Kedai mamak di Malaysia kekurangan pekerja, mengapa pengungsi Rohingya dianggap solusinya?
Memberi izin pengungsi Rohingya untuk bekerja bisa jadi solusi kekurangan tenaga kerja di sektor restoran Muslim India di Malaysia. Namun pengamat memperingatkan, cara ini malah akan mengundang lebih banyak pengungsi ke negara itu.

Foto file pekerja yang menyajikan makanan di restoran mamak di Malaysia. (Foto: CNA/Fadza Ishak)
KUALA LUMPUR: Salah satu sektor di Malaysia yang terkena imbas dari pembekuan perekrutan tenaga kerja asing: Restoran India Muslim, atau yang dikenal dengan nama kedai mamak.
Dua asosiasi kedai mamak, yaitu Asosiasi Operator Restoran Muslim Malaysia (PRESMA) dan Asosiasi Operator Restoran India Malaysia, kepada media setempat pada 22 Januari lalu mengaku kesulitan karena kekurangan 25.000 pekerja untuk sektor rumah makan.
Mereka meminta pemerintah melonggarkan pembatasan atau izin untuk memudahkan pengusaha kedai mamak mencari pengganti karyawan yang pulang ke negara asal.
"Kondisinya sudah cukup mendesak," kata wakil presiden PRESMA Tahir Salam kepada CNA soal kekurangan pegawai.
Tahir mengatakan, kondisi ini membuat kedai mamak yang biasanya buka 24 jam terpaksa tutup lebih awal. Para karyawan juga terpaksa melakukan pekerjaan ganda, mulai dari dapur hingga ke kasir dan pelayanan.
Jika pemerintah tak juga bisa membantu kebutuhan ini, salah satu asosiasi memberikan usulan sebagai solusi yang bisa diambil. PRESMA kepada media lokal Berita Harian pada 1 Februari lalu mengatakan bahwa mereka akan membuka lowongan karyawan untuk pengungsi Rohingya, demi memenuhi kebutuhan pekerja.
Rohingya, warga minoritas Muslim yang dipersekusi di Myanmar, mencakup 60 persen dari total 192.000 pengungsi dan pencari suaka yang terdaftar di Badan Pengungsi PBB (UNHCR) Malaysia.
"Untuk kekurangan karyawan dan masalah yang kami hadapi, siapa pun yang bisa mengisi pekerjaan ini kami terima. Entah itu pengungsi Myanmar, Bosnia atau dari negara mana saja, tapi dengan dokumen yang sah dari pemerintah, agar pemerintah tidak mempermasalahkannya nanti," kata Tahir.
Menurut pengamat, jika usulan PRESMA ini disetujui, pengungsi Rohingya yang merupakan sumber daya manusia siap kerja akan mengisi kekurangan karyawan di kedai mamak.
Namun, masih belum diketahui faktor keamanan dari usulan ini, dan apakah akan mendorong semakin banyaknya pengungsi datang ke Malaysia.
Upaya memberikan lapangan kerja resmi untuk para pengungsi berjalan lambat dalam beberapa tahun terakhir di Malaysia. Para pengamat kepada CNA mengatakan, kebijakan ini sensitif karena berpotensi memicu protes dari warga lokal yang menganggap pengungsi sebagai gangguan keamanan dan menghabiskan anggaran untuk mengurus dan menampung mereka dari uang pembayar pajak.
Malaysia bukan penandatangan Konvensi Pengungsi PBB tahun 1951 dan protokol tahun 1967 yang terkait. Artinya, para pengungsi pemegang kartu UNHCR hanya diizinkan bekerja serabutan atau di sektor informal.
Menurut Departemen Statistik Malaysia, sektor informal mengacu pada kegiatan ekonomi pekerja dan entitas yang secara hukum atau praktik tidak tercakup dalam pengaturan formal.Â
Para pengungsi dengan pekerjaan formal sering kali melakukannya secara sembunyi-sembunyi, agar tidak ketahuan warga setempat atau pihak berwenang.
Menteri Wilayah Federal Zaliha Mustafa mengatakan dalam sebuah jawaban tertulis kepada parlemen pada Rabu pekan lalu (12/2) bahwa pemerintah masih "menyempurnakan" rincian tentang bagaimana para pengungsi yang terdaftar di UNHCR dapat bekerja secara legal di negara tersebut.
"(Kebijakan ini) akan diselesaikan setelah semua pengungsi dan pencari suaka di Malaysia terdaftar di pemerintah," katanya.

Meski demikian, anggota komunitas pengungsi Rohingya di Malaysia kepada CNA mengatakan bahwa beberapa dari mereka sudah bekerja di kedai mamak, dengan upah harian untuk pekerjaan bersih-bersih atau memotong sayuran.
Ini adalah wilayah abu-abu dari aturan pekerjaan untuk pengungsi di Malaysia. Kebanyakan dari pengungsi khawatir ditangkap jika mereka kedapatan bekerja.
Para pendukung usulan mempekerjakan Rohingya mengatakan bahwa cara ini dapat meningkatkan sektor kedai mamak di Malaysia dan membuat harganya tetap murah bagi para turis maupun warga kelas menengah yang menjadi langganan. Selain itu, aparat dapat dengan mudah memonitor keberadaan para pengungsi.
Namun para penentangnya berargumen, para pengungsi tidak punya keahlian dan kedisiplinan yang cukup untuk bekerja dengan jam kerja panjang di kedai mamak. Kedai juga bisa dicap buruk lantaran masih adanya persepsi negatif terhadap para pengungsi dari warga setempat.
Seorang pengungsi Rohingya yang telah berada di Malaysia sejak tahun 1990-an dan bekerja berpindah-pindah dari kedai ke kedai mengatakan bahwa semua orang bebas berpendapat.
"Ketika kami tinggal di sini, kami harus mematuhi hukum, rakyat Malaysia dan yang lainnya," kata pria 40 tahun yang hanya ingin disebut sebagai Jo kepada CNA.
"Apakah akhirnya kami diizinkan bekerja secara resmi, saya serahkan kepada Allah. Apa yang ada untuk saya, saya sudah bersyukur. Jika ada kesempatan kerja yang lebih baik, alhamdulillah. Tapi jika tidak, kami tidak bisa apa-apa."
Awal mula Malaysia kekurangan pekerja asing
Wakil Presiden PRESMA Tahir Salam mengatakan bahwa kekurangan pekerja di kedai mamak dimulai sejak Februari 2022, ketika Malaysia mencabut pembekuan perekrutan tenaga kerja asing akibat COVID-19.
Pada 2023, pemerintah meluncurkan program kalibrasi ulang tenaga kerja untuk menertibkan pekerja asing ilegal sebelum memutuskan cara mengisi sisa kuota 400.000 pekerja asing.
Pemerintah kemudian menetapkan tenggat waktu selama beberapa bulan bagi pemilik usaha untuk memenuhi kuota pekerja asing. Menurut pemerintah, kuota tersebut sudah hampir penuh.
Keputusan ini kemudian memicu gelombang kedatangan pekerja asing ke Bandara Internasional Kuala Lumpur, setelah pemilik usaha bergegas mendatangkan pekerja dari luar negeri. Dilaporkan ada puluhan ribu pekerja Bangladesh yang tidak bisa datang ke Malaysia karena tenggat waktu sudah habis.
Tahir, dari PRESMA yang mewakili lebih dari 12.000 kedai mamak, mengatakan pembekuan penerimaan pekerja asing menciptakan masalah besar bagi mereka. Terlebih karena para pekerja yang masuk pada 2022 di masa pemulihan pandemi telah habis masa kontrak tiga tahunnya dan pulang ke kampung halaman.
Menurut statistik resmi, ada 2,47 juta pekerja asing yang terdokumentasi di Malaysia per Desember tahun lalu, telah memenuhi batasan 15 persen dari total jumlah tenaga kerja di negara itu.
Pembekuan perekrutan pekerja asing akan tetap berlaku sampai setidaknya kuartal pertama tahun ini, kata Menteri Dalam Negeri Saifuddin Nasution Ismail dikutip Bernama.
Tahir memohon agar pemerintah memperkenalkan kembali sistem "check-out memo" yang memungkinkan penggantian satu per satu pekerja asing yang telah meninggalkan negara ini. Para pekerja ini berasal dari negara-negara seperti India, Bangladesh dan Indonesia.
"Dulu, ketika para pekerja datang dan mencari kerja, mereka memohon agar kami menerima mereka. Tapi sekarang sebaliknya. Kami harus memohon mereka untuk tidak pulang, dengan memberi tambahan RM50 (Rp184 ribu) per bulan, atau fasilitas lainnya," kata dia.
"Kami tidak menginginkan pekerja baru. Yang kami minta adalah setidaknya membuka kembali program penggantian ... Jumlahnya akan tetap sama dan kami tidak akan mengalami kekurangan."
Alasan orang Malaysia enggan bekerja di kedai mamak
Tahir mengatakan bahwa kedai mamak tidak dapat mempekerjakan penduduk setempat karena gaji bulanannya hanya sekitar RM1.900 (Rp7 juta) dengan makan dan tempat tinggal gratis agar harga makanannya tetap murah dan tetap mendapat untung.
Ketika PRESMA membuka stan di bursa kerja, tidak penduduk setempat yang berminat melamar, kata dia.
Kepala eksekutif HR Forum Malaysia Arulkumar Singaraveloo mengatakan ada "stigma" di antara warga Malaysia soal bekerja bersama pekerja migran di kedai. Selain itu, pekerjaan ini dianggap "kurang bergengsi".
Forum ini memberikan informasi mengenai tren sumber daya manusia saat ini serta pelatihan bagi para profesional dan organisasi SDM.
"Orang Malaysia umumnya tidak tertarik dengan pekerjaan di kedai karena jam kerja yang panjang, sering kali enam atau bahkan tujuh hari seminggu, dan upah yang rendah," katanya kepada CNA.
Tahir mengatakan bahwa penduduk setempat menggunakan kedai mamak di Malaysia sebagai batu loncatan untuk mendapatkan pengalaman sebelum bekerja di restoran di Singapura, yang gajinya lebih tinggi.
"Kami tidak bisa menjanjikan gaji RM3.000 (Rp11 juta) atau RM4.000 (Rp14 juta) agar sebanding dengan Singapura," kata Tahir.
"Jika kami melakukan itu, kami harus menaikkan harga roti canai dari RM1,50 (Rp5.500) menjadi RM5 (Rp18 ribu). Apakah itu bisa diterima oleh masyarakat?"
Menurut Tahir, kedai-kedai mamak bahkan telah mencoba mempekerjakan gelandangan dari jalanan, namun beberapa bulan kemudian mereka mencuri barang-barang para pekerja asing yang legal dan kabur.
Pada 23 Januari lalu, Menteri Ekonomi Rafizi Ramli dilaporkan tidak setuju dengan seruan dari asosiasi restoran untuk melonggarkan pembatasan perekrutan pekerja asing, dan menekankan bahwa pemerintah akan terus fokus mengurangi ketergantungan pada tenaga kerja asing berketerampilan rendah.
Menanggapi usulan PRESMA, Menteri SDM Malaysia Steven Sim mengatakan pada 9 Februari bahwa usulan tersebut harus sesuai dengan kebijakan dan hukum negara.
"Oleh karena itu, kita perlu melihat apakah pemerintah punya kebijakan seperti itu, apakah negara dan masyarakat kita siap, dan apakah para pengusaha siap mempekerjakan para pekerja ini," katanya seperti dikutip oleh New Straits Times.
CNA telah menghubungi kantor Sim untuk meminta komentar.
Tahir mengatakan, memberikan peluang kerja formal bagi para pengungsi adalah solusi yang saling menguntungkan, kedai mamak dapat pekerja dan negara dapat kontribusi ekonomi.
"Pemerintah harus membuat sebuah mekanisme. Mereka membiarkan orang-orang Rohingya tinggal di sini, tapi tidak diizinkan untuk bekerja (secara formal). Apa gunanya?" kata dia.
"Mengapa tidak memberi mereka kartu khusus atau semacamnya, lalu membiarkan mereka bekerja di kedai mamak? Mereka kabur dari tempat penampungan, bekerja secara ilegal dan berbisnis di sana-sini. Sebaiknya kita membuatnya menjadi legal."
IDE BAGUS ATAU TIDAK BERTAHAN LAMA?
Arulkumar Singaraveloo, kepala eksekutif HR Forum Malaysia, yang melatih para profesional dan organisasi sumber daya manusia, mengatakan kepada CNA bahwa usulan mempekerjakan pengungsi dapat membantu mengurangi kekurangan tenaga kerja asing di kedai-kedai mamak.
Memproses tenaga kerja yang sudah ada seperti ini, kata dia, akan lebih cepat ketimbang memproses pekerja asing yang terlebih dulu harus melengkapi persyaratan dari negara asal dan Malaysia.
"Mengenai integrasi budaya, mungkin ada tantangan di awal dalam mengasimilasi para pengungsi. Namun, tantangan ini kemungkinan hanya bersifat sementara, karena mereka sudah lama ada di Malaysia dan telah beradaptasi dengan budaya lokal," katanya.
"Karena para pengungsi sudah berada di negara ini, menyediakan pekerjaan legal bagi mereka tidak hanya akan mendukung industri yang membutuhkan - seperti konstruksi, perkebunan, pertanian, manufaktur, dan sektor makanan dan minuman - tetapi juga menawarkan para pengungsi ini sarana untuk bertahan hidup."

Presiden nasional Asosiasi Usaha Kecil dan Menengah Malaysia, Chin Chee Seong, yang sebagian besar anggotanya bergerak di sektor jasa, mengatakan kepada CNA bahwa ia tidak melihat banyak keluhan di antara para anggotanya tentang kurangnya pekerja asing.
Para anggota di sektor manufaktur sebenarnya mengurangi jumlah tenaga kerja karena bisnis tidak berjalan dengan baik, kata Chin. Sektor restoran telah berhasil menembus pasar kelas menengah ke atas, sehingga menurut dia mampu mempekerjakan warga setempat.
Namun Chin mengakui usulan mempekerjakan pengungsi untuk mengurangi kekurangan pekerja asing adalah "ide yang bagus", asalkan prosesnya ketat dan selektif, dengan jaminan bahwa para pengungsi ini bersedia tinggal dalam jangka panjang.
"Keuntungannya adalah jika mereka tidak memiliki tempat untuk kembali dan diberi pekerjaan, mereka akan bekerja keras di sini. Mereka harus diberikan dokumentasi yang tepat sehingga tidak melarikan diri (dan bekerja di tempat lain)," katanya.
"Di situlah kita harus memastikan bahwa ada penegakan hukum agar pengungsi Rohingya yang bekerja di sini aman buat kita."

Meskipun demikian, seorang mantan presiden PRESMA tidak setuju dengan usulan tersebut. Menurut dia, warga setempat mengeluhkan pengungsi Rohingya yang menciptakan kantong-kantong komunitas di berbagai wilayah di negara tersebut.
Jamarulkhan Kadir, yang sekarang menjalankan bisnis manufaktur makanan, mengatakan kepada CNA bahwa pemerintah seharusnya memperlakukan kedai mamak sebagai sektor yang penting bagi perekonomian dan memberikan kelonggaran untuk mempekerjakan lebih banyak pekerja asing meskipun ada larangan.
"Para pengungsi sudah berkeliaran bebas di negara ini. Mereka tidak datang ke sini sebagai pekerja. Mengapa kita harus menerima mereka? Mari kita ambil pekerja yang terlatih, mereka yang tahu industri ini," katanya.
"Untuk di kedai, saya rasa pengungsi tidak cocok. Saya merasa sekarang ada banyak penentangan terhadap mereka, terutama pengungsi asal Myanmar. Mereka (dituduh membentuk) koloni dan sebagainya; mereka bergerombol. Jadi, hal-hal ini akan mempengaruhi industri ini."
Singaraveloo dari HR Forum Malaysia memperingatkan bahwa kekurangan pekerja di kedai mamak jika tidak diatasi, dapat "secara signifikan mengganggu" industri makanan dan minuman Malaysia, mengubah kebiasaan makan sehari-hari, dan meningkatkan biaya hidup konsumen.
"Hal ini juga dapat mengekspos masalah struktural yang lebih dalam di pasar tenaga kerja dan kebijakan imigrasi negara ini," katanya.
Singaraveloo memperingatkan, memberikan legalitas untuk bekerja kepada para pengungsi dapat mendorong lebih banyak orang datang mencari suaka di Malaysia. Pada akhirnya jika tidak dikelola dengan baik, hal ini berpotensi membebani sumber daya nasional.
Masalah lainnya adalah ketidakpastian mengenai berapa lama mereka akan diizinkan bekerja di Malaysia. Berdasarkan peraturannya, pekerja asing yang berdokumen diizinkan untuk tinggal maksimal 13 tahun.
"Tanpa kerangka kerja peraturan yang jelas, situasi ini akan berakhir buruk, mirip dengan masalah yang dihadapi oleh beberapa negara Barat," tambah Singaraveloo, seraya menyerukan "pandangan jangka panjang" untuk memastikan keberlanjutan kebijakan semacam itu.
"Untuk memastikan langkah ini efektif, mekanisme yang terstruktur dengan baik sangat penting untuk mengatur peluang kerja pengungsi sambil mempertahankan kendali atas dinamika pasar tenaga kerja dan pola migrasi."
ALTERNATIF PEKERJA ASING
Pemimpin komunitas Rohingya Rafik Shah Mohd Ismail mengatakan bahwa dengan mengizinkan pekerjaan formal bagi para pengungsi, Malaysia dapat mengatasi kekurangan tenaga kerja asing dan meningkatkan profilnya di panggung internasional melalui sikap kemanusiaan yang lebih baik terhadap para pengungsi.
"Jika Anda ingin mengurangi jumlah pekerja asing di Malaysia, Anda membutuhkan alternatif. Jika tidak, akan ada masalah bagi para pemangku kepentingan seperti pabrik, industri, dan investor," katanya kepada CNA.
Rafik Shah mengatakan bahwa langkah ini juga memungkinkan pihak berwenang mengeluarkan dokumentasi yang tepat bagi para pengungsi dan memantau mereka secara lebih efektif. Pasalnya, kurangnya pekerjaan formal membuat para pengungsi rentan dibujuk untuk terlibat dalam kegiatan kriminal.

Selama bertahun-tahun, para pengungsi di Malaysia telah bekerja secara sembunyi-sembunyi di sektor pertanian, perkebunan, dan restoran, kata Rafik, seraya menambahkan bahwa para pengungsi Rohingya cocok bekerja di kedai mamak karena kesamaan budaya dan agama.
"Ada juga pengungsi dari restoran Arab yang dapat bekerja di restoran Arab, sementara pengungsi etnis lain dari Myanmar dapat mengisi kekurangan di restoran China, misalnya," katanya.
Rafik Shah mengatakan, ada desakan di tingkat pemerintah federal Malaysia untuk mengizinkan para pengungsi mendapatkan pekerjaan formal. Namun tidak ada jadwal yang jelas mengenai kapan kebijakan konkret dapat diberlakukan.
"Saya tidak ingin menyalahkan siapa pun. Kita harus bersyukur bahwa para pengungsi masih diizinkan berada di sini meskipun tidak diakui secara resmi," kata dia.

Sementara itu, pengungsi Rohingya, Jo, mengatakan bahwa ia berhenti bekerja di kedai mamak sekitar satu dekade lalu. Gajinya ketika itu adalah RM7 (Rp25 ribu) per jam untuk berbagai pekerjaan dari memasak hingga pelayan selama 12 jam kerja.
Saat ini Jo bekerja di sebuah restoran Melayu, dengan jam kerja yang lebih pendek dan banyak waktu luang. Gajinya saat ini, kata dia, cukup untuk menghidupi ketiga anaknya yang berusia 14, 10 dan enam tahun.
Jo mengatakan, ia hanya akan bekerja di tempat yang dapat menerima dirinya sebagai pengungsi yang sedang berusaha bertahan hidup di Malaysia.
"Jika saya bisa mendapatkan pekerjaan tanpa diganggu penduduk setempat atau majikan, saya akan lakukan. Jika tidak, saya akan mundur."
Ikuti Kuis CNA Memahami Asia dengan bergabung di saluran WhatsApp CNA Indonesia. Menangkan iPhone 15 serta hadiah menarik lainnya.