Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.
Iklan

Asia

Strategi jitu Singapura lawan ancaman ekstremisme sayap kanan yang menyasar kaum Muslim

Meskipun belum ada kelompok kanan jauh yang diketahui beroperasi di Singapura, beberapa kasus indoktrinasi dan radikalisasi secara daring telah terkuak.

Strategi jitu Singapura lawan ancaman ekstremisme sayap kanan yang menyasar kaum Muslim

Ekstremisme sayap kanan merupakan ancaman bagi masyarakat multikultural dan multiras Singapura. (Ilustrasi: CNA/Rafa Estrada)

SINGAPURA: Pada September 2024, seorang siswa masuk ke studio tato dan meminta ditato di siku kanannya.

Desain pilihannya adalah sonnenrad yang juga dikenal sebagai roda matahari atau matahari hitam – namun dimodifikasi tanpa lingkaran hitam bagian. Akan terlalu menyakitkan jika ditato di sendi sikunya, pikir remaja 18 tahun itu.

Bagaimanapun, simbolisme mengerikan di balik tato tersebut tetap jelas: Sonnenrad adalah simbol kebencian yang terkait dengan neo-Nazisme.

Bagi Nick Lee Xing Qiu, simbol tersebut menjadi wujud kesetiaannya terhadap gerakan ekstremis sayap kanan yang telah menginspirasinya merencanakan serangan terhadap kelompok Melayu dan Muslim di Singapura.

Nick ditahan pihak berwenang tiga bulan kemudian.

Kasusnya menjadi yang ketiga terkait ekstremisme sayap kanan yang melanggar Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri (ISA) Singapura dalam empat tahun terakhir.

Hal ini mengikuti tren global, terutama di negara-negara Barat, yang menyasar kaum muda yang tumbuh besar dalam dunia digital.

Di Singapura, ekstremisme sayap kanan menjadi ancaman khusus terhadap kondisi masyarakat yang multikultural dan multiras, ungkap para analis kepada CNA.

Mereka juga menarik kesamaan antara proses indoktrinasi ekstremisme sayap kanan dengan ekstremisme Islam, sehingga Singapura dapat mengadaptasi pendekatan rehabilitasi yang telah diterapkan sebelumnya untuk menghadapi tantangan baru ini.

APA ITU EKSTREMISME SAYAP KANAN?

Dalam laporan tahunan penilaian ancaman terorisme, Departemen Keamanan Dalam Negeri (ISD) Singapura menggambarkan ekstremisme sayap kanan sebagai ancaman keamanan yang berkembang pesat di negara-negara seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan di Eropa.

Ekstremisme ini mencakup berbagai keyakinan eksklusivis yang memandang kepercayaan lain sebagai salah atau tidak valid, serta mengadvokasi kekerasan demi menjaga kemurnian etnis atau mencapai tujuan politik.

Laporan ISD mencatat bahwa ekstremisme sayap kanan sering dikaitkan dengan supremasi kulit putih, namun sebenarnya juga mencakup pesan yang lebih luas tentang chauvinisme atau superioritas etno-religius, nasionalisme, dan nativisme.

AS secara khusus mengalami lonjakan nasionalisme Kristen kulit putih yang menggabungkan unsur agama dan rasial bersamaan dengan kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih, kata Kumar Ramakrishna, dekan lembaga kajian Sekolah Studi Internasional S Rajaratnam (RSIS).

Nasionalisme Kristen kulit putih mempromosikan “asumsi supremasi kulit putih” seputar keunggulan budaya “Kristen-kulit putih” dan “gaya hidup tradisionalnya”, tulis Profesor Kumar dalam sebuah artikel komentar.

Presiden AS Donald Trump berpose untuk difoto di Kennedy Center, di Washington, DC, AS, 17 Maret 2025. (Foto: REUTERS/Carlos Barria)

Para pakar mencatat politik kanan jauh di Barat telah menyebar secara global sebagai reaksi terhadap demokrasi liberal, termasuk ke Asia Tenggara.

Alhasil, bentuk ekstremisme ini sudah muncul di Malaysia dan Singapura.

Pada Desember 2020, seorang siswa berusia 16 tahun menjadi individu pertama yang ditahan di Singapura karena ekstremisme sayap kanan. Bocah Kristen Protestan keturunan India itu merencanakan serangan terhadap warga Muslim di dua masjid menggunakan parang.

Ia dibebaskan Januari tahun lalu setelah pihak berwenang menyatakan dirinya menunjukkan kemajuan dalam proses rehabilitasi.

Siswa lain berusia 16 tahun yang mengidentifikasi dirinya sebagai supremasis kulit putih dan bercita-cita menyerang kelompok minoritas di luar negeri diberikan perintah pembatasan pada November 2023. Bocah Tionghoa yang saat itu adalah siswa Secondary 4 (setara kelas 1 SMA) teradikalisasi secara mandiri melalui propaganda daring kanan jauh.

Kasus ketiga melibatkan Nick yang mengidentifikasi dirinya sebagai "supremasis Asia Timur" yang menganggap superior etnis Tionghoa, Korea, dan Jepang.

Ketiga remaja ini terpengaruh tokoh kanan jauh luar negeri seperti Brenton Tarrant yang membantai lebih dari 50 warga Muslim di Selandia Baru pada 2019.

Kasus ini hanyalah sebagian yang terungkap. Menurut analis keamanan, ada kekhawatiran banyak kasus tidak terlaporkan.


 
Brenton Harrison Tarrant duduk di kursi terdakwa pada hari terakhir sidang vonisnya di Pengadilan Tinggi Christchurch di Christchurch, Selandia Baru, pada 27 Agustus 2020. (Foto arsip: AP/John Kirk-Anderson)

ANCAMAN BAGI SINGAPURA

Ekstremisme sayap kanan juga mendorong gagasan bahwa di masyarakat multikultural demokratis, mayoritas etnis atau agama harus tetap dominan secara politik, ekonomi, dan sosial serta tidak boleh "tergantikan", ujar Prof Kumar.

Ini bertentangan dengan filosofi pemerintahan Singapura yang sekuler, multikultural, dan meritokratis, tambahnya.

ISD juga menjelaskan bagaimana ideologi kanan jauh bisa diadaptasi ke dalam konteks Singapura, dengan mempromosikan narasi "kami versus mereka" yang menciptakan perpecahan, memperburuk prasangka, dan mendorong kekerasan terhadap minoritas atau "kelompok luar".

Kalicharan Veera Singam, seorang analis senior di RSIS, mengatakan bahwa meskipun Singapura pernah mengalami beberapa insiden yang bersifat rasis dan melecehkan agama selama bertahun-tahun, insiden-insiden tersebut tidak didorong oleh motivasi ideologis.

Sebaliknya, ekstremisme sayap kanan menghadirkan "ancaman ideologis" yang membenarkan dan merasionalisasi rasisme serta bentuk-bentuk kebencian lainnya.

Kalicharan mengatakan bahwa sentimen kanan jauh dan yang berkaitan dengannya di ranah daring sulit dilacak; dan sama sulitnya pula mengidentifikasi orang-orang yang telah teradikalisasi.

Berbeda dengan ekstremisme yang bermotif agama, jenis ekstremisme sayap kanan berevolusi dengan lebih cepat dalam hal simbol dan ikonografi yang digunakan untuk menciptakan narasi, tambahnya.

“Di Asia Tenggara, di mana ancaman dalam bentuknya saat ini masih relatif baru, simbol dan ikonografi kanan jauh yang disesuaikan dengan konteks lokal sulit untuk diinterpretasikan.”

Dengan tidak adanya kelompok ekstremis sayap kanan yang diketahui berbasis atau beroperasi di Singapura, segelintir warga lokal yang terindoktrinasi telah mengalami radikalisasi secara daring, kata Profesor Studi Keamanan RSIS, Rohan Gunaratna. Ia menunjuk pada "ribuan" situs web dan akun media sosial kanan jauh yang menyebarkan ideologi ekstremis tersebut.

Melalui platform daring tersebut, kelompok-kelompok ekstremis merekrut orang untuk berbagai tujuan, mulai dari menyebarkan propaganda, menggalang dana, hingga terlibat dalam aksi serangan, katanya.

FAKTOR KEBELIAAN

Posisi Singapura sebagai masyarakat yang terbuka dan terdigitalisasi, dengan sebagian besar penduduknya memiliki akses internet, membuat paparan terhadap percakapan ekstremis sayap kanan semakin mudah terjadi.

Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa mereka yang ditangkap sejauh ini di Singapura semuanya berasal dari generasi muda yang terus-menerus aktif secara daring.

ISD menyatakan bahwa kaum muda mungkin lebih rentan terhadap ideologi kanan jauh, serta tertarik pada rasa memiliki dan identitas yang tampaknya ditawarkan oleh gerakan-gerakan tersebut.

Pada usia ketika mereka mencari makna dan jati diri, kaum muda mungkin tertarik pada sensasi atau status tertentu yang muncul dari keterkaitan dengan gerakan kanan jauh, kata Prof Kumar.

Hal ini misalnya terlihat di Amerika Serikat dan Eropa, di mana kelompok semacam itu sering muncul sebagai kekuatan politik baru yang secara terbuka menentang status quo.

“Kelompok-kelompok anti-kemapanan ini sering terlihat menonjol karena slogan dan perilaku mereka yang mengejutkan, sehingga sebagian anak muda menganggapnya keren dan ingin ikut mengidentifikasikan diri dengannya,” katanya.

Dr Mohamed Ali, peneliti senior RSIS dan Kepala Kelompok Rehabilitasi Keagamaan (RRG), juga menekankan peran yang mungkin dimainkan oleh kondisi pribadi seseorang.

“Kita juga perlu melihat latar belakang anak muda tersebut. Dalam banyak kasus, ada perasaan kecewa atau ketidakbahagiaan. Sebagai contoh, seorang remaja mungkin berasal dari keluarga yang bermasalah atau terpecah, atau menghadapi masalah di sekolah,” ujarnya.

MELAWAN RADIKALISASI

Negara-negara di seluruh dunia telah mengambil berbagai langkah untuk menghadapi ancaman spesifik dari ekstremisme sayap kanan.

Jerman telah menerapkan rencana 13 poin yang memungkinkan pihak berwenang untuk membekukan rekening bank dan menghentikan pendanaan bagi ekstremis, lebih mudah melarang acara yang diselenggarakan mereka, serta mencegah aktivis kanan jauh masuk atau meninggalkan negara tersebut, di antara tindakan lainnya.

Di Australia, larangan terhadap simbol Nazi mulai berlaku pada Januari tahun lalu. Penghormatan ala Nazi di depan umum juga dijadikan tindak pidana.

Bagi Singapura, pendekatan utama yang diterapkan tetap lebih luas, yaitu menyasar semua bentuk radikalisasi, dengan pendekatan dari bawah ke atas.

Negara ini telah bekerja dengan anak-anak sekolah dan generasi muda untuk membangun kohesi sosial "lebih dari pemerintah manapun", ujar Prof Rohan.

Bagi masyarakat luas, ada gerakan SGSecure yang dimulai tahun 2016 untuk mempersiapkan warga Singapura agar turut berperan dalam mencegah dan menangani serangan teroris.

Perdana Menteri Lee Hsien Loong secara resmi meluncurkan gerakan SGSecure. (Foto: Facebook/Singapore Civil Defence Force)

Program penjangkauan yang dilakukan oleh berbagai organisasi masyarakat juga membantu meningkatkan kesadaran akan bahaya radikalisasi. Di antaranya adalah forum dan seminar yang digelar oleh RRG – kelompok sukarelawan yang terdiri dari para cendekiawan dan pengajar Islam.

Lalu ada pula ISA, yang di antara lain memberi kewenangan kepada pemerintah Singapura untuk menahan individu yang dianggap mengancam keamanan negara, hingga dua tahun dalam penahanan pertama.

Sejak serangan teroris 9/11 di AS pada 2001, undang-undang ini digunakan terutama untuk memberantas terorisme.

Prof Rohan menggambarkannya sebagai "hukum paling efektif" dan "senjata yang sangat diperlukan" bagi Singapura.

MENGOREKSI PEMIKIRAN YANG MENYIMPANG

Jika ISA adalah alat paling kuat dalam perangkat Singapura, maka senjata rahasianya adalah rehabilitasi.

Para analis mengatakan bahwa Singapura kini memanfaatkan pengalamannya dalam mengintegrasikan kembali ekstremis Islam untuk mengembangkan kemampuan merehabilitasi ekstremis sayap kanan, melalui kerja sama dengan lembaga pemerintah maupun non-pemerintah.

Sejauh ini, upaya tersebut telah menunjukkan hasil awal yang positif, dengan mengumpulkan mentor, pendidik, dan konselor untuk "menormalisasi pemikiran ekstremis sayap kanan yang menyimpang", kata Prof Rohan, merujuk pada dibebaskannya individu pertama yang ditangkap di negeri ini terkait ekstremisme tersebut.

Prof Kumar menjelaskan bahwa ketika mengidentifikasi indikator perilaku ekstremisme sayap kanan, "dalam banyak hal, prosesnya mencerminkan" radikalisasi seperti yang dilakukan kelompok militan Negara Islam dan Al Qaeda.

"Prosesnya pada dasarnya sama, hanya saja berbeda konten ideologinya," katanya.

Dr Mohamed mengatakan sejak RRG mulai bekerja dalam merehabilitasi teroris Jemaah Islamiyah (JI), lebih dari 90 persen individu dari kelompok tersebut pada akhirnya berhasil dibebaskan dan kembali berintegrasi ke masyarakat. JI paling dikenal dengan rencana serangan bomnya terhadap Singapura pada awal 2000-an.

Seiring berkembangnya ancaman terorisme dan ekstremisme dari waktu ke waktu, RRG menyesuaikan pendekatannya secara bertahap, salah satunya untuk menangani fenomena radikalisasi mandiri yang pertama kali ditemukan pada 2007, dengan demografi tahanan yang semakin muda, katanya.

Kelompok ini terus memperluas cakupan kerjanya, termasuk berperan dalam rehabilitasi tahanan ekstremis sayap kanan pertama—seorang pemuda Kristen yang ingin menyerang umat Muslim di Singapura.

Dr Mohamed mengatakan bahwa RRG awalnya membagikan pengalaman bertahun-tahun dalam konseling keagamaan dengan Dewan Nasional Gereja-gereja.

Seorang pastor Kristen kemudian berbicara dengan remaja tersebut. RRG juga mengirim salah seorang konselornya untuk menangani kesalahpahaman yang mungkin memicu sentimen anti-Islam pada remaja berusia 16 tahun tersebut.

Mengenai peran komunitas Islam dalam membantu individu yang sebenarnya berniat menyerang umat mereka, Dr Mohamed menekankan bahwa prinsip utamanya adalah untuk mengubah pemikiran pemuda tersebut dari ekstremisme.

"Kita harus melihat ini sebagai tujuan utama, bukan mencari pembalasan," ujarnya.

"Ia bisa saja merencanakan serangan teroris terhadap institusi mana pun, terlepas dari tempat ibadah atau komunitas agama yang menjadi sasaran."

"Tetapi apakah yang diserang itu gereja atau masjid, seluruh Singapura tetap akan terdampak … hal itu dapat mengguncang fondasi keharmonisan agama kita."

Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. Pastikan fungsi notifikasi telah dinyalakan dengan menekan tombol lonceng.

Source: CNA/jt

Juga layak dibaca

Iklan
Iklan