Kasus bunuh diri dokter ungkap tabir kelam bullying menahun di dunia medis Malaysia
Senioritas, beban kerja berlebih dan risiko tinggi disebut penyebab bullying pada sistem pelayanan kesehatan di Malaysia. Setelah seorang dokter bunuh diri, para pakar mendesak pelaku bullying diadili dan sistem dibenahi.
KUALA LUMPUR: Ketika dr. Nurul (bukan nama sebenarnya) beberapa tahun lalu bertugas sebagai dokter magang di sebuah rumah sakit pemerintah di Selangor, Malaysia, bentakan atasan di depan pasien adalah makanannya sehari-hari.
Nurul yang berusia 30-an ini mengisahkan, atasannya bahkan menyebutnya "tak punya otak" dan cuma buang-buang uang dan waktu saja belajar kedokteran.
Perlakuan dari para atasan yang menurutnya mengidap "kompleks dewa" ini membuat Nurul beberapa kali berpikir untuk berhenti saja.
"Tapi saya tidak boleh, karena jika saya berhenti, berarti mereka menang. Satu-satunya yang bisa saya lakukan hanya menerimanya," kata Nurul yang mengaku selalu dibentak di depan pasien setiap kali dia bertugas.
"Saya punya beberapa teman yang bernasib sama, dan kami saling curhat tentang apa yang kami alami. Itu yang membuat saya mampu melalui masa-masa sulit," kata dokter pemerintah yang enggan menyebut nama aslinya ini kepada CNA.
Meski bullying terjadi hanya di sedikit tempat, kata Nurul, namun hal itu memberikan kerusakan yang besar.
Kasus bunuh diri seorang dokter di Sabah baru-baru ini sekali lagi menyoroti perilaku bullying yang terjadi pada sektor pelayanan kesehatan masyarakat di Malaysia. Desakan kembali muncul agar pemerintah mengatasi masalah yang sudah menahun ini.
Jenazah dr. Tay Tien Yaa, kepala Unit Patologi Kimia di Rumah Sakit Lahad Tahu, ditemukan di rumah yang disewanya pada 29 Agustus lalu. Menurut anggota keluarga, dokter berusia 30 tahun itu baru bertugas di rumah sakit tersebut pada Februari dan mendapatkan perlakuan buruk serta tekanan dari para seniornya.
Polisi tidak menemukan adanya tindak kejahatan yang menyebabkan kematiannya. Namun Menteri Kesehatan Dzulkefly Ahmad mendesak penyelidikan mendalam atas kematian Tay dan mengatakan tidak akan menolerir perundungan dalam bentuk apa pun.
"Seluruh pegawai Kementerian Kesehatan berhak mendapatkan lingkungan kerja yang aman dan adil," kata dia dalam rangkaian cuitannya pada 16 September lalu, selang dua hari setelah saudara lelaki Tay memposting ihwal kematiannya.
"Saya tahu budaya kerja yang toksik ini masih ada, jadi kepada para pelaku, hentikanlah!"
BULLYING LEBIH PARAH DI BIDANG KESEHATAN?
Para pakar mengatakan kasus perundungan di dunia kerja adalah masalah umum yang tidak hanya menimpa para tenaga medis.
Berbagai studi di masa lampau menunjukkan kasus bullying di bidang kesehatan tidak lebih tinggi dibanding sektor lainnya. Namun para pakar meyakini, bullying di bidang kesehatan lebih parah lantaran lingkungan kerja dengan tekanan yang tinggi karena pertaruhannya adalah nyawa pasien.
Menurut mereka, ada beberapa faktor yang membuat masalah ini kian menahun, di antaranya beban kerja berlebih, kurangnya tenaga medis, ditambah dengan kurangnya dukungan dari sistem.
Jumlah tenaga medis di Kementerian Kesehatan turun setengahnya pada kurun waktu 2019 hingga 2023, dari 6.134 menjadi 3.271, berdasarkan data resmi yang dilansir media The Star awal tahun ini.
Misalnya hanya ada 14 dokter spesialis bedah kardiotoraks di tujuh rumah sakit umum yang menangani bedah jantung di Malaysia.
Jumlah ini menjadi sorotan pada Juli lalu setelah empat lulusan program pendidikan bedah kardiotoraks dari Royal College of Surgeons Edinburgh, Skotlandia, mengajukan uji materi atas penolakan permohonan mereka untuk terdaftar di National Specialist Register, database dokter spesialis di Malaysia.
Para pakar dalam laporan terbaru menyerukan pemerintah segera mengatasi kekurangan dokter dan memperingatkan dampak buruknya bagi pasien jika tidak segera ditanggulangi.
Kematian dr. Tay berselang dua tahun setelah seorang dokter magang di Rumah Sakit Umum Penang juga dilaporkan bunuh diri setelah di-bully di tempat kerja.
Ketika itu, pemerintah langsung membentuk Satuan Tugas Peningkatkan Budaya Kerja Bidang Kesehatan (HWCITF) untuk menyelidiki kematian dokter berusia 25 tahun itu serta membuktikan klaim adanya budaya perundungan di rumah sakit tersebut.
Jenis-jenis bullying yang dicari HWCITF adalah intimidasi, isolasi, fitnah, salah sangka gender (misgendering), kata-kata kasar, pelecehan, kompensasi yang tidak seesuai, jam kerja hingga beban kerja berlebih.
Dalam laporannya yang dirilis pada Agustus 2022, HWCITF tidak menemukan bukti kuat telah terjadi perundungan dalam kasus bunuh diri dokter tersebut. Tapi mereka mencatat adanya kelelahan, perundungan dan budaya kerja tidak sehat di beberapa tingkatan Kementerian Kesehatan, meski tidak terjadi di semua rumah sakit pemerintah.
Laporan itu juga memuat hasil survei terhadap lebih dari 110.000 responden di Kemenkes Malaysia. Sekitar 30 persen mengaku kelelahan, sementara 7,5 persen mengaku mengalami bullying di tempat kerja.
Sekitar seperempat dari lebih dari 20.000 responden di tingkat manajemen atau penyelia mengakui adanya tindakan bullying di tempat kerja mereka.
Dari mereka yang mengaku melakukan bullying, sekitar 20 persen mengatakan bahwa mereka terlibat dalam bullying "parah" sementara yang lainnya mengatakan bahwa mereka terlibat dalam bullying tingkat "rendah".
Laporan itu juga menyebutkan bahwa Kemenkes Malaysia memiliki sekitar 250 ribu pegawai, namun masih ada banyak kekurangan untuk jumlah dokter, perawat dan tenaga kesehatan lainnya.
Kurangnya tenaga medis terutama terlihat di daerah perdesaan, yang menyebabkan dokter memiliki beban kerja berlebih sehingga memicu stres dan kelelahan.
Dalam survei berbeda tahun lalu terhadap 728 dokter, Asosiasi Medis Malaysia (MMA) menemukan 30 hingga 40 persen dokter di negara itu mengalami perundungan.
Survei juga menemukan bahwa korban enggan melapor karena takut atau tidak yakin laporan mereka akan diproses.
Sebagian perbandingan, studi tahun 2019 menemukan hampir 40 persen pekerja di Malaysia pernah jadi korban bullying di tempat kerja.
Penelitian yang berjudul "Bullying di tempat kerja dan tekanan psikologis karyawan di seluruh lapisan sosial ekonomi: studi lintas-instansi", mensurvei lebih dari 5.200 orang dari 47 departemen di Malaysia dan diterbitkan dalam jurnal BMC Public Health.
Ini adalah penelitian pertama soal prevalensi bullying di tempat kerja dan hubungannya dengan faktor sosioekonomi dan tekanan psikologis dengan menggunakan sampel besar karyawan Malaysia dari berbagai instansi.
Penelitian ini tidak mengidentifikasi instansi atau industri tempat mereka bekerja. Namun penelitian menemukan bahwa korban bullying di tempat kerja kebanyakan perempuan, berpenghasilan tinggi, dan mengalami tekanan psikologis yang besar.
PERUNDUNGAN DOKTER BISA DIBENARKAN?
Kasus bullying di bidang kesehatan belum tentu lebih banyak dibanding bidang kerja lainnya. Namun perundungan terhadap pekerja medis bisa lebih parah karena lingkungan kerja mereka memiliki tingkat stres tinggi akibat berhadapan dengan situasi hidup dan mati, kata dr. Andrew Mohanras, presiden Asosiasi Kesehatan Mental Malaysia.
Menurut dia, dokter-dokter senior mungkin merasa tertekan karena merekalah yang harus bertanggung jawab jika terjadi kesalahan. Akhirnya, mereka melampiaskannya kepada dokter-dokter yang lebih junior.
"Satu kesalahan kecil saja bisa tidak dapat diperbaiki, berakibat pada morbiditas dan mortalitas. Dengan dalih kehati-hatian, bullying jadi terlembaga dan diterima," kata dia.
"Artinya di bidang medis, bullying kerap dibenarkan untuk mencegah kesalahan, menciptakan budaya yang menoleransinya, bahkan mengharapkannya," kata dr. Andrew yang merupakan psikiater.
Alhasil, perawat, dokter junior dan staf pendukung lainnya kerap menjadi sasaran bullying dari atasan mereka.
"Meski bullying adalah masalah yang universal, namun lingkungan kerja tertentu lebih rentan mengalaminya akibat faktor-faktor seperti struktur yang hirarkis, kondisi tekanan-tinggi, dan ketidakstabilan pekerjaan," jelas Andrew lagi.
Andrew mengatakan, karena kondisi seperti ini, ada dokter senior yang telah praktik lebih dari 30 tahun tidak menganggap membentak juniornya sebagai bentuk perundungan.
"Terkadang, ada hal-hal yang terucap begitu saja, tapi tidak bermaksud personal," kata dia. "Saya percaya tidak semua orang cocok menjadi dokter, meski dia mendapatkan nilai tinggi dalam ujian."
Manvir Victor, salah satu dari sembilan anggota HWCITF, setuju bahwa lingkungan yang berisiko tinggi dapat berkontribusi pada bullying di tempat kerja.
Selain itu, kata dia, "sistem kuno" yang digunakan oleh para pekerja medis juga berperan. Sebagai contoh, banyak tugas yang masih dilakukan secara manual, mulai dari pencatatan hingga proses pemulangan pasien.
"Kita berbicara soal bullying, tapi sistemnya juga mem-bully dokter dan pekerja medis," kata dia.
"Mereka adalah orang-orang yang merawat kesehatan bangsa. Karena itu, menjaga kesejahteraan mereka harus dikedepankan," lanjut dia.
MENGHENTIKAN PERUNDUNGAN YANG MENAHUN
Menyusul kematian dr. Tay, Hartal Doktor Kontrak - sebuah kelompok informal yang beranggotakan dokter-dokter di Malaysia - menyerukan reformasi secepatnya, termasuk dalam soal sistem pelaporan yang transparan, independen, dan mudah diakses bagi para pekerja medis.
"Harus ada langkah konkret untuk menegakkan kebijakan anti-bullying dan menuntut pertanggungjawaban mereka yang terlibat dalam perundungan di tempat kerja, terlepas dari apa pun jabatan mereka," kata kelompok ini dalam konferensi pers 16 September lalu.
Mereka juga mengatakan pemerintah harus lebih fokus pada kesehatan mental pada pekerja medis. Layanan dukungan harus tersedia untuk para profesional medis tersebut, terutama yang bekerja di lingkungan dengan tingkat stres yang tinggi atau terletak jauh di pelosok.
"Kematian dr. Tay menjadi pengingat pahit akan mendesaknya reformasi untuk mengatasi kurangnya tenaga medis dan beban kerja berlebih, yang memperburuk stres dan kesehatan mental," kata mereka.
Andrew mengatakan, semua sektor harus memiliki kebijakan yang lebih ketat untuk mencegah perundungan di tempat kerja.
Hukuman harus diterapkan sebagai konsekuensi berat dari melakukan perundungan. Semua orang, kata Andrew, juga harus bertanggung jawab dalam menciptakan lingkungan kerja yang aman dan penuh rasa saling menghormati.
"Perundungan tidak hanya menyebabkan penurunan kinerja dan tingginya angka ketidakhadiran, tapi juga membuat karyawan mudah mengundurkan diri serta mengurangi kepuasan dalam bekerja."
"Hal ini seharusnya menjadi dasar untuk kita khawatir dan memperkuat motivasi dalam mengimplementasikan kebijakan dan aturan yang ketat terkait bullying di tempat kerja, bukan hanya agar terlihat bagus di mata masyarakat, tetapi sebagai kebutuhan untuk mempertahankan produktivitas," kata Andrew.
HWTICF mengatakan Kemenkes memang sudah memiliki kebijakan dan aturan soal pengaduan perundungan. Namun, kata mereka, perlu ada peningkatan soal kerahasiaan bagi pelapor dalam sistem pengaduan itu.
Manvir percaya bahwa pihak berwenang juga harus membenahi sistem pelayanan kesehatan masyarakat yang terlalu panjang alurnya, waktu tunggu yang lama untuk pemeriksaan dokter, rumah sakit yang penuh sesak, serta beban kerja tenaga medis yang terlampau berat.
Bahkan para dokter spesialis, kata Manvir, harus menanggung beban kerja yang tak semestinya selain merawat pasien, seperti mengajar dan mengurus masalah administrasi.
Manvir menyarankan rumah sakit mulai melakukan digitalisasi dan menggunakan perangkat lain untuk meringankan beban pekerja medis. "Alat-alat ini diperlukan untuk membantu para pekerja agar lebih efisien dan bekerja lebih cepat."
Kendati perdebatan soal perundungan terhadap pekerja medis sengit terjadi, namun dokter seperti Nurul merasa tidak ada perubahan yang berarti.
"Meski secara umum ada kesadaran mengenai hal ini, tapi bullying sudah mengakar dalam struktur pada sistem. Perlu kemauan politik yang kuat untuk mengatasi masalah ini," kata dia.
Nurul yang sekarang praktik di rumah sakit umum di Kuala Lumpur mengaku masih melihat dokter magang dibentak-bentak setiap hari. Menurut beberapa koleganya, bullying perlu dilakukan untuk membuat dokter-dokter junior itu tangguh.
"Mereka menganggapnya sebagai tradisi bagi semua dokter, mereka merasa berhak berkata kasar kepada para junior. Saat ini, perilaku seperti ini jadi hal biasa, tapi tidak semua orang bisa tahan menerimanya," kata Nurul.
Ketika berinteraksi dengan para juniornya, Nurul mengaku terinspirasi oleh para dokter-dokter baik yang membantunya saat dia baru mulai terjun ke dunia medis.
"Saya sudah punya pengalaman di beberapa tempat, dan lingkungan kerja sangat bergantung kepada orang-orang di dalamnya," kata dia.
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini.