Apakah Asia Tenggara takluk dalam perang melawan DBD?
Singapura, Malaysia dan Indonesia telah mengerahkan nyamuk khusus yang disuntikkan dengan bakteri untuk mengatasi demam berdarah dengue (DBD). Tapi ternyata kasus DBD masih terus ada, lantas seberapa efektif cara tersebut?
SINGAPORE/KUALA LUMPUR/JAKARTA: Benjamin Loh sempat mengira dia kembali terjangkit COVID-19 ketika menderita demam hingga 40 derajat Celcius pada Juli tahun lalu.
Ternyata bukan itu. Dokter yang didatanginya menduga pria Singapura 36 tahun ini menderita demam berdarah dengue (DBD) dan menyarankan untuk segera cek darah.
Tidak lama kemudian, Loh yang merupakan pengusaha dan pembicara profesional menerima pesan singkat dari dokternya: "Sebaiknya Anda ke rumah sakit sekarang."
Jumlah trombositnya 20.000 per mikroliter darah. Normalnya, trombosit yang membantu pembekuan darah dan mencegah pendarahan berlebihan memiliki kadar antara 150.000 dan 450.000 per mikroliter darah.
Dokter memperingatkan, dengan kondisi tersebut, luka berdarah sedikit saja bisa jadi situasi hidup dan mati.
Loh kemudian dirawat akibat DBD selama hampir sepekan, sebuah masa yang disebutnya "kutukan dari mantan pacar". DBD membuat ayah beranak satu ini harus berjuang melawan rasa nyeri di tubuh, mual-mual dan demam tinggi. Dia bahkan terlalu lemas hanya untuk membalas email.
"Rentetan gejala ini benar-benar membuatmu tidak ingin melakukan apapun."
Warga Jakarta, Patricia Tambunan, sama menderitanya. Dia dirawat di rumah sakit lebih dari tujuh hari. Virus membuat perempuan 28 tahun ini mual dan muntah setiap kali makanan dan minum masuk ke tubuhnya.
Loh dan Patricia adalah dua dari puluhan ribu orang di Asia Tenggara yang terinfeksi DBD baru-baru ini, ratusan di antaranya meninggal dunia.
Pemerintah di Singapura, Malaysia dan Indonesia secara khusus telah menerapkan langkah-langkah pencegahan DBD, di antaranya menyebar nyamuk pembawa bakteri dan kampanye edukasi kepada masyarakat. Namun, apakah mereka berhasil? CNA melihat lebih dekat perjuangan ketiga negara tersebut dalam melawan virus ini.
MENGAPA DBD SANGAT MERESAHKAN?
Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO menggambarkan DBD sebagai infeksi virus yang disebabkan oleh virus dengue (DENV). Virus ini ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti.
DBD ditemukan di negara-negara beriklim tropis dan subtropis, kebanyakan terjadi di wilayah perkotaan dan pinggiran kota.
Ada empat serotipe virus dengue yang berbeda (DENV1 hingga 4) yang beredar di dunia. Meskipun banyak infeksi DENV yang tidak bergejala atau hanya menyebabkan penyakit ringan, namun terkadang virus ini dapat memicu kasus yang lebih parah dan bahkan kematian.
Dalam beberapa tahun terakhir, DBD telah menyebar ke tempat-tempat yang belum pernah terjangkit sebelumnya, seperti di Prancis, Italia, dan Chad. Akhir tahun lalu, dua orang di wilayah California Selatan terjangkit DBD tanpa melakukan perjalanan ke luar Amerika Serikat. Padahal di wilayah tersebut penyakit yang ditularkan oleh nyamuk jarang terjadi.
Brasil di Amerika Selatan juga menjadi sorotan setelah melaporkan lebih dari satu juta kasus dan sekitar 300 kematian dalam dua bulan pertama tahun ini. Beberapa negara bagian di Brasil telah mengumumkan keadaan darurat.
Asia Tenggara sendiri telah sejak lama menjadi korban DBD.
Setelah kasus DBD terus naik dalam beberapa pekan, pada Februari lalu Badan Lingkungan Nasional Singapura (NEA) menyerukan "aksi segera" untuk memberantas nyamuk Aedes aegypti.
Tren naik penderita DBD telah terjadi sejak 2019. Ketika itu, Singapura melaporkan lebih dari 3.000 kasus. Angka itu naik hampir 20 persen dari catatan 2017, ketika angka penderita untuk pertama kalinya turun dalam 16 tahun.
Jumlah penderita terus naik hingga hampir 16.000 pada 2019, sebelum mencapai rekor puncak lebih dari 35.000 dan 32 kematian pada 2020.
Sempat terjadi penurunan signifikan pada 2021, ketika hanya ada 5.000 kasus DBD di Singapura. NEA mengatakan, kemungkinan hal ini terjadi karena imunitas sementara dari wabah besar pada dua tahun sebelumnya.
Namun angkanya kembali melonjak ke lebih dari 32.000 kasus dengan 19 kematian pada 2022. Berdasarkan data per kuartal tahun lalu, total ada 9.950 kasus dan enam kematian akibat DBD.
Jumlah kasus DBD di Singapura pada 2024 sudah mencapai 4.817 kasus per 23 Maret.
Sementara di Malaysia, tercatat lebih dari 123.000 kasus DBD pada tahun 2023, meningkat 86 persen dari sekitar 66.000 pada tahun sebelumnya. Serupa dengan 2022, kasusnya dua kali lipat dibanding tahun 2021 yaitu 26.000 kasus.
Terdapat total 100 kematian akibat DBD di Malaysia tahun lalu, hampir dua kali lipat dari 56 kematian pada 2022. Hingga 16 Maret, Malaysia telah mencatat 38.524 kasus demam berdarah dan 24 kematian di 2024.
Di Indonesia, tercatat hampir 18.000 kasus di bulan Januari saja - meningkat dari sekitar 12.500 kasus pada Januari 2023.
Pada awal Maret ini, ada lebih dari 21.000 kasus dan sedikitnya 191 kematian akibat DBD di Indonesia. Cianjur, kabupaten terpadat di Jawa Barat, telah ditetapkan status siaga DBD awal tahun ini dan berpotensi naik ke status darurat jika angka penderita tidak kunjung turun.
APA YANG SALAH?
Menurut para ahli, melonjaknya kasus DBD di Indonesia terjadi lantaran beberapa faktor, salah satunya fenomena cuaca El Nino yang membuat suhu menjadi lebih panas.
"Akibatnya nyamuk lebih cepat dewasa, menetaskan telur lebih cepat. Jika telur menetas lebih cepat, maka jumlah nyamuk yang menggigit manusia juga bertambah," kata dr. Riris Andono Ahmad, peneliti di Pusat Kedokteran Tropis, Universitas Gadjah Mada.
Musim penghujan yang ditingkahi oleh El Nino juga menyebabkan terbentuknya genangan yang menjadi tempat berkembang biak jentik nyamuk Aedes aegypti, kata Riris.
Profesor Hsu Li Yang dari Singapura mengatakan, cuaca yang menghangat membuat periode inkubasi virus DBD di dalam nyamuk menjadi lebih singkat.
Wakil dekan kesehatan global dan kepala program penyakit menular di Fakultas Kesehatan Masyrakat Saw Swee Hock, Universitas Nasional Singapura (NUS), ini menambahkan bahwa dampak perubahan iklim dalam kasus ini belum "dipelajari dengan baik".
Sementara menteri kesehatan Malaysia Dzulkefly Ahmad mengatakan peningkatan kasus DBD di negaranya terjadi karena perubahan iklim, tingkat urbanisasi yang cepat, serta pembuangan sampah dan penyimpanan air yang tidak tepat. Berbagai kondisi ini membuat nyamuk Aedes aegypti lebih gampang berkembang biak.
Meningkatnya kepadatan penduduk di sebuah daerah juga menyumbang naiknya kasus, memberikan lebih banyak tempat berkembang biak dan sasaran gigitan nyamuk Aedes aegypti.
Dr. Borame Sue Lee Dickens dari Fakultas Kesehatan Masyrakat Saw Swee Hock, NUS, mengatakan nyamuk Aedes aegypti dapat bertahan hidup dan beradaptasi di lingkungan perkotaan.
"Nyamuk-nyamuk ini bisa berkembang biak hanya dalam air sesendok teh," kata dia. Hal ini menyebabkan DBD akan sangat sulit dikendalikan.
Kekhawatiran lainnya adalah imunitas dari virus DBD.
Di Singapura, DBD pertama kali menjadi penyakit yang memantik perhatian pada 1977. Ketika itu, DBD menyita perhatian publik karena tingkat penularan, keparahan, atau frekuensinya dan kewajiban lapor bagi fasilitas kesehatan kepada dinas kesehatan setempat jika menemukan kasus.
Di masa itu, orang-orang dewasa yang tumbuh di tahun 1950 dan 1960-an sudah pernah terkena DBD saat kecil sehingga mereka imun terhadap virus tersebut.
Namun setelah dilakukan upaya memberantas populasi nyamuk, generasi selanjutnya tidak lagi terkena DBD sehingga imunitas tidak terbentuk.
"Apa yang terjadi seiring waktu adalah semakin banyak masyarakat saat ini yang tetap rentan DBD hingga dewasa," kata Profesor Ooi Eng Eong dari lembaga Riset Penyakit Menular di Fakultas Kedokteran Duke-NUS.
Jika imunitas masyarakat rendah, maka menurut Ooi diperlukan langkah lebih gencar dalam mengendalikan perkembangan nyamuk.
"Sampai mencapai tingkatan (nyamuk) hampir musnah atau bahkan musnah, kita tidak akan bisa menyelesaikan masalah DBD di Singapura."
Prof Ooi juga menunjukkan adanya hubungan antara variabel sosioekonomi dan DBD di Singapura.
Misalnya, ada orang yang mampu membayar tagihan listrik untuk terus menyalakan AC di kamar sehingga nyamuk tidak suka. Sementara warga lainnya hidup dalam tempat dan kondisi yang disenangi nyamuk.
Selain itu, kata Prof Ooi, masyarakat yang tidak mampu akan menunda berobat. Sementara orang yang mampu akan segera ke rumah sakit, sehingga penanganan penyakit akan lebih cepat. Kondisi seperti ini tidak terbatas pada DBD saja.
APA YANG TELAH DILAKUKAN?
Dengan DBD menjadi endemi selama lebih dari 50 tahun, Singapura sejak lama telah menerapkan langkah pengendalian vektor untuk mengurangi penularan.
Salah satu upaya andalan Singapura adalah Project Wolbachia yang dimulai pada 2016. Badan Lingkungan Nasional Singapura (NEA) telah melepaskan nyamuk Aedes aegypti jantan pembawa bakteri Wolbachia di beberapa wilayah.
Ketika nyamuk jantan ini kawin dengan nyamuk Aedes betina, maka telurnya tidak akan bisa menetas.
Di Indonesia pelepasan nyamuk Wolbachia juga telah dilakukan di enam kota, yakni Bontang, Kupang, Semarang, Jakarta Barat, Bandung dan Denpasar, seperti yang diberitakan kantor berita Antara bulan ini.
Selain metode ilmiah seperti itu, langkah pencegahan tradisional juga masih penting, kata dr. Riris dari UGM.
Seperti mengosongkan wadah air, menutup tempat penyimpanan air, memelihara ikan untuk memakan jentik nyamuk, kerja bakti warga dan menggunakan semprotan pengusir nyamuk.
Di Indonesia, pengawasan jentik dilakukan oleh petugas Jumantik yang ditunjuk langsung oleh pemerintah daerah, jelas juru bicara Kementerian Kesehatan RI Siti Nadia Tarmizi. Petugas yang mendapat upah Rp550.000 per bulan ini bertugas memeriksa jentik nyamuk dari rumah ke rumah, biasanya pada hari Jumat, seperti diberitakan Kompas.
Riris mengatakan, aksi ini harus dilakukan dalam skala besar untuk bisa memberikan dampak.
Sementara di Malaysia, selain pencegahan, pengawasan dan keterlibatan masyarakat, pemerintah juga berkolaborasi dengan organisasi nirlaba untuk pengembangan dan riset obat-obatan. Mereka melakukan berbagai percobaan klinis untuk penggunaan kembali obat-obatan yang dirasa ampuh mengatasi DBD.
Di antaranya adalah obat yang biasa digunakan untuk penyakit Hepatitis C. Menteri Kesehatan Malaysia dr. Dzulkefly mengatakan tujuan dari penelitian ini adalah menghadirkan "perawatan yang efektif, terjangkau dan bisa diakses semua dalam lima tahun ke depan".
Selama bertahun-tahun, Singapura telah menjalankan kampanye edukasi untuk meningkatkan kesadaran publik akan bahaya DBD.
Kampanye edukasi dimulai pada 1969 dengan gerakan "Jaga Singapura Tetap Bersih dan Bebas Nyamuk" yang kemudian berkembang menjadi Kampanye Pencegahan DBD Nasional yang digelar setiap tahun.
Kampanye ini bertujuan untuk mendorong masyarakat menghentikan penularan DBD mencapai puncaknya yang biasanya terjadi antara Juni dan Oktober, seperti yang dijelaskan oleh Menteri Keberlanjutan dan Lingkungan Hidup Singapura Grace Fu dalam pernyataan tertulisnya di rapat dengar parlemen pada 2022.
NEA juga menerapkan Sistem Peringatan DBD Masyarakat dengan spanduk berkode warna untuk mengumumkan tingkat risiko DBD di sebuah daerah. Pada 2022, NEA meluncurkan spanduk berwarna ungu untuk daerah dengan populasi nyamuk Aedes aegypti yang tinggi.
Selain langkah pengendalian dan pencegahan, vaksin virus DBD juga telah disetujui untuk digunakan di Singapura sejak 2016.
Dikembangkan oleh perusahaan farmasi Prancis, Sanofi Pasteur, vaksin Dengvaxia yang khusus untuk warga berusia 12 hingga 45 tahun adalah satu-satunya vaksin DBD yang berlisensi di Singapura.
Vaksin ini disuntikkan dalam tiga dosis dalam jangka waktu 12 bulan dengan tingkat efektivitas hingga empat tahun setelah dosis ketiga. Warga yang berada di luar cakupan usia layak vaksin DBD harus berkonsultasi dengan dokter terlebih dulu jika ingin mendapatkan suntikan Dengvacia, ujar Badan Ilmu Kesehatan (HSA) Singapura.
Namun vaksin ini memiliki batasan, yaitu tidak direkomendasikan bagi mereka yang pernah terjangkit DBD.
Pada 2012, Singapura juga memperluas pengawasan virus dengue hingga lintas batas, membentuk jaringan United In Tackling Epidemic Dengue (Bersatu Memberantas Epidemi DBD) dengan otoritas kesehatan Malaysia dan akademisi Indonesia untuk saling berbagi informasi dan pengetahuan.
"Jaringan ini telah efektif dalam membantu perjuangan Singapura melawan DBD dengan memberikan kesadaran situasional tentang demam berdarah di negara-negara tetangga dan regional," kata NEA kepada CNA.
Mengingat status Singapura sebagai pusat perdagangan dan perjalanan, lanjut NEA, data lintas batas telah berguna dalam mengidentifikasi garis keturunan virus yang umum di Asia Tenggara dan apa hubungannya dengan wabah di masing-masing negara.
APAKAH CARA-CARA ITU EFEKTIF?
Ketika ditanya pada Februari lalu soal efektivitas Project Wolbachia, Menteri Grace Fu mengatakan bahwa terjadi pengurangan populasi Aedes aegypti hingga 90 persen di empat lokasi penyebaran nyamuk Wolbachia.
Dia juga menambahkan, data dari 2019 hingga 2022 juga menunjukkan bahwa penduduk yang tinggal di daerah dengan setidaknya satu tahun pelepasan Wolbachia memiliki kemungkinan lebih kecil untuk terinfeksi DBD.
NEA akan memperluas Project Wolbachia ke lima wilayah permukiman lainnya pada kuartal pertama tahun ini. Dengan demikian, 35 persen dari seluruh rumah tangga di Singapura akan tercakup dalam proyek ini.
Sementara itu, Malaysia telah melepaskan nyamuk ber-Wolbachia di 32 lokasi di tujuh negara bagian sejak 2019. Kasus DBD di Malaysia menurun sebesar 45 hingga 100 persen di 19 lokasi.
Pemerintah Negeri Jiran pada Januari lalu menyampaikan rencana untuk melepaskan nyamuk ber-Wolbachia di 10 wilayah lainnya.
Namun di Indonesia, kurangnya informasi dan penyebaran berita palsu telah menghambat penyebaran nyamuk ber-Wolbachia. Hal ini terjadi di Bali pada akhir tahun lalu.
Kabar hoaks yang menyebar di media sosial menyebutkan nyamuk Wolbachia dapat menularkan Japanese encephalitis (virus akibat nyamuk yang dapat menyebabkan penyakit parah) atau "gen LGBT". Teori konspirasi juga menyeruak, mengatakan bahwa nyamuk Wolbachia adalah bagian dari "rencana pemusnahan populasi" yang dicanangkan Bill Gates, pendiri Microsoft.
Hal serupa tidak terjadi di Singapura. Tantangan Singapura adalah memastikan bahwa bahaya DBD tetap menjadi kekhawatiran masyarakat.
"Masyarakat Singapura pada umumnya sadar akan risiko DBD, namun sulit untuk selalu ingat memeriksa sarang nyamuk di rumah mereka," kata Dickens.
Menurut Prof Ooi, orang-orang di Singapura tidak selalu "menerjemahkan ilmu pengetahuan menjadi sebuah tindakan".
"Terkadang pemikiran mereka adalah otoritas kesehatan publik yang seharusnya mengatasi masalah ini."
Loh, warga Singapura yang pernah menderita DBD, terjangkit virus ini di waktu yang sama ketika wilayah permukimannya di Toa Payoh dinyatakan sebagai klaster nyamuk pada akhir Juni 2023.
Namun dia tidak menyadari bahwa tempatnya tinggal adalah titik api DBD. "Anda tidak pernah mengira sesuatu akan terjadi sampai benar-benar menimpa Anda," kata dia kepada CNA.
Setelah pulih, Loh dan istrinya selalu menempelkan dua stiker anti-nyamuk di tubuh putranya yang berusia tiga tahun jika pergi ke taman bermain. Loh sendiri mulai menggunakan lotion anti-nyamuk setiap kali keluar rumah.
Menggunakan lotion lebih baik ketimbang keluar rumah mengenakan celana panjang dan baju lengan panjang.
"Akan sangat gila keluar (berbaju lengan panjang) di Singapura yang seperti sauna ... Melakukan tindakan pencegahan biasa, merawat diri dan tidak terlalu terlalu paranoid sudah cukup membantu."
APA YANG PERLU DITINGKATKAN?
Prof Hsu dari NUS mengatakan kesuksesan Singapura dalam menjalankan Project Wolbachia telah jadi pembicaraan di komunitas akademisi internasional.
Menurut Hsu, inisiatif ini perlu ditingkatkan sebelum bisa memberikan dampak pada penurunan kasus DBD secara nasional. Dia menambahkan, program ini memang dirancang dengan pelepasan nyamuk secara berkala agar angka DBD dapat ditekan dalam jangka panjang.
"Bahkan jika pelepasan ini hanya diarahkan pada 'titik-titik panas' penyebaran DBD - yang mungkin merupakan strategi untuk masa mendatang - biayanya akan mahal dan keberlanjutan jangka panjangnya akan bermasalah, karena tidak ada 'strategi keluar' yang jelas untuk teknologi yang lebih baru," kata Hsu.
Vaksin yang lebih efektif dan aman akan menjadi kuncinya, tegas Hsu.
Selain itu, Hsu mengatakan desain kota dan perumahan yang meminimalisir perkembangbiakan nyamuk juga akan berguna, dan perancangannya bisa dilakukan oleh kecerdasan buatan (AI).
Di berbagai belahan dunia, AI telah mulai digunakan sebagai alat untuk memerangi DBD.
Tim inovasi dan iklim organisasi bantuan kemanusiaan UNICEF bekerja sama dengan para mitra untuk menciptakan model AI untuk memprediksi dan mencegah wabah di masa depan.
Di Singapura, perusahaan keamanan Certis meluncurkan teknologi AI pada 2020 yang digadang akan dapat memprediksi titik-titik penyebaran DBD sebelum muncul.
Hsu juga menyoroti apa yang dilakukan di Yogyakarta sebagai contoh kesuksesan pengendalian DBD. Strategi Yogyakarta adalah mengubah populasi nyamuk asli dengan nyamuk ber-Wolbachia yang lebih tahan dari virus dengue.
Studi menunjukkan penurunan kasus DBD hingga 77 persen dan rawat inap hingga 86 persen di daerah penyebaran nyamuk Wolbachia jika dibandingkan daerah lain.
Singapura juga merupakan contoh yang baik soal pengendalian DBD dengan kampanye pengendalian vektor yang ekstensif dan penyebaran Wolbachia, kata Dickens dari NUS.
Para ahli mencatat bahwa sebagai penyakit yang terjadi dalam sebuah siklus, "keberhasilan" dalam menangani DBD dapat berubah dan berevolusi. Pasalnya, pencatatan kasus yang menurun dapat tiba-tiba kembali naik dengan serotipe virus yang baru.
"Setiap negara ... menghadapi tantangannya sendiri dalam mengendalikan DBD, yang sering kali meluas di luar masalah kesehatan masyarakat," kata Dr Dickens.
Di antara tantangannya adalah anggaran kesehatan di berbagai negara yang kian tergusur oleh prioritas nasional lainnya seperti pembiayaan untuk perumahan baru, kesejahteraan sosial, dan pembangunan infrastruktur.
"Bagi negara-negara yang sedang mengalami gejolak sipil atau melakukan mitigasi bencana seperti bencana alam, pengendalian DBD mungkin bukan prioritas utama. Sehingga hal ini dapat menyebabkan kasus DBD meningkat," tambah Dr Dickens.
"Jadi, keberhasilan itu relatif."