Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.

Iklan

Asia

Isu legalisasi ganja hingga upah minimum, tantangan menanti PM baru Thailand dari dinasti politik Shinawatra

Perdana Menteri baru Thailand Paetongtarn Shinawatra memiliki tantangan untuk mewujudkan berbagai kebijakan kunci yang selama setahun terakhir mandek implementasinya.
 

Isu legalisasi ganja hingga upah minimum, tantangan menanti PM baru Thailand dari dinasti politik Shinawatra

Paetongtarn Shinawatra, putri Thaksin Shinawatra, dilantik sebagai Perdana Menteri Thailand pada tanggal 18 Agustus 2024. (Foto: Reuters/Panumas Sanguanwong)

BANGKOK: Beberapa kebijakan penting yang ditinggalkan oleh mantan perdana menteri terguling Thailand Srettha Thavisin belum ada kejelasannya di bawah kepemimpinan baru Paetongtarn Shinawatra. Menurut para pengamat politik, perdana menteri baru harus berhati-hati dalam mengimplementasikan warisan kebijakan pemerintahan lama yang dikecam karena tidak mampu memenuhi janji kampanye.

Paetongtarn yang merupakan putri dari mantan pemimpin Thailand Thaksin Shinawatra diambil sumpahnya sebagai perdana menteri pada 18 Agustus lalu. Sretta sebelumnya dipecat oleh Mahkamah Konstitusi setelah kurang dari setahun berkuasa karena dianggap melanggar etik.

Meski berasal dari keluarga penguasa, namun Paetongtarn yang bulan ini berusia 38 tahun, adalah orang baru di pemerintahan Thailand. Dia baru menjadi pemimpin partai Pheu Thai pada pemilu tahun lalu dan belum pernah memegang jabatan publik.

Menurut pengamat, kepimpinannya akan sangat bergantung pada orang-orang berpengalaman di sekelilingnya, termasuk ayahnya. Selain itu, kata pengamat, dia juga harus mewaspadai berbagai ancaman untuk menggulingkan dirinya dan memutus rantai dinasti politik keluarganya.

"Dia kemungkinan adalah anggota keluarga (Shinawatra) terakhir yang layak terlibat dalam politik. Ini akan mendorongnya untuk sukses dan tidak merusak nama baik diri dan keluarganya," kata Somchai Srisuthiyakorn, mantan komisioner pemilu Thailand.

"Karena itu, dia harus waspada penuh, cermat dan berpikir dua kali dalam memutuskan sesuatu, lebih dari saat kondisi normal," kata dia.

Paetongtarn Shinawatra (barisan depan, kedua dari kanan) bersama suaminya Pidok Sooksawas (barisan depan, kanan) dan kedua orang tuanya Pojaman Na Pombejra (barisan depan, kiri) dan Thaksin Shinawatra. (dok. Kantor PM Thailand)

RENCANA KEBIJAKAN DOMPET DIGITAL

Baru menjabat, Paetongtarn sudah dihujani pertanyaan soal nasib kebijakan kunci dan janji kampanye partainya, salah satunya soal skema dompet digital yang mereka gadang mampu meningkatkan perekonomian dan meringankan biaya hidup masyarakat.

Dalam konferensi pers pertamanya sebagai pemimpin pada Minggu lalu, Paetongtarn mengatakan pemerintah harus melakukan studi lebih lanjut dan mendengarkan berbagai opsi-opsi tambahan. Namun dia menegaskan, skema ini tidak akan diabaikan.

Pertanyaan mengemuka soal bagaimana pendanaan atas skema ini, dampaknya terhadap inflasi dan efektivitasnya dalam merangsang perekonomian.

Juga bermunculan pertanyaan soal legalitasnya, menjadi batu hambatan bagi pemimpin Thailand yang kurang pengalaman ini.

"Ada beberapa kekhawatiran seputar kebijakan ini, seperti kemungkinan pelanggaran terhadap Undang-Undang Fiskal dan Disiplin Keuangan Negara atau tuduhan penggunaan anggaran negara yang tidak tepat," kata Somchai.

Meskipun proyek ini masih dapat dilanjutkan, pemerintah mungkin perlu meninjau kembali siapa yang menjadi sasaran bantuan - yaitu menyesuaikannya untuk hanya mencakup masyarakat yang benar-benar membutuhkan - dan dari mana sumber dana tersebut berasal, tambahnya.

Sentimen publik juga dipertaruhkan untuk partai Pheu Thai, yang popularitasnya telah berkurang dalam beberapa tahun terakhir, menurut Dr Yuttaporn Issarachai, seorang ilmuwan politik dari Universitas Terbuka Sukhothai Thammathirat.

"Dompet digital adalah persimpangan jalan bagi Pheu Thai. Di satu sisi, jika mereka ingin mundur, mereka tidak bisa karena mereka harus bertanggung jawab kepada publik," katanya. "Jika ini dibatalkan, pasti akan mempengaruhi kepercayaan publik terhadap Pheu Thai."

Kebijakan populis lainnya yang digadang Pheu Thai sebelum pemilu, seperti meningkatkan upah minimum, juga belum terwujud.

Mengubah undang-undang untuk menaikkan upah, diperlukan kesepakatan beberapa pemangku kepentingan, termasuk dari pihak swasta. Mencapai konsensus adalah sebuah tantangan yang kian mengikis kepercayaan publik terhadap agenda populis partai ini, kata Somchai.

"Meskipun ada kebijakan yang jelas, perubahan ini cukup berat. Saya rasa di masa depan, komite pemilu harus melarang kenaikan upah minimum sebagai janji kampanye politik," katanya.

APAKAH GANJA AKAN KEMBALI ILEGAL?

Sementara itu, rencana untuk mereformasi kebijakan terkait legalisasi ganja di Thailand masih menjalani perundingan alot di koalisi pemerintahan.

Sama seperti sebelumnya, pada pemerintahan Paetongtarn ada perpecahan di pemerintahan soal isu ini. Sementara itu kelompok pro-cannabis telah mengancam akan melakukan aksi protes besar jika pemerintah Thailand kembali memasukkan ganja rekreasi ke dalam daftar narkotika terlarang.

Pengamat mengatakan, pemerintah Thailand yang baru harus memperkuat hubungan dengan mitra koalisi mereka, salah satunya partai Bhumjaithai, untuk mewujudkan janji reformasi ganja ini sembari mempertahankan persatuan dan kekuatan pemerintahan.

"Saya kira perlu adanya kompromi dan negosiasi untuk menghindari konflik," kata Somchai.

Toko-toko ganja bermunculan di seluruh Thailand. (Foto: Jack Board/CNA)

NASIB JEMBATAN DARAT KRA

Kisruh politik di Thailand juga mengalihkan perhatian pemerintah dari rencana kebijakan kunci lainnya, seperti megaproyek jembatan darat Kra Isthmus, kata pengamat.

Setelah dilantik pada Agustus tahun lalu, Srettha melakukan tur global untuk mendorong proyek yang akan menghubungkan Teluk Thailand dan Laut Andaman ini.

Proyek senilai US$36 miliar ini membutuhkan investasi asing yang luar biasa besar. Penentangan juga datang dari warga dan aktivis lingkungan, semakin menjadi hambatan terealisasinya proyek ini, kata Yuttaporn.

"Saya percaya Khun Ung Ing akan melanjutkannya seperti yang dilakukan oleh Srettha, karena mereka sebelumnya telah membicarakannya. Tapi ini bukan tugas mudah," kata dia, menyebutkan nama julukan Paetongtarn.

"Mereka harus menemukan cara untuk mengimplementasikan kebijakan ini tanpa berdampak pada kelompok-kelompok penentang dan membuatnya menjadi proyek yang ramah lingkungan."

Namun Dr Titipol Phakdeewanich, direktur Pusat Regional untuk Hak Asasi Manusia di Universitas Ubon Ratchathani, mengatakan proyek ini semakin tidak jelas.

"Tidak ada kejelasan, yang juga terjadi akibat suasana politik. Saya kira pemerintah tidak akan melakukannya jika penentangannya sangat kuat."

Laut Andaman dalam beberapa tahun ke depan dapat menjadi rute pelayaran utama. (Foto: Jack Board/CNA)

Titipol mengatakan, pemerintahan Thailand yang baru dapat melanjutkan kebijakan Thaksin ketika dia memimpin. Salah satunya adalah kebijakan dana desa yang telah berlangsung selama dua dekade untuk merevitalisasi masyarakat perdesaan melalui dana pinjaman atau pelayanan kesehatan yang universal.

Namun apapun yang dilakukan Paetongtarn, kata Titipol, sulit bagi dia untuk memperbaiki citra partai Pheu Thai yang kian buruk di mata publik. Pasalnya, kepemimpinan serta gagasan-gagasan Paetongtarn akan dianggap oleh publik berasal dari ayahnya.

"Kesan yang muncul di benak dan perasaan masyarakat adalah Pheu Thai tidak memiliki pendirian yang kuat (dan) kepentingan keluarga Shinawatra menjadi prioritas; kepentingan dinasti politik berada di atas kepentingan negara," katanya.

"Dia akan memiliki tim dan penasihat yang baik, yang merupakan hal yang normal untuk dimiliki oleh seorang perdana menteri, tetapi baginya, lebih dari itu. Dia memiliki ayahnya.

"Ini adalah kembalinya Thaksin dalam wujud Paetongtarn."  

Laporan tambahan oleh Grissarin Chungsiriwat.

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini.

Source: CNA/da

Juga layak dibaca

Iklan

Iklan