ECRL Malaysia: Disokong China, proyek menguntungkan atau potensi jebakan utang?
Dalam bagian kedua dari empat seri tulisan tentang Jalur Kereta Pantai Timur Malaysia (ECRL), CNA menelusuri keterlibatan China dalam megaproyek ini dan apakah mereka mampu meningkatkan investasi serta membuka lapangan kerja bagi masyarakat sekitar.

Seorang pekerja konstruksi berkendara menuju salah satu dari 41 terowongan yang sedang dibangun untuk ECRL. (Foto: CNA/Fadza Ishak)
KUANTAN/KUALA LUMPUR: Sembari duduk di atas sepeda motornya di pinggiran proyek konstruksi East Coast Rail Link (ECRL) di Gebeng, Pahang, seorang operator ekskavator Malaysia mengisap rokoknya.
Dia melihat truk-truk besar memasuki proyek pembangunan stasiun ECRL Pelabuhan Kuantan itu.
"Saya bersyukur proyek ini telah memberi saya pekerjaan dekat tempat tinggal, tetapi saya tidak tahu apakah proyek ini bermanfaat bagi masyarakat sekitar secara keseluruhan," kata pekerja tersebut, yang menolak disebutkan namanya karena dia tidak berwenang berbicara kepada media.
"Sepertinya lebih banyak pekerja dari China di proyek ini."
Pekerja konstruksi ECRL ini memperkirakan setengah dari pekerja di proyek itu adalah orang Malaysia ketika dia pertama kali bergabung pada 2019, saat proyek itu kembali dilanjutkan pengerjaannya.
"Ketika proyek baru saja dimulai, ada percampuran yang imbang antara pekerja China dan pekerja lokal, tetapi seiring berjalannya waktu, dan penegakan hukum (tentang jumlah pekerja lokal yang dipekerjakan) menjadi lebih longgar, lebih banyak pekerja asing mulai mengambil porsi pekerja lokal," katanya kepada CNA.

ECRL adalah proyek unggulan di bawah Belt and Road Initiative (BRI) senilai RM50 miliar (Rp183,5 triliun). Proyek yang menghubungkan Pelabuhan Klang, Selangor di pantai barat dengan Kota Bharu, Kelantan di pantai timur, saat ini memiliki sekitar 23.000 orang pekerja.
Kereta ECRL dapat mengangkut barang dan penumpang dengan kecepatan masing-masing hingga 80km/jam dan 160km/jam, melintasi 20 stasiun pada jalur sepanjang 665km.
Pemilik proyek ini, Malaysia Rail Link (MRL), anak perusahaan Kementerian Keuangan Malaysia, pada 2019 telah menetapkan 70 persen dari 23.000 pekerja harus warga negara Malaysia sebagai "jumlah yang optimal" untuk menyelesaikan pembangunan jaringan kereta api.
Namun, MRL mengatakan kepada CNA pada September lalu bahwa dari 23.000 orang tersebut, sekitar 26 persennya adalah warga Malaysia, 20 persennya China, sementara sisanya dari negara-negara seperti Indonesia, Bangladesh, Pakistan, dan Nepal.
Jumlah 23.000 pekerja tersebut juga masih jauh dari 80.000 lapangan kerja "langsung dan tidak langsung" dari proyek ECRL yang ditargetkan MRL pada 2018.

Para kritikus mempertanyakan apakah dukungan besar China terhadap megaproyek ini dapat membantu meningkatkan lapangan kerja bagi masyarakat setempat dan menguntungkan rakyat, atau apakah ini hanya menjadi magnet bagi tenaga kerja asing berketerampilan rendah.
Terlepas dari puluhan ribu pekerjaan lokal yang dijanjikan ECRL, nyatanya proyek ini telah menarik masuknya pekerja asing dalam jumlah besar.
"Yang orang tahu adalah pekerja dari China yang mengerjakannya (ECRL)," tulis pengamat ekonomi politik Samirul Ariff Othman dalam sebuah komentar yang diterbitkan oleh Harian Sinar pada Maret 2023.
"Lebih buruknya lagi, seperti banyak sektor lain di Malaysia, ECRL tampaknya menarik lebih banyak pekerja berketerampilan rendah dari Bangladesh dan negara-negara lainnya. Seperinya ada lebih banyak pekerja asing daripada warga Malaysia di proyek ini."

Meskipun demikian, operator ekskavator di Gebeng - yang dipekerjakan oleh kontraktor utama ECRL, China Communications Construction Company (CCCC) - mengatakan bahwa tidak adil jika menimpakan semua kesalahan pada perusahaannya.
Pekerja asing bekerja tujuh hari seminggu dengan gaji yang lebih rendah, sementara pekerja lokal mungkin meminta beberapa hari libur dalam seminggu dan terkadang bertengkar dengan atasan mereka dari China, kata dia.
"Salah satu rekan kerja saya, seorang pekerja lokal, pernah bertengkar dengan atasannya yang berkebangsaan China dan mencoba memukulnya dengan sepotong kayu," ujarnya, seraya menambahkan bahwa pekerja lokal itu akhirnya dipecat karena ia bermasalah.
Dia mengatakan CCCC akan mempekerjakan pekerja lokal jika mereka pekerja keras dan disiplin.
"Tentu saja, mereka lebih memilih mempekerjakan lebih banyak pekerja asing karena lebih murah. Itu normal, setiap proyek konstruksi di Malaysia memang seperti itu," tambahnya.
MRL menegaskan bahwa mereka telah memenuhi persyaratan alokasi setidaknya 40 persen pekerjaan teknik sipil kepada perusahaan-perusahaan Malaysia, dengan nilai total kontrak melampaui target RM10 miliar.
Antara tahun 2017 dan Juni 2024, sebanyak 3.022 perusahaan Malaysia, terdiri dari kontraktor, konsultan, dan pemasok mendapatkan kontrak konstruksi senilai RM16,11 miliar, kata MRL kepada CNA.
Hal ini terjadi di tengah kekhawatiran dari perusahaan-perusahaan lokal bahwa alokasi tersebut mungkin akan disubkontrakkan kembali ke perusahaan-perusahaan China.
MRL juga mengumumkan pada Desember lalu bahwa 80 persen tenaga kerja operasional dan pemeliharaan ECRL akan berasal dari dalam negeri.

Dalam tulisan ini, CNA menelusuri puluhan pernyataan resmi, studi, dan laporan berita untuk merinci perjalanan ECRL yang berliku sejak awal hingga saat ini, menyoroti sejarah proyek dan hubungannya dengan politik serta pendanaan asing.
CNA juga mengunjungi beberapa lokasi konstruksi ECRL di Malaysia, dan melihat banyaknya pekerja asing, termasuk yang berasal dari China.
Pada tahun-tahun sejak ECRL pertama kali diumumkan pada 2016, banyak pertanyaan yang muncul mengenai keterlibatan China dalam proyek ini.

Di luar masalah ketenagakerjaan lokal, para pengamat kepada CNA mengatakan bahwa Malaysia punya tugas untuk memastikan ECRL menghasilkan keuntungan yang besar untuk membayar utang ke bank China untuk pendanaan megaproyek ini.
Masih harus dilihat apakah ECRL akan menciptakan efek pengganda ekonomi (multiplier effect) dengan memacu investasi di daerah-daerah yang kurang berkembang yang dilaluinya, kata mereka.
Para pengamat juga menyuarakan keprihatinan tentang kurangnya transparansi dalam perjanjian pinjaman dengan Bank Ekspor-Impor (Bank EXIM China) milik pemerintah China. Menurut mereka, jika MRL gagal membayar pinjaman, pemerintah Malaysia harus mengambil alih dan melunasinya dengan menggunakan uang pembayar pajak.
Dengan demikian, Malaysia tampaknya tidak berisiko jatuh ke dalam jebakan utang China. Menurut para pengamat, Malaysia berada dalam posisi yang cukup kuat mengingat hukumnya sendiri dan sifat perjanjiannya dengan bank dan kontraktor China yang terlibat dalam proyek ini.
"Jika kita menggunakan situasi fiskal (Malaysia) saat ini sebagai dasarnya, saya pikir kecil kemungkinannya Malaysia jatuh ke dalam jebakan utang karena gagal bayar pinjaman ECRL," kata Sri Murniati Yusuf, kepala operasi dan direktur riset senior di Institut Demokrasi dan Urusan Ekonomi Malaysia kepada CNA.

ECRL diumumkan pada 2016 sebagai proyek konektivitas infrastruktur utama yang akan diproyeksi mendorong ekonomi Malaysia menjadi 20 negara teratas pada tahun 2050.
Berdasarkan ketentuan perjanjian ECRL yang ditandatangani saat itu, Bank EXIM China akan mendanai 85 persen dari perkiraan biaya konstruksi, dengan 15 persen sisanya ditanggung oleh program sukuk yang dikelola bank-bank investasi lokal.
Sukuk adalah sertifikat keuangan Islam, mirip dengan obligasi. Namun, untuk mematuhi hukum Syariah, sukuk berbeda dari obligasi karena sukuk melibatkan hak kepemilikan aset.
Jangka waktu pinjaman terhadap Bank EXIM China yang asli adalah selama 20 tahun dengan suku bunga 3,25 persen dengan moratorium pembayaran selama tujuh tahun. Tingkat suku bunga juga menimbulkan pertanyaan karena lebih tinggi dari proyek-proyek BRI lainnya.
Namun karena Malaysia berganti-ganti pemerintahan selama beberapa tahun terakhir, biaya dan keselarasan ECRL juga telah berubah beberapa kali, dan persyaratan pinjaman terbaru belum diungkapkan kepada publik.
MRL tidak menanggapi pertanyaan-pertanyaan mengenai perjanjian pinjaman yang diperbarui, tuduhan kurangnya transparansi, serta kelayakan dan profitabilitas ECRL.
Â
Dampak perubahan peta politik terhadap ECRL
Ketika perdana menteri Malaysia saat itu, Najib Razak, mengumumkan proyek ECRL pada 2016, ia memperkirakan proyek ini akan menelan biaya sebesar RM55 miliar. Tahun berikutnya, terungkap bahwa pembangunan kedua fase ECRL akan menelan biaya total RM65,5 miliar.
Dana proyek yang membengkak itu kemudian dituding sengaja digelembungkan. Sebagai gantinya, perusahaan-perusahaan milik China bersedia membantu melunasi utang besar dari dana investasi negara Malaysia yang bermasalah, yaitu 1Malaysia Development Berhad (1MDB).
Ketika koalisi Pakatan Harapan (PH) mengambil alih kekuasaan pada 2018 di bawah perdana menteri berikutnya, Mahathir Mohamad, pemerintahan Malaysia berencana membatalkan ECRL untuk menghemat anggaran pemerintah.
Namun pada 2019, pemerintah PH, yang ingin menghindari pembayaran biaya penalti pemutusan hubungan kerja yang cukup besar yaitu RM21,78 miliar, akhirnya menegosiasikan kembali perjanjian ECRL dan perataan jalur kereta api, sehingga biayanya menjadi RM44 miliar.
Mahathir mengatakan bahwa jumlah total pinjaman juga akan berkurang, dengan suku bunga yang lebih rendah dan biaya yang harus dibayarkan atas pinjaman tersebut, meskipun angka pastinya tidak diungkapkan.
Penataan ulang ECRL juga dipolitisasi karena pemerintahan PH mengusulkan rute selatan melintasi negara bagian Negeri Sembilan, daerah pemilihan Menteri Transportasi Anthony Loke di Seremban.
Pada tahun 2020, pemerintah Perikatan Nasional yang baru - yang mencakup Barisan Nasional (BN) pimpinan Najib - mengembalikan sebagian besar rute tersebut ke rencana awal dan merevisi perkiraan biaya menjadi RM50 miliar.
Kisruh politik tidak berhenti sampai di situ. Jalur kereta baru dikatakan harus melintasi lima konstituen di mana BN kalah dalam pemilihan umum 2008 dan 2013.
Setelah Perdana Menteri Anwar Ibrahim mengambil alih kekuasaan pada 2022, ia mengatakan pada Desember tahun itu bahwa pemerintahannya akan melanjutkan ECRL dengan biaya “berkurang” hampir RM75 miliar, mengungkapkan bahwa biaya awal yang disetujui pada tahun 2016 hampir mencapai RM86 miliar.
Biaya sebesar RM75 miliar tersebut terdiri dari biaya konstruksi sebesar RM50,27 miliar dan biaya lainnya - termasuk biaya bunga selama konstruksi dan biaya pembebasan lahan - sebesar RM24,69 miliar.
Anwar mengatakan bahwa pemerintahnya tidak akan melakukan banyak perubahan pada proyek tersebut untuk menghindari penundaan dan mempersulit pengerjaan serta negosiasi yang sudah ada.
Pada Maret, Menteri Transportasi Anthony Loke mengatakan kepada parlemen bahwa biaya pembangunan ECRL tetap sebesar RM50,27 miliar.
Jalur dari Kota Bharu, Kelantan ke Terminal Terpadu Gombak, Selangor akan selesai pada bulan Desember 2026 dan beroperasi mulai Januari 2027.
Penyelesaian sepenuhnya, yang melibatkan perpanjangan jalur kereta api dari Gombak ke Pelabuhan Klang, diharapkan selesai pada Desember 2027.
Pinjaman besar untuk proyek BRI ini menimbulkan kekhawatiran dari beberapa pengamat mengenai jebakan utang China. Kurangnya transparansi dalam perjanjian pinjaman terbaru, kata mereka, berarti masih belum jelas bagaimana biaya proyek yang diperbarui berdampak pada syarat-syarat pembayaran.

Para pengkritik BRI menuduh China menjalankan kebijakan "diplomasi jebakan utang", mengacu pada praktik memikat negara-negara miskin dan berkembang untuk menyetujui pinjaman yang tidak berkelanjutan untuk mengejar proyek-proyek infrastruktur.
Ketika negara-negara peminjam ini mengalami kesulitan keuangan, China dapat merebut aset tersebut, sehingga memperluas jangkauan strategis atau militernya, demikian yang disampaikan dalam makalah penelitian tahun 2020 yang diterbitkan oleh lembaga kebijakan independen Chatham House.
Akan tetapi, makalah itu mengatakan bahwa pendapat itu memiliki bukti yang "terbatas", dengan mencatat bahwa sistem pembiayaan pembangunan China terlalu terfragmentasi dan tidak terkoordinasi dengan baik untuk mengejar tujuan strategis yang terperinci.
"Di Sri Lanka dan Malaysia, dua negara yang paling sering disebut sebagai 'korban' dari 'diplomasi jebakan utang' China, proyek-proyek BRI yang paling kontroversial diprakarsai oleh pemerintah penerima bantuan, yang mengejar agenda-agenda dalam negerinya sendiri," tulis makalah tersebut.
Simak seri ECRL Malaysia lainnya di sini:
Namun, Ong Kian Ming, mantan wakil menteri perdagangan dan industri internasional, mengatakan bahwa pemerintah Najib Razak tidak pernah menjelaskan alasan ekonomi untuk ECRL melalui analisis biaya-manfaat atau analisis ekonomi.
"Hal terbaik yang dapat diharapkan oleh pemerintah ini adalah bahwa ECRL dapat memicu pembangunan di sepanjang area strategis di dekat jalur kereta api, yang beberapa di antaranya dapat dimonetisasi oleh pemerintah untuk membayar kembali sebagian cicilan pinjaman dan untuk membuat jalur tersebut berkelanjutan secara finansial," katanya kepada CNA.
SEBERAPA BESAR POTENSI KEUNTUNGAN ECRL?
Pada 2017, Kementerian Keuangan mengatakan bahwa ECRL diharapkan dapat menutupi biaya operasionalnya melalui tarif penumpang, biaya angkutan dan pendapatan non-tarif, dengan pembangunan berorientasi transit terkait yang membantu menanggung sebagian biaya.
Pembangunan berorientasi transit mengacu pada pembangunan perkotaan yang memaksimalkan jumlah ruang hunian, bisnis, dan rekreasi yang dapat dicapai dengan berjalan kaki dari stasiun ECRL.
Menteri Transportasi Wee Ka Siong pada 2021 mengatakan bahwa jalur utara ECRL diharapkan dapat menarik 26 juta ton kargo dan lima juta penumpang pada tahun pertama operasinya.
Dia juga mengatakan bahwa 70 persen dari pendapatan ECRL akan berasal dari transportasi kargo, sementara 30 persen sisanya berasal dari penumpang.

Tham Siew Yean, peneliti senior tamu di ISEAS - Yusof Ishak Institute, mengatakan bahwa perkiraan penumpang dan kargo untuk ECRL tampak "optimistis", mengingat apa yang telah dicapai oleh operator kereta api utama Malaysia, Keretapi Tanah Melayu (KTM).
Pada 2018, KTM hanya berhasil menarik 3,5 juta penumpang dan enam juta ton kargo barang meskipun memiliki jalur kereta api yang jauh lebih panjang daripada ECRL, tulisnya dalam sebuah artikel blog Fulcrum pada Januari 2023.
"KTM melintasi seluruh pantai barat Semenanjung Malaysia, yang jauh lebih padat penduduknya, urbanisasinya, dan industrinya dibandingkan dengan empat negara bagian ECRL," ujarnya.

Sri Murniati dari Institut Demokrasi dan Urusan Ekonomi Malaysia mengatakan bahwa profitabilitas ECRL akan sangat bergantung pada pembangunan di wilayah pantai timur.
"Rencana dan implementasi pembangunan yang efektif akan membutuhkan kolaborasi antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian di wilayah pantai timur, terutama Kelantan dan Terengganu," katanya kepada CNA.
MRL mengatakan pada 2017 bahwa proyek ECRL diharapkan dapat menghasilkan manfaat sosial ekonomi sekitar RM50,1 miliar.
Negara bagian pantai timur Terengganu, Kelantan, dan Pahang diperkirakan akan mengalami pertumbuhan PDB sebesar 1,5 persen selama 50 tahun ke depan.

Pada tahun 2019, Otoritas Pengembangan Investasi Malaysia (MIDA) bekerja sama dengan CCCC meluncurkan proyek akselerator ekonomi yang terkait dengan ECRL.
Proyek-proyek ini berfokus pada pengembangan kawasan industri, pusat logistik, dan pengembangan berorientasi transit untuk meningkatkan permintaan lalu lintas kargo dan penumpang di ECRL.
MIDA telah mulai melibatkan para pemangku kepentingan utama seperti pemerintah daerah, asosiasi industri, pengelola dan pengembang kawasan industri, perusahaan investasi yang terkait dengan pemerintah, dan perusahaan investasi real estate untuk meningkatkan kesadaran akan proyek-proyek akselerator ekonomi bagi para calon investor.

Mantan wakil menteri Ong mencatat bahwa MIDA dan CCCC sebelumnya telah sepakat membangun proyek-proyek industri di sepanjang stasiun-stasiun utama dan dua pusat logistik di terminal timur dan barat ECRL untuk memacu permintaan kargo dan pada tingkat yang lebih kecil, penumpang.
"Jika nota kesepahaman ini masih berlaku, maka komitmen-komitmen ini harus ditindaklanjuti setelah selesainya ECRL," katanya.
Tham mengatakan dalam postingannya bahwa beberapa pengembang properti dalam negeri telah berkomitmen berinvestasi dalam pembangunan di Kota SAS - stasiun utama ECRL di Kuantan - dan Kapar, stasiun ECRL lainnya di dekat terminal barat Port Klang di Selangor.
"Pola investasi saat ini, yang terutama berasal dari China dan sumber-sumber lokal, menunjukkan bahwa infrastruktur yang menguntungkan yang ada di sepanjang pantai barat dan di sekitar Kuantan di pantai timur terus menarik lebih banyak investasi daripada bagian lain dari koridor ECRL," tulisnya.
"Masih harus dilihat, apakah investasi baru akan menyebar ke bagian lain yang kurang berkembang di koridor ECRL dalam empat tahun ke depan - dengan kecepatan yang diperlukan untuk memenuhi perkiraan lalu lintas kargo dan penumpang."

Oh Ei Sun, peneliti senior di Singapore Institute of International Affairs menggemakan sentimen tersebut, mencatat bahwa ECRL bukanlah kereta berkecepatan tinggi (high-speed rail/HSR), yang mencapai kecepatan lebih dari 250 km/jam.
"Dalam banyak proyek HSR di China... sebelum Anda menyadarinya, China akan mengembangkan banyak properti dan berbagai kegiatan ekonomi lainnya di sana," kata Oh kepada CNA.
"ECRL kami dianggap sebagai kereta berkecepatan menengah. Saya tidak yakin melewati Pahang dan pantai timur Malaya akan memiliki efek pengganda ekonomi yang sama, atau apakah lalu lintas penumpang dan kargo pada akhirnya akan cukup untuk membuatnya menguntungkan."

Ragu Sampasivam, kepala operasi Dewan Pengembangan Wilayah Ekonomi Pantai Timur yang terlibat dalam studi kelayakan awal untuk ECRL, mengatakan kepada CNA bahwa ia tetap yakin dengan proyeksi pengangkutan.
"Kami benar-benar pergi dan melihat sendiri industri di wilayah ini saat melakukan studi, dan bertanya kepada mereka, 'Jika kami membuat rel ini, apakah Anda akan menggunakannya? Untuk apa Anda akan menggunakannya? Apa yang harus saya lakukan agar Anda nyaman menggunakannya?" katanya.
“Saat kami membuat proyeksi mengenai volume kargo yang akan diproses dan keuangan yang dihasilkan dari itu, kami benar-benar bertemu dengan calon pengguna. Beberapa dari mereka sangat antusias dan masih menunggu proyek ini selesai agar mereka bisa mulai mengangkut barang. Jadi, angka-angka yang kami perkirakan cukup realistis.”
Sampasivam mengatakan bahwa tidak realistis untuk mengharapkan proyek ECRL untuk "menutup semua belanja modal", yang mengacu pada belanja modal untuk mengakuisisi, meningkatkan, atau memelihara aset jangka panjang.
"Selama kami dapat mempertahankannya agar tetap layak secara operasional - mencapai titik impas, atau bahkan menghasilkan sedikit keuntungan - saya pikir itu akan menjadi kesuksesan besar bagi saya secara pribadi. Jadi saya sangat yakin bahwa proyek ini akan rampung, dan kargo akan dikirim melalui rel ini," tambahnya.
BERBAGI TANGGUNG JAWAB
Dengan pemikiran tersebut, MRL - yang akan memiliki semua aset ECRL - telah mendirikan perusahaan patungan dengan CCCC untuk mengoperasikan jalur kereta. Hal ini disepakati pada tahun 2019 setelah melalui negosiasi ulang untuk melanjutkan proyek tersebut.
Perusahaan patungan ini berarti kedua entitas akan bersama-sama berbagi tanggung jawab, seperti biaya pengoperasian ECRL, dan bertukar pengetahuan serta keahlian teknis.
Di bawah kesepakatan ini, jika ECRL beroperasi dengan defisit, MRL dan CCCC masing-masing akan menanggung 50 persen risiko. Jika ECRL beroperasi dengan surplus, MRL akan mendapatkan 80 persen dari pendapatan, sementara CCCC akan mendapatkan 20 persen sisanya.

Sri Murniati dari Institut Demokrasi dan Urusan Ekonomi Malaysia percaya bahwa pengaturan ini muncul karena pemerintah menyadari ECRL "berisiko" defisit, dan akan "sangat sulit" bagi Malaysia membayar kembali pinjaman China.
"Pengaturan usaha patungan ini mengharuskan entitas milik China, CCCC, untuk sama-sama bertanggung jawab dalam memastikan profitabilitas dan keberlanjutan ECRL," ujarnya.
"Jadi, mereka tidak akan membangun dan kemudian pergi, tetapi membangun dan bekerja sama dengan MRL untuk mengoperasikan jalur kereta api."
Oh dari Institute Of International Affairs Singapura menyambut baik usaha patungan ini, dengan mengatakan bahwa keterlibatan CCCC yang berkelanjutan diperlukan untuk memastikan kelancaran jalur kereta.
"Saya rasa kita belum menguasai kemampuan untuk mengoperasikan jalur kereta berkecepatan menengah," katanya.
Ong, mantan wakil menteri, mengatakan bahwa perusahaan patungan ini merupakan "ide yang bagus" untuk memastikan CCCC masih memiliki "peran" setelah ECRL selesai.
"Ini juga berarti bahwa CCCC harus menindaklanjuti nota kesepahaman dengan MIDA (tentang proyek-proyek akselerator ekonomi) sehingga lebih banyak bisnis dapat dihasilkan untuk ECRL," katanya.

Pada sebuah acara Desember lalu untuk memperkenalkan perusahaan operasi bersama ECRL antara MRL dan CCCC, menteri transportasi Loke mengakui bahwa "sulit" untuk menghasilkan keuntungan di sektor perkeretaapian.
"Setelah negosiasi ulang (untuk memulai kembali proyek ini), perusahaan China setuju untuk tidak hanya membangun sistem ini, tetapi juga berbagi beban risiko dalam pengoperasiannya," katanya.
"Yang paling penting adalah kami ingin operasi ini berkelanjutan, kompetitif dan tidak merugi."
KURANGNYA TRANSPARANSI PINJAMAN
Namun, para pengamat meminta pemerintah lebih transparan mengenai perjanjian pinjaman dengan Bank EXIM China. Menurut mereka, transparasi diperlukan demi kepentingan publik.
"Pemerintah Malaysia harus transparan tentang bunga dan kewajiban pembayaran utang MRL kepada Bank EXIM China, termasuk mengumumkan informasi ini kepada publik," kata Ong.
Laporan BRI Monitor tahun 2021 tentang ECRL, yang disiapkan oleh Institut Demokrasi dan Urusan Ekonomi Malaysia, menunjukkan bahwa beberapa rincian utama seperti tingkat bunga dan jumlah total pinjaman setelah negosiasi ulang tahun 2019 belum diungkapkan kepada publik.
Berdasarkan perjanjian tahun 2016, tingkat bunga 3,25 persen dengan jangka waktu pengembalian pinjaman 20 tahun juga lebih tinggi daripada sembilan proyek kereta api BRI lainnya, kata laporan itu.

Sri Murniati mengatakan transparansi dalam perjanjian pinjaman penting karena pinjaman untuk proyek-proyek infrastruktur utama terkadang dijamin oleh pemerintah.
"Jika terjadi gagal bayar, pemerintah akan mengambil alih pinjaman tersebut dan membayarnya dengan menggunakan uang pembayar pajak," ujarnya.
"Masyarakat atau pembayar pajak berhak mengetahui informasi dasar tentang pinjaman tersebut seperti tingkat bunga, syarat pembayaran dan jangka waktu pinjaman serta rencana pemerintah untuk memitigasi risiko fiskal yang timbul dari potensi gagal bayar."
Ong mengatakan bahwa Kementerian Keuangan, yang merupakan badan hukum dari MRL, harus mencari cara untuk meminimalkan pembayaran tahunan.
Langkah-langkah yang bisa diambil adalah menerbitkan obligasi panda dalam mata uang yun untuk membiayai pembayaran utang tanpa harus menggunakan pertukaran mata uang dolar AS (US dollar swaps) serta memanfaatkan suku bunga China yang saat ini menarik, katanya.
Menurut pusat data pasar keuangan Cbonds, obligasi panda mengacu pada obligasi berdenominasi yuan yang diterbitkan oleh perusahaan-perusahaan asing di pasar dalam negeri China.
Obligasi ini adalah cara bagi entitas internasional, termasuk perusahaan yang beroperasi di China daratan, pemerintah, dan lembaga keuangan, untuk menggalang dana di dalam negeri dengan mengurangi risiko nilai tukar mata uang asing, karena obligasi ini berdenominasi yuan.
RISIKO JEBAKAN UTANG YANG RENDAH
Namun demikian, para analis mengaku tidak khawatir proyek ECRL akan membuat Malaysia terperangkap dalam utang China.
Situasi fiskal Malaysia saat ini menunjukkan bahwa "sangat kecil kemungkinannya" negara ini akan jatuh ke dalam jebakan utang karena potensi gagal bayar pinjaman ECRL, kata Sri Murniati.
Meskipun pinjaman ECRL merupakan salah satu pinjaman terbesar yang dijamin oleh pemerintah, Malaysia baru-baru ini memperkenalkan undang-undang untuk memastikan keberlanjutan fiskal, ujarnya, mengutip Undang-Undang Keuangan Publik dan Tanggung Jawab Fiskal yang berlaku pada Desember 2023.
Undang-undang ini membatasi tingkat utang total Malaysia hingga 60 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Kementerian Keuangan mengatakan dalam proyeksi fiskal tahun 2025 bahwa utang pemerintah federal diproyeksikan sekitar 64 persen dari PDB pada akhir tahun 2025, dengan biaya pembayaran utang pada tahun 2024 diperkirakan sebesar 15,8 persen dari pendapatan.
"Secara keseluruhan, Pemerintah akan terus meningkatkan pengelolaan utang dan membandingkannya dengan praktik-praktik global, untuk mencapai kesinambungan utang dalam jangka menengah dan jangka panjang," ujar Menkeu.
Sri Murniati menunjukkan bahwa beberapa negara seperti Jepang memiliki rasio utang terhadap PDB yang jauh lebih tinggi namun "tidak sampai mendekati" terjebak utang, dengan mengatakan bahwa hal ini tergantung pada berbagai faktor seperti tingkat pertumbuhan, kemampuan untuk membayar utang, dan jangka waktu utang.
Situasi Malaysia juga "jauh lebih baik" dibandingkan Sri Lanka selama krisis keuangan, tambahnya.
Sri Lanka memiliki rasio utang terhadap PDB sebesar 100% sementara menghabiskan 71,7% pendapatannya untuk membayar bunga utang. Sebuah lembaga riset terkemuka di Sri Lanka mengatakan bahwa utang China bukanlah sumber utama dari jebakan utang.
"Tentu saja, tantangannya sekarang adalah memastikan kita mematuhi aturan institusional ini," ujar Sri Murniati, merujuk pada Undang-Undang Keuangan Publik dan Tanggung Jawab Fiskal.

Oh menggambarkan jebakan utang China sebagai "pisau bermata dua", mengatakan bahwa Malaysia dapat menolak tekanan China untuk membayar utang karena sifatnya yang kurang transparan.
Ketidaktransparanan pinjaman Bank EXIM China kemungkinan berarti pinjaman tersebut tidak dinilai dengan benar oleh lembaga pemeringkat internasional besar, kata Oh, menambahkan bahwa ini adalah ciri khas dari beberapa pinjaman China yang diberikan kepada negara-negara berkembang.
"Jika saya ingin bersikap sinis, jika sebuah negara seperti Malaysia mengatakan mereka tidak dapat membayar atau menolak membayar, memangnya apa yang bisa dilakukan China terhadap negara tersebut?" katanya, menambahkan bahwa peringkat kredit internasional Malaysia tidak akan terpengaruh dan akibatnya Malaysia masih dapat meminjam dari lembaga-lembaga keuangan besar di seluruh dunia.
Peter Chang dari Institut Studi China Universiti Malaya mengatakan bahwa baik Malaysia maupun China harus menavigasi dan bertanggung jawab atas kompleksitas dan tantangan dari inisiatif infrastruktur berskala besar seperti ECRL untuk memastikan keberhasilannya.
"ECRL adalah proyek kolaboratif antara dua negara berdaulat, dan risiko kegagalan adalah bagian dari proyek-proyek besar seperti ini," katanya kepada CNA.
"Namun, mengaitkan potensi kemandekan ECRL hanya karena 'diplomasi jebakan utang' China adalah tidak fair. Sebagai pihak yang menandatangani kontrak, Malaysia juga ikut bertanggung jawab atas hasilnya."
Ikuti Kuis CNA Memahami Asia dengan bergabung di saluran WhatsApp CNA Indonesia. Menangkan iPhone 15 serta hadiah menarik lainnya.