Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.

Iklan

Asia

Dihantui ancaman Donald Trump, tantangan berat mengintai perekonomian Asia Tenggara di 2025

Para pakar mengatakan bahwa Malaysia dan Indonesia harus mengatasi tantangan domestik, fragmentasi perdagangan, dan ketegangan geopolitik demi mencapai target ekonomi masing-masing pada tahun 2025.
 

Dihantui ancaman Donald Trump, tantangan berat mengintai perekonomian Asia Tenggara di 2025

Seiring dengan ancaman perang tarif baru, para pengamat mengatakan bahwa negara-negara Asia Tenggara perlu mendiversifikasi pasar mereka. (Ilustrasi: CNA/Clara Ho)

KUALA LUMPUR/JAKARTA: Mulai dari potensi perang tarif, perlambatan ekonomi hingga gejolak politik yang mempengaruhi mitra dagang utama, 2025 akan menjadi tahun penuh tantangan bagi negara-negara Asia Tenggara yang ingin meningkatkan perekonomian mereka.

"Tantangannya akan berat," kata Piter Abdullan, direktur eksekutif lembaga riset Segara Institute kepada CNA.

"Secara eksternal, negara-negara Asia Tenggara harus menghadapi tingginya ketidakpastian global, sembari bergulat dengan tantangan di dalam negeri yang tidak kalah beratnya."

Di Indonesia - negara dengan perekonomian terbesar di Asia Tenggara - rintangan di dalam negeri muncul dalam bentuk lesunya konsumsi rumah tangga akibat penyusutan jumlah masyarakat kelas menengah dan terbebaninya stabilitas fiskal akibat program-program ambisius pemerintahan baru.

Sementara itu, Thailand tengah berusaha memulihkan industri pariwisata dan jasa mereka yang sebelumnya terpuruk akibat pandemi COVID-19. Tapi rendahnya konsumsi dalam negeri, tingginya utang rumah tangga dan ketidakstabilan politik akan merintangi usaha pemerintah Thailand.

Bagi dua negara yang menunjukkan performa ekonomi luar biasa di 2024, Malaysia dan Thailand, tantangan terbesar mereka adalah mempertahankan momentum dan terus bisa menarik investasi asing langsung (FDI) di tengah tantangan dunia.

Tantangan terbesar negara-negara ini kemungkinan akan datang dari Donald Trump, presiden terpilih Amerika Serikat. Trump berjanji akan menerapkan berbagai langkah untuk melindungi produk-produk dalam negeri AS selepas dia dilantik jadi presiden.

Dalam periode pertamanya menjabat, Trump telah menerapkan tarif besar terhadap barang-barang asal China, memicu terjadinya perang tarif. China sendiri adalah mitra dagang utama bagi banyak negara di Asia Tenggara.

Kebijakan Trump tersebut dilanjutkan di bawah pemerintahan Joe Biden. Bahkan Biden memperluas penerapan tarif besar bagi perusahaan-perusahaan China yang beroperasi di negara lain seperti Vietnam, Thailand dan Malaysia.

Resmi dilantik sebagai presiden AS pada 20 Januari mendatang, Trump berjanji akan melipatgandakan tarif tersebut.

"Bahkan sebelum dia dilantik, Trump telah melayangkan ancaman untuk pihak-pihak yang dianggap tidak bersahabat dengan AS, termasuk negara-negara anggota BRICS," kata Piter.

Pekan ini, Indonesia diterima sebagai anggota penuh BRICS. Negara lainnya seperti Thailand, Vietnam dan Malaysia juga telah menyampaikan keinginan mereka bergabung dengan BRICS. 

Untuk menyikapi ancaman perang tarif ini, para pengamat mengatakan negara-negara Asia Tenggara harus mendiversifikasi pasar mereka.

Tapi tidak akan mudah mencari mitra dagang baru di tengah pergolakan politik dan penurunan ekonomi yang menimpa negara-negara perekonomian besar di Eropa, atau deflasi yang tengah dialami dua raksasa Asia, China dan Jepang.

TARGET PERTUMBUHAN

Malaysia berpotensi mencapai kinerja ekonomi yang tinggi pada 2024, melampaui target awal dan mencatatkan pertumbuhan antara 4,8 dan 5,3 persen. Pada 2025, pemerintah Malaysia menargetkan pertumbuhan 4,5 hingga 5,5 persen.

Untuk bisa mencapai target tahun ini, para pengamat kepada CNA mengatakan Malaysia harus terus menarik FDI dan mengimplementasikan reformasi struktural demi meningkatkan pemasukan, mengurangi subsidi dan memperluas basis pendapatan.

Ancaman tarif tinggi oleh Trump akan menjadi batu sandungan bagi Malaysia. Pengamat mengatakan, salah satu cara Malaysia mengatasinya adalah mendiversifikasi mitra dagang mereka dan memiliki kebijakan yang lebih jelas dengan China sebagai mitra dagang utama.

Kunci agar cara ini berhasil, kata pengamat, Malaysia harus mempertahankan stabilitas politik dalam negeri. Mereka mencermati bahwa Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim berhasil mempertahankan kesolidan pemerintahannya dan kini sudah saatnya untuk menerapkan kebijakan-kebijakan dengan visi yang jangka panjang.

Profesor ekonomi dari Universitas Sunway, Yeah Kim Leng, mengatakan kepada CNA bahwa kinerja Malaysia tahun lalu didorong oleh pemulihan perdagangan, peningkatan investasi hingga dua kali lipat, dan konsumsi yang berkelanjutan.

“Mempertahankan kepercayaan konsumen dan investor serta mendorong sumber-sumber pertumbuhan domestik dan eksternal akan menjadi kunci untuk mencapai pertumbuhan 5 persen atau lebih pada tahun 2025,” kata Yeah.

"Menjaga kebijakan fiskal sambil memobilisasi pendapatan yang cukup, meningkatkan efisiensi pengeluaran dan mendorong peningkatan produktivitas di semua sektor ekonomi diperkirakan dapat mempertahankan momentum pertumbuhan sepanjang 2025."

Ekonom Geoffrey Williams mengatakan target pertumbuhan 4,5 sampai 5,5 persen adalah "normal" dan bisa dicapai dengan tingkat suku bunga yang stabil dan tanpa adanya intervensi kebijakan, yang malah justru bisa meningkatkan inflasi.

“Perekonomian sebagian besar sudah kembali normal dengan pertumbuhan yang kuat, inflasi rendah, suku bunga yang stabil dan tingkat pengangguran yang rendah,” ujar pendiri Williams Business Consultancy yang berbasis di Malaysia ini kepada CNA.

“Jadi, pemerintah dapat berfokus pada reformasi struktural untuk meningkatkan pendapatan dan investasi serta rasionalisasi subsidi demi membantu kebijakan fiskal dan manajemen utang dan defisit.” 

Pada 10 Desember lalu PM Anwar mengatakan bahwa Malaysia telah mencatatkan total investasi yang disetujui sebesar RM254,7 miliar (sekitar Rp900 triliun) dari berbagai sektor ekonomi untuk sembilan bulan pertama tahun 2024.

Terjadi peningkatan 10,7 persen dari RM230,2 miliar untuk periode yang sama di tahun 2023, tulisnya dalam sebuah postingan di X.

Anwar mengatakan jumlah total investasi untuk sembilan bulan pertama 2024 itu melibatkan 4.753 proyek yang diharapkan dapat menciptakan 159.347 lapangan kerja baru.

Sementara itu, Indonesia memproyeksikan pertumbuhan 5,2 persen tahun ini, naik hanya 0,1 persen dari pertumbuhan tahun 2024.

Target ini masih jauh dari visi Presiden Prabowo Subianto untuk mencapai pertumbuhan 8 persen sebelum masa jabatan pertamanya berakhir pada tahun 2029.

“Prabowo bersikap realistis karena dia baru menjabat, sementara pemerintahannya masih dalam masa transisi,” ujar Piter dari Segara Institute.

Meskipun targetnya sederhana, pemerintahan Prabowo perlu mengatasi sejumlah rintangan jika ingin mencapai pertumbuhan ekonomi yang diinginkan.

Untuk Indonesia, tahun 2024 ditandai dengan deflasi berturut-turut sebesar 0,08 hingga 0,18 persen yang terjadi antara bulan Mei dan September serta perlambatan konsumsi domestik. Setiap tahunnya, konsumsi rumah tangga menyumbang setidaknya 50 persen dari PDB Indonesia.

“Dengan banyaknya ketidakpastian global yang dapat merugikan ekspor kita, satu hal yang membuat ekonomi Indonesia tetap bertahan adalah konsumsi domestik,” kata Bhima Yudhistira, direktur eksekutif lembaga riset Centre for Economic and Law Studies (CELIOS) di Jakarta kepada CNA.

Konsumsi domestik Indonesia tumbuh 4,91 persen pada kuartal ketiga tahun 2024, lebih lambat dari 5,05 persen pada periode yang sama tahun 2023 dan 5,40 persen pada kuartal ketiga tahun 2022.

Perlambatan pertumbuhan ini terjadi di tengah anjloknya populasi kelas menengah di Indonesia. Kondisi ini muncul setelah banyak tempat usaha dan pabrik yang tutup akibat pandemi COVID-19.

Prabowo telah berjanji menciptakan 19 juta lapangan kerja selama lima tahun ke depan dengan menghidupkan kembali sektor manufaktur yang lesu untuk mengatasi hal ini.

Dalam mewujudkannya, Prabowo secara bertahap akan menghentikan ekspor mineral mentah dan memperdagangkan produk jadi, melanjutkan kebijakan hilirisasi dari pendahulunya, Joko Widodo.

Presiden Prabowo Subianto memberi hormat saat upacara penyambutan di istana pemerintah, di sela-sela KTT Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Lima, Peru, pada 14 November 2024. (Foto file: Reuters/Agustin Marcarian)

Visi hilirisasi Indonesia membutuhkan banyak kerja sama dan investasi dari negara lain agar bisa sukses.

"Indonesia tidak cukup menarik di mata banyak investor dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, atau Vietnam,” kata Bhima.

Untuk membuat Indonesia lebih menarik, Prabowo perlu merampingkan birokrasi, memberikan insentif pajak, dan meningkatkan kualitas tenaga kerja.

“Selain itu, beberapa perusahaan mulai menuntut agar kebutuhan energi mereka berasal dari sumber-sumber terbarukan. Prabowo perlu mengatasi masalah ini dengan cepat atau perusahaan-perusahaan ini akan membawa uang mereka ke tempat lain,” katanya.

Untuk menstimulasi investasi, Indonesia perlu menyisihkan anggaran untuk melakukan perbaikan-perbaikan yang diperlukan, tambah Bhima.

"Tapi (pada 2025), Indonesia akan memulai beberapa program Prabowo seperti makan gratis dan perumahan murah bagi masyarakat miskin. Hal ini menyisakan sedikit ruang fiskal bagi pemerintah untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi.”

Pada 2025, Indonesia akan mengalokasikan Rp71 triliun untuk program makan gratis dan Rp24,9 triliun rupiah untuk perumahan bersubsidi, dari anggaran belanja negara sebesar 3.613 triliun rupiah.

KENAIKAN UPAH DI MALAYSIA MENGANCAM USAHA KECIL

Untuk membiayai berbagai program ini, dan juga pengeluaran yang membengkak akibat gemuknya kabinet Prabowo, pemerintah Indonesia berencana menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari.

Namun setelah muncul berbagai protes dan kritikan, pemerintah Indonesia pada Desember lalu mengatakan kenaikan PPN dikecualikan untuk beberapa barang dan jasa.

PPN untuk minyak goreng murah yang disediakan pemerintah dan gula untuk industri akan tetap 11 persen, sementara pendidikan non-premium dan layanan kesehatan akan dibebaskan dari PPN.

Sehari sebelum penerapan baru ini, Prabowo pada 31 Desember mengumumkan bahwa kenaikan PPN sebesar 1 persen ini hanya akan berlaku untuk barang dan jasa mewah.

“Pemerintah telah memutuskan bahwa kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen hanya akan berlaku untuk barang dan jasa mewah yang menjadi subjek pajak penjualan barang mewah dan dikonsumsi oleh mereka yang berpenghasilan tinggi, seperti jet pribadi, yacht, dan rumah mewah,” kata Prabowo.

Yusuf Rendy Manilet, peneliti di lembaga riset Center of Reform on Economics di Jakarta, sebelumnya mengatakan kepada CNA bahwa kenaikan PPN jika jadi diberlakukan akan berdampak pada masyarakat kelas menengah di Indonesia. 

“Kebijakan ini akan menambah beban kelas menengah yang sudah harus menghadapi stagnasi upah dan banyaknya potongan dari pemerintah dan premi jaminan sosial wajib yang menggerogoti gaji mereka,” katanya, seraya menambahkan bahwa segmen kelas menengah telah menjadi kekuatan pendorong di balik konsumsi domestik negara ini.

Penurunan kemampuan membeli masyarakat kelas menengah dapat menyebabkan lambatnya permintaan barang-barang produksi dalam negeri dan pada akhirnya akan membuat sektor manufaktur dan pertanian menderita, kata Yusuf.

FOTO FILE: Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim berbicara setelah pertemuan dengan Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed di Putrajaya, Malaysia, 26 Oktober 2024. (Foto: Reuters/Hasnoor Hussain/Pool/File Photo)

Di Malaysia, PM Anwar telah menaikkan upah minimum dan gaji pegawai negeri. Menurut ekonom asal Malaysia Shankaran Nambiar, langkah ini diharapkan dapat meningkatkan konsumsi dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Namun, Nambiar berpendapat bahwa kebijakan tersebutt, ditambah lagi kebijakan kontribusi skema pensiun untuk pekerja asing, adalah langkah yang akan mencederai usaha kecil dan menengah (UKM) dan berpotensi melemahkan perekonomian.

UKM yang menjadi tulang punggung perekonomian Malaysia telah mencakup 48 persen dari lapangan kerja dan menyumbang 38 persen PDB negara itu, berdasarkan laporan perusahaan konsultan EY pada Oktober 2023. 

Sektor UKM Malaysia tumbuh 5 persen dan menyumbang RM613,1 miliar terhadap PDB pada tahun 2023, tetapi tetap sangat rentan terhadap faktor-faktor eksternal seperti kebijakan, kemajuan teknologi, dan peristiwa geopolitik.

Setelah pidato Anggaran 2025 Anwar, para pelaku UKM telah memperingatkan bahwa upah minimum yang lebih tinggi dan skema kontribusi wajib untuk pekerja asing akan semakin menekan laba mereka, padahal margin mereka sudah semakin tipis.

“Sektor swasta, terutama sektor UKM, mungkin tidak menyukai kontribusi wajib untuk Dana Pensiun bagi pekerja asing. Biaya yang lebih tinggi dapat mempengaruhi beberapa perusahaan yang kurang berkembang dan lebih kecil,” kata Nambiar.

“Dengan pertumbuhan global yang sedikit lebih rendah pada 2025 ... dan China tidak dapat membukukan angka-angka yang menggembirakan seperti yang biasa mereka lakukan, Malaysia kemungkinan besar akan terpuruk ke angka 4,5 persen (dalam pertumbuhan PDB).”

Kementerian keuangan Malaysia mengatakan dalam prospek makroekonomi tahun 2025 bahwa ekonomi global diproyeksikan akan tumbuh 3,3 persen tahun depan, sementara China diperkirakan akan mencatat pertumbuhan 4,5 persen terutama karena “produktivitas yang lesu”.

ANCAMAN DONALD TRUMP

Perekonomian China yang tengah rapuh masih harus menghadapi lebih banyak lagi tarif dagang AS di bawah pemerintahan Donald Trump. Sebelumnya, Trump telah mengancam akan menerapkan tarif hingga 60 persen untuk impor barang-barang dari China.

AS sendiri telah mulai menerapkan tarif untuk impor solar dari Vietnam, Thailand, Kamboja dan Malaysia, mengincar perusahaan-perusahaan China yang berusaha mendiversifikasi rantai suplai mereka demi menghindari tarif.

Nambiar mengatakan, menggunakan tarif sebagai salah satu kebijakan luar negeri bisa meredam laju perekonomian Malaysia.

"Cara lama dengan berharap perusahaan China pindah ke Malaysia untuk menghindari tarif tidak akan berhasil," kata dia.

"Malaysia harus lebih memperjelas kebijakan mereka, terutama yang terkait dengan China. Pemerintahan Trump tidak akan menoleransi ambiguitas."

Asrul Hadi Abdullah Sani, mitra di perusahaan penasihat strategis ADA Asia Tenggara, mengatakan bahwa surplus perdagangan Asia Tenggara dengan AS juga dapat membuat ekspor Malaysia, terutama industri semikonduktor, rentan terhadap ancaman tarif.

“Oleh karena itu, penting bagi Malaysia untuk terus mendiversifikasi kemitraan dagangnya,” katanya.

Asrul Hadi mengatakan bahwa pemerintah Malaysia harus terus merampingkan lembaga-lembaga dan departemen-departemennya, mempermudah proses regulasi dan meningkatkan transparansi dalam pengambilan keputusan.

“Pendekatan ini akan membuat Malaysia lebih menarik bagi investasi asing, terutama karena pemerintah federal bertujuan memperkuat posisi negara ini dalam rantai pasokan semikonduktor global,” tambahnya.

Namun, Yeah dari Sunway University menyoroti bahwa ketergantungan Trump menjadikan tarif dan strategi dagang lainnya sebagai senjata untuk melindungi industri di AS akan memiliki dampak yang beragam terhadap Malaysia, mengingat keterbukaan ekonomi negara ini dan hubungan yang baik dengan Amerika dan China.

“Pengalihan perdagangan dan investasi selama masa jabatan pertama Trump dan seteru perdagangan pemerintahan (Presiden Joe) Biden dengan China telah menguntungkan Malaysia sebagaimana dibuktikan dengan peningkatan FDI dan volume perdagangan,” katanya.

"Malaysia harus bisa mengatasi dampak perdagangan yang merugikan dan gangguan pada rantai pasokan jika kenaikan tarif diberlakukan. Di antara cara mengatasinya adalah kepatuhan terhadap permintaan pasar, mencari pasar alternatif dan memberikan bantuan kepada perusahaan-perusahaan yang terkena dampak untuk meminimalkan kerusakan jangka panjang pada perekonomian Malaysia.”

Presiden terpilih AS Donald Trump berbicara setelah pertemuan dengan Partai Republik di Kongres di gedung Capitol AS di Washington, AS, 8 Januari 2025. (Foto: Reuters/Jeenah Moon)

Kementerian keuangan Malaysia mengatakan, dalam pandangan makroekonomi bahwa meskipun volume perdagangan mereka dengan China secara signifikan lebih tinggi daripada AS, perdagangan dengan Washington “sangat penting” untuk sektor-sektor ekonomi strategis seperti teknologi dan perawatan kesehatan.

“Setiap pergeseran kebijakan ke arah proteksionisme, seperti tarif yang lebih tinggi dan langkah-langkah non-tarif baru di negara-negara ini, dapat membawa dampak pada sektor eksternal Malaysia,” katanya.

Mengingat eskalasi tarif Trump dan perang yang sedang berlangsung di Timur Tengah dan antara Rusia dan Ukraina, Yeah menduga bahwa kondisi eksternal diperkirakan akan bergejolak dan tidak dapat diprediksi pada tahun ini.

“Untuk mempertahankan pertumbuhan, pemerintah Malaysia harus gesit dan pragmatis dalam menanggapi potensi perubahan besar yang mengganggu kestabilan iklim perdagangan dan investasi internasional,” katanya.

Sementara itu, ancaman tarif oleh Trump dapat menjadi mimpi buruk bagi Indonesia, negara yang bergantung pada perdagangan dengan China dan AS.

China adalah tujuan ekspor utama Indonesia dengan nilai US$67 miliar pada tahun 2022. Sementara AS menjadi tujuan ekspor terbesar kedua Indonesia dengan nilai ekspor US$31 miliar pada tahun yang sama.

“Jika AS memberlakukan tarif yang tinggi untuk produk-produk China, maka produksi akan melambat, dan dengan demikian permintaan dari China untuk mineral dan produk pertanian Indonesia akan menurun. Inilah yang terjadi pada masa jabatan pertama Trump,” ujar Piter dari Segara Institute.

Upaya untuk menjual produk-produk Indonesia ke negara lain tidak akan mudah, Piter menambahkan.

Mitra dagang terbesar ketiga Indonesia, Jepang, masih menghadapi kontraksi dalam ekonominya yang berasal dari deflasi berkepanjangan yang dimulai pada 1990-an.

Sementara itu, Uni Eropa, mitra terbesar kelima Indonesia, mengalami pencatatan ekonomi yang lemah dan pertumbuhan yang stagnan di tengah ketidakstabilan politik di Jerman dan Perancis serta perang di Ukraina.

Meskipun begitu, Kementerian Perdagangan Indonesia optimistis ekspor Indonesia akan tumbuh 7,1 persen pada 2025, sebagian karena permintaan yang stabil dari mitra dagang terbesar keempat Indonesia, India.

Di tengah ketidakpastian global, para ahli ragu target ini akan tercapai.

“Untuk melindungi perekonomian dari semua tantangan global ini, Indonesia harus meningkatkan permintaan domestik untuk menjaga bisnis tetap bertahan dan perekonomian tumbuh,” kata Bhima dari CELIOS.

“Itulah sebabnya, Indonesia perlu mempertimbangkan kembali kenaikan pajak dan kebijakan-kebijakan lain yang menghambat daya beli masyarakat.”

Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. ​​​​​

Source: CNA/da

Juga layak dibaca

Iklan

Iklan