Kembalinya NBA ke China setelah enam tahun absen
Setelah enam tahun absen akibat kontroversi pada 2019, NBA akhirnya kembali ke China. Para pengamat menilai liga ini dan para mitranya kini menata ulang strategi untuk membangun kembali kepercayaan publik sekaligus menavigasi sensitivitas politik yang masih membayangi.
Cam Thomas, pemain Brooklyn Nets, beraksi dalam laga China Games 2025 melawan Phoenix Suns di Venetian Arena, Makau, China, 10 Oktober 2025. (Foto: Reuters/Tyrone Siu)
SHANGHAI: Bagi para penggemar basket di China, penantian panjang akhirnya berakhir.
NBA kembali ke China setelah enam tahun absen, dengan menggelar dua pertandingan pra-musim di Makau antara Brooklyn Nets—yang juga dimiliki oleh Chairman Alibaba Group, Joseph Tsai—dan Phoenix Suns.
Venetian Arena di Makau dipadati penonton pada Jumat malam (10/10), dengan ribuan penggemar yang antusias menyaksikan aksi langsung idola mereka di lapangan.
Allen Xie, 29, manajer pemasaran global Adidas Basketball, termasuk di antara penonton yang hadir.
“Suasananya luar biasa,” ujar Allen Xie kepada CNA, seraya menambahkan bahwa banyak merek hadir dengan berbagai aktivitas “yang memberikan pengalaman istimewa bagi para penggemar, baik dalam hal basket maupun budaya di sekitarnya.”
Bagi para penggemar, pertandingan ini sudah lama dinantikan.
Menurut pengamat industri, ini adalah langkah penuh kehati-hatian bagi NBA untuk menapaki lagi China sebagai salah satu pasar luar negeri pentingnya setelah bertahun-tahun menyiapkan strategi baru.
“Para penggemar di China adalah salah satu pendukung terbesar kami,” kata bintang basket Amerika, Michael Porter Jr dari Brooklyn Nets, kepada wartawan di sela-sela acara di arena.
“Banyak sekali penggemar di sini, jadi bisa datang dan bermain di depan mereka adalah sebuah berkah bagi kami, juga bagi mereka.”
Bintang Phoenix Suns, Devin Booker, menyambut antusias kembalinya NBA ke China dan menekankan pentingnya momen tersebut.
“Olahraga basket kini menjangkau seluruh dunia, terutama di China,” ujar pemain berusia 28 tahun itu.
“Ini sangat berarti karena kami memiliki basis penggemar yang besar di China, dan juga ada pemain asal China yang berlaga di NBA.”
“Melihat reaksi para penggemar—wajah mereka berseri-seri begitu kami tiba—itu sangat menyentuh. Karena itu, kehadiran langsung kami di sini penting, baik bagi pemain maupun bagi liga.”
“Mereka tentu tidak akan menjauh selamanya. Pertanyaannya hanya soal waktu, dan kini saatnya telah tiba,” ujar Mark Dreyer, analis media dan olahraga yang berbasis di Beijing, kepada CNA.
Menurut Dreyer, kembalinya NBA ini telah dipersiapkan selama setahun.
“Mereka ingin menurunkan suhu politik,” ujarnya, merujuk pada dampak politik setelah seorang pejabat tim menulis cuitan yang mendukung aksi pro-demokrasi di Hong Kong pada 2019.
“Itu terjadi pada 2019,” lanjutnya.
Kemudian pandemi terjadi. “Itu memperpanjang jeda sekitar tiga tahun lagi,” ujar Dreyer, sambil menekankan bahwa penyesuaian jadwal dan logistik pascapandemi membutuhkan waktu.
Pemilihan Makau—wilayah administratif khusus—sebagai lokasi comeback juga dinilai sebagai keputusan yang cermat dan strategis.
“Itu bagian dari China, tapi tidak terlalu China,” ujar Dreyer. “Kalaupun masih ada yang menyimpan rasa tidak suka terhadap NBA di China, mereka tidak akan terbang ke Makau untuk protes.”
“Yang datang ke pertandingan hanyalah para penggemar sejati yang sudah lama rindu melihat idola mereka bermain langsung.”
KONTROVERSI 2019
Sebagai salah satu ekspor budaya paling berhasil dari Amerika Serikat, NBA telah mengubah bola basket menjadi fenomena global dengan basis penggemar yang sangat besar di China.
Namun pada 2019, krisis muncul akibat sebuah cuitan. Pada Oktober tahun itu, General Manager Houston Rockets, Daryl Morey, menulis di media sosial untuk menyatakan dukungan terhadap demonstran pro-demokrasi di Hong Kong.
Meski unggahan itu segera dihapus, dampaknya tetap besar. Pemerintah China bereaksi keras dengan menangguhkan siaran NBA dan mendorong sejumlah sponsor lokal memutus kerja sama, membuat liga kehilangan pendapatan hingga ratusan juta dolar AS.
Opini publik pun berbalik, dan NBA terjebak di tengah ketegangan geopolitik.
Jimmy Zhang, penggemar berat basket asal Shanghai yang telah mengikuti NBA lebih dari 20 tahun, mengagumi bintang-bintang seperti Yao Ming dan Jimmy Butler serta mendukung tim seperti Golden State Warriors.
Zhang, yang pernah bertugas di militer China, mengaku sangat tersinggung dengan tindakan Morey.
“Komentarnya terasa sangat tidak menghormati,” kata Zhang kepada CNA.
“Saya langsung mengambil sikap,” ujarnya. “Saya berhenti membaca atau menonton apa pun yang berkaitan dengan Morey. Saya menolak memberikan perhatian kepadanya.”
Ia berkata, “Saya 36 tahun, dan banyak teman sebaya saya yang dulu gemar bermain basket kini jarang mengikuti NBA. Di usia 30–40 tahun, tanggung jawab keluarga dan pekerjaan lebih menyita waktu, jadi wajar jika sebagian kehilangan ketertarikan—apalagi setelah NBA sempat tidak tayang di televisi nasional.”
Sebelum insiden itu, NBA dipuji sebagai kisah sukses di China—menggelar pertandingan pra-musim selama dua dekade, menumbuhkan basis penggemar besar, dan membangun jaringan komersial global yang kuat.
“NBA dulu menjadi contoh klasik bagaimana sebuah liga bisa berhasil di China,” kata Dreyer. “Sampai 2019, mereka dianggap sebagai tolok ukur kesuksesan di dunia olahraga internasional.”
Menurut Dreyer, tahun 2019 menjadi titik terberat bagi NBA, karena cara liga menangani isu tersebut justru memperparah situasi.
Beberapa hari setelah cuitan kontroversial itu muncul, NBA mengeluarkan pernyataan dalam bahasa Inggris yang menegaskan “penghormatan besar terhadap sejarah dan budaya China”. Tetapi dalam versi Mandarin, digunakan frasa “melukai perasaan penggemar China”, yang memicu kritik keras di Washington dari kedua partai politik besar.
Partai Demokrat dan Republik sama-sama menuduh NBA lebih memilih menjaga bisnis ketimbang membela kebebasan berpendapat dan nilai-nilai hak asasi manusia.
Sebaliknya, pihak berwenang di Beijing mengkritik NBA karena dinilai tidak menunjukkan permintaan maaf yang tulus.
“Bagi penggemar Amerika, NBA tampak terlalu patuh terhadap pemerintah China. Namun bagi Beijing, sikap NBA masih belum cukup rendah hati. Akhirnya, keduanya sama-sama kecewa,” kata Dreyer.
Namun, tidak semua hal hilang bagi NBA di China, kata Dreyer. Kehadiran liga ini tidak benar-benar lenyap meski sempat mendapat kecaman keras. “Mereka tidak kehilangan semuanya. Mereka tidak kembali ke titik nol,” ujarnya.
Setelah siaran pertandingan NBA diblokir dari televisi nasional dan stasiun besar di China, para penggemar beralih ke platform digital seperti Tencent Sports untuk menonton tayangan liga tersebut.
NBA tetap mempertahankan kehadiran komersialnya di balik layar. Penjualan merchandise tidak anjlok, dan banyak kerja sama bisnis yang masih berjalan.
Dreyer juga menilai Joseph Tsai—Chairman Alibaba sekaligus pemilik Brooklyn Nets—memainkan peran penting dalam menjembatani kedua pihak.
Baru-baru ini, NBA mengumumkan kemitraan jangka panjang dengan Alibaba, memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan dan layanan cloud perusahaan itu untuk meningkatkan pengalaman digital para penggemar.
China tetap menjadi pasar luar negeri paling signifikan bagi NBA.
Sebelum kontroversi 2019, Tencent memperkirakan hampir 500 juta penonton—sekitar sepertiga populasi China—rutin menonton konten NBA di berbagai platformnya.
ESPN melaporkan bahwa operasi NBA di China telah berkembang menjadi bisnis senilai US$5 miliar (Rp82 triliun), dengan pertumbuhan dua digit setiap tahun sejak 2008 hingga sebelum krisis terjadi.
Chen Bowen, 28, pekerja TI di Beijing yang telah mengikuti NBA sejak kecil, mengatakan liga itu masih “sangat lekat dengan budaya populer di sini.”
“NBA sangat memengaruhi cara saya memandang Amerika dan budayanya,” kata Chen, yang pernah menempuh studi di AS. Ia mengaku mengidolakan pemain seperti LeBron James.
“Ia menjadi panutan saya, memberi motivasi selama masa studi dan kini dalam karier saya,” ujar Chen.
Bagi penggemar setia seperti dirinya, NBA sebenarnya “tak pernah benar-benar meninggalkan” China.
“Penggemar sejati tak pernah merasa jauh darinya,” kata Chen. “Kami selalu punya cara untuk menonton pertandingan. Tencent Sports, misalnya, sudah lama menyiarkan laga-laga NBA,” tambahnya.
Namun menonton secara daring tidak memberikan kepuasan yang sama, ujarnya. “Rasanya berbeda—sinyal sering buruk, tayangan tersendat. Menyaksikan kembali pertandingan di layar TV besar jauh lebih hidup; menonton lewat ponsel tidak bisa menandingi itu. Jadi saya sangat senang saat NBA akhirnya kembali ke China.”
MEMBANGUN KEMBALI KEPERCAYAAN CHINA
Wang Yuantao, manajer proyek di sebuah perusahaan pemasaran olahraga di Beijing, menilai kembalinya NBA ke China sejatinya dimulai bukan dari pertandingan, melainkan dari kunjungan dan penampilan para bintang NBA.
“Bisa dibilang tahun 2023 menjadi titik awal meningkatnya kunjungan pemain NBA ke China, tepat setelah pembatasan COVID dicabut,” kata Wang kepada CNA.
Pada tahun itu, pemain seperti Gordon Hayward dan Spencer Dinwiddie kembali untuk mempromosikan kerja sama baru dengan merek perlengkapan olahraga China seperti Anta dan 361 Degrees. Sejak saat itu, momentum terus tumbuh, dengan bintang-bintang seperti LeBron James, Paul George, dan Draymond Green datang bukan hanya untuk temu penggemar, tetapi juga menjadi bagian dari kampanye merek yang dikaitkan dengan pariwisata dan budaya lokal.
Wang terlibat langsung dalam upaya promosi NBA di China, termasuk mengoordinasikan tur bagi pemain yang berkunjung.
“Banyak dari kunjungan ini kini diselenggarakan bersama pemerintah daerah dan mitra lokal,” ujarnya.
“Mereka ingin mempromosikan pariwisata dan budaya olahraga internasional dengan mendanai acara serta melibatkan pemain NBA dalam kampanye yang lebih luas.”
Bagi pelaku industri seperti Allen Xie, kembalinya pertandingan langsung menjadi momen penting bagi pertumbuhan olahraga basket di China.
“Luar biasa rasanya NBA kembali lagi,” katanya. “China memiliki audiens dan basis penggemar basket yang sangat besar. Kehadiran pertandingan NBA di sini membuat liga ini semakin kuat.”
Kota-kota seperti Quzhou dan Chongqing juga telah menjadi tuan rumah festival penggemar dan klinik basket yang menampilkan pemain NBA, tambah Wang. “Pemerintah kota memberikan dukungan penuh terhadap kunjungan semacam ini,” ujarnya. “Dalam banyak kasus, pendanaan pemerintah turut menanggung biaya minimum penampilan para pemain.”
Para pengamat melihat kisah NBA di China sebagai pelajaran berharga bagi perusahaan asing dalam menyeimbangkan kepentingan bisnis dan kebebasan berekspresi, sekaligus memahami keterkaitan antara olahraga dan politik serta pentingnya memahami konteks lokal.
Sejak 2019, NBA dan para mitranya perlahan menyesuaikan pendekatannya. Meski sensitivitas politik masih ada, upaya publik kini lebih menonjolkan pertukaran budaya, keterlibatan lokal, dan hubungan baik.
“Kami menghindari isu-isu sensitif, bukan karena takut, tapi demi menjaga citra merek,” ujar Wang.
“Kami juga menjauhi tanggal dan istilah yang sensitif. Saat mengajukan kerja sama, kami menggunakan pemain tamu sebagai titik fokus untuk menunjukkan bahwa ‘kekuatan China’ bisa diekspresikan ke dalam maupun ke luar.”
Ia menambahkan bahwa fokus kini bergeser dari promosi menuju koneksi. “Saat pemain datang ke China sekarang, mereka meluangkan lebih banyak waktu untuk merasakan budaya setempat—menunjukkan bahwa mereka datang bukan sekadar untuk mencari keuntungan.”
Wang mengatakan tur dan penampilan para bintang NBA mempertegas pendekatan itu.
Pemain Denver Nuggets, Aaron Gordon, misalnya, mengunjungi rumah leluhur Bruce Lee di Guangzhou pada 2023. Tahun ini, pebasket Serbia Nikola Jokić dari Denver Nuggets menaiki kereta cepat saat berkunjung ke Shijiazhuang, ibu kota Provinsi Hebei, pada Juli, sementara Draymond Green—empat kali juara NBA bersama Golden State Warriors—mengunjungi monumen perang di Quzhou pada September.
“Tur para pemain tidak hanya membuat penggemar China merasa lebih dekat dengan idola mereka,” ujar Wang. “Tetapi juga memungkinkan audiens global melihat China melalui sudut pandang para pemain yang mereka kagumi.”
Penggemar lama, Zhang, melihat perubahan ini sebagai bagian dari evolusi besar dalam citra NBA. “Pada era 1990-an dan 2000-an, NBA identik dengan tato, kata kasar, dan gaya jalanan yang keras,” katanya.
“Itu memang terlihat keren, tapi kurang cocok dengan nilai-nilai di China. Kini, pemain seperti Stephen Curry, Luka Dončić, dan Jaylen Brown berusaha menampilkan citra yang lebih positif sebagai panutan—sesuatu yang lebih selaras dengan budaya masyarakat China.”
Dreyer menilai NBA kini melangkah dengan hati-hati, tetapi efektif, dalam upayanya merebut kembali pasar China.
“Anda berada di antara dua sistem yang sangat berbeda, Timur dan Barat—beberapa aturan bahkan bisa saling bertentangan,” katanya. “Itu tantangan besar.”
Namun, ia percaya NBA kini lebih siap dibanding tahun 2019. “Mereka berusaha membangun kembali fondasi kesuksesan yang telah lama dibangun.”
Fu Zhenghao, komentator basket yang berbasis di Beijing, mengatakan kepada Global Times pada Kamis bahwa NBA perlu belajar dari pengalaman dan berkontribusi lebih besar dalam memperkuat pertukaran budaya antara China dan Amerika Serikat.
Menurutnya, di tengah hubungan bilateral yang sedang berada di titik krusial, keterlibatan NBA di China tetap menjadi salah satu saluran pertukaran budaya paling menonjol.
Fu menambahkan, “Kedua pihak sebaiknya memanfaatkan peran basket sebagai sarana komunikasi untuk mendorong pertukaran yang lebih erat antara kedua negara.”
Beberapa pihak percaya langkah selanjutnya adalah investasi jangka panjang di tingkat lokal.
NBA telah mengumumkan kemitraan dengan Chinese Basketball Association (CBA) untuk mendukung pengembangan pemain elit, pelatih, dan wasit di China.
“NBA sebaiknya berinvestasi pada program pembinaan pemain muda di China,” kata Zhang, penggemar liga itu.
“Kenalkan anak-anak China pada gaya permainan dan budaya NBA sejak dini, bawa itu ke sekolah dan program pelatihan—itulah cara terbaik untuk mengembangkan olahraga basket di sini.”
Xie menyampaikan pandangan serupa, dengan mengatakan bahwa kehadiran NBA di China tetap menjadi sumber inspirasi.
“Saya tidak pernah menganggap remeh kesempatan bekerja di bidang olahraga yang saya cintai sejak kecil,” ujarnya.
“Saya akan selalu menjadi penggemar basket.”
Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. Pastikan fungsi notifikasi telah dinyalakan dengan menekan tombol lonceng.