat Studi Amerika Serikat di Australia, mengatakan survei itu menunjukkan bahwa tidak ada satu pun kekuatan besar yang mendominasi di Asia Tenggara. Hal ini, kata dia, adalah bukti kesuksesan diplomasi ASEAN.

Profesor Liu Lin, dari Sekolah Partai Komite Sentral Partai Komunis China, mengatakan bahwa survei ini menunjukkan sikap positif para responden terhadap hubungan China-ASEAN.

ASEAN sedang "melakukan lindung nilai antara Tiongkok dan AS", ujarnya. "China tidak akan memaksa ASEAN untuk memilih pihak. Apa yang kami lakukan hanyalah memperkuat kerja sama dengan ASEAN guna mengembangkan hubungan bilateral kami lebih lanjut dan berkontribusi pada kawasan serta pembangunan."

Source: CNA/da

Juga layak dibaca

Iklan
Iklan