Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.

Iklan

Asia

Donald Trump berpeluang besar menang pilpres AS, seberapa siap Asia Tenggara menghadapinya?

Para pengamat mengatakan, percobaan pembunuhan yang gagal justru semakin melambungkan peluang Trump untuk terpilih kembali menjadi presiden AS.

Donald Trump berpeluang besar menang pilpres AS, seberapa siap Asia Tenggara menghadapinya?

Donald Trump saat berkampanye pemilihan presiden di Grand Rapids, Michigan, AS, 20 Juli 2024. (Foto: Reuters/Tom Brenner)

SINGAPURA: Peluang Donald Trump untuk terpilih kembali menjadi presiden Amerika Serikat untuk kedua kalinya kian melambung tinggi usai percobaan pembunuhan dirinya yang gagal. Pengamat mengatakan, jika Trump memenangi pilpres tahun ini, maka negara-negara Asia Tenggara sudah lebih siap dibanding sebelumnya dalam menyikapi hubungan dengan AS.

Para pengamat mengatakan, negara-negara Asia Tenggara sudah tahu cara Trump memimpin AS ketika dia menjadi presiden antara 2017 dan 2021. Dibandingkan dengan Joe Biden, Trump terkenal kerap mengeluarkan kebijakan yang tidak dapat diprediksi dan sepihak.

Pengamat mengatakan ada beberapa negara di kawasan yang khawatir dengan kepresidenan Trump nantinya. Namun disinyalir tidak akan ada perubahan mencolok terkait hubungan AS dengan negara-negara Asia Tenggara, siapa pun presidennya nanti. Pasalnya AS masih akan menerapkan strategi dan langkah proteksionisme yang sama untuk bersaing dengan China.

Lee Sue-Ann, peneliti senior di ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapura, mengatakan bahwa Survei Negara-negara Asia Tenggara Tahun 2024 oleh lembaganya menunjukkan bahwa negara-negara di kawasan masih resah dengan China yang kian agresif. Asia Tenggara, kata Lee, ingin melihat kepemimpinan AS yang kuat di kawasan dan mempererat hubungan dengan negara-negara di kawasan.

Namun melihat dinamika yang terjadi dalam pemilu AS, kata Lee, "harapan negara-negara di kawasan terus menurun". Dinamika yang dimaksud adalah perpecahan di tubuh Partai Demokrat terkait dukungan untuk Biden maju pada pilpres dan kekhawatiran akan adanya kekerasan menyusul penembakan terhadap Trump.

Usai upaya pembunuhan Trump yang gagal pada kampanye di Pennsylvania pada 13 Juli lalu, peluangnya untuk menang terus meningkat.

Trump terluka di telinganya dan pelaku penembakan yang berusia 20 tahun tewas ditembak polisi. Dalam peristiwa itu, Trump terpotret mengepalkan tangan ke udara dengan latar belakang bendera AS saat dia diamankan oleh Secret Service.

Donald Trump dikelilingi oleh anggota Secret Service setelah ia ditembak saat berkampanye pada 13 Juli 2024 di Pennsylvania. (Foto: AP/Evan Vucci)

"Foto Trump yang muncul, mengepalkan tangan ke udara, darah di wajahnya, sudah jadi penentu kemenangan," kata pakar hubungan internasional dari Universitas Nasional Pusan di Korea Selatan, Robert Kelly, dalam tulisan opininya di CNA.

Para swing voters (pemilih yang belum menentukan pilihan) akan menjadi segmen yang berpindak mendukung Trump usai merebaknya pemandangan macho Trump usai ditembak, kata Dr Kaewkamol Pitakdumrongkit, peneliti senior dan kepala Pusat Studi Multilateralisme di S Rajaratnam School of International Studies di Singapura.

"Trump ingin memperlihatkan bahwa dia adalah pemimpin yang kuat, dan ini adalah citra yang tepat untuk melawan Biden, terutama setelah debat capres pertama," kata dia. Biden tampil buruk dalam debat yang diadakan CNN pada 27 Juni lalu, memicu pertanyaan soal kesehatan fisik dan mentalnya serta seruan agar dia mundur.

Survei usai debat menunjukkan bahwa Trump unggul dari Biden. Kondisi kali ini akan berbeda dibanding pemilu sebelumnya tahun 2020 ketika Biden memenangi 306 suara elektoral, unggul dari Trump yang mendapat 232 suara. Perolehan suara populer Biden saat itu mencapai 51,3 persen, sementara Trump 46,8 persen.

Adanya perubahan dukungan memaksa Biden mengundurkan diri dari bursa capres pada Minggu, 21 Juli, setelah sebelumnya bersikeras tetap akan maju. Dia lantas menyatakan mendukung wakilnya, Kamala Harris, untuk maju dalam konvensi Partai Demokrat dalam memperebutkan kursi capres. 

Wakil Presiden AS Kamala Harris (kanan) menjadi calon pengganti Biden yang mengundurkan diri dari pilpres. (Foto file: AP/Patrick Semansky)

PREDIKSI KEBIJAKAN TRUMP DI INDO-PASIFIK

Pengamat politik dari National University of Singapore, Chong Ja Ian, mengatakan Trump dalam periode kedua kepemimpinannya nanti akan semakin tidak terprediksi.

"Kali ini Trump terlihat lebih penuh amarah dan orang-orang yang menjaga keseimbangan kebijakan pemerintah AS pada periode pertama pemerintahan Trump sudah tidak ada lagi," kata Chong.

Sosok-sosok penting yang mengundurkan diri atau dipecat dalam pemerintahan Trump di antaranya adalah menteri pertahanan James Mattis dan penasihat keamanan nasional HR McMaster.

Trump sendiri telah mengatakan akan "melakukan pembalasan" jika dia menang lagi. Berbagai media setempat telah melaporkan rencana para pendukung Trump yang ingin memenuhi Gedung Putih dan kantor pemerintahan dengan para pengacara yang tidak akan menentang kekuasaan presiden.

Chong mengatakan, pemerintahan kedua Trump akan lebih konfrontatif dalam aspek ekonomi, namun mengisolasi diri dalam hubungan luar negeri.

Hal ini akan mengganggu tatanan internasional yang telah menciptakan stabilitas dan kemakmuran di Asia Tenggara dan sekitarnya."
Pengamat juga mengatakan, salah satu kekhawatiran negara-negara Asia Tenggara pada kepempinan periode kedua Trump adalah sikapnya yang sering mengeluarkan kebijakan secara sepihak, tidak melalui pembahasan secara multilateral, termasuk dalam kaitannya dengan China.

"Trump menghadapi China dengan cara yang sangat transaksional, lebih seperti, 'Saya tidak butuh negara lain untuk membantu kami bersaing atau melawan China. Saya tahu Amerika itu hebat dan Amerika bisa melakukannya sendirian, tidak perlu bantuan negara lain'," kata Dr Aries Arugay, peneliti senior tamu di ISEAS.

Seperti pada 2020, Presiden Trump ingin agar pemerintah Jepang dan Korea Selatan membayar lebih banyak kepada AS yang telah menempatkan tentaranya di negara-negara mereka. Korea Selatan bahkan harus membayar lebih banyak lagi karena AS menempatkan tameng nuklir di negara itu.

Kebijakan yang berbeda diambil Biden. Dalam pemerintahannya, AS pada 2023 meneken perjanjian keamanan trilateral dengan Jepang dan Korea Selatan untuk menghadapi ancaman China dan Korea Utara.

Dikutip New York Times, ketika itu Biden mengatakan "menjauh dari dunia luar justru melemahkan kita, bukan memperkuat. Amerika kuat dengan berdiri bersama para sekutu dan aliansi, itulah yang menjadi alasan kita bisa bertahan."

(dari kiri) Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr, Presiden AS Joe Biden dan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida dalam pertemuan trilateral di Washington. (Foto: Getty Images Amerika Utara/AFP/Andrew Harnik)

Arugay juga mengatakan Trump tidak akan terlalu menaruh perhatian pada aliansi mereka dengan Filipina. Padahal Filipina tengah bersitegang dengan China terkait saling klaim wilayah di Laut China Selatan.

Filipina adalah salah satu sekutu penting AS di Asia Tenggara. Namun Trump saat menjabat presiden pada 2017 hingga 2021 mengatakan dia kemungkinan tidak akan memenuhi kebutuhan pertahanan dan keamanan serta kepentingan Asia Tenggara jika terpilih kembali untuk memimpin AS, kata Arugay.

"Dalam hal stabilitas Indo-Pasifik, kemungkinan situasinya akan lebih rawan jika Trump memimpin AS untuk periode kedua, dibanding jika Biden yang terpilih," kata Arugay.

TARGET SURPLUS PERDAGANGAN

Dalam sektor perdagangan, Trump telah menjanjikan akan menetapkan tarif sebesar 10 persen untuk barang-barang impor dan 60 persen atau lebih untuk barang-barang dari China. Dia beralasan, tarif ini diperlukan untuk mendorong produksi dalam negeri.

Pitakdumrongkit mengatakan, negara-negara Asia Tenggara yang memiliki surplus perdagangan dalam jumlah besar dengan AS, seperti Vietnam dan Thailand, bisa menjadi sasaran empuk bagi Trump.

Di Asia Tenggara, Vietnam memiliki surplus perdagangan terbesar dengan AS, yaitu US$104 miliar pada 2023. Angka ini hanya dilampaui oleh China, Uni Eropa, dan Meksiko, berdasarkan data pemerintah AS yang dikutip Reuters.

Surplus perdagangan Thailand dengan AS adalah US$29,37 miliar pada 2023, berdasarkan data pemerintah Bangkok.

Dengan surplus ini, kata Pitakdumrongkit, Trump kemungkinan akan menerapkan tarif untuk produk Vietnam dan Thailand, atau membuat kedua negara itu menandatangani perjanjian meningkatkan impor dari AS.

Lee dari ISEAS-Yusof Ishak Institute mengatakan negara-negara Asia Tenggara juga akan terkena getahnya jika ketegangan antara AS dan China meningkat.

"Pemerintahan Trump dapat memaksa negara Asia Tenggara untuk tidak berdagang atau berbisnis dengan China, terutama yang melibatkan sektor-sektor atau teknologi baru yang sensitif. Beberapa negara Asia Tenggara akan berada dalam posisi yang terjepit," kata dia.

Investasi besar-besaran China di Indonesia, seperti pertambangan mineral, kemungkinan akan memicu kekhawatiran bagi pemerintahan Trump, kata peneliti dari lembaga riset Centre for Strategic and International Studies (CSIS) kepada Jakarta Globe awal tahun ini.

Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia. (AP Photo/Dita Alangkara)

KETIDAKPASTIAN DAN KENYATAAN PAHIT DI ASIA TENGGARA

Menurut para pengamat, siapa pun presiden yang terpilih nanti - entah dari Partai Demokrat atau Republik - tidak akan memberikan perbedaan yang signifikan bagi beberapa negara di Asia Tenggara.

Kondisi ini terjadi lantaran adanya masalah struktural tertentu serta ketidakpastian di beberapa negara Asia Tenggara.

Indonesia misalnya, yang akan melantik Prabowo Subianto sebagai presiden baru pada Oktober mendatang. Menurut Dr Shafiah Muhibat, wakil direktur eksekutif CSIS Indonesia untuk bidang penelitian, masih banyak ketidakpastian terkait proyeksi kebijakan luar negeri Prabowo.

Shafiah mengatakan, belum diketahui seperti apa hubungan yang diinginkan Prabowo antara Indonesia dengan mitra-mitra utama, entah itu AS, Jepang, China atau negara lainnya.

Ketika Barack Obama menjadi presiden, ada euforia di Indonesia karena dia pernah menghabiskan masa kecil di negara ini, kata Shafiah. Indonesia berharap, hubungan dengan AS akan menjadi lebih baik di bawah kepemimpinan Obama.

"Tapi ternyata sama saja, semua berjalan seperti biasa. Iya, kita memang bekerja sama dengan AS dalam banyak hal. Tapi dalam hal lainnya, kerja sama kita masih kurang erat."

Pemerintahan di Asia Tenggara ingin ada lebih banyak keterlibatan AS di kawasan. Namun menurut Shafiah, "jika ternyata apa yang dilakukan AS justru memprovokasi China lebih agresif di Laut China Selatan, ini malah jadi bumerang bagi kita yang menginginkan stabilitas di kawasan."

Lee mengatakan, hubungan diplomatik negara-negara Asia Tenggara dengan AS di bawah pemerintahan Trump memang masih kurang. Namun Trump tetap mempertahankan kehadiran AS di kawasan untuk menjaga tetap terbukanya jalur pelayaran yang krusial. 

"Penting untuk diingat bahwa di bawah pemerintahan Trump, nyatanya operasi kebebasan navigasi AS di Laut China Selatan mencapai rekor tertinggi, dan menurun jumlahnya ketika Biden memimpin," kata Lee.

"Dalam perkara ini, kita harus memberikan pujian kepada pemerintahan Trump."

Sementara itu Lee mengatakan bahwa konflik Israel di Gaza juga akan membuat beberapa negara Asia Tenggara membatasi kerja sama dengan AS.

Survei ISEAS mengenai Asia Tenggara menunjukkan adanya peningkatan tajam dalam hal sentimen anti-AS di Indonesia, Malaysia, dan Brunei, tiga negara mayoritas Muslim di kawasan.

Seorang pria mengenakan stiker bendera Palestina dan Indonesia dalam sebuah unjuk rasa untuk mendukung Palestina di Jakarta pada tahun 2023. (AP Photo/Dita Alangkara)

Belum dapat dipastikan bagaimana ketiga negara tersebut berhubungan dengan pemerintah Trump nantinya, mengingat para pemilih Trump "lebih condong pro-Israel ketimbang Biden dalam konflik di Gaza saat ini", kata Lee.

Negara-negara Asia Tenggara juga harus menghadapi "kenyataan pahit mengenai kepemimpinan AS di kawasan" terlepas dari siapa pun presidennya kelak, ujar Lee.

Kenyataan pahit itu adalah politik domestik AS yang kian terpolarisasi dan disfungsional, akan berlanjutnya sikap proteksionisme AS, dan persaingan strategis mereka dengan China akan semakin meningkat dan memasuki sektor-sektor kritis baru, Lee menjabarkan.

Contohnya pada Juni lalu, AS menetapkan tarif bagi produk pembangkit tenaga surya dari empat negara Asia Tenggara, yaitu Kamboja, Thailand, Malaysia dan Vietnam. Menurut AS, keempat negara tersebut digunakan perusahaan-perusahaan China untuk mengirim produk mereka agar tidak terkena tarif AS.

"Karena itulah, kebijakan industri ini masih akan berlaku," kata Lee.

BAGAIMANA ASIA TENGGARA SEHARUSNYA BERSIAP

Para pengamat mengatakan, negara-negara Asia Tenggara bisa mempersiapkan diri untuk kepemimpinan Trump di AS dengan melakukan beberapa hal.

Negara-negara Asia Tenggara dapat kian memperkuat integrasi ekonomi regional agar menjadi kawasan yang lebih menarik bagi investasi dan perdagangan, kata Dr Pitakdumrongkit.

Lebih lanjut dia mengatakan, jika nantinya setelah terpilih presiden, Trump menarik AS dari kesepakatan ekonomi atau perdagangan regional, maka negara-negara Asia Tenggara harus menjalin hubungan secara bilateral dengan AS dan mencari sektor-sektor yang jadi kepentingan bersama seperti pembangunan yang berkelanjutan, inovasi dan ekonomi digital.

Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) juga harus memegang teguh sentralitas ASEAN dan aturan internasional demi kepentingan mereka sendiri, tegas Pitakdumrongkit.

Sementara Shafiah mengatakan bahwa ASEAN harus mencari cara agar mereka bisa lebih "relevan bagi kepentingan negara-negara besar."

"Sejauh ini, ASEAN belum menjalankan tugasnya dalam menjadikan organisasi ini lebih relevan bagi perubahan global yang ada saat ini," kata dia.

"ASEAN masih melakukan semuanya seperti biasa, dengan pertemuan demi pertemuan, dan saya kira format seperti ini tidak menarik bagi kebanyakan mitra dialog besar termasuk AS," kata dia.

Tapi tidak ada cara yang mudah untuk mengubah status quo tersebut, karena memang seperti itulah birokrasi ASEAN dirancang, tambah Shafiah.

Pertemuan KTT ASEAN-Jepang di Tokyo pada Desember 2023. ASEAN harus mencari cara agar mereka lebih "relevan dengan kepentingan negara-negara besar", kata pengamat. (Foto: David Mareuil/ POOL/AFP)

Arugay mengatakan bahwa ASEAN dapat mendiversifikasi hubungan mereka, misalnya dengan merangkul negara kekuatan menengah.

Seperti yang dilakukan Filipina bulan ini, menandatangani perjanjian akses timbal balik dengan Jepang untuk meningkatkan kerja sama ekonomi kedua negara.

Perjanjian tersebut adalah hasil dari komitmen kedua negara pada 2022. Tertulis dalam perjanjian tersebut bahwa tentara Filipina diperkenankan melakukan latihan tempur gabungan dengan tentara Jepang.

Menurut Arugay, ini menjadi bukti bahwa "pemerintahan Marcos tidak bergantung kepada AS dalam semua hal".

Arugay mengatakan, hubungan Filipina dengan Jepang tidak hanya terjalin karena agresi China di Laut China Selatan.

"Ada banyak niat baik dan momentum yang telah dibangun dalam beberapa tahun terakhir, mengingat hitung-hitungan geopolitik yang berubah di kawasan ini," katanya.

Filipina juga telah menandatangani nota kerja sama pertahanan dengan negara-negara seperti Swedia, Kanada, Prancis, dan Inggris. "Jadi, Filipina tidak menaruh semua telurnya di keranjang AS (meskipun) AS masih menjadi kekuatan yang bisa diandalkan."

Meskipun dukungan terhadap Trump saat ini sangat besar, namun para pengamat mengatakan bahwa situasi bisa saja berubah dalam beberapa bulan ke depan.

"Kita akan melihat bagaimana mereka menjaga momentum ini dan menggunakannya untuk memperkuat kampanye Trump," kata Pitakdumrongkit.

Laporan tambahan oleh Darrelle Ng

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini. 

Source: CNA/da

Juga layak dibaca

Iklan

Iklan