Kecelakaan Jeju Air: DNA bebek ditemukan di kedua mesin pesawat

Puing-puing pesawat Jeju Air yang keluar landasan pacu di Bandara Internasional Muan, di Muan, Korea Selatan, 30 Desember 2024. (Foto: REUTERS/Kim Hong-Ji)
SEOUL: Kedua mesin pesawat Jeju Air yang jatuh bulan lalu mengandung sisa-sisa bebek, menurut laporan awal yang dirilis Senin (27/1), sementara pihak berwenang masih berusaha menentukan penyebab kecelakaan udara paling mematikan di Korea Selatan.
Laporan setebal enam halaman yang dirilis oleh otoritas Korea Selatan, satu bulan setelah kecelakaan tersebut, menyatakan bahwa kedua mesin Boeing 737-800 itu mengandung DNA Baikal teal, sejenis bebek migrasi yang terbang ke Korea Selatan pada musim dingin dalam kawanan besar.
Namun, laporan tersebut tidak memberikan kesimpulan awal tentang apa yang mungkin menyebabkan pesawat mendarat tanpa mengerahkan roda pendaratan, serta mengapa perekam data penerbangan berhenti merekam pada empat menit terakhir penerbangan.
Pesawat Jeju Air yang terbang dari Bangkok pada 29 Desember melewati landasan pacu Bandara Muan ketika melakukan pendaratan darurat tanpa roda dan menabrak tanggul yang dilengkapi peralatan navigasi (localiser), menewaskan hampir seluruh penumpang dan awak kabin yang berjumlah 181, dengan hanya dua orang yang selamat.
“Setelah menabrak tanggul, terjadi kebakaran dan ledakan sebagian. Kedua mesin terkubur di gundukan tanah tanggul, dan bagian depan badan pesawat tersebar hingga 30-200m dari tanggul,” bunyi laporan itu, yang juga menyertakan beberapa foto baru dari lokasi kejadian.
Localiser membantu navigasi pesawat saat mendekati landasan pacu, dan struktur yang terbuat dari beton bertulang dan tanah di Bandara Muan - yang menopang antena sistem - tersebut diperkirakan menjadi salah satu faktor tingginya jumlah korban tewas, menurut para pakar.
Penyelidikan akan membongkar mesin, memeriksa komponen secara mendalam, menganalisis data penerbangan serta data kontrol lalu lintas udara, serta menyelidiki tanggul, localiser, dan kemungkinan bukti tabrakan dengan burung, demikian menurut laporan tersebut mengenai langkah selanjutnya.
“Seluruh rangkaian kegiatan investigasi ini bertujuan untuk menentukan penyebab pasti kecelakaan,” demikian laporan tersebut menyebutkan.
Baca:
MAYDAY
Laporan ini menegaskan banyak temuan awal penyelidik Korea Selatan yang telah dibagikan kepada keluarga korban pada Sabtu lalu, termasuk bahwa pilot menyadari adanya kawanan burung saat pesawat melakukan pendekatan akhir ke landasan.
Waktu tepat ketika pilot melaporkan tabrakan dengan burung belum dipastikan, menurut laporan kecelakaan itu, namun pesawat “mengeluarkan pernyataan darurat (Mayday x 3) karena tabrakan burung saat berputar balik”.
Laporan tersebut tidak menyebutkan apa yang menyebabkan perekam suara kokpit (CVR) dan perekam data penerbangan (FDR) berhenti secara bersamaan tepat sebelum pilot menyatakan keadaan darurat.
Pada saat perekam penerbangan berhenti, pesawat berada di ketinggian 152m, terbang dengan kecepatan 298km/jam sekitar 2km dari landasan pacu.
Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO), sebuah badan PBB, mengharuskan penyidik kecelakaan untuk mengeluarkan laporan awal dalam waktu 30 hari sejak kejadian dan mendorong agar laporan akhir dipublikasikan dalam waktu 12 bulan.
Dewan Investigasi Kecelakaan Penerbangan dan Kereta Api Korea Selatan telah membagikan laporannya kepada ICAO, Thailand, serta Amerika Serikat dan Prancis sebagai negara asal produsen pesawat dan mesinnya, kata seorang pejabat pada Senin.
Ikuti Kuis CNA Memahami Asia dengan bergabung di saluran WhatsApp CNA Indonesia. Menangkan iPhone 15 serta hadiah menarik lainnya.