Politik Islam: Cemas di tengah kelindan penerapan hukum Syariah di Malaysia dan Indonesia
Tulisan ini merupakan bagian dari lima seri tulisan politik Islam di Asia Tenggara. Kali ini, CNA membahas bagaimana undang-undang Syariah di Indonesia dan Malaysia digunakan sebagai alat untuk membangun identitas partai, sehingga menimbulkan ketegangan antara kelompok masyarakat Muslim dan non-Muslim.
KUALA LUMPUR/PADANG: Hasyimah Ayuni baru-baru ini tertarik untuk menekuni ajaran Islam di luar masjid.
Anak bungsu dari tujuh bersaudara, Hasyimah saat ini sedang menempuh studi S2 di bidang Kesehatan Lingkungan di universitas di Lembah Klang, Malaysia. Ia kini percaya bahwa sudah menjadi kewajibannya adalah menjalani hidup sesuai dengan ajaran Islam.
Sikap ini muncul usai gugatan di pengadilan terhadap keabsahan beberapa hukum Syariah di Kelantan, negara bagian timur Malaysia, pada Februari lalu.
Hasyimah menyampaikan kepada CNA bahwa, mengingat mayoritas penduduk Malaysia beragama Islam, maka masuk akal jika hukum yang berlaku bagi umat Muslim menjadi prioritas pemerintah dibandingkan dengan hukum lainnya.
Dia juga ingin Malaysia menjalani hukum Syariah daripada sistem Common Law yang masih digunakan hingga saat ini.
"Sebagai seorang Muslim, Anda punya hukum dalam agama Anda, yang Allah perintahkan untuk Anda ikuti, tapi negara Anda meminta Anda untuk mengikuti hukum (mereka), beberapa di antaranya berlandaskan sumber-sumber Barat (dan) berbeda dari agama Anda. Anda tidak kesal dan sedih?" ucapnya menambahkan bahwa ajaran Islam mencakup semua aspek kehidupan.
Dia percaya bahwa hukum Syariah adalah seperangkat hukum yang terbaik, yang akan menjamin kesejahteraan hidup umat Muslim maupun non-Muslim.
"Ini karena UU didasarkan pada sumber hukum bagi umat Islam seperti Alquran," jelasnya.
Menurut studi Pew Research Center pada 2022, sebagian besar masyarakat Muslim di Malaysia dan negara tetangganya Indonesia lebih memilih menjadikan Syariah sebagai hukum resmi negara.
Hasil penelitian yang terbit pada September tahun lalu menyebutkan bahwa, 86 persen penduduk Muslim di Malaysia mendukung penerapan prinsip Syariah sebagai hukum resmi di negaranya, sedangkan di Indonesia, hanya 64 persen umat Muslim yang mendukung gagasan tersebut.
Namun, masyarakat di kedua negara ini masih berdebat apakah aturan ini berlaku untuk semua orang, atau apakah pengaruh Islam bisa membatasi keragaman dan kebebasan masyarakat.
Menurut Pew Research Center, Syariah, atau hukum Islam, memuat pedoman moral dan hukum mengenai hampir semua aspek kehidupan - mulai dari pernikahan, perceraian, warisan, kontrak, hingga hukuman pidana.
Menurut statistik resmi, terdapat sekitar 63,5 persen warga Malaysia yang memeluk agama Islam.
Azmi Hassan, analis politik dari Nusantara Strategic Academy, menyatakan bahwa mayoritas masyarakat Muslim di Malaysia berpendapat bahwa hukum Syariah harus diterapkan untuk mengatur kehidupan mereka, terlepas asal usul atau status mereka.
"Umumnya keyakinan itu sudah ada di sana. Hukum Syariah dianggap sebagai hukum yang paling utama dalam pemerintahan dan umat Islam meyakini bahwa itu hukum yang paling baik dibandingkan dengan hukum-hukum lain yang sedang diterapkan," katanya.
'BLACK FRIDAY': PROTES MENENTANG KEPUTUSAN PENGADILAN YANG MENGGUGAT HUKUM SYARIAH
Isu hukum Syariah baru-baru ini menjadi sorotan publik Malaysia setelah pengadilan tinggi negara tersebut menyatakan pada 9 Februari bahwa lebih dari selusin undang-undang (UU) Islam yang dijalankan oleh negara bagian Kelantan bertentangan dengan Konstitusi. Keputusan ini diambil menyusul gugatan yang diajukan pada tahun 2022 oleh pengacara Nik Elin Zurina Nik Abdul Rashid dan putrinya, Tengku Yasmin Nastasha Tengku Abdul Rahman.
Panel Pengadilan Federal yang terdiri dari sembilan orang, dalam keputusan 8-1, menyatakan 16 undang-undang dalam KUHP Syariah Kelantan 'tidak berlaku dan tidak sah', termasuk ketentuan yang mengkriminalisasi sodomi, inses, perjudian, pelecehan seksual, dan penistaan tempat ibadah.
Malaysia menerapkan sistem hukum ganda, di mana hukum pidana Islam dan hukum keluarga berlaku bagi masyarakat Muslim, yang berjalan berdampingan dengan hukum sekuler. Hukum Islam diterapkan oleh badan legislatif negara bagian tersebut, sedangkan hukum sekuler disahkan oleh Parlemen Malaysia.
Ketua Mahkamah Agung Tengku Maimun Tuan Mat yang menyampaikan putusan mayoritas mengatakan bahwa negara bagian Kelantan tidak punya kewenangan untuk memberlakukan UU tersebut, karena pokok bahasannya sudah termasuk dalam kewenangan legislatif Parlemen.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Syariah Kelantan, terdapat total 68 pasal dan 52 di antaranya masih dianggap sesuai dengan Konstitusi Malaysia.
Keputusan tersebut memicu keributan di kalangan Muslim konservatif. Mereka berpendapat bahwa gugatan tersebut akan melemahkan Islam atau pengadilan Syariah di Malaysia.
Partai Islam Se-Malaysia (PAS) memimpin protes terkeras terhadap putusan pengadilan tersebut. Mereka menyebutnya sebagai "Black Friday" bagi negara tersebut.
PAS telah memerintah Kelantan sejak 1990.
"Ketika satu UU Syariah di satu negara dibatalkan, itu juga berdampak pada UU yang sama di negara bagian lain, 14 negara bagian lainnya berada dalam situasi yang sangat genting dan kritis.
"Ini bukan perkara yang sepele, membela Syariah berarti membela institusi Raja yang merupakan kepala Agama Islam di Negara Bagiannya," kata Takiyuddin Hassan, Sekretaris Jenderal PAS, sebagaimana dilansir oleh Malay Mail pada 9 Februari.
Dalam wawancaranya dengan CNA, Muhammad Khalil Abdul Hadi, anggota komisi kerja PAS, mengatakan bahwa partai tersebut konsisten dalam upaya memperteguh Syariah di Malaysia sejak didirikannya pada tahun 1950-an.
"Ini bukan soal politik tapi soal prinsip. Ini bukan hanya masalah bagi anggota PAS saja, tapi juga masalah bagi semua umat Muslim sesuai prinsip-prinsip negara kita. Dalam Konstitusi Federal, Islam diberikan hak-haknya dalam banyak aspek, seperti Syariah, pernikahan, dan pendidikan.
"(Meski) belum pada level yang kami harapkan saat ini, tapi kami akan terus berupaya keras untuk memperteguhnya dan kami akan menghadapi siapa pun yang mencoba mengabaikannya," kata Dr Muhammad Khalil, yang juga putra tertua dari Presiden PAS, Abdul Hadi Awang.
PENGAMAT: BAGIAN DARI PERMAINAN POLITIK
Profesor James Chin, Direktur Asia Institute di University of Tasmania, berpendapat bahwa komitmen PAS untuk menegakkan hukum Syariah di Kelantan merupakan bagian dari permainan politik partai, guna menunjukkan kepada masyarakat bahwa mereka berkomitmen mempertahankan supremasi Islam.
Menurutnya, partai tersebut menyadari bahwa mereka tidak dapat meratifikasi undang-undang apa pun yang bertentangan dengan Konstitusi Federal. Untuk mewujudkan hal tersebut, mereka perlu mendapatkan dukungan dari keluarga kerajaan.
"Di satu sisi, kesannya, PAS hanya bermain-main untuk memperkuat brand mereka. Mereka tahu kalau Anda tahu mereka tidak bisa menang karena mereka tidak bisa mengesampingkan Konstitusi Federal.
"Kedua, banyak dari hal-hal ini sebenarnya butuh dukungan dari para Sultan untuk mewujudkannya. Bagi saya, ini semua soal permainan daripada kenyataan," jelasnya.
Bagaimanapun, dia menambahkan bahwa topik ini menimbulkan banyak kekhawatiran di dalam masyarakat kelas menengah di Malaysia, terutama mereka yang non-Muslim, karena banyak dari mereka tidak mengerti bagaimana sistem tersebut beroperasi.
Peneliti senior dan Koordinator Regional Social and Cultural Studies Programme, ISEAS-Yusof Ishak Institute, Norshahril Saat, menjelaskan bahwa PAS harus konsisten dalam membangun basis dukungannya, dan menggunakan politik identitas untuk mencapainya.
"Untuk mempertahankan basis dukungannya, mereka harus bisa menunjukkan bahwa pemerintah sekarang tidak melakukan cukup upaya untuk melindungi hukum Syariah, dan hal ini sejalan dengan perjuangan PAS di masa lalu," tuturnya."Saya pikir orang Malaysia setuju bahwa kasus Nik Elin baru-baru ini menjadi bukti bahwa ada batas-batas tertentu yang tidak dapat dilewati oleh PAS dan (batas-batas itu) benar-benar tertanam dalam struktur negara," tambahnya.
UNTUK MASYARAKAT MUSLIM SAJA, TAPI SAMPAI KAPAN?
Alawi Abdul Rashid, pengacara Syariah di Kelantan dari Alawi & Associates, menjelaskan bahwa hukum tersebut hanya berlaku untuk masyarakat Muslim, termasuk pelanggaran seperti perzinahan, konsumsi alkohol, dan tidak berpuasa selama bulan Ramadan.
"Saya pikir non-Muslim paham soal ini tapi topik ini selalu saja dipolitisasi," tuturnya.
Ahmad Fadhli Shaari, Kepala Informasi PAS, menyebut bahwa partai lain selain PAS juga menyampaikan tentang penguatan undang-undang (UU) tersebut dan bahwa Pengadilan Syariah di Malaysia punya kewenangan yang lebih sedikit dibandingkan dengan pengadilan sipil.
"Ini berkaitan dengan cara hidup umat Islam," ucapnya menambahkan bahwa masyarakat non-Muslim tidak perlu khawatir dengan undang-undang Syariah karena mereka tidak akan terdampak olehnya.
Dia juga mengatakan bahwa pada umumnya, PAS tidak perlu menggunakan negara lain sebagai bahan rujukan ketika berbicara perihal urusan pemerintahan.
"Kami tidak menggunakan Afghanistan sebagai referensi. Tidak. Apa kami mau pakai Arab Saudi sebagai referensi? Tidak. Pakistan sebagai referensi? Tidak. Jika PAS menjadi pemerintah, negara mana yang akan jadi referensi? Kami akan pakai Malaysia sebagai referensinya.
"Kita negara multiras. Kita ada orang Tionghoa, India, non-Muslim dan lainnya. Ini yang unik dari kita yang tidak orang lain punya ... Mereka hidup dengan caranya sendiri, sesuai dengan prinsipnya sendiri. Kami (juga) hidup dengan cara kami sendiri," ujarnya.
Seorang warga non-Muslim Kelantan yang hanya ingin dipanggil dengan nama Tiong, 35 tahun, bercerita bahwa dia khawatir jika suatu hari, hukum Syariah akan berlaku juga untuk mereka yang tidak beragama.
Tiong, yang berasal dari kota Bachok, mengatakan bahwa yang sangat ia khawatirkan adalah penerapan hukum Hudud yang dikenal keras. Beberapa hukuman di antaranya adalah amputasi tangan bagi mereka yang mencuri dan rajam bagi mereka yang berzina.
"Saya tahu ini hanya untuk orang Islam saja, tapi ada saja rasa takut kalau (nantinya) itu bisa dimanfaatkan untuk memusuhi orang yang non-Muslim," katanya.
Ismail Yahya, mantan Ketua Hakim Syariah Terengganu, menyampaikan meskipun banyak penduduk Muslim di Malaysia yang mendukung penerapan hukum Syariah secara meluas, namun hal itu tidak realistis, mengingat Malaysia memiliki agama dan budaya yang begitu beragam.
"Orang-orang menginginkan segala macam hal, tapi keinginan mereka tidak realistis dengan situasi kita. (Bahkan) pengetahuan dan pemahaman tentang hukum tersebut masih minim," ucapnya menambahkan bahwa isu hukum Syariah sedang dipolitisasi.
Ismail, yang juga merupakan seorang mantan mufti (pakar hukum Islam) di negara bagian tersebut, menjelaskan bahwa Pengadilan Syariah sejatinya penting untuk mengurus permasalahan yang berkaitan dengan hukum keluarga umat Muslim, seperti pernikahan dan perceraian serta masalah warisan.
PENGAMAT: 'KEMUNDURAN DEMOKRASI'
Sementara itu di Indonesia, kehidupan minoritas agama semakin terasa sulit di beberapa wilayah yang telah menjalankan peraturan daerah (perda) dan ketetapan Syariah.
Perda ini bermacam-macam, mulai dari mewajibkan wanita dan anak perempuan untuk mengenakan jilbab di sekolah negeri dan institusi pemerintahan, hingga menuntut pelajar untuk bisa baca Alquran jika mereka ingin lulus. Menurut beberapa pemuka agama, mereka tidak hanya mendiskriminasi kelompok agama minoritas tetapi juga membuat mayoritas penduduk Muslim besar hati untuk bersikap intoleran terhadap orang-orang yang menganut agama lain.
Di Sumatera Barat - di mana 97 persen dari 5,5 juta penduduknya beragama Islam - masyarakat Kristen, Katolik, Buddha dan Hindu sangat kesulitan untuk memperluas bangunan gereja-gereja dan kuil-kuil mereka, apalagi membangun rumah ibadah baru dari nol, tanpa menimbulkan gelombang protes dan kecaman dari penduduk Muslim setempat.
Menurut catatan Badan Pusat Statistik Indonesia, terdapat 12.198 masjid dan rumah ibadah umat Islam di seluruh Sumatera Barat pada tahun 2021. Di tahun yang sama, hanya ada 404 gereja dan kapel di provinsi tersebut.
Sejumlah kelompok agama minoritas di Sumatera Barat mengatakan bahwa mereka sudah mencoba mengajukan izin dari pemerintah daerah untuk membangun rumah ibadah mereka. Namun, pemerintah berdalih bahwa penduduk setempat menolaknya sehingga pemerintah tidak bisa mengeluarkan izin untuk itu.
Inilah alasannya mengapa hanya ada sedikit gereja dan kuil di Sumatera Barat, yang kebanyakan dibangun sebelum Indonesia merdeka dari Belanda pada tahun 1945. Di sebagian besar kota di provinsi ini, satu-satunya rumah ibadah adalah masjid.
"Kami hanya ingin tempat yang aman untuk kami beribadah dan menggelar kegiatan keagamaan kami. Kami sudah puluhan tahun di sini (di Sumatera Barat). Kami sudah menganggap (Sumatera Barat) seperti rumah kita," kata pemimpin jemaat Kristen di satu kota di Sumatera Barat kepada CNA. Sang diakones meminta untuk tidak disebutkan namanya karena takut akan pelecehan.
Selama bertahun-tahun jemaat tidak dapat memperoleh izin untuk membangun gereja mereka sendiri dan penduduk setempat juga enggan menjual tanah atau menyewakan properti jika tahu untuk dibangun gereja.
Jemaat harus mengadakan kebaktian hari Minggu di pangkalan militer setempat dan menggelar kajian Alkitab di rumah toko (ruko) satu lantai di gang buntu di bagian kota yang tenang.
Hidup mereka selalu dihantui oleh ketakutan bahwa kelompok-kelompok Muslim setempat akan datang dan membubarkan acara keagamaan mereka, seperti yang sering kali terjadi di wilayah Indonesia lainnya.
Agustus tahun lalu, acara kajian Alkitab di ibu kota provinsi Padang mendapat ancaman kekerasan. Di tahun 2019, jemaat Kristen di dua kabupaten Sumatera Barat terpaksa membatalkan perayaan Natal karena penolakan dari kelompok Muslim setempat.
Bahkan orang yang telah meninggal tidak lepas dari gelombang diskriminasi karena umat Kristen, Buddha, dan Hindu diberitahu bahwa kuburan di tempat mereka hanya untuk umat Islam saja.
"Kalau kita mau menguburkan orang meninggal, kami harus bawa jenazah ke luar provinsi. mereka yang masih punya kerabat di tempat lain, mereka bisa mengurus proses pemakamannya. Tapi bagaimana dengan mereka yang tak punya kerabat? Mereka yang tak punya uang untuk membawa jenazah?" kata David, warga Kristen yang tinggal di Sumatera Barat, yang hanya ingin disebut nama depannya saja.
Peneliti Human Rights Watch Indonesia, Andreas Harsono, mengatakan kehadiran peraturan daerah yang mengikuti hukum Syariah "telah membuka jalan (bagi) kemunduran demokrasi, kebebasan sipil, dan banyak hak-hak lainnya di wilayah yang mayoritas Muslim ini".
Kelompok advokasi hak asasi manusia asal New York ini mencatat, ada lebih dari 700 peraturan dan ketetapan Syariah di negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara tersebut.
Peraturan ini menjadi-jadi di provinsi-provinsi yang homogen seperti Sumatera Barat dan Aceh, di mana hampir semua penduduknya beragama Islam. Daerah-daerah tersebut juga merupakan bekas benteng Darul Islam, pemberontak Islam yang berusaha memisahkan diri dari Indonesia dan mendirikan negara Islam sendiri pada tahun 1950-an, seperti Jawa Barat dan Sulawesi Selatan.
Dan para aktivis khawatir masyarakat di Sumatera Barat akan semakin tidak toleran usai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Jakarta mengesahkan UU Sumatera Barat pada tahun 2022, yang mengakui ajaran Syariah sebagai landasan tradisi dan budaya provinsi tersebut.
"Kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama sudah menurun di Sumatera Barat," kata Bonar Tigor Naipospos dari organisasi nirlaba, Setara Institute for Peace and Democracy.
Dia menyampaikan bahwa UU yang diterapkan di tahun 2022 akan semakin membuat pengikut Islam garis keras merasa besar hati untuk terus melecehkan orang-orang dari agama lain. Selain itu, pemimpin setempat juga semakin ditekan untuk terus mengeluarkan peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan yang diskriminatif, yang cenderung berpihak pada mayoritas Muslim."Kini dasar hukum (mendiskriminasi) sudah semakin kuat," kata Bonar.
LANGKAH POLITIK YANG BAIK
Jatuhnya mantan Presiden Soeharto tahun 1998, yang selama tiga puluh tahun lebih memerintah negaranya dengan tangan besi, menjadi momentum bagi Indonesia untuk mendesentralisasikan kekuasaan dan memberikan otonomi kepada kota-kota, kabupaten, dan provinsi untuk menetapkan peraturannya sendiri, selama tidak bertentangan dengan hukum nasional.
Jatuhnya Soeharto juga memunculkan kehadiran kelompok-kelompok garis keras Islam seperti Gerakan Reformasi Islam (Garis), Forum Umat Islam (FUI), dan Front Pembela Islam (FPI) yang sekarang ini sudah dibubarkan. Sebelumnya, kelompok-kelompok ini ditindas dan tidak dapat menyuarakan pandangan politik mereka di bawah pemerintahan Suharto. Pada waktu itu, pandangan agama yang ekstrem dan tanda-tanda gesekan sekecil apa pun tidak ditoleransi.
"Untuk mempertahankan kekuasaan dan menggalang dukungan luas, (pemimpin setempat) berupaya mengakomodasi tuntutan kelompok-kelompok Islam ini. Jadi kadang-kadang (peraturan ini) dikeluarkan bukan karena alasan ideologis tapi karena pragmatisme politik," kata Bonar Setara.
Gumawan Fauzi, Bupati Solok yang mengajukan dua peraturan Syariah pertama di Indonesia, kemudian menjabat sebagai Gubernur Sumatera Barat pada tahun 2005 dan Menteri Dalam Negeri pada tahun 2009.
Mereka yang menentang aturan Syariah ini menghadapi reaksi politik.
Pada November 2018, Gusrizal Gazahar, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) cabang Sumatera Barat, organisasi Islam paling berpengaruh di negara ini, mengeluarkan fatwa yang melarang umat Islam memilih partai dan politisi yang mengkritik penerapan Syariah di provinsi tersebut.
Gusrizal menanggapi pernyataan ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Grace Natalie Louisa, beberapa hari sebelumnya, dengan mengatakan bahwa partainya "tidak akan pernah mendukung peraturan perda Injil atau perda Syariah.”
Pernyataan Grace disambut dengan protes di beberapa provinsi di seluruh Indonesia, negara yang 87,2 persen dari 270 juta penduduknya memeluk agama Islam. Ulama dan politisi setempat menuntut mantan ketua PSI itu mengeluarkan permintaan maaf.
Grace kemudian mengatakan bahwa ucapannya dimaksudkan sebagai kritik terhadap peraturan yang bersifat diskriminatif, bukan kecaman menyeluruh terhadap semua UU yang berbasis agama.
Tahun berikutnya, PSI memperoleh 1,14 persen suara di Sumatera Barat pada Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif, menempatkannya pada posisi terendah ketiga dari 16 partai politik yang memperebutkan suara. Tahun ini, nasib PSI lebih buruk. Mereka hanya menerima 11.700 atau 0,4 persen dari 2,9 juta suara yang diberikan di provinsi tersebut.
DASAR HUKUM YANG LEBIH KUAT
Kementerian Dalam Negeri bertugas mengkaji seluruh peraturan yang dikeluarkan oleh provinsi, kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Sejauh ini, kementerian telah menolak mencabut undang-undang (UU) Syariah ini, dengan dalih bahwa UU tersebut sejalan dengan hukum nasional dan diberlakukan melalui proses demokrasi di tingkat legislatif daerahnya masing-masing.
Tetapi ada provinsi-provinsi seperti Aceh yang mewajibkan semua calon legislatif (caleg) untuk bisa membaca Alquran. Persyaratan ini menyulitkan caleg non-Muslim untuk mewakili wilayahnya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) Provinsi atau Kota.
Aceh menjadi satu-satunya provinsi di mana pelanggaran Syariah dituntut secara pidana dan dihukum cambuk di depan umum. Provinsi ini adalah satu-satunya yang memiliki sistem kepolisian dan pengadilan Syariah tersendiri.
Di Sumatera Barat, landasan hukum perda Syariah ini semakin menguat setelah disahkannya UU Sumatera Barat tahun 2022.
"UU Sumatera Barat menjadi legitimasi bagi perda-perda Syariah supaya dipertahankan dan membuatnya sulit untuk dibatalkan," kata Andreas dari Human Rights Watch.
UU tersebut menghargai falsafah, "adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah" (adat bersendi syariat dan syariat bersendi kitab Allah) - prinsip yang dianut oleh suku Minangkabau, suku terbesar di Sumatera Barat - sebagai nilai dan ciri khas provinsi tersebut.
Meski UU tersebut mampu menenangkan hati kaum puritan Islam dan tradisionalis Minangkabau di Sumatera Barat, para pengkritik menilai falsafah tersebut gagal mengakomodasi nilai-nilai non-Muslim, migran, dan juga masyarakat Kepulauan Mentawai, kepulauan yang mayoritas penduduknya memeluk agama Kristen dan berbatasan dengan Samudera Hindia tetapi secara administratif masih termasuk bagian dari Sumatera Barat.
Herdi Siswan, politikus dan anggota majelis adat Minangkabau, berjanji bahwa pemerintah dan badan legislatif akan melindungi kepentingan agama minoritas.
"Pemerintah dan badan legislatif dipilih bukan hanya oleh umat Islam, jadi mustahil kalau kita tidak perjuangkan (hak-hak non-Muslim). Yang banyak tidak menindas yang sedikit. Itu bukan cara orang Minangkabau," katanya.
Namun Herdi mengakui bahwa sulit bagi mereka yang non-Muslim di Sumatera Barat untuk mendapatkan izin membangun rumah ibadah mereka dan bahwa beberapa sekolah memaksa siswanya untuk mengenakan jilbab, terlepas dari keyakinan mereka.
"Ini aturan yang sudah diikuti orang-orang di sini selama bertahun-tahun. Tak salah (jika) pemerintah berusaha mengatur rakyatnya sesuai Syariah," ujarnya.
Laporan tambahan oleh Amir Yusof