ECRL Malaysia: Megaproyek dengan potensi konektivitas tanpa batas, dapatkah terwujud dengan jalur tunggal?
Dalam bagian terakhir dari empat seri tulisan tentang Jalur Kereta Pantai Timur Malaysia (ECRL), CNA mengulas bagaimana rel ini akan mengurai kepadatan lalu lintas dan membuka rute pelayaran baru beserta berbagai tantangannya.

Pemandangan udara dari stasiun ECRL Kuantan di KotaSAS, Pahang. (Foto: CNA/Hari Anggara)
KOTA BHARU/TEMERLOH, Malaysia: Terminal bus utama di Kota Bharu, Kelantan, merupakan terminal darurat beratapkan seng dengan kantin, kios makanan ringan, dan loket tiket di dalamnya.
Terminal yang telah menjadi pusat layanan transportasi utama dengan beberapa terminal turun-naik penumpang tidak pernah diniatkan menjadi permanen, namun telah beroperasi selama lebih dari 12 tahun.Â
Pada Juli 2022, pemerintah daerah mengumumkan bahwa terminal bus baru yang dibangun di Tunjung akan selesai pada akhir 2025.
Namun pada Maret tahun lalu, pemerintah setempat mengatakan terminal bus itu baru akan selesai pada tahun 2027, dan pembangunannya dimulai pada awal tahun ini.
Pemerintah daerah beralasan, penundaan pembangunan untuk menyelaraskan dengan dimulainya Jalur Kereta Pantai Timur Malaysia (ECRL) yang baru. ECRL disebut mampu memangkas waktu tempuh dari Gombak, dekat Kuala Lumpur, ke Kota Bharu menjadi empat jam, dari sebelumnya tujuh jam dengan mobil.
Lokasi terminal bus baru hanya berjarak beberapa menit berkendara dari stasiun ECRL Kota Bharu.

Sampai terminal bus baru rampung, Wan Hakim Wan Zuhairi masih harus melakukan perjalanan dari terminal lama. Perjalanan Gombak-Kota Bharu biasanya memakan waktu delapan jam.
Mahasiswa fakultas ekonomi berusia 21 tahun di sebuah universitas di Gombak ini sedang dalam masa liburan tengah semester dan pulang untuk mengunjungi orang tuanya di Kota Bharu. Dalam setahun, dia bisa tiga hingga empat kali pulang kampung.Â
"ECRL adalah sesuatu yang sudah lama saya tunggu-tunggu," katanya kepada CNA, dengan tas ransel dan raket bulu tangkis tersampir di bahunya.

Wan Hakim mengatakan bahwa para mahasiswa di kampusnya dan di tempat lain di Lembah Klang telah lama mengeluhkan kepada pemerintah soal kurangnya pilihan transportasi ke pantai timur. Kebanyakan keluhan itu diabaikan.
"Biasanya saya mengendarai mobil sendiri, tetapi selama musim liburan, perjalanan darat dapat memakan waktu 12 jam atau lebih, jadi saya lebih memilih tidur di bus," kata dia, menambahkan bahwa teman-temannya terjebak dalam kemacetan hingga 20 jam.
Menggunakan pesawat lebih mahal dan hanya menjadi pilihan terakhir untuk keadaan darurat, sementara kereta di jaringan KTM membutuhkan waktu 12 jam untuk mencapai Kota Bharu, kata dia.
"Saya mendukung proyek ini," kata Wan Hakim, menambahkan bahwa ECRL dapat memberikan manfaat sosial ekonomi bagi daerah pantai timur yang kurang berkembang. "Tetapi proyek ini baru akan selesai pada 2026, dan saya akan lulus (pada tahun 2025)."

November lalu, CNA berkendara dari Gombak ke Kota Bharu untuk merasakan kondisi jalan dan berbincang dengan penduduk di kota-kota kecil di antaranya untuk mengetahui bahwa cara warga bepergian dari pantai timur ke barat tanpa jalur kereta yang layak dan modern.
Pembangunan jaringan ECRL dari Gombak ke Kota Bharu diperkirakan akan selesai pada Desember 2026 dan mulai beroperasi pada Januari 2027.
Jalur kereta yang membentang sepanjang 665 km melalui 20 stasiun di Selangor, Pahang, Terengganu, dan Kelantan ini bertujuan untuk meningkatkan konektivitas domestik untuk orang maupun barang.
Proyek ini diharapkan dapat meningkatkan pariwisata di pantai timur yang sebelumnya tidak terjangkau kereta dan mengurangi kemacetan di jalan raya selama masa liburan.
Proyek ini juga akan menciptakan koneksi darat untuk mengangkut barang dari Pelabuhan Klang di pantai barat Malaysia ke Pelabuhan Kuantan di pantai timur dan sebaliknya. Dengan begini, para investor dan pengusaha akan lebih mudah melakukan ekspor dengan mendirikan fasilitas di berbagai kawasan industri di sepanjang jalur ECRL.

ECRL juga berpotensi mengubah rute pelayaran regional, dengan memungkinkan pergerakan barang dari Selat Malaka ke Laut China Selatan melalui darat, bukan lagi melalui jalur pelayaran yang padat di sekitar Singapura.
Kondisi memungkinkan terpangkasnya waktu perjalanan hingga satu hari dan mengalihkan rute dari pusat maritim yang padat di Singapura.Â
Selain itu, jika ECRL pada akhirnya bisa mengatasi tantangan geopolitik dan teknis untuk terhubung dengan jaringan rel Thailand, maka akan ada lebih banyak opsi bagi orang dan barang untuk menuju negara tetangga bagian utara Malaysia, bahkan bisa hingga ke China, menjadikannya rel kereta pan-Asia.Â
Pemerintah China telah mengatakan akan memfasilitasi hal tersebut.
Simak seri ECRL Malaysia lainnya di sini:
Dalam kunjungan tiga hari ke Malaysia pada Juni tahun lalu, Perdana Menteri Li Qiang mengatakan bahwa mereka bersedia melakukan studi soal menghubungkan ECRL dengan proyek rel yang dibiayai China lainnya di Laos dan Thailand. Namun Li tidak memberikan rincian soal rencananya ini.
Nor Aziati Abdul Hamid, peneliti senior di Industry Centre of Excellence for Railway, Universiti Tun Hussein Onn, mengatakan bahwa rencana menghubungkan ECRL dengan rel Thailand adalah "visi ambisius" yang akan semakin meningkatkan konektivitas antara Malaysia dan negara-negara Asia Tenggara.
"Namun, ada beberapa tantangan yang perlu diatasi agar visi ini menjadi kenyataan. Tantangan-tantangan ini bersifat teknis dan geopolitik, yang mencakup infrastruktur, logistik, kerangka kerja peraturan dan kerja sama internasional," katanya kepada CNA.
KONEKTIVITAS PENUMPANG
Di dalam negeri, Nor Aziati percaya ECRL dengan kereta yang memiliki kecepatan hingga 160 km/jam akan "secara signifikan meningkatkan" konektivitas orang di semenanjung Malaysia.
"Dengan ECRL, banyak kota yang tidak terhubung dengan baik oleh sistem kereta saat ini akan memiliki akses yang lebih baik, membuka pola perjalanan baru dan meningkatkan jumlah penumpang," kata dia.
Selain itu, layanan bus, kereta, dan penerbangan ke pantai timur biasanya mengalami "lonjakan permintaan" selama musim liburan seperti Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Di masa itu, banyak warga Malaysia mudik dan tiket bus sering terjual habis berminggu-minggu sebelumnya, kata Nor Aziati.
Warga yang memilih mudik dengan mengendarai mobil harus rela berjibaku dengan kemacetan parah yang kerap terjadi di Jalan Tol Karak dan Jalan Tol Pantai Timur, dengan waktu tempuh 10 hingga 12 jam atau bahkan lebih, lanjut dia.

Nor Aziati mengatakan, jaringan KTM saat ini di pantai timur, yang sering disebut "Jalur Hutan" karena melewati hutan, menggunakan infrastruktur yang "ketinggalan jaman" dengan kecepatan dan frekuensi kereta yang lebih rendah.
"Layanan KTM dianggap lebih sebagai pilihan untuk perjalanan santai atau perjalanan hemat daripada perjalanan yang cepat, berorientasi bisnis atau perjalanan yang sensitif terhadap waktu," tambahnya, dan menunjukkan bahwa ECRL akan "jauh lebih unggul" dalam waktu tempuh, efisiensi, dan frekuensi.
Layanan penumpang ECRL akan menggunakan kereta listrik enam gerbong yang dapat mengangkut 430 penumpang.

Pada 18 Desember lalu diungkapkan desain kereta ECRL dengan kabin yang ramah bagi pengguna kursi roda dan dilengkapi kecepatan internet tinggi. Dalam video promosi yang diputarkan juga dipamerkan interior kabin kereta dengan kursi yang dapat diputar dan ruang salat.
Meskipun demikian, pakar transportasi Rosli Azad Khan mengatakan bahwa ECRL tidak akan mampu konsisten dengan kecepatan 160 km/jam karena berjalan di jalur tunggal. Artinya, kereta dari kedua arah akan menggunakan jalur yang sama.
"Mengoperasikan layanan kereta api di jalur tunggal sangat sulit, karena setiap kereta harus berhenti di stasiun-stasiun beberapa kali di sepanjang rute untuk memberi jalan bagi kereta dari arah berlawanan," katanya kepada CNA.
"Keterlambatan tidak dapat dihindari dan akan sering terjadi."

Pada November 2023, pengelola ECRL, Malaysia Rail Link (MRL), mengatakan kepada media lokal bahwa jaringan ini akan memiliki tujuh jalur yang saling bersinggungan.
Dalam rancangan awal, ECRL akan dibangun seluruhnya dengan jalur ganda. Namun rencana itu diubah pada 2019 setelah pemerintah menerapkan penghematan anggaran. Jika memang diperlukan, jalur ganda bisa jadi akan dibangun di masa mendatang.
Para ahli mengatakan desain jalur tunggal dapat menimbulkan tantangan operasional dan keselamatan bagi ECRL, termasuk kurangnya jalur alternatif selama pemeliharaan dan peningkatan risiko tabrakan langsung, demikian dilaporkan The Star.
Rosli mengatakan bahwa ECRL akan melayani daerah-daerah di mana permintaan perjalanan "jauh lebih rendah", seperti Kuantan dan Kuala Terengganu.
"Oleh karena itu, dapat diperkirakan bahwa keberangkatan kereta api akan lebih jarang, sehingga mengurangi permintaan perjalanan antar kota. Akan menjadi tantangan bagi ECRL untuk menangkap segmen pasar perjalanan ini," tambahnya.

Muhammad Asyraf Mohd Nor, yang tinggal di Gebeng dekat Kuantan, mengatakan dia biasanya naik bus saat pulang ke kampung halamannya di Gombak setiap akhir pekan. Pria berusia 33 tahun yang bekerja sebagai surveyor ini mengatakan terlalu melelahkan untuk mengendarai mobil sendiri setelah seminggu penuh bekerja.
"Saya akan menggunakan ECRL ketika sudah beroperasi. Tapi sepertinya tiketnya akan mahal. Jika harganya terlalu mahal, saya akan tetap naik bus," katanya kepada CNA.
Namun, menurut Nor Aziati dari Universiti Tun Hussein Onn harga tiket ECRL sepertinya dapat lebih terjangkau dan melayani segmen masyarakat yang lebih luas. Pasalnya menurut dia, ECRL memiliki kecepatan menengah 160 km/jam, bukan kereta cepat yang memiliki kecepatan 250 km/jam atau lebih.
"Kecepatan yang lebih tinggi membutuhkan lebih banyak energi dan pemeliharaan, sehingga biayanya berpotensi lebih tinggi, yang harus dibebankan kepada konsumen dalam bentuk tarif," katanya.
"Bagi banyak penumpang, terutama mereka yang melakukan perjalanan secara rutin atau untuk kunjungan keluarga, keterjangkauan harga sering kali lebih penting daripada mengurangi satu jam tambahan dari waktu perjalanan."

Ragu Sampasivam, chief operating officer East Coast Economic Region Development Council, yang terlibat dalam studi kelayakan awal untuk ECRL, mengatakan bahwa badan-badan pemerintah sedang menjajaki usulan adanya tiket keluarga yang memungkinkan penumpang untuk naik dan turun di stasiun mana pun.
"Kami ingin mengatur harga (tiket) sedemikian rupa sehingga menarik bagi masyarakat untuk menggunakannya. Dan bagi saya, selama kami tidak merugi, tidak masalah," katanya kepada CNA.
"Begitu kereta mulai beroperasi, akan banyak orang yang menggunakannya, jadi nanti saya bicara soal keuntungan."
Badan hukum East Coast Economic Region Development Council didirikan untuk mempelopori pembangunan sosial ekonomi Wilayah Ekonomi Pantai Timur.
Cara lainnya untuk meningkatkan jumlah penumpang ECRL adalah menghubungkan relnya dengan rencana kereta cepat Kuala Lumpur-Singapura. Tapi Rosli mengatakan, hal itu tidak bisa dilakukan karena perbedaan tarif dan target pasar kedua moda transportasi ini.
Rosli memperkirakan bahwa penumpang yang bepergian dengan kereta cepat dari daerah selatan akan dianggap sebagai penumpang kelas atas, sama seperti penumpang pesawat. Sementara mereka yang menggunakan ECRL akan dianggap sebagai penumpang kelas menengah ke bawah, seperti penumpang bus atau pengguna mobil.
"ECRL jauh lebih lambat dalam hal kecepatan, sehingga para pelancong dari kalangan kelas atas akan lebih sering melakukan perjalanan udara ke tempat-tempat seperti Kota Bharu atau Kuala Terengganu. Mereka tidak akan menggunakan ECRL," katanya.
"Demikian pula, wisatawan kelas menengah ke bawah tidak akan menggunakan kereta cepat karena tarifnya di luar jangkauan mereka; mereka akan melanjutkan perjalanan dengan layanan kereta listrik KTM ke Johor Bahru atau menggunakan bus."

Jalur kereta cepat sepanjang 350km antara Kuala Lumpur dan Singapura pertama kali diusulkan pada 2013, dan sebuah perjanjian yang mengikat ditandatangani pada Desember 2016 untuk membuat jalur tersebut beroperasi pada 2026.
Proyek ini akhirnya dihentikan atas permintaan malaysia setelah beberapa kali penundaan dan perjanjian berakhir pada Desember 2020, dengan Malaysia membayar lebih dari S$102 juta sebagai kompensasi kepada Singapura.
Jika terlaksana, kereta cepat ini dapat mengurangi waktu perjalanan antara Kuala Lumpur dan Singapura menjadi 90 menit, dari sebelumnya lebih dari empat jam dengan mobil. Pembicaraan untuk menghidupkan kembali proyek ini mendapatkan momentum setelah perdana menteri saat ini, Anwar Ibrahim, berkuasa pada November 2022.
Baru-baru ini, Malaysia memperkirakan proyek ini akan menelan biaya RM100 miliar dan pemerintah mengatakan pendanaannya harus sepenuhnya berasal dari swasta.
Malaysia telah memilih tiga dari tujuh konsorsium yang mengajukan proposal tentang kereta cepat, sementara Singapura mengatakan bahwa mereka terbuka untuk proposal baru dengan negosiasi yang dimulai dari awal.

Rosli juga menunjukkan bahwa akan sangat mahal untuk menghubungkan ECRL dengan rel kereta cepat, yang menurutnya jika dihidupkan kembali kemungkinan besar akan berhenti di jantung kota Kuala Lumpur di Tun Razak Exchange (TRX) yang megah, dengan stasiun ECRL Gombak, yang terdekat dengan pusat kota Kuala Lumpur.
"Proyek ini akan sangat mahal karena melewati beberapa daerah yang sangat strategis di KL," katanya soal koneksi antara Kuala Lumpur dan Gombak melalui jalur Light Rapid Transit (LRT).
"Untuk pergi ke Gombak dari TRX cukup sulit karena sebagian besar rute atau jalurnya telah sepenuhnya dikembangkan dan dibangun."
KONEKTIVITAS ANGKUTAN BARANG
Pihak berwenang mengatakan bahwa mereka memperkirakan layanan penumpang akan menyumbang 30 persen dari pendapatan operasional ECRL, 70 persen sisanya dari transportasi barang.
Sampasivam mengatakan proyeksi ini muncul setelah timnya menemukan bahwa pelaku usaha industri tertarik dengan opsi yang lebih efisien untuk memindahkan barang mereka.
"Investor yang datang ke pantai timur atau pantai barat memiliki opsi dua pelabuhan ini," katanya, seraya menambahkan bahwa para pengusaha yang ingin mengirimkan barang mereka ke Asia Timur atau Timur Tengah dan Eropa dapat melakukannya dari Pelabuhan Kuantan dan Pelabuhan Klang.
"Jadi dengan cara itulah kami merasa efisiensi dan posisi pelabuhan-pelabuhan ini juga dapat ditingkatkan."

Pembangunan perpanjangan jalur ECRL dari Gombak ke Pelabuhan Klang akan selesai pada Desember 2027, dan operasional dimulai pada Januari 2028. Untuk angkutan barang, lokomotif listrik akan menarik gerbong tertutup dan gerbong datar untuk kontainer dengan kecepatan hingga 80km/jam.
Namun, Presiden Federasi Pengiriman Barang Malaysia Tony Chia mengatakan sulit untuk mengatakan apakah para pemain logistik akan menggunakan ECRL karena rincian tentang layanannya masih "sedikit".
Termasuk yang belum dikethaui adalah biaya pengangkutan, jadwal dan frekuensi, waktu transit per perjalanan, ketersediaan transportasi jarak jauh, serta biaya untuk pemuatan dan pembongkaran, kata dia kepada CNA.
"Selain itu, ECRL tidak menjangkau dermaga dan akan ada (kebutuhan) untuk membongkar kontainer ke halaman kontainer dan kemudian memuatnya kembali untuk dikirim ke kapal," kata dia.

Juni lalu, Menteri Transportasi Anthony Loke mendesak perusahaan-perusahaan untuk membuat rencana ke depan dan memulai diskusi dengan MRL soal tarif angkutan di ECRL, dengan menyebutkan bahwa produsen mobil Perodua telah menandatangani perjanjian untuk mengeksplorasi bagaimana kereta baru ini dapat mendiversifikasi cara pengangkutan produk mereka.
Tujuannya adalah agar Perodua dapat memindahkan suku cadang otomotifnya dari pusatnya di Serendah, Selangor, ke pantai timur dan kembali menggunakan ECRL.
MRL juga telah menandatangani nota kesepahaman (MOU) dengan Pelabuhan Kuantan dan Pelabuhan Utara Klang untuk meningkatkan integrasi dan efisiensi dalam cara ECRL mengangkut barang di antara kedua pelabuhan.

Sampasivam mengatakan bahwa MOU ini akan mengeksplorasi "fasilitasi ujung ke ujung", yang mengacu pada bagaimana kapal dapat memuat dan menurunkan barang secara langsung dari dan ke gerbong barang di kedua pelabuhan.
"Konektivitas jarak jauh yang krusial antara Pelabuhan Kuantan dan Pelabuhan Klang ini akan merampingkan transfer barang antar pelabuhan dan mengatasi masalah penanganan kargo dua kali," kata kepala eksekutif MRL, Darwis Abdul Razak, dalam penandatanganan MOU tersebut.
LEBIH MURAH, CEPAT DAN RAMAH LINGKUNGAN?
Pakar logistik AS Oei, yang lima dekade pengalaman di sektor pelabuhan dan logistik, mengatakan bahwa pengangkut barang dapat menggunakan ECRL untuk memindahkan barang dari negara bagian pantai timur Kelantan dan Terengganu ke Pelabuhan Klang.
"Saat ini, kedua negara bagian ini mengekspor minyak kelapa sawit untuk pengiriman ke luar negeri melalui Pelabuhan Klang," kata dia kepada CNA.
"Produk tersebut diangkut melalui jalan darat, yang jauh lebih mahal dibandingkan dengan kereta api, operator ECRL tentu saja bisa menawarkan tarif yang kompetitif kepada industri."

Loke, menteri transportasi, juga telah memperingatkan bahwa pemerintah menggunakan pendekatan "wortel dan tongkat" dengan memberikan insentif untuk membuat perusahaan-perusahaan menggunakan ECRL sebagai moda transportasi utama mereka.
Jika insentif ini tidak juga membuat minat terhadap ECRL meningkat, Loke mengatakan pemerintah dapat memperketat peraturan transportasi jalan raya, terutama untuk kendaraan berat untuk mengurangi jumlah kendaraan seperti itu di jalanan seperti Jalan Raya Karak.
ECRL diperkirakan akan memakan waktu sekitar empat hingga lima jam untuk mengangkut barang dari Pelabuhan Klang ke Pelabuhan Kuantan, lebih cepat daripada melalui jalan darat melalui Jalan Raya Karak menuju pantai timur, menurut Federasi Pengiriman Barang Malaysia, Chia.

Sampasivam mengatakan ECRL juga akan memberikan opsi ramah lingkungan bagi para pemain industri berat yang sering memindahkan produk mereka.
Di antaranya adalah perusahaan minyak nasional Petronas, yang kerap menggunakan truk untuk mengirim produk kimia antara Kerteh di Terengganu dan Pelabuhan Kuantan.
"Ada juga Alliance Steel di dekat Pelabuhan Kuantan di kawasan industri Gebeng. Jika mereka ingin mengirimkan produk ke pantai barat, cara apa yang lebih baik selain menggunakan kereta," tambahnya.
"Anda bisa menyingkirkan ribuan truk dari jalan raya dan mengurangi jejak karbon."
Â

Chin Chee Unn, pengelola bengkel mobil di dekat rencana pembangunan stasiun ECRL di kawasan industri Temerloh, Pahang, mengatakan saat ini ia menggunakan truk untuk mengangkut suku cadang otomotif dan mungkin akan menggunakan ECRL sebagai pilihan yang lebih cepat dan efisien.
"Saya juga telah melihat sejumlah gudang penyimpanan di daerah ini disewa oleh pemain besar seperti (raksasa e-commerce) Shopee," katanya kepada CNA.
"Mereka mungkin akan menggunakan ECRL sebagai cara yang lebih cepat untuk mendistribusikan produk mereka (secara lokal) dari sini."

Chia dari Federasi Pengiriman Barang Malaysia mengatakan bahwa volume angkutan truk saat ini antara Pelabuhan Klang dan Pelabuhan Kuantan tidak "signifikan", sebagian besar untuk pesanan dan konsumsi lokal daripada kargo transit antar pelabuhan.
"Dengan ketidakpastian seputar implementasi dan pengoperasian ECRL, mungkin masih terlalu dini untuk mendiskusikan dampak ECRL yang menghubungkan Pelabuhan Klang dan Kuantan pada rute pelayaran regional dan internasional," kata dia.
"Faktanya adalah kapal-kapal akan berlabuh di tempat yang memiliki kargo yang cukup untuk mereka... Keputusan akhir mengenai rute pelayaran akan berada di tangan perusahaan pelayaran."
TIDAK LAGI LEWAT SINGAPURA?
Dengan rute pengiriman dari Pelabuhan Kuantan yang terhubung langsung ke Shenzhen di China, rute laut-darat-laut baru yang ditawarkan ECRL memungkinkan eksportir untuk tidak lagi melewati Singapura dalam menjangkau pasar-pasar utama di Asia dan sekitarnya, tulis Qarrem Kassim, analis dari Institut Studi Strategis dan Internasional Malaysia dalam East Asian Policy edisi Januari/Maret 2024.
Meskipun rute ECRL diperkirakan memakan biaya pengiriman yang lebih besar, sekitar 12 persen lebih tinggi daripada rute berbasis laut murni, perkiraan menunjukkan bahwa rute ini dapat mengurangi waktu tempuh hingga 18 persen atau hingga 30 jam untuk barang dari Pelabuhan Klang ke Shenzhen, kata dia.
ECRL sangat ideal untuk barang-barang yang sensitif terhadap waktu seperti bahan-bahan farmasi dan produk agrofood, kata Qarrem.
"Meskipun beberapa perdagangan mungkin akan dialihkan, sejauh mana ECRL dapat menjadi ancaman bagi Singapura tergantung pada efisiensi transit barang," tambahnya.

ECRL juga dapat membantu para pemain logistik untuk meningkatkan manajemen risiko dengan tidak mengirimkan semua barang mereka melalui Selat Malaka yang padat via Singapura, ujar Marco Tieman, kepala eksekutif konsultan strategi rantai pasokan LBB International.
Meskipun demikian, G Durairaj, direktur pelaksana konsultan maritim dan logistik PortsWorld, mengatakan bahwa ia tidak memperkirakan pelabuhan Singapura - yang terkenal dengan efisiensi penanganan dan layanan maritimnya - akan merugi karena ECRL.
Durairaj kepada CNA mengatakan, pengiriman barang melalui pelabuhan Singapura mahal adalah persepsi yang salah. Menurutt dia, pelabuhan Singapura mampu menangani volume barang yang besar dan harga yang lebih murah ketimbang Malaysia.
"Singapura tidak akan menyerah begitu saja... Saya rasa mereka mungkin memiliki strategi untuk melawan (ECRL)," ujarnya, seraya menambahkan bahwa dengan volumenya, pelabuhan Singapura dapat menawarkan harga yang lebih murah lagi.

Singapura adalah pusat pengapalan terbesar di dunia dan pelabuhan tersibuk kedua di dunia setelah Shanghai, yang menangani lebih dari 40 juta kontainer satuan setara dua puluh kaki (TEU) pada tahun 2024.
Sebaliknya, Pelabuhan Klang hanya menangani 14 juta TEU pada 2023 dengan kargo sekitar 7 juta TEU, kata Durairaj.
Singapura adalah pusat pengapalan terbesar di dunia dan pelabuhan tersibuk kedua di dunia setelah Shanghai, yang menangani lebih dari 40 juta kontainer satuan setara dua puluh kaki (TEU) pada tahun 2024.
Sebaliknya, Pelabuhan Klang hanya menangani 14 juta TEU pada 2023 dengan kargo sekitar 7 juta TEU, kata Durairaj.
Sampasivam dari East Coast Economic Region Development Council mengatakan ECRL tidak akan sampai mengalihkan lalu lintas kapal dari Singapura, dan menegaskan bahwa tujuannya adalah untuk memungkinkan bisnis di sepanjang jalur kereta memiliki akses ke Pelabuhan Klang dan Pelabuhan Kuantan.
"Itu semua tergantung pada jenis barang, ke mana mereka pergi, dan apakah mereka harus melalui Singapura. Karena jika semuanya sudah selesai, Singapura memiliki salah satu konektivitas terbaik ke pelabuhan-pelabuhan di dunia," ujarnya.
Pada akhirnya, Tieman mengatakan bahwa ECRL masih merupakan pilihan yang lebih layak daripada jembatan darat yang diusulkan Thailand, yang bertujuan menghubungkan Samudra Hindia dan Pasifik dan memotong salah satu jalur pelayaran tersibuk di dunia.
Baca:
Seperti ECRL, jembatan darat Thailand juga dapat mengalihkan lalu lintas kapal dari Singapura dan menghemat banyak waktu bagi perusahaan pelayaran. Namun tidak seperti ECRL, rencana Thailand hanya mengalami sedikit kemajuan, kata para analis.
"Thailand telah lama membahas jembatan darat ini," kata Tieman, mencatat bahwa proyek ini akan meninggalkan dampak lingkungan yang signifikan di bagian selatan negara ini dan "menghapus" pendapatan dari sektor pariwisata yang penting.
"Tidak ada pelabuhan di sisi barat Thailand. Malaysia bisa membangun jalur kereta api karena ada dua pelabuhan yang sudah ada."
MENGHUBUNGKAN ECRL KE THAILAND
Menteri Transportasi Malaysia, Loke, telah mengusulkan untuk menghubungkan ECRL ke jaringan kereta api Thailand melalui Rantau Panjang di Kelantan sebagai alternatif dari jembatan darat Thailand.
"Jika hal itu terwujud, ECRL dapat memanfaatkan seluruh jaringan kereta api Thailand dan terhubung dengan Kunming, di China Barat Daya, melalui Laos, mencapai arus barang dan penumpang yang lebih besar di wilayah tersebut," katanya pada 18 Desember.

Jaafar Ismail, pemilik Fergana Capital Ventures mengatakan kepada CNA bahwa Malaysia akan menangguk keuntungan dengan menghubungkan ECRL ke Thailand.
"Rute utama yang menguntungkan bagi ECRL adalah menghubungkan pantai barat semenanjung Malaysia ke pantai timur Thailand selatan, yang merupakan tempat pertumbuhan industri Thailand di masa depan," katanya.
China, yang telah membiayai sebagian besar pembangunan ECRL di bawah Belt and Road Initiative (BRI), telah menyatakan kesediaannya untuk mempelajari rencana menghubungkan ECRL ke Thailand dan Laos.
Proposal ini akan membuat jalur tengah dari jalur kereta api pan-Asia yang diusulkan menjadi kenyataan, Perdana Menteri Cina Li Qiang mengatakan dalam kunjungan resminya ke Malaysia.

"Dengan memposisikan ECRL sebagai komponen utama dari jalur kereta api pan-Asia, China membayangkan sebuah jaringan transportasi komprehensif yang akan memfasilitasi perdagangan, investasi, dan pertukaran budaya di antara negara-negara di sepanjang rute tersebut," ujar Nor Aziati dari Universiti Tun Hussein Onn.
Namun, terdapat tantangan teknik yang signifikan dalam rencana ini, belum lagi fakta bahwa ECRL dan kereta api Thailand menggunakan jenis rel yang berbeda. ECRL menggunakan jalur rel standar yang lebih lebar, sementara rel Thailand menggunakan jalur rel meteran, seperti jaringan KTM di Malaysia saat ini.
"Perbedaan konfigurasi ini akan membutuhkan rangkaian kereta yang berbeda untuk beroperasi. Kemungkinan kereta Thailand atau Malaysia untuk beralih ke jalur standar di masa mendatang sangat rendah, mungkin dalam 50 tahun atau lebih," kata konsultan transportasi Rosli.
Ikuti Kuis CNA Memahami Asia dengan bergabung di saluran WhatsApp CNA Indonesia. Menangkan iPhone 15 serta hadiah menarik lainnya.