Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.

Iklan

Asia

Asia Tenggara di tengah perebutan pasokan logam-logam kritis yang masih didominasi China

Seri Power Scramble mengungkap bahwa tingginya permintaan global akan magnet kecil dan baterai mobil listrik telah berdampak terhadap sudut-sudut terpencil di Asia Tenggara. Pencemaran kimiawi meroyak, ketegangan geopolitik tak terhindarkan, dan perebutan sumber daya pun memanas.

Asia Tenggara di tengah perebutan pasokan logam-logam kritis yang masih didominasi China
Pelat magnetik ini berfungsi seperti mesin sinar-X yang dapat mengungkap magnet-magnet di dalam ponsel — magnet yang mengandung logam tanah jarang, kelas logam kritis yang pasokannya dikendalikan oleh China.

KUALA LUMPUR/SYDNEY/SULAWESI: Pertanyaan ini membayangi negara-negara besar: Adakah yang mampu mematahkan dominasi China atas logam-logam kritis yang menggerakkan berbagai aplikasi berteknologi tinggi?

Kategori logam kritis mencakup berbagai logam tanah jarang (rare earths) atau LTJ yang digunakan dalam sebagian magnet permanen maupun portabel terkuat di dunia. LTJ juga esensial bagi banyak hal, mulai dari gawai terbaru hingga teknologi ramah lingkungan seperti turbin angin.
 
Logam kritis mencakup logam-logam lain seperti nikel, komponen baterai kendaraan listrik, sumber daya selain bahan bakar fosil.

Beberapa negara terpaksa mencari berbagai sumber daya ini di luar China. Beberapa titik pun muncul di Asia Tengara, seperti di Malaysia dan Indonesia, membantu mencegah disrupsi rantai pasokan.

Oktober lalu , pemerintah Malaysia mengumumkan perpanjangan izin bagi pabrik LTJ di dekat Kuantan, Pahang, untuk mengimpor dan mengolah bahan-bahan ini hingga 2026 — sebelumnya hingga awal tahun depan.

Menempati lahan 100 hektar — hampir seluas 150 lapangan sepak bola — pabrik pengolahan LTJ terbesar di luar China ini dioperasikan oleh Lynas, perusahaan tambang Australia.

Menurut Lynas, pabrik ini mampu memenuhi hampir sepertiga dari permintaan global, tidak termasuk China.

“Malaysia mematahkan dominasi (China) atas logam tanah jarang,” ujar Collins Chong, analis urusan luar negeri dan keamanan di University of Malaya, yang telah mempelajari kepentingan strategis Malaysia di sektor ini.

Collins Chong bekerja di Pusat Dialog Peradaban di University of Malaya.

Namun, ada kekhawatiran sejarah akan terulang.

Pada tahun 1994, satu pabrik pengolahan LTJ di Bukit Merah, Ipoh — lima jam berkemudi dari Kuantan — ditutup setelah dianggap menyebabkan cacat lahir dan leukemia (tujuh kasus di antaranya fatal) pada masyarakat setempat.

Pabrik yang dikelola oleh Mitsubishi Chemicals dari Jepang tersebut tidak memiliki fasilitas pembuangan limbah jangka panjang, dan bahan radioaktif disimpan di drum-drum berkarat. Kebocoran radiasi pun mencemari area sekitar.

Mitsubishi Chemicals mengeluarkan RM500.000 (Rp1,6 miliar) untuk masyarakat setempat sebagai bagian dari penyelesaian di luar pengadilan, serta US$100 juta (Rp1,5 triliun) untuk pembersihan selama bertahun-tahun. Fasilitas permanen untuk mengamankan limbah dibangun pada 2014.

Insiden ini tak banyak diketahui, bahkan di Malaysia.

Seri Power Scramble dari CNA menemukan bahwa tingginya permintaan global akan LTJ dan magnet kecil — yang nyaris dimonopoli oleh China selama puluhan tahun — memiliki dampak yang tersembunyi di sudut-sudut terpencil di Asia Tenggara.

Dan ketegangan geopolitik akhir-akhir ini, terutama antara Amerika Serikat dan China, berarti pertarungan demi menguasai aneka sumber daya tersebut akan kian sengit.

TAK BEGITU LANGKA, TETAPI SULIT DIEKSTRAKSI

Logam tanah jarang (LTJ) adalah serangkaian 17 elemen dengan sifat kimiawi yang mirip dan berperilaku serupa.

Kualitas LTJ dalam mengekspresikan warna, yang timbul dari caranya bereaksi terhadap cahaya, turut menjadikannya berharga. Logam-logam ini membantu hadirkan warna-warna cemerlang pada layar ponsel.

Namun, sifat magnetik LTJ-lah yang membuat dunia memperebutkannya. Magnet memiliki peran krusial dalam motor listrik, memanfaatkan daya tarik dan tolak untuk menghasilkan gerakan yang berkelanjutan.

Pembaca hard drive digerakkan oleh gaya magnet.

Sebagai contoh, magnet dengan tambahan neodymium — salah satu LTJ paling dicari — menjadi 10 kali lebih kuat daripada magnet dari besi semata.

“Ketika Anda menjadikan magnet sangat kuat, Anda bisa menjadikannya sangat ringkas,” kata Veena Sahajwalla, direktur Pusat Penelitian dan Teknologi Material Berkelanjutan di University of New South Wales.

“Contohnya iPhone Anda. Betapa ringkas [gawai] itu.”

Tergantung pada modelnya, dalam satu ponsel cerdas bisa terdapat hingga lima magnet per pengeras suara, serta dua hingga empat magnet untuk autofokus kamera. Ditambah dengan magnet untuk mikrofon dan penggetar, satu ponsel cerdas bisa memiliki hingga 14 magnet.

Namun, neodymium tak lebih langka daripada nikel, yang umumnya ditemukan di batuan dasar bumi. Batuan ini harus ditambang dan dihancurkan hingga halus untuk mengekstrak mineral yang mengandung kedua logam tadi.

Satu kilogram batu yang dihancurkan menjadi bubuk lalu diproses barangkali hanya menyisakan 40 gram konsentrat logam tanah jarang.

Namun, mengisolasi neodymium dari mineralnya cukup rumit. Berbagai LTJ cenderung muncul bersamaan — ke-17 unsur bahkan sering hadir dalam satu bijih. Dan karena mirip secara kimiawi, LTJ lebih sulit untuk diproses dibandingkan logam-logam jenis lain.

“Yang menjadikan (LTJ) begitu ‘langka’ adalah kerumitan ekstraksinya,” ujar Veena.

Meski proyek-proyek LTJ tersebar di seluruh dunia, China unggul dengan 70 persen dari total produksi tahun lalu. AS menyumbang 14 persen, diikuti oleh Australia, Myanmar, dan negara-negara lain, demikian menurut data US Geological Survey.

AS bahkan masih harus mengekspor bahan baku LTJ-nya ke China sebelum dapat digunakan dalam pembuatan magnet.

“Ada cukup banyak deposit di dunia yang dapat memasok logam tanah jarang. Namun ... titik kritisnya adalah siapa yang mengendalikan teknologi pengolahannya,” ujar Marina Yue Zhang, seorang lektor kepala di Australia-China Relations Institute, University of Technology Sydney.

“China satu-satunya negara di dunia yang telah mengembangkan kapasitas untuk mencakup seluruh rantai nilai dari ke-17 unsur tanah jarang. ... China sudah mengembangkan keunggulan bukan saja dalam hal teknologi, tetapi juga pengelolaan limbah.”

Pembawa acara Power Scramble, Kartik Kuna, bersama Dr. Marina Yue Zhang.

Amanda Lacaze, direktur pelaksana dan CEO Lynas, mengatakan kepada The New York Times pada 2018 bahwa ada “sekitar 100 lulusan doktoral bidang logam tanah jarang yang bekerja untuk penerapannya di China” — dan tidak ada satu orang pun di Barat.

Ini bukan hanya perkara kekuatan otak, tetapi juga tenaga kerja. Marina berkata: “Di beberapa lembaga penelitian terkait pemrosesan logam tanah jarang, China telah mempekerjakan ribuan insinyur terdidik. Jadi, tidak ada negara lain yang bisa menyaingi China dalam hal ini.”

Proses padat karya pemisahan LTJ pun merupakan pekerjaan kotor yang dapat membahayakan lingkungan dan kesehatan. Namun, China berpengalaman puluhan tahun menjalankannya, dengan biaya yang lebih murah daripada negara-negara lain.

Negara-negara Barat yang ingin mendirikan pabrik-pabrik pengolahan untuk memisahkan LTJ di tanah sendiri akan membutuhkan waktu, biaya, dan upaya untuk pengadaan infrastruktur dan penetapan langkah-langkah keamanan.

ANGIN PERUBAHAN DORONG PERMINTAAN

Dominasi China dalam rantai pasokan logam tanah jarang (LTJ) tidak berhenti pada pemrosesan, namun meluas hingga hilir. Pabrik-pabrik di China diperkirakan memproduksi lebih dari 90 persen dari seluruh magnet LTJ berkekuatan tinggi yang digunakan secara global.

Berkat pasokan siap pakai ini, banyak produsen elektronik untuk merek asing maupun domestik yang menempatkan pabrik mereka di provinsi-provinsi seperti Guangdong. Yang lantas keluar dari China adalah produk jadi berlabel “Made in China”, mulai dari ponsel pintar hingga earbud.

“Anda mungkin akan terkejut kalau tahu bahwa produk-produk elektronik menyumbang kurang dari 10 persen dari total penerapan material magnetik,” kata CEO Beijing Magtech, Yoki Xu, kepada Power Scramble.

“Di antara penerapan lainnya, yang paling penting adalah mobil. Ini saja sudah menyumbang lebih dari 40 persen. Konsumsi tertinggi berikutnya adalah, misalnya, peralatan rumah tangga hemat energi dan beberapa lift hemat energi ... dan pembangkit listrik tenaga angin.

“Apa pun yang perlu bergerak ada motornya. ... Dan magnet berlogam tanah jarang punya kemampuan meningkatkan kinerja motor dan membantunya menghemat energi. Jadi pemanfaatan ini tiap tahun meningkat pesat.”

Kartik bersama Yoki Xu, orang dalam di industri logam tanah jarang China.

Menurut Yoki, magnet-magnet LTJ di mobil listrik, misalnya, bisa mencapai lima kilogram. Namun perkembangan mobil listrik mungkin tidak sebanding dengan kebutuhan magnet di sektor turbin angin.

Magnet permanen yang dibutuhkan untuk turbin angin bisa mencapai puluhan ton. Dan China sedang getol membangun kapasitas tenaga angin lepas pantainya.

Kapasitas tenaga angin lepas pantai yang beroperasi di sana tahun lalu — hampir setengah dari total kapasitas dunia — menempati posisi teratas global untuk pertama kalinya, melampaui Eropa. Dilaporkan oleh Nikkei Asia, kapasitas yang baru dipasang di China tahun lalu sekitar dua kali lipat dari kapasitas Eropa.

Yang diekstrak oleh China dari semua tambangnya takkan sebanding dengan kebutuhan sumber daya untuk semua infrastruktur tersebut. Beijing kini merupakan importir terbesar LTJ, khususnya dalam bentuk bahan mentah.

Kota-kota di seluruh dunia juga perlu beralih ke energi rendah karbon. “Kita tidak akan bisa bertransisi tanpa pasokan logam tanah jarang yang mantap,” kata Allison Britt, direktur sumber daya mineral, saran dan promosi di lembaga pemerintah Australia, Geoscience Australia.

“Kita akan butuh tujuh kali lebih banyak daripada yang kita gunakan sekarang, dan itu pertumbuhan yang luar biasa.”

Meski permintaan atas LTJ akan meroket, termasuk untuk peralatan pertahanan, pekan lalu China mengumumkan kontrol ekspor yang lebih ketat, mengharuskan semua perusahaan untuk melaporkan transaksi dan tujuan ekspor.

Hal ini bersamaan dengan meningkatnya persaingan China-Amerika. Tahun lalu, Kongres AS mengesahkan Chips Act untuk menghentikan penjualan cip high-end dan teknologi terkait ke China.

Dengan alasan keamanan nasional, Amerika Serikat mengontrol ekspor cip canggih.

Menurut Collins, Beijing sudah pernah “menggunakan logam tanah jarang sebagai senjata”. Pada 2010, menyusul sengketa atas kepulauan Senkaku/Diaoyutai, China menghentikan ekspor LTJ ke Jepang, meski akhirnya melanjutkannya kembali.

“Ini bukti bahwa (LTJ) bisa digunakan dengan mudah sebagai alat strategis oleh China demi kepentingan nasionalnya,” imbuh Collins. “Dan ini menunjukkan, negara-negara perlu memastikan mereka tidak punya utang budi kepada negara-negara tertentu.”

BABAT ALAS DI MALAYSIA

Belajar dari insiden 2010, Jepang telah berinvestasi di Lynas “guna memastikan rantai pasokan jangka panjang yang kokoh” untuk logam tanah jarang (LTJ).

Perusahaan ini menambang LTJ di Mount Weld, Australia Barat, sumber “salah satu bahan logam tanah jarang terbaik di dunia”, kata Collins. Pengolahannya dilakukan di Malaysia karena “biayanya lebih hemat”, dan produk-produk akhirnya lantas diekspor ke pasar-pasar dunia.

Tambang Lynas di Mount Weld, Australia.

Pabrik di dekat Kuantan ini telah mengolah LTJ selama lebih dari 10 tahun, melibatkan pengolahan bahan-bahan radioaktif yang terkandung dalam bijih. Badan Tenaga Atom Internasional menyatakan Lynas memenuhi semua persyaratan keselamatan radiasi.

Namun Noor Jehan Abu Bakar, ketua Malaysian Nature Society (Pahang), risau karena fasilitas pembuangan permanen untuk limbah radioaktif tingkat rendah baru dibangun sekarang, “setelah banyaknya protes dari masyarakat setempat”.

“Sudah ada paparan selama lebih dari 10 tahun,” katanya. Meski belum ada bukti bahwa ada yang jatuh sakit, ia mengaitkan kekhawatirannya dengan “apa yang terjadi di Bukit Merah pada akhir tahun 80-an dan 90-an”.

Akan tetapi, menurut Lynas, perbandingan tersebut tidak ilmiah karena residu Bukit Merah memiliki radioaktivitas 50 kali lipat dibandingkan residu milik Lynas.

Collins juga menepis anggapan bahwa sejarah akan terulang di Kuantan. “Setting-nya betul-betul berbeda, dan Lynas telah membuktikan bahwa mereka mematuhi secara ketat semua peraturan yang berlaku,” ujarnya.

The Lynas plant near Kuantan.

Yang tengah dirintis di Malaysia saat ini adalah pertambangan LTJ itu sendiri.

Tahun lalu, satu tambang LTJ di Perak disetujui sebagai proyek percontohan. Cadangan di negara bagian sebelah utara itu tahun lalu diperkirakan bernilai US$20 miliar (Rp310 triliun), sementara nilai cadangan Malaysia secara keseluruhan diperkirakan mencapai RM809,6 miliar (Rp2,7 kuadriliun).

“Di Malaysia ... ada banyak pedoman baru yang harus dibuat demi amannya penambangan logam tanah jarang,” kata Damien Thanam Divean, presiden Association for the Protection of Natural Heritage of Malaysia.

Namun, sebagian penambang enggan menunggu undang-undang dibuat, terbukti dengan ditemukannya tambang-tambang ilegal tahun ini.

Salah satunya berada di distrik Kuala Pilah, Negeri Sembilan, dan investigasi tengah berlangsung di sana.

Damien mengikuti masalah penambangan ilegal ini secara saksama. Menurutnya, operasi di Kuala Pilah meluas “beberapa kilometer ke dalam hutan” dan menggunakan pipa serta asam beracun untuk memompa LTJ dari tanah.

“Kualitas pipa-pipanya sangat dipertanyakan. Kami tidak tahu apakah pipa-pipa tersebut cocok untuk operasi semacam itu. Ada risiko tinggi asam beracun ... bocor masuk ke tanah.”

Dia pun khawatir kolam penyimpanan limbah di sana “bukan kolam yang layak”. Sebagai perbandingan, tambang yang “dibangun khusus” di Perak memiliki kolam-kolam dengan “dasar semen yang layak” serta sistem alarm pendeteksi kebocoran.

Proyek percontohan logam tanah jarang di Perak. (Foto: MCRE Resources)

Sejauh ini, belum ada penyakit terkait yang dilaporkan di Kuala Pilah. Tetapi tambang ilegal tersebut, yang telah ditutup oleh pihak berwenang, dikelilingi oleh perkebunan kelapa sawit, dan jika operasi terus berlanjut, “pasti akan merusak hasil panen”, tambah Damien.

Belum jelas ada berapa banyak tambang ilegal yang masih beroperasi dan lolos dari deteksi. Yang ia tahu, beberapa “telah terbongkar” dan “para warga negara China telah ditangkap, mulai dari pemilik tambang hingga buruh”.

PONSEL PINTAR ANDA TURUT BINASAKAN KACHIN?

Kekhawatiran tentang kerusakan lingkungan akibat penambangan logam tanah jarang (LTJ) juga muncul di China.

Sejak 2016, China telah mengintensifkan upaya untuk membersihkan industri ini dan menutup banyak tambang beracun di Ganzhou, yang dikenal sebagai “kerajaan logam tanah jarang”, di provinsi selatan Jiangxi.

Namun hal ini, berikut kekhawatiran akan menipisnya cadangan, membuat China membutuhkan sumber-sumber bahan baku baru. Dan tambang-tambang bermunculan di tempat-tempat yang peraturannya tidak seketat China.

Salah satunya adalah negara tetangga, Myanmar, dengan cadangannya yang kaya. Ribuan orang telah menyeberangi perbatasan untuk mendirikan dan bekerja di tambang-tambang baru di sana, membawa serta uang, teknologi, dan peralatan untuk terus memasok LTJ ke China.

Dan sejak kudeta militer pada 2021, dilaporkan adanya lonjakan penambangan ilegal. “Ada banyak aktivis di sekitar sana sekarang. Mereka terus (melacak), dan kami tahu kalau itu penambangan ilegal,” ujar aktivis pro-demokrasi Lewis Myihtoi.

“Perusahaan-perusahaan tambang itu ... tidak punya izin. Ketika (menambang) secara ilegal, mereka tidak membayar biaya apa pun — biaya hukum, segala konsultasi, segala prosedur yang benar. Jadi mereka bisa memangkas biaya.”

Aktivis pro-demokrasi Lewis Myihtoi tinggal di Sydney.

Tun Aung Shwe, perwakilan pemerintah sipil Myanmar di Australia, mengatakan bahwa wilayah penambangan ilegal di negara bagian Kachin, yang berbatasan dengan China, bisa jadi “setara dengan luas Singapura”.

“(Tambang-tambang) itu milik perusahaan-perusahaan bisnis China dan para pemilik lokal,” tambahnya. “Karena praktik-praktik ilegal ini, logam tanah jarang Myanmar murah sekali bagi China.”

“Kekhawatiran kami adalah kurangnya (peraturan) dan kepatuhan (terhadap) praktik-praktik lingkungan.”

Di Kachin, kolam-kolam bahan beracun — dilapisi lembaran plastik yang lama-kelamaan dapat robek atau rusak — dapat dilihat lewat citra Google Earth.

“Dan itulah yang memang terjadi,” kata Jonathan Liljeblad, seorang profesor di Fakultas Hukum di Australian National University. “Kemudian bahan-bahan kimia tersebut merembes, masuk ke dalam tanah, ke air tanah.

“Konsekuensinya parah, termasuk kanker seperti tumor usus, ginjal, dan otak. Berdampak juga bagi jantung dan ... telah ditemukan mempengaruhi kehamilan dan kesuburan.”

Dr. Jonathan Liljeblad berasal dari Myanmar.

Satu pekerja tambang mengatakan kepada wartawan Myanmar, sebut saja “Naing”  (nama samaran), bahwa ketika bahan kimia bersentuhan dengan kulitnya, ia mengalami ruam dan pembengkakan. Alat pelindung diri disediakan, tetapi “tidak layak”, katanya.

Ia menambahkan bahwa ia dibayar dalam mata uang China, dengan upah harian 130 yuan (Rp280 ribu) sebagai “pekerja lepas”.

Menurut seorang warga desa di Kachin, penduduk setempat pun kesulitan air minum akibat polusi. Ia menambahkan: “Sebelumnya, kami bisa makan ikan sungai yang kami tangkap di sini, tetapi tidak lagi.”

“Dunia luar hampir tidak tahu apa yang sedang terjadi,” ujarnya. “Pasukan Penjaga Perbatasan (yang didukung militer) sangat kuat. Mereka menggunakan kekuatannya untuk membungkam orang-orang. Semua jadi takut.”

Diaspora Myanmar di Sydney tingkatkan kesadaran akan isu ini dalam acara penggalangan dana pro-demokrasi.

Berbagai laporan media, misalnya di Associated Press, menyebutkan bahwa tambang-tambang ilegal tersebut berada di daerah-daerah di bawah kendali milisi yang terkait dengan junta, sehingga keuntungan dari LTJ yang diperoleh junta dari milisi “bisa jadi memicu tindakan keras terhadap warga sipil”.

Itulah mengapa penambangan LTJ secara ilegal membuat para aktivis seperti Lewis risau. “Demikianlah cara (pasukan militer) mendapatkan semua senjatanya. Dan nanti balik lagi membunuhi kami,” ujarnya.

BUKAN PERSELISIHAN SEPELE

Dampak buruk eksploitasi bahan mentah terhadap lingkungan dan manusia terkadang diabaikan pula dalam produksi baterai.

Dan ini pun pasar yang didominasi oleh China. Enam dari 10 produsen baterai mobil listrik terbesar adalah perusahaan China, dan negara ini menguasai lebih dari 70 persen pangsa pasar berdasarkan pengiriman.

Namun, China bukanlah sumber nikel terbesar, yang menjadi bagian inti dari baterai mobil listrik. Penambang nikel terbesar di dunia adalah Indonesia, yang menyumbang sekitar setengah dari produksi global.

Dan permintaan yang meroket untuk aneka komponen baterai telah bergaung di seluruh nusantara, termasuk di Pulau Wawonii di lepas pantai Sulawesi.

Dengan luas yang hampir sama dengan Singapura, Wawonii terdiri dari desa-desa nelayan maupun agraris, dan ketenangannya tengah terganggu oleh penambangan nikel.

“(Penambangan ini) telah menghancurkan sumber air utama kami,” kata warga, sebut saja “Ismail”, petani kacang mete dan pala yang juga mencari ikan sebagai sampingan. Berbicara kepada program Insight , ia mengajukan syarat anonimitas.

“Airnya ... dibutuhkan untuk kebun-kebun kami. Sejak mulai tercemar lumpur, saya harus mengangkut air bersih dari tempat lain, lumayan jauh dari tempat tinggal saya, naik sepeda motor.”

Tambang-tambang tersebut dioperasikan oleh Gema Kreasi Perdana, yang telah mendapatkan konsesi pertambangan seluas 1.800 hektar di pulau tersebut.

Selama musim kemarau, “debu bijih nikel beterbangan ke mana-mana”, kata Andi Rahman, direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Tenggara.

Ini masalah pelik karena debu menutupi daun-daun, sehingga menghambat fotosintesis. Dan hal ini terjadi di lahan pertanian Ismail, sehingga ia berpotensi “gagal panen lagi”, keluhnya.

Ada pula masalah hak atas tanah. Di beberapa daerah di Indonesia, kepemilikan tanah sering kali tidak jelas. “Sengketa tanah selalu jadi masalah besar di kawasan-kawasan tambang,” ujar peneliti senior Siwage Dharma Negara dari ISEAS –  Yusof Ishak Institute.

“Pemerintah memberikan konsesi atau izin kepada perusahaan-perusahaan tambang untuk beroperasi, tetapi dalam banyak kasus, ... wilayah konsesinya (sudah ditempati oleh) masyarakat tertentu.”

Wawonii Island.

Sengketa di Wawonii telah memicu demonstrasi, kerusuhan, dan kadang konfrontasi bersenjata ketika penduduk desa menuntut hak atas tanah mereka.

“Sampai sekarang belum ada kepastian yang jelas tentang hak-hak mereka, karena tanah mereka dirampas secara paksa oleh perusahaan tambang nikel itu,” kata Andi.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia, Meidy Katrin Lengkey, mewanti-wanti agar situasinya tidak disamaratakan.

“Perusahaan-perusahaan itu tidak sembarangan,” katanya. “Ada warga mengklaim tanah itu milik mereka, padahal itu milik negara. Ini kan artinya (perusahaan-perusahaan tambang) harus mengkompensasi ‘kerugian’ mereka.

Tapi ada juga perusahaan-perusahaan yang ngawur. Ada lahan milik masyarakat, tapi karena perusahaan merasa berkuasa, mereka ambil alih begitu saja.”

Kisah Pulau Wawonii merupakan cerminan dunia yang tengah memperebutkan logam-logam kritis. Bulan November lalu , presiden Amerika Serikat dan Indonesia bertemu untuk berdiskusi, dan potensi kemitraan mineral yang berfokus pada nikel menjadi salah satu agenda.

Akankah keberlanjutan selalu jadi prioritas seiring meningkatnya permintaan? Inilah pertanyaan yang akan mempengaruhi kehidupan makin banyak orang di Asia Tenggara di masa mendatang.

Baca artikel ini dalam bahasa Inggris di sini.

Source: CNA/da(ih)

Juga layak dibaca

Iklan

Iklan