Gagasan 'diplomasi orangutan' Malaysia menuai protes, menurut para ahli ada cara yang lebih baik
Pusat rehabilitasi di Sabah dan Sarawak telah memberikan kesempatan hidup di alam liar bagi orangutan yang terusir dari habitatnya, terluka atau yatim piatu.
SANDAKAN, Malaysia: Jam 3 sore, waktunya petugas di Pusat Rehabilitasi Orangutan Sepilok di Sabah, Malaysia, memberikan makanan.
Malim, orangutan jantan berukuran besar dengan bantalan pipinya yang khas, berjalan dengan gagah menuju tempat makanan. Di situ, petugas telah meletakkan pisang, ubi dan sayur-sayuran seperti kacang panjang.
Di hadapan 50 pengunjung yang antusias menyaksikan dari jarak 18 meter, Malim mulai memamah makanannya, sama sekali tidak terganggu dengan kawanan kera yang turut memperebutkan makanan.
Tidak lama kemudian, seekor orangutan betina dan bayinya bergabung untuk makan.
Orangutan diberi makan dua kali sehari dan menjadi tontonan menarik bagi para pengunjung Sepilok, yang telah menjelma menjadi tempat wisata populer di Sabah.
Terletak di pinggiran hutan hujan Kabili-Sepilok seluas 4.294 hektare, pusat rehabilitasi ini telah beroperasi sejak 1964 untuk merawat orangutan yatim piatu, terluka atau terusir dari habitatnya untuk kemudian dilepasliarkan.
Diperkirakan ada sekitar 150 hingga 200 orangutan di hutan tersebut, sementara saat ini pusat rehabilitasi Sepilok yang dikelola Departemen Lingkungan Hidup Sabah tengah merawat 42 orangutan.
Tidak ada jaminan bagi pengunjung mereka bisa melihat orangutan di waktu makan. Tapi bagi para petugas Sepilok, itu justru pertanda baik.
Tempat pemberian makan terletak di gerbang antara pusat rehabilitasi dan hutan. Petugas sengaja memberikan makanan yang terbatas dan monoton agar orangutan belajar mencari makan sendiri di alam.
"Tujuan dari Sepilok adalah merehabilitasi orangutan agar tidak lagi bergantung kepada kami dan bisa hidup bebas di hutan, mencari makanan mereka sendiri," kata Adrianus Tim Onong, salah satu petugas di Sepilok.
Saat sedang musim buah, terkadang tidak ada orangutan yang datang ke tempat pemberian makan. Memang jadi tidak menarik bagi pengunjung, tapi itu artinya programnya sudah berjalan dengan baik, dan itu bagus untuk orangutan."
Beberapa bulan terakhir, konservasi dan peran orangutan di Malaysia tengah menjadi sorotan.
Pada Mei lalu, menteri komoditas dan perkebunan Malaysia Johari Abdul Ghani menggulirkan wacana "diplomasi orangutan" untuk menangkis pemberitaan buruk soal kelapa sawit dan meningkatkan hubungan dengan para importir seperti Uni Eropa, India dan China.
Tahun lalu Uni Eropa telah mengesahkan undang-undang larangan impor komoditas yang dianggap menyebabkan penggundulan hutan, berpotensi mencederai industri kelapa sawit. Malaysia adalah satu salah negara yang memprotes UU yang dianggap diskriminatif tersebut.
Kelapa sawit sejak lama telah dikaitkan dengan rusaknya habitat orangutan. Johari menganggap Malaysia - negara produsen kelapa sawit terbesar dunia setelah Indonesia - tidak bisa lagi mengambil pendekatan yang defensif.
Malaysia, kata dia, harus menunjukkan bahwa kelapa sawit mereka adalah industri yang berkelanjutan dan para produsennya berkomitmen dalam melindungi hutan dan ketahanan alam.
Johari menyarankan untuk menghadiahkan orangutan kepada para importir kelapa sawit. Langkah ini terinspirasi dari China yang mengirimkan panda sebagai hadiah diplomatik kepada negara-negara lain.
Menurut data Dewan Minyak Sawit Malaysia, pada tahun 2023 importir utama minyak kelapa sawit Malaysia adalah India (18,8 persen), China (9,7 persen), Uni Eropa (7,1 persen), Kenya (6,1 persen), dan Turkiye (5,8 persen).
Industri ini telah menyumbang lima persen bagi produk domestik bruto Malaysia pada 2022.
Gagasan Johari lantas menuai reaksi dari para konservasionis dan pejabat di Sabah dan Sarawak, negara bagian tempat habitat orangutan.
Menurut mereka, lebih penting untuk melestarikan habitat hewan yang terancam punah tersebut, ketimbang mengirimkan orangutan ke luar negeri.
Antara tahun 1973 dan 2010, Sabah kehilangan 40 persen wilayah hutannya, sementara Sarawak 23 persen, berdasarkan hasil pencitraan satelit pada 2024. Salah satu penyebab utama hilangnya hutan adalah alih fungsi lahan menjadi perkebunan.
MERAWAT BAYI ORANGUTAN UNTUK DILEPASLIARKAN
Saat mengunjungi Sepilok bulan lalu, CNA mendapati sulitnya merehabilitasi orangutan. Namun ada beberapa titik terang dalam upaya konservasi ini.
Salah satunya adalah tiadanya laporan dalam tiga tahun terakhir soal orangutan yang jadi peliharaan warga.
"Mungkin ini karena adanya kesadaran publik dan masyarakat sudah tahu bahwa orangutan adalah satwa yang dilindungi. Warga tidak menjadikan orangutan peliharaan dan membiarkannya hidup bebas. Kini konflik antara manusia dan satwa liar sudah berkurang," kata dr. Nabila Sarkawi, dokter hewan di Sepilok.
Jumlah bayi orangutan yang dikirim ke Sepilok juga terus berkurang setiap tahunnya, kata Nabila. "Kami telah melihat tren ini sejak 2021. Kami tidak yakin apa faktor penyebabnya, karena belum ada penelitian ilmiah mengenai ini."
Nabila tidak membeberkan berapa bayi orangutan yang mereka terima di tahun-tahun sebelumnya, namun pada 2023 mereka menerima satu bayi orangutan.
Bayi orangutan biasanya dikirim ke Sepilok karena ibunya diduga terluka atau bahkan mati.
"Bayi orangutan hidup bersama ibu mereka hingga usia enam hingga tujuh tahun. Jika mereka ditemukan sendirian di bawah usia itu, kami harus merawatnya dan mengajarkannya cara bertahan hidup," kata Nabila.
Bayi-bayi orangutan harus diasuh selama 24 jam di dalam ruangan sampai mereka cukup umur untuk belajar berbagai kemampuan dasar, seperti memanjat pohon dan mencari makanan. Wilayah pengasuhan bayi orangutan ini tidak bisa dimasuki pengunjung.
Ketika sudah dirasa cukup umur, mereka dinyatakan "lulus" dan boleh dirawat di luar ruangan, bertemu dengan orangutan yang lebih dewasa serta belajar banyak hal, salah satunya cara membangun sarang.
Di tempat ini kontak dengan manusia sangat minim, meski ada pos pemantauan bagi pengunjung dari balik jendela kaca. Orangutan juga bebas merambah ke dalam hutan.
Mereka baru akan dilepasliarkan ketika dianggap sudah terbiasa dengan kehidupan hutan dan menunjukkan kemampuan bertahan hidup yang baik.
Nabila memperkirakan sekitar 60 persen orangutan yang telah menjalani masa rehabilitasi dan dilepasliarkan dapat hidup di alam liar. Sisanya dianggap setengah-liar dan sering mendatangi Sepilok untuk meminta makanan.
"Inilah yang harus dipahami manusia. Ketika kita merawat mereka ketika masih bayi, ada manusia yang akan menjadi sosok 'ibu' bagi mereka. Sulit melepaskan ke hutan karena mereka akan terus kembali. Mereka tinggal di hutan, tapi hanya sebentar. Itulah yang menjadi tantangan bagi pusat rehabilitasi," kata dia.
Nabila mengatakan Sepilok juga merawat orangutan yang tidak bisa hidup di alam liar. Saat ini ada satu orangutan yang buta dan sekitar 10 yang sakit atau terluka.
Selain Sepilok, pusat rehabilitasi orangutan lainnya di Malaysia adalah Semenggoh di negara bagian Sarawak.
ORANGUTAN PERLU HUTAN UNTUK BERTAHAN HIDUP
Usulan Johari menuai perdebatan karena orangutan adalah spesies yang ikonik dan terkenal, kata Marc Ancrenaz, direktur sains Hutan, lembaga konservasi nirlaba di Sabah.
Ancrenaz berpendapat sama dengan para konservasionis lainnya, bahwa cara terbaik memanfaatkan orangutan untuk diplomasi adalah dengan menunjukkan kepada dunia bahwa Malaysia telah menjamin keberlangsungan hidup jangka panjang kera raksasa itu dengan cara melestarikan habitat mereka.
"Orangutan dilindungi sepenuhnya dan sulit mengirim mereka ke luar negeri. Selain itu di luar negeri juga sudah ada tempat penangkaran mereka, tidak seperti panda," kata Ancrenaz.
Menurut berbagai studi, ada sekitar 1.000 hingga 1.100 orangutan yang tinggal di kebun binatang di seluruh dunia.
Kelompok pelestari satwa liar lainnya yang turut berkomentar adalah World Wide Fund for Nature (WWF).
WWF Malaysia mengatakan bahwa cara yang lebih efektif untuk konservasi alam dan orangutan yaitu dengan memperbaiki pengelolaan hutan dan memprioritaskan konservasi in-situ, mendukung produksi minyak kelapa sawit yang berkelanjutan dan meningkatkan pendanaan internasional untuk upaya konservasi di negara-negara berkembang.
WWF melanjutkan, populasi orangutan di Pulau Kalimantan memang "stabil di Sabah dan Sarawak dalam beberapa dekade terakhir", tapi masih ada ancaman yang harus disikapi.
"Ancaman ini adalah perubahan iklim, kebakaran hutan, fragmentasi hutan, alih fungsi hutan untuk perkebunan, pertambangan dan pembangunan permukiman," ujar WWF dalam pernyataan mereka Mei lalu.
Dr. Melvin Gumal, Wakil kepala eksekutif Sarawak Forestry Corporation (SFC), kepada CNA mengatakan jumlah orangutan di negara bagian itu meningkat dalam beberapa tahun terakhir, berdasarkan pengamatan langsung di lapangan.
Melvin mengatakan, mereka pernah mendapati hal langka, yaitu melihat ibu orangutan dengan sepasang anak kembar di Taman Nasional Batang Ai, Sarawak, baru-baru ini. Terlihat juga orangutan yang tengah hamil di hutan tersebut. SFC adalah badan hukum pemerintah Sarawak yang mengelola kawasan lindung dan bertugas melestarikan keanekaragaman hayatinya.
Ada kebijakan di Sarawak untuk melindungi kawasan baru tempat orangutan terlihat, kata Melvin.
"Orangutan sekarang terlihat di tempat-tempat yang sebelumnya mereka hindari, mungkin karena takut diburu," kata dia.
Tahun ini, kata Melvin, mereka akan melakukan survei untuk memonitor jumlah orangutan.
Menurut dia, karena budaya Sarawak menganggap orangutan penting, maka satwa ini harus dilindungi di habitat aslinya. Cara terbaik bagi negara-negara yang ingin terlibat dalam program diplomasi adalah menyuntikkan dana ke situs konservasi dan juga lembaga riset di Sarawak, kata dia.
Sekilas fakta tentang orangutan
Ada tiga spesies orangutan, yaitu spesies Kalimantan, Sumatra dan Tapanuli. Ketiga spesies ini dianggap terancam punah oleh International Union for Conservation of Nature.
- Diperkirakan ada sekitar 55.000 orangutan Kalimantan yang tersisa, 11.000 di antaranya ada di Sabah dan 3.000 di Sarawak.
- Orangutan Sumatra kebanyakan ditemui di Taman Nasional Gunung Leuser, Sumatra Utara, diperkirakan berjumlah 13.846 ekor.
- Orangutan Tapanuli ditemukan di hutan Batang Toru, Sumatra Utara, dan baru dinyatakan sebagai spesies berbeda pada 2017. Diperkirakan mereka berjumlah sekitar 800 ekor.
- WWF memperkirakan ada lebih dari 230.000 orangutan di alam liar pada 100 tahun lalu.
Marc Ancrenaz, direktur sains Hutan, lembaga nirlaba konservasi di Sabah, mengatakan orangutan adalah "pembiak yang lambat".
Mereka akan melahirkan setiap delapan atau sembilan tahun, dan hanya bisa memiliki maksimum empat hingga lima bayi sepanjang hidupnya, kata Ancrenaz.
Orangutan betina hanya akan kawin lagi jika bayi mereka sudah bisa mandiri.
BUKAN LAGI PENGGANGGU BAGI PERKEBUNAN
Dalam beberapa tahun terakhir, fokus konservasi orangutan bukan hanya agar mereka mampu bertahan hidup di dalam hutan, tapi juga di perkebunan.
Ini adalah salah satu target dari Rencana Aksi Orangutan Sabah 2020-2029. Dalam rencana aksi tersebut, Sabah telah direncanakan memiliki perkebunan kelapa sawit yang mencakup 25 persen dari wilayah mereka.
Perkebunan memang bukan tempat yang cocok untuk keberlangsungan orangutan, "namun perlu disadari bahwa lansekap perkebunan telah semakin menjadi bagian dari habitat orangutan secara keseluruhan", bunyi rencana aksi tersebut.
"Oleh karena itu, petak-petak dan koridor hutan alami perlu dipertahankan dalam lansekap ini, dan pembunuhan serta perburuan oportunistik harus dicegah dengan cara apa pun."
Ancrenaz mengatakan, orangutan dan satwa liar lainnya seperti gajah kerap merambah ke kawasan perkebunan karena kawasan hutan semakin menyempit.
Orangutan memang bisa memakan buah hasil perkebunan dan merusak tanaman, tapi mereka tidak berbahaya bagi manusia, lanjut Ancrenaz.
"Jika kita amati, kerusakan yang terjadi sebenarnya cukup kecil jika dibandingkan apa yang bisa diberikan orangutan kepada Malaysia dalam hal penelitian dan wisata alam," kata dia, sembari mengutip penelitian yang menyebutkan bahwa orangutan terbukti sangat tangguh.
Kita harus mencari cara untuk bisa hidup berdampingan dengan orangutan."
Para konservasionis perlu bermitra dengan industri kelapa sawit untuk menyikapi situasi yang terus berkembang, kata dia.
"Sejak lama, semua orang menyalahkan industri ini karena telah merusak hutan dan spesies satwa seperti orangutan," kata dia.
"Tapi itu ada benarnya juga, untuk waktu yang lama, sulit bagi industri ini dan para konservasionis untuk bekerja sama. Tapi sekali lagi, situasi sudah berubah. Penggundulan hutan akibat pengembangan kebun kelapa sawit semakin berkurang."
Konsep hidup berdampingan antara perkebunan dan orangutan adalah konsep yang benar-benar baru, kata dia.
Di masa lalu, lanjut Ancrenaz, satwa liar yang ditemukan di perkebunan akan dikembalikan ke hutan. "Cara ini tidak berhasil."
Saat ini semakin banyak perusahaan komoditas yang sepakat untuk hidup berdampingan dengan satwa liar, kata Ram Nathan, mantan manajer keberlanjutan dan konservasi yang pernah bekerja di perusahaan penebangan kayu dan kelapa sawit di distrik Tawau, Sabah.
Dalam beberapa tahun terakhir, penampakan orangutan dan sarang mereka di dalam dan sekitar lahan konsesi kelapa sawit semakin menjadi hal yang biasa.
"Orangutan - yang besar dan kecil - akan muncul ketika cuacanya tidak terlalu panas. Dulu mereka pernah dianggap gangguan, tapi hal itu berubah dalam beberapa tahun terakhir," kata Nathan, yang pensiun Juni tahun lalu setelah bekerja di perusahaan selama 34 tahun.
MENGADOPSI ORANGUTAN
Pemerintah Malaysia sepertinya telah mempertimbangkan pendapat komunitas konservasionis terkait pelestarian orangutan.
Tiga minggu setelah Johari menyampaikan gagasannya, lembaga Malaysian Palm Oil Green Conservation Foundation (MPOGCF) yang dibentuk oleh kementerian perkebunan Malaysia merekomendasikan strategi in-situ untuk "diplomasi orangutan". Mereka juga merencanakan sebuah inisiatif bagi orangutan di zona perkebunan.
Manajer MPOGCF, Hairulazim Mahmud, mengatakan mereka akan mengajak para pembeli minyak kelapa sawit untuk turut melestarikan orangutan di kawasan perkebunan dengan Nilai Konservasi Tinggi (NKT) di Sabah dan Sarawak. Mereka juga akan menggelar diskusi dengan para pemangku kepentingan.
"Misalnya, pembeli minyak kelapa sawit akan menyumbang RM100.000 (Rp344 juta) untuk setiap orangutan, mengadopsi mereka sebagai 'pelindung', sehingga dapat secara langsung mendukung upaya pelestarian dan pengawasan orangutan di dalam dan sekitar wilayah perkebunan," kata dia.
"Ada perkebunan kelapa sawit dengan NKT dengan luas 2.500 hektare dan diperkirakan ada populasi orangutan liar lebih dari 50 ekor di dalamnya," lanjut Hairulazim.
Gagasan ini lebih mudah diterima oleh warga asli Sabah seperti Alice Eik, 47, yang mengatakan bahwa orangutan adalah kebanggaan bagi mereka.
"Saya bangga Sabah menjadi satu dari sedikit tempat yang memiliki orangutan liar," kata Eik, seorang pendeta yang mengunjungi Sepilok bulan lalu bersama kawan-kawannya.
"Hewan juga berhak hidup bebas di alam liar dan masyarakat punya tanggung jawab melestarikan lingkungan untuk semua makhluk hidup," kata dia.
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini.