Ikan mengecil, terumbu karang memutih: Kala perubahan iklim menghantam Maladewa
CNA mengunjungi negara destinasi turis yang populer ini untuk mencari tahu dampak perubahan iklim dan aktivitas manusia terhadap lingkungannya.
MALADEWA: Sepuluh tahun lalu, nelayan Maladewa seperti Ahmad Ashfam tidak perlu berperahu jauh-jauh untuk mendapatkan banyak ikan.
Tapi dengan memanasnya suhu permukaan laut Samudera Hindia hingga tingkat yang mengkhawatirkan, kualitas dan kuantitas tangkapannya terus menurun. Ditambah lagi, Ahmad harus menghadapi kondisi cuaca ekstrem dan tidak menentu.
"Kami tidak mendapati (ada banyak ikan) dan kami juga melihat berubahnya ukuran ikan. Itu sesuatu yang kami alami ketika terjadi perubahan iklim," kata Ashfam kepada CNA.
Nelayan 41 tahun ini sangat bergantung kepada lautan untuk pemenuhan kebutuhan keluarganya. Namun, rintangannya dalam mencari nafkah bertambah berat setiap tahunnya.
Di Maladewa, negara kepulauan kecil yang terkenal dengan keindahan pantai dan kejernihan air lautnya, perikanan menjadi industri kedua terbesar.
CNA mencermati betapa ketenangan dan keelokan alam Maladewa sedang didera berbagai ancaman, mulai dari perubahan iklim, pembangunan yang pesat di wilayah pesisir hingga polusi sampah plastik.
PELATIHAN BAGI NELAYAN
Selama 50 tahun terakhir, perubahan iklim menyebabkan suhu permukaan laut di Samudera Hindia naik 50 persen lebih cepat ketimbang rata-rata global. Hal ini menganggu pola migrasi alamiah ikan-ikan, memaksa mereka mencari perairan yang lebih dingin dan dalam.
Para nelayan juga terpaksa harus menghadapi pola cuaca yang semakin tidak menentu ketika pergi melaut.
"Sekarang para nelayan menghabiskan lebih banyak waktu di laut. Paling tidak, mereka seminggu berada di lautan," kata sekretaris jenderal Asosiasi Nelayan Maladewa, Abdulla Shakir Mohamed.
"Jadi ketika laut sedang ganas, jika cuaca sedang buruk, hal itu jelas akan menyulitkan mereka kembali ke pangkalan atau ke pulau asal."
Untuk mengatasi tantangan-tantangan ini, asosiasi telah bekerja sama dengan ribuan nelayan dan melengkapi mereka dengan pelatihan navigasi yang mumpuni.
Di antara kemampuan yang dilatihkan, kata Abdulla, adalah mengumpulkan dan menganalisa data. Selain itu, nelayan juga diharapkan mampu mengenali berbagai bentuk awan dan perubahan pola cuaca.
Dalam menghadapi perubahan iklim, para nelayan telah belajar praktik memancing yang berkelanjutan, dan memanfaatkan teknologi untuk kemajuan ke depan. Kendati demikian, setiap harinya berada di laut adalah pertaruhan bagi mereka.
"Di masa lalu, mungkin 10 tahun lalu, ketika terjadi perubahan cuaca, semua orang akan ke pinggiran terumbu karang dan mendapatkan banyak ikan," kata Ashfam.
"Sekarang, semua berubah."
TERUMBU KARANG MULAI MEMUTIH
Memanasnya suhu permukaan air laut dengan cepat juga mengancam terumbu karang di Maladewa. Terumbu karang telah menjadi tempat perlindungan bagi biota laut dan kerap disebut sebagai hutan hujannya lautan.
Maladewa memiliki salah satu ekosistem terumbu karang terbesar di dunia, pelindung garis pantai dari badai dan erosi.
Terumbu karang juga memainkan peranan penting bagi perekonomian Maladewa, menopang industri perikanan dan pariwisata.
Kini, terumbu karang di negara itu terkena dampak buruk pembangunan dan pengerukan pantai.
Para ilmuwan dan warga setempat bekerja sama untuk mencari cara melindungi dan memulihkan terumbu karang, yang tahun ini menunjukkan tanda-tanda pemutihan (bleaching) padahal negara itu tidak berada dalam masa terpanasnya.
"Jika hal ini terus berlanjut untuk waktu lama, maka banyak karang yang akan mati pada musim panas kali ini," kata ahli biologi kelautan Emma Keen dari Le Meridien Maldives Resort and Spa.
Pemutihan dipicu oleh anomali suhu air yang menyebabkan terumbu karang melepaskan ganggang yang bersemayam di jaringannya, sehingga warnanya berubah menjadi putih pucat. Tanpa bantuan ganggang yang mengantarkan nutrisi, terumbu karang bisa mati.
Ilmuwan seperti Keen kemudian mengumpulkan patahan terumbu karang. Patahan ini kemudian diikat ke kerangka, agar mereka tidak mati, bisa regenerasi dan terus tumbuh.
"Kami meletakkan rangka tersebut di tempat yang mungkin belum ada karang, sehingga mereka bisa tumbuh di sana dan membantu gugusan terumbu karang untuk tetap sehat di daerah ini," tambah Keen.
MENGATASI SAMPAH PLASTIK
Masalah sampah plastik kian bertambah seiring melonjaknya populasi Maladewa, dan upaya menanggulanginya tengah dilakukan saat ini. Di antara caranya adalah, Maladewa memperbaiki dan meningkatkan sistem pembuangan limbah serta melarang penggunaan plastik sekali pakai.
Sampah plastik di Maladewa sekarang mencakup 12 persen dari total limbah domestik mereka, atau 43.000 ton per tahun.
Sampah-sampah ini datang dari warga dan wisatawan yang memadati negara tersebut. Ibukota Male merupakan salah satu kota terpadat di dunia. Dengan luas hanya 8,3 km persegi, Male ditinggali sekitar 200 ribu orang.
Dr Edward Addai, perwakilan UNICEF di Maladewa, mengatakan bahwa masalah ini berawal dari urbanisasi.
"Negara ini berusaha mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, namun masih dilanda masalah lingkungan dan sanitasi," tambahnya.
"Di sepanjang pantai, Anda melihat banyak yang memakai plastik, plastik ada di mana-mana. Ini adalah tantangan yang sangat besar."
Lembaga swadaya masyarakat seperti Parley for the Oceans, yang berfokus pada perlindungan lautan, turun tangan ikut menanggulanginya.
Parley telah memanfaatkan jaringannya yang luas di seluruh kepulauan Maladewa untuk mengajak dewan kota, resor, dan nelayan setempat membantu mengumpulkan sampah plastik baik dari darat maupun laut. Sampah-sampah tersebut kemudian diangkut ke Male dengan bantuan operator kapal, dan dikirim ke pusat pengolahan.
Botol plastik dipadatkan menjadi balok-balok, sehingga mengurangi volume sampah dan memudahkan pengangkutan. Balok-balok ini kemudian akan dikirim ke fasilitas daur ulang di Jerman dan Taiwan untuk diolah menjadi barang lain.
Parley juga ingin meningkatkan kesadaran masyarakat akan jenis-jenis sampah plastik dan ancaman yang ditimbulkannya terhadap lautan.
Direktur eksekutifnya, Shaahina Ali, mengatakan bahwa mereka ingin melibatkan kelompok masyarakat sipil untuk menjadi bagian dari jaringan kolaborasinya.
"Mereka dapat memimpin masyarakat di pulau-pulau untuk turun tangan, menghentikan penggunaan plastik dan mendesain ulang komunitas mereka," tambahnya.
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini.Â