KEK Johor-Singapura: Model pembangunan infrastruktur 'per proyek' menuai pro dan kontra
Menteri Ekonomi Malaysia Rafizi Ramli mengatakan bahwa infrastruktur Kawasan Ekonomi Khusus di Johor akan dikembangkan "proyek-per-proyek", dengan Malaysia yang membiayai infrastruktur sementara Singapura memfasilitasi investasi. Menurut para pengamat, model pembiayaan seperti ini sudah adil.

Pertukaran Nota Kesepahaman (MOU) untuk Kawasan Ekonomi Khusus Johor-Singapura antara Wakil Perdana Menteri Singapura Gan Kim Yong dan Menteri Ekonomi Malaysia Rafizi Ramli di Kantor Perdana Menteri di Putrajaya, Malaysia. (Foto: CNA/Fadza Ishak)
JOHOR BAHRU: Pemerintah Malaysia telah menetapkan pengembangan infrastruktur di Kawasan Ekonomi Khusus Johor-Singapura (KEK-JS) akan dilakukan 'proyek-per-proyek'. Menurut para pengamat, ini adalah keputusan yang sangat hati-hati dan pragmatis oleh Malaysia demi menghindari penumpukan utang dan mendahulukan prioritas lainnya.
Namun para pengusaha mengaku khawatir pembangunan dengan cara ini akan menyebabkan kesiapan infrastruktur jadi tertunda, sehingga mengganggu operasional para investor dan rencana pengembangan bisnis mereka. Selain itu, para pengusaha juga takut cara ini malah semakin memperpanjang proses birokrasi.
Pernyataan ini mereka sampaikan menyusul kesepakatan pembangunan KEK-JS yang disaksikan langsung oleh Perdana Menteri Singapura Lawrence Wong dan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim di Putrajaya pada 7 Januari lalu.
Menteri Ekonomi Malaysia Rafizi Ramli usai kesepakatan itu kepada wartawan mengatakan bahwa kesepakatan KEK-JS mencakup pembagian kewajiban pembiayaan oleh kedua negara. Malaysia akan menyediakan pembiayaan infrastruktur, sementara Singapura menyediakan anggaran untuk memfasilitasi investasi.
Rafizi juga mengatakan bahwa KEK-JS akan dioperasikan proyek-per-proyek, artinya infrastruktur di KEK-JS baru akan dibangun setelah proyek dan investasi disetujui. Cara ini berbeda dengan metode konvensional, yaitu membangun infrastruktur lebih dulu sebelum mencari investasi.
"Pembangunan dengan cara baru ini akan lebih cepat karena investor punya kebebasan dalam menentukan wilayah mana yang dirasa tepat untuk operasional mereka, ketimbang cara tradisional ketika para investor tidak punya pilihan lain selain di tempat yang infrastrukturnya telah dibangun pemerintah," kata dia.
Rafizi mengatakan cara baru ini dipilih setelah berkaca dari apa yang terjadi di Iskandar Malaysia. Pembangunan dengan cara konvensional di Iskandar Malaysia menyebabkan infrastruktur yang tidak merata dan proyek yang tidak terlalu diminati.
"Itu cerita dari Iskandar. Pemerintah dalam lebih dari 20 tahun terakhir sudah menghabiskan miliaran untuk menyiapkan semuanya. Memang ada kemajuan di beberapa wilayah, tapi wilayah lainnya tidak kemajuan," kata Rafizi.
"Jadi belajar dari pengalaman, kami memilih melakukannya secara tandem dan dengan pemasukan dari investor sedari awal."
Proyek Iskandar Malaysia yang dianggap gagal telah dikonsep pada 2006 di bawah pemerintahan Perdana Menteri Abdullah Ahmad Badawi ketika itu. Menurut para pengamat, kegagalan di Iskandar Malaysia disebabkan kurangnya dukungan politik dan ketertarikan investor asing.
PENGUSAHA: CARA PEMBANGUNAN PER PROYEK TIDAK MENJAMIN INVESTASI DATANG
Presiden Federasi Manufaktur Singapura (SMF) Lennon Tan mengatakan cara pembangunan proyek-per-proyek menawarkan pendekatan yang lebih fleksibel dan disesuaikan dengan permintaan. Menurut dia, ini adalah "perubahan prositif dari pembangunan spekulatif skala besar sebelumnya seperti Iskandar Malaysia".
Namun, dia mengatakan ada beberapa perusahaan manufaktur Singapura yang khawatir akan pelaksanaan cara pembangunan seperti ini, dan apakah infrastrukturnya bisa rampung tepat waktu.
"Meski pendekatan pembangunan bertahap semacam ini bisa mengurangi risiko membangun berlebih, namun adanya penundaan infrastruktur bisa mengganggu operasional manufaktur dan rencana pengembangan mereka. Investor butuh kepastian tidak ada keterlambatan pembangunan untuk setiap tahapannya," kata Tan kepada CNA.
Dia juga mengatakan bahwa cara pembangunan seperti ini dikhawatirkan semakin memperpanjang prosedur dan proses birokasi untuk perizinan.
"Meski cara pembangunan proyek-per-proyek menjanjikan, namun SMF menekankan bahwa kepastian, akuntabilitas, dan keterlibatan proaktif terhadap investor akan menjadi kunci kesuksesannya.
"Manufaktur ingin beradaptasi dengan cara yang dinamis ini, tapi mereka butuh tata kelola yang kuat untuk memitigasi risiko," kata Tan, yang juga menyerukan pemerintah Malaysia untuk menetapkan dan mengkomunikasikan jadwal pembangunan infrastruktur serta melaporkan setiap kemajuan dalam proyeknya.
Sentimen yang sama disampaikan oleh Teh Kee Sin, penasihat Asosiasi Usaha Kecil dan Menengah di Johor Selatan.
Pebisnis ini mengakui bahwa pendekatan respons pasar yang dilakukan Malaysia ini "lebih bijaksana" karena dapat mengelola risiko secara baik, terutama mengingat sumber daya pemerintah yang terbatas.
"Tapi di sisi lain, memangnya investor asing mau datang jika mereka melihat tidak ada jaminan infrastruktur dasar seperti Wi-Fi atau listrik? Semua ini adalah (fasilitas) dasar dan investor hanya akan masuk jika ada jaminan bahwa semuanya telah tersedia... Ini soal mana yang lebih dulu - ayam atau telur - tidak ada yang akan berinvestasi jika infrastruktur belum siap," kata Teh.
Menurut Teh, sudah ada contoh di Johor ketika perusahaan-perusahaan memindahkan pabrik mereka karena daya listrik yang ada tidak memadai untuk kebutuhan industri.
"Perusahaan-perusahan jadi harus mengeluarkan biaya untuk memasang kabel sendiri. Perusahaan asing tidak akan mau melakukannya, dan mereka akan pikir-pikir lagi," kata dia.
Sementara itu, ekonom Anthony Dass - direktur eksekutif Malaysian Institute of Economic Research - lebih optimistis dengan cara baru ini. Menurut dia, cara ini mampu menyesuaikan infrastruktur dengan kebutuhan sebenarnya dari para investor.
"Cara ini meminimalkan pemborosan pengeluaran untuk aset-aset yang kurang dimanfaatkan, meningkatkan efisiensi dan mengurangi risiko pengeluaran berlebih... Cara ini memungkinkan fleksibilitas untuk penyesuaian berdasarkan tren ekonomi dan kondisi pasar, menghindari jebakan kelebihan pasokan yang terjadi pada proyek-proyek sebelumnya seperti Iskandar Malaysia," ujar Dass.
Namun ia juga mengakui bahwa cara ini dapat menyebabkan keterlambatan masuknya investasi, terutama jika investor mengadopsi pendekatan 'lihat dan tunggu'.
"Pertumbuhan KEK dapat berjalan tidak merata, yang dapat menghambat dampak keseluruhannya," tambah Dass.

PENDANAAN TERPISAH YANG ADIL
Dalam konferensi pers awal bulan ini, Rafizi juga menekankan bahwa pendanaan KEK-JS akan dibagi dua antara Malaysia dan Singapura. Malaysia, kata dia, akan mendanai infrastruktur KEK sementara Singapura memberi pendanaan untuk memfasilitasi investasi dan ekspansi perusahaan.
Rafizi menambahkan bahwa ada kendala KEK-JS dibandingkan dengan KEK di negara lain, yaitu melibatkan dua negara dengan dua yurisdiksi berbeda. Kondisi ini akan memunculkan anggapan bahwa pembayar pajak dari sebuah negara telah mensubsidi proyek di negara lainnya.
Menurut Dass sebagai ekonom, pembagian pendanaan ini memungkinkan masing-masing negara memanfaatkan kelebihan mereka.
Malaysia, kata dia, ahli dalam pembangunan infrastruktur skala besar dengan fokus pada penciptaan lapangan kerja, pembangunan kapasitas serta pembangunan ekonomi jangka panjang, sementara Singapura unggul dalam menarik perusahaan-perusahaan asing serta investasi bernilai tinggi.
"Risikonya juga dibagi dua. Membagi tanggung jawab berarti juga mengurangi tekanan keuangan, sehingga masing-masing negara dapat fokus pada bidang-bidang di mana mereka dapat memberikan dampak yang maksimal," kata Dass.
Lee Heng Guie, ekonom dan direktur eksekutif dari Pusat Penelitian Sosial Ekonomi di Malaysia, memandang model pembiayaan ini secara positif yang menurutnya telah "adil".
Lee mengatakan adalah keputusan yang adil agar Malaysia membiayai infrastruktur seperti listrik dan utilitas lainnya, jalan dan bangunan karena KEK-JS ada di wilayah Johor. Sementara Singapura dapat membantu dengan pembiayaan dan insentif bagi perusahaan yang ingin berinvestasi di KEK tersebut.
"Hal ini dianggap tepat dan berkelanjutan karena KEK terletak di Johor," kata Lee.
Namun, ia berpendapat bahwa kedua negara harus mempertimbangkan untuk menerima pendanaan swasta, mengambil contoh beberapa kawasan ekonomi di China yang dibiayai oleh bank-bank milik negara dan dikelola oleh swasta.
Lee menyarankan agar perusahaan-perusahaan swasta dapat turut membiayai infrastruktur dan membantu perusahaan-perusahaan dengan modal awal, dan ini bisa menjadi cara yang lebih cepat untuk memulai KEK-JS.
"Partisipasi pendanaan mandiri (oleh) sektor swasta dapat mengurangi beban keuangan pemerintah dalam mengelola KEK," kata Lee.
Namun, Dass memperingatkan bahwa model pembiayaan terpisah juga dapat menyebabkan ketidakseimbangan dalam pengembalian investasi bagi Singapura dan Malaysia.
"Pendanaan investasi Singapura dapat menghasilkan pengembalian yang lebih cepat, sementara pengeluaran infrastruktur Malaysia mungkin hanya akan menghasilkan keuntungan dalam jangka panjang, menciptakan distribusi keuntungan yang tidak merata," ujar Dass.
Dia menyarankan bahwa model ini hanya dapat berkelanjutan jika kedua negara melakukan tinjauan untuk memastikan bahwa manfaat yang diperoleh dapat "seimbang".
"diperlukan peninjauan berkala atas tanggung jawab untuk mengatasi potensi kesenjangan dan menyempurnakan kerangka kerja," tambahnya.
Mengomentari perjanjian KEK-JS secara keseluruhan, mantan wakil menteri perdagangan dan industri Malaysia, Ong Kian Ming, mengatakan bahwa identifikasi 11 sektor ekonomi akan memberikan dorongan bagi perusahaan-perusahaan yang terkait dengan pemerintah dan sektor swasta di kedua negara untuk mulai menyelaraskan kepentingan perusahaan dengan kepentingan kedua pemerintah.
KEK-JS, yang pertama kali dibahas pada Juli 2023, akan memiliki wilayah seluas 3.571 km persegi dan terdiri dari sembilan "area unggulan" yang melayani berbagai sektor ekonomi.
"Fakta bahwa perjanjian tersebut menyatakan bahwa kedua negara akan terus mengeksplorasi area kerja sama dan inisiatif baru, membuat terbukanya pintu untuk ide dan proyek yang lebih menarik di KEK-JS pada masa mendatang," kata Ong, yang juga menjabat sebagai Wakil Rektor Keterlibatan Eksternal di Taylor's University, Malaysia, kepada CNA.
"Meskipun saya berharap ada langkah-langkah yang lebih substantif yang akan diumumkan, termasuk insentif khusus untuk pekerja berpengetahuan dan perusahaan teknologi di KEK-JS, tapi saya pikir ini adalah awal yang baik."
Laporan tambahan oleh Rashvinjeet S Bedi.
Ikuti Kuis CNA Memahami Asia dengan bergabung di saluran WhatsApp CNA Indonesia. Menangkan iPhone 15 serta hadiah menarik lainnya.