Ketika Kiribati membeli lahan di Fiji dan andalkan tanggul laut untuk hadapi ancaman tenggelam
Seiring naiknya permukaan air laut, negara Pasifik kecil ini harus bergelut dengan dilema: Pindah ke Fiji atau mencari dana bantuan. Dalam tulisan ketiga dari tiga seri kisah negara Pasifik yang berjuang melawan perubahan iklim, CNA menelusuri perjuangan Kiribati dan pelajaran yang bisa dipetik.
TARAWA, Kiribati: Ada sebuah julukan yang sejak lama disematkan untuk negara Pasifik Kiribati, sebuah nama yang memiliki falsafah mendalam tentang dunia.
Selama beberapa generasi, para pelaut yang telah mengarungi luasnya samudera menyebut tanah air mereka ini sebagai Tungaru.
Pelenise Alofa, aktivis iklim kawakan di Kiribati, menjelaskan bahwa tunga adalah sebutan untuk sumbat pada lubang di perahu yang berfungsi mengeluarkan air.
"Kami adalah tunga-nya dunia. Kami melakukan sumbatan di sini, menahan air agar tidak masuk ke perahu. Begitu tunga dicabut, atau tidak ada lagi di tempatnya, air langsung masuk dan perahu tenggelam. Jadi itu kiasannya," kata Alofa.
Itu adalah kisah dan kepercayaan yang diturunkan hingga ke masyarakat modern i-Kiribati - sebutan untuk penduduk Kiribati. Menolak dianggap negara nun jauh di ujung dunia, i-Kiribati merasa wilayah mereka penting bagi kisah perubahan iklim.
"Nama itu menunjukkan pentingnya Kiribati di dunia tempat kita berada saat ini. Kami ada tepat di tengahnya. Dan kami yang menjaga dunia ini tetap mengapung dan tidak tenggelam. Jadi menjaga Kiribati tetap berada di tempatnya sangat penting bagi kami," kata Alofa.
Secara geografis negara ini sangat unik karena terdiri dari 32 atol - pulau karang berbentuk lingkaran - yang tersebar di lautan seluas 3,4 juta km persegi. Dari luas keseluruhannya, daratannya hanya 811km persegi. Kiribati adalah satu-satunya negara yang berada di keempat hemisfer dan menjadi yang pertama di Bumi melihat matahari terbit.
Sebagian besar daratannya juga hampir setara dengan tinggi permukaan air laut, menjadikan negara ini salah satu yang paling rentan hilang ditenggelamkan gelombang.
Selain kenangan dan cerita rakyat, saat ini keberlangsungan Kiribati dalam ketidakjelasan. Negara ini terjebak dalam pergumulan geopolitik dalam memperebutkan pengaruh dan pendanaan iklim. Kiribati juga tengah menjalankan skema ambisius untuk mengamankan masa depan mereka, seperti membeli lahan yang sangat luas di negara tetangganya, Fiji.
Di pulau utama Tarawa Selatan, beberapa penduduknya menjadikan kondisi iklim yang genting ini sebagai lelucon. Sebuah papan bertuliskan "Selamat datang ke Desa Eita, titik tertinggi di Tarawa Selatan" dipasang tepat di sebelah laut. Ketinggian daratan di sini hanya tiga meter. Tarawa Selatan diapit oleh laguna dengan air yang biru jernih, sering salah dikira sebagai Maladewa. Sementara di sisi lainnya adalah Samudera Pasifik.
Hidup dikelilingi air memang telah menjadi bagian dari kehidupan i-Kiribati. Namun karena pemanasan global, kondisi ini akan membawa mereka kepada malapetaka.
Permukaan air laut naik lebih cepat di Kiribati ketimbang rata-rata global. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti lokasinya di Samudera Pasifik dan pola sirkulasi arus laut. Di beberapa pulaunya, permukaan air laut bahkan naik empat kali lebih cepat dibanding tempat lain di seluruh dunia.
Hal ini menyebabkan erosi pantai yang parah, banjir setiap kali badai, merusak sumber air tawar dan mempersempit ketersediaan lahan tinggal.
Situasinya kian mengkhawatirkan, sampai-sampai pemerintahan Kiribati membeli lahan yang luar biasa luas di negara tetangga sebagai pondasi awal rencana perpindahan seluruh penduduknya.
Namun kepemimpinan Kiribati yang sekarang melakukan perubahan strategi besar-besaran. Daripada meninggalkan negara melalui kebijakan "migrasi yang bermartabat", pemerintahnya lebih memilih berupaya melindungi dan menata ulang lahan. Hal ini membuat para penduduknya menghadapi dilema akan masa depan yang tidak jelas.
MEMILIH KAWAN BERKANTONG TEBAL
Pada 2014, presiden Kiribati saat itu, Anote Tong, mengumumkan bahwa pemerintah akan membeli Natoavatu di Fiji, sebuah lahan hutan pesisir seluas 2.220 hektare yang belum dikembangkan.
"Tidak peduli seberapa ambisiusnya rencana ini - tapi bagi kita yang tinggal di kepulauan atol yang rendah, ini sudah terlambat," kata Tong dalam pidatonya ketika itu. Keputusan ini adalah aspek penting dari wacana "migrasi yang bermartabat".
"Kami tidak punya banyak pilihan. Ada kalanya ketika kami hampir kehilangan harapan. Ada batasan seberapa kali Anda menceritakan sebuah cerita yang tidak didengarkan orang. Kami tidak bisa diam saja," kata Tong.
Lahan yang dibeli Kiribati di Fiji bak kepingan surga. Di dalamnya terdapat aliran sungai air tawar yang berkelok, dirimbuni pepohonan kelapa di pantai yang lautnya berair dangkal.
Bagi Alofa, yang juga pendiri Jaringan Aksi Iklim Kiribati (KiriCAN), pembelian lahan itu adalah sebuah strategi yang visioner tanpa ada kerugiannya.
"Saya menyukainya. Karena lahan adalah aset. Tanah di Fiji itu tidak akan hilang dalam semalam, akan ada di sana selamanya. Kita seharusnya tidak berinvestasi pada properti saja, tapi aset tetap lainnya juga," kata dia.
Namun, Fiji tidak kebal dari kondisi yang juga mengancam Kiribati. Saat ini pemerintah Fiji juga tengah dalam proses peninjauan dan pemindahan beberapa desa di pulau Venua Levu karena ancaman perubahan iklim.
Satu dekade berselang, pemerintah Kiribati masih belum memanfaatkan lahan yang dibeli mereka seharga 8,77 juta dolar AS itu. Rencana awalnya adalah menggunakan lahan tersebut untuk bercocok tanam, tapi itu tidak terealisasi. Tong juga tidak lagi menjabat presiden setelah kalah dalam pemilu 2016 dan digantikan oleh Taneti Maamau.
Kepemimpinan Kiribati yang baru melakukan perubahan arah kebijakan, mengambil pendekatan yang berbeda dari migrasi yang bermartabat ke Fiji. Maamau menjanjikan membangun negara yang lebih tangguh dan terdiversifikasi secara ekonomi.
Pemerintah Maamau menolak gagasan untuk menjadi pengungsi iklim di lahan asing dan ingin rakyat Kiribati tetap berada di tanah air mereka sendiri. Kini, Kiribati berupaya membentengi diri untuk selamat dari perubahan iklim.
"Pemerintah telah memutuskan untuk mengesampingkan skenario yang menyesatkan dan pesimistis soal negara yang tenggelam, dan menggantinya dengan skenario yang berani," tegas Maamau kepada para pemimpin dunia jelang pembicaraan iklim global COP23 di Jerman pada 2017.
Lalu pada 2020, Maamau mengatakan perlu dana miliaran dolar untuk mewujudkan rencana ambisius mereka dalam meninggikan dataran Kiribati dan mereklamasi laguna di pulau Tarawa. Jalan layang di atas laut juga jadi opsi memperluas lahan pakai di negara itu.Â
Dalam wawancara dengan The Guardian ketika itu, Maamau mengatakan pencarian dana tidak akan sampai mengorbankan kemerdekaan Kiribati atau membuat negara terjerat utang yang terbayarkan. Namun, mengingat sumber daya negara yang terbatas, keputusan ini memaksa Kiribati terjun ke dalam pusaran geopolitik.
Perubahan kepemimpinan di Kiribati berarti juga perubahan dukungan politik. Sebelumnya di kancah global, Kiribati adalah salah satu dari sedikit negara yang mengakui kedaulatan Taiwan. Namun pada 2019 mereka memutuskan hubungan dengan Taiwan, demi membangun mempererat hubungan dengan China.
Dua tahun setelah menjalin hubungan dengan China, pemerintah Beijing memberikan bantuan dana sebesar 161 juta dolar AS kepada Kiribati, berdasarkan temuan lembaga riset internasional AidData. Dana itu di antaranya digunakan untuk berbagai proyek mendukung ketahanan iklim, termasuk di sektor transportasi dan infrastruktur perikanan.
Anggota parlemen oposisi ketika itu melayangkan kritik, menyebutnya sebagai "diplomasi buku cek".
Pada 2021, Kiribati membuka kawasan perlindungan laut di Kepulauan Phoenix untuk kapal-kapal penangkap ikan komersial berbendera China.
Negara-negara yang membutuhkan pendanaan untuk infrastruktur, pemulihan pascabencana dan pinjaman memang dihadapkan oleh kegamangan semacam ini, tidak terkecuali Kiribati.
"Di negara-negara yang rentan perubahan iklim seperti Kiribati dan Kepulauan Solomon yang belakangan beralih mengakui China, dana bantuan dari China telah meningkat jumlahnya dengan cepat," kata Dr Meg Keen, direktur Program Kepulauan Pasifik di Lowy Institute.
"Negara-negara Pasifik telah menegaskan bahwa mereka akan melindungi hubungan geopolitik dengan menjadi 'teman untuk semua'. Ketika menyangkut keberlangsungan hidup dan kebutuhan pendanaan iklim yang mendesak, mereka akan bersahabat dengan negara yang paling bisa membantu," kata dia.
Keen menjelaskan bahwa perseteruan geopolitik di sektor infrastruktur dan investasi terkait iklim tidak pernah seintens dan sekompetitif ini sebelumnya. "China sangat aktif dalam ruang infrastruktur dan adaptasi iklim. China memenangi banyak proyek pendanaan infrastruktur multi-lateral di kawasan ini dibanding negara-negara lain."
Menurut data Lowy Institute, pengeluaran China untuk investasi infrastruktur di Pasifik adalah yang terbesar di antara pemerintah dan bank-bank di seluruh dunia - kecuali Bank Pembangunan Asia.Â
Memang hanya sedikit porsi untuk masalah perubahan iklim pada investasi China tersebut. Namun para pengamat mengatakan, China tengah memprioritaskan pencarian pasar untuk teknologi ramah lingkungan mereka, dan gencar membuka akses sumber daya alam seperti mineral, gas, kayu dan ikan, memperluas perekonomian dan integrasi telekomunikasi.
Selain itu, China juga ahli dalam reklamasi daratan dan pembangunan pulau buatan.Â
Dan saat ini, Tarawa Selatan sangat membutuhkan pertahanan dari ancaman perubahan iklim yang lebih baik.
Sementara itu, Alofa mengaku frustrasi mengelola dana-dana hibah yang jumlahnya kecil dari mekanisme pendanaan iklim global yang prosesnya rumit. Hasilnya, dana-dana itu hanya digunakan untuk proyek-proyek kecil yang tidak banyak membantu Kiribati dalam menyelesaikan masalah yang lebih besar.
Ini adalah masalah yang kerap dihadapi banyak negara yang terdampak perubahan iklim, yaitu sulitnya mencari pendanaan dalam jumlah besar untuk menghadapi suhu bumi yang memanas.
Jika ingin menyelamatkan lahan, Alofa mengatakan bahwa Kiribati harus mencari kawan yang lebih bersedia membantu dan berkantong lebih tebal.
"Di sini kami menyelesaikan masalahnya sedikit demi sedikit. Kami mengerjakannya terpisah-pisah. Itu tidak akan bisa menyelesaikan apa-apa," kata dia. "Kami butuh teknologi, dan kami butuh pendanaan."
MEMBANGUN TANGGUL LAUT
Tidak jauh dari bandara internasional Tarawa, seorang lelaki bekerja sendirian di bawah terik sinar matahari sore.
Selama lebih dari satu tahun, dia telah membangun tanggul laut sendirian untuk melindungi beberapa rumah dari gelombang pasang dan erosi pantai.
Dia mengatakan, pemerintah kurang bertindak dan tidak memberikan sumber daya yang dibutuhkan untuk melindungi masyarakat dari gelombang. Tanggul yang dibangunnya penting untuk menjaga penduduk tetap aman, sebuah pertahanan seadanya dari permukaan laut yang terus meninggi.
"Jika Anda bisa selamat di sini, Anda bisa selamat di mana saja," kata lelaki bernama Anterea ini.
Di sisi lain pulau tersebut, warga lainnya, Tiaon Kaumai, mau tidak mau harus rela mengurus tanggul laut demi melindungi propertinya.
Selama bertahun-tahun, hampir setiap hari dia harus memperbaiki tanggul yang tak berhenti dihajar gelombang. Tak terhitung berapa kali dia mesti kembali menyusun bebatuan, bata dan komponen tanggul lainnya. Kaumai sempat hampir mau menyerah.
"Kami berusaha sekuat tenaga menjadikan tanggul ini kuat. Tapi ketika gelombang datang dan disusul oleh angin, tanggulnya rusak lagi, lagi dan lagi," kata dia.
Beberapa tahun terakhir ini, kata Kaumai, badainya menjadi semakin dahsyat. Dibanding sebelumnya, gelombangnya semakin banyak menghancurkan rumah-rumah yang berhadapan langsung dengan laut.
"Saya telah melihat banyak tanggul laut yang sudah rusak dan rumah-rumah yang terletak dekat laut hanyut terbawa air. Saya tidak yakin pulau kami bisa bertahan untuk waktu yang lama," kata dia.
Terumbu karang, karung pasir dan batu bata dijejerkan di sepanjang garis pantai Tarawa Selatan, sebuah upaya untuk meminimalisir erosi pantai. Banyak proyek-proyek sebelumnya yang berujung gagal, menjadi bukti dari kurangnya pendanaan dan penelitian sebelum mengambil solusi seperti tanggul laut.
Program Adaptasi Kiribati pimpinan Bank Dunia yang dimulai pada 2003 telah terlibat dalam berbagai upaya perlindungan pantai di negara itu. Tapi pada 2014, sebuah penelitian menemukan bahwa kebanyakan tanggul air malah memperburuk erosi, dibangun dengan cara yang salah dan tidak mampu menahan energi gelombang.
Penelitian menemukan bahwa melindungi seluruh garis pantai Tarawa Selatan akan memakan biaya hingga 100 juta dolar, belum termasuk biaya perawatan, perbaikan setelah badai, atau mendatangkan bahan-bahannya.
Meski pendanaan itu sepertinya tidak akan terwujud, namun ini jadi gambaran betapa besar uang yang diperlukan oleh negara kecil seperti Kiribati.Â
Pada COP38 di Dubai pada akhir 2023, pemerintahan di seluruh dunia berkomitmen memberikan dana ganti rugi hanya 700 juta dolar. Dana ini akan diberikan sebagai kompensasi kepada negara-negara miskin yang tidak turut menyumbang pemanasan global.
Padahal, diperkirakan butuh antara 100 miliar hingga 580 miliar dolar setiap tahunnya untuk membayar kerusakan akibat perubahan iklim.
"Kami telah melihat negara-negara besar bisa membuat pulau-pulau. Mengapa kami tidak bisa membangun pulau? Karena kami tidak punya uang," kata Alofa.
"MEREKA MENGKHAWATIRKAN KAMI"
Selain ganasnya gelombang laut, Kiribati juga harus bergelut dengan dampak perubahan iklim lainnya terhadap tanah, air, pangan dan mata pencaharian warga. Ketika permukaan laut naik, maka air yang mengandung garam akan merendam sumber air minum dan lahan tempat warga bercocok tanam.
Kondisi ini menjadi sebuah ujian bagi i-Kiribaty, yang kebanyakan sudah tergoda untuk segera pindah dari tanah yang penuh perjuangan itu.
Maximilian Teea, aktivis iklim Kiribati yang berusia awal 20-an, telah melihat banyak kerabatnya pindah ke Selandia Baru, mencari masa depan yang lebih jelas dan stabil. Dia mengaku sering dibujuk untuk ikut dengan mereka.
"Mereka ingin kami juga pergi ke luar negeri demi masa depan, karena mereka mengkhawatirkan kami," kata dia.
Teea melihat dan merasakan anak-anak muda di Kiribati takut akan nasib mereka di masa depan. "Saya rasa anak-anak muda ketakutan. Mereka merasa kondisi ini akan menjadi lebih buruk lagi.
"Lagipula, siapa yang tidak ingin masa depan yang lebih baik? Beberapa dari mereka, jika mendapat kesempatan ke luar negeri, mungkin 90 persennya akan pergi," kata dia.
Namun Teea menolak untuk turut hengkang. Dia masih menaruh harapan akan adanya solusi dan ingin meneruskan budaya masyarakatnya.
"Kebudayaan adalah prioritas utama dan segalanya (bagi saya). Tanpa kebudayaan, kami tidak akan dikenal di dunia. Jadi saya pilih tetap tinggal, mungkin sampai akhir nanti," kata dia.
Seiring semakin banyak warganya yang beralih dari cara hidup tradisional ala masyarakat kepulauan, peluang kerja di Kiribati kian terbatas.
Pemerintahnya telah berencana untuk fokus mengembangkan industri pariwisata demi menciptakan peluang kerja dan perekonomian bagi masyarakat. Dengan laguna dengan airnya yang biru, Kiribati sebenarnya menawarkan potensi bagi para operator resor. Namun pertumbuhan di sektor ini mandek dalam beberapa tahun terakhir.
Alasan utama meninggalkan Kiribati memang motif ekonomi, kata Kamoia Kanoua, direktur I-rekenrao, sebuah lembaga advokasi perempuan di Tarawa. Namun menurut dia, perubahan iklim juga telah membuat warga gusar.
"Itu adalah keputusan yang sulit. Karena mereka merasa Kiribati sedang tenggelam ... dan mereka memikirkan masa depan anak-anak mereka," kata dia.
Bagi mereka yang enggan atau tidak mampu pindah ke luar negeri, maka pilihan terbaik berikutnya adalah pindah ke wilayah yang lebih padat penduduk di kota Tarawa. Namun hal ini menyebabkan semakin berkurangnya ruang dan sumber daya.Â
Kota Tarawa adalah rumah bagi setengah dari total populasi Kiribati yang berjumlah sekitar 130.000 orang. Kemiskinan merajalela - Bank Dunia memperkirakan sekitar 30 persen populasi Kiribati tinggal di bawah garis kemiskinan, dengan pendapatan kurang dari 3,20 dolar per hari.
Perjuangan ini terlihat jelas di Tarawa, dan khususnya bagi para perempuan yang kehidupannya menjadi semakin berat.
"Mereka ingin melihat lampu kota yang terang, dan mereka ingin datang karena ada bus dan banyak yang ditawarkan di Tarawa ketimbang di pulau-pulau terluar," kata Kanoua.
"Situasinya memburuk bagi perempuan, tapi kami mencoba beradaptasi. Masalah utamanya adalah air di sini sudah tidak aman untuk diminum, tidak aman dimasak, dan terutama bagi perempuan untuk mandi dan bersih-bersih."
Bagi para lelaki, mencari ikan adalah sumber penghasilan utama. Tapi pemanasan global juga memberikan dampak pada hasil tangkapan mereka di laut.
"Hasil tangkapannya tidak konsisten. Ada kalanya kami keluar dan menangkap banyak ikan, tapi ada saatnya dapat sedikit sekali," kata nelayan lokal, Tokoia.
"Tapi saya akan tetap tinggal, karena tidak ada tempat lain bagi saya kecuali di sini. Saya memilih untuk tinggal dan mati di sini."
Meski kebijakan "migrasi dengan bermartabat" kemungkinan akan dihapuskan oleh pemerintah, namun menurut Alofa, perkara itu tetap membayang di benak masyarakat.
Menurut dia, tidak ada yang salah dengan membicarakannya dan menyadari bahwa memilih tinggal atau pergi adalah pilihan yang layak bagi i-Kiribati.
"Kenyataannya adalah, kami bisa memilih keduanya. kami bisa membicarakan keduanya," kata dia.
"Saya tidak berniat pergi untuk saat ini. Saya masih mencoba beradaptasi. Dan sudah jadi tugas saya untuk mengatakan, 'Tidak, kami tidak tenggelam, kami akan melawan'.
"Tapi mungkin dalam 20 atau 50 tahun ke depan, cicit kami akan mengatakan, 'kami tidak bisa tinggal di sini lagi'. Kami tidak tahu akan seperti apa masa depan nantinya."
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini.