Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.

Iklan

Asia

Akibat 'de-risking', apakah produksi China terancam turun?

Di tengah situasi geopolitik yang semakin memanas, masyarakat global mulai mengenal istilah 'de-risking'. Program 'When Titans Clash' akan mengamati perkembangan tren ekonomi dan dampaknya terhadap masa depan perekonomian China.

Akibat 'de-risking', apakah produksi China terancam turun?
Pekerja China berjejer di lini perakitan, merakit robot penyedot debu. Bagi perusahaan lain, tren ini menandai akhir dari kegiatan operasional manufaktur di China.

KOTA MEKSIKO dan SHANGHAI: Selama bertahun-tahun, Amerika Serikat (AS) menggandeng China sebagai mitra dagang utama mereka. Namun, sekarang telah bertukar karena mereka telah menjalin mitra dengan Meksiko, sejak setahun yang lalu.

Peristiwa ini disebabkan oleh tren ekonomi semasa kepresidenan Trump, ketika produk ekspor China yang masuk ke AS dikenakan bea cukai.

Tindakan AS dikenal dengan istilah "nearshoring" atau "friend-shoring" dan bisa menjadi contoh dari "de-risking" (atau pengurangan risiko) yang marak terjadi di tengah situasi geopolitik yang kian memanas. Istilah “nearshoring” sendiri mengacu pada upaya menempatkan wilayah produksi yang dekat dengan konsumen, sementara “friend-shoring” merupakan kebijakan menempatkan wilayah produksi di negara sahabat.

Alhasil, banyak perusahaan yang mendirikan pabrik di Meksiko. Creation Technologies, misalnya. Perusahaan ini menjadi salah satu produsen peralatan asli yang telah berkembang di sana dan pelanggannya adalah perusahaan-perusahaan yang termasuk ke dalam daftar Fortune 500.

Tampak dalam pabrik Creation Technologies.

Dengan banyaknya pelanggan yang memindahkan kegiatan operasional manufaktur mereka dari China ke Meksiko, perusahaan ini berhasil melipatgandakan pendapatannnya dalam kurun waktu lima tahun, kata Julio Bello, wakil presiden dan manajer umum perusahaan di kota Hermosillo.

"Enam bulan ke depan, kami akan menambah beberapa lini produksi dan memperluas kapasitas kami. Ini bisa membantu kami dalam mewujudkan pertumbuhan di tahun 2024 dan 2025."

Selain itu, Collectron International Management, perusahaan yang membantu perusahaan asing pindah ke Meksiko, juga merasakan manfaat yang sama. Jumlah kepala staf mereka telah meningkat dari 8.000 menjadi 10.000, kata presiden dan CEO Collectron Group, Maria Elena Gallego.

Perang dagang AS-China yang dimulai pada 2018 bukan satu-satunya faktor yang mendorong investasi asing mengalir ke negaranya. Pandemi juga bukan. "Dan tentu saja, meningkat (karena) konflik antara Rusia dan Ukraina," jawabnya.

Belum lagi, biaya di Meksiko lebih kompetitif dan tenaga kerja di sana juga terampil. "Kami beruntung sekali bisa berada di daerah yang dipenuhi banyak universitas di sekitarnya dan tenaga kerja yang sangat piawai dan terampil," kata Bello. 

Pekerja Creation Technologies terampil dalam bidang manufaktur elektronik.

Namun, tampaknya Meksiko bukanlah negara satu-satunya yang menjadi destinasi perusahaan untuk berpindah, dan tentunya juga bukan satu-satunya perusahaan AS yang berpindah dari China.

HP saja telah mulai memindahkan sebagian produksi laptopnya dari pusat produksi utamanya yang berada di Chongqing ke Meksiko dan juga Thailand. Dell juga melakukan hal yang sama.

Apple sendiri telah mengalihkan sebagian produksinya ke India, sementara Mitsubishi Motors Jepang telah mengakhiri kegiatan produksinya di China. Ketika perusahaan semakin gencar mengurangi risiko bisnisnya (de-risking), investasi asing di China berubah menjadi negatif untuk pertama kalinya sejak 1998 pada kuartal ketiga tahun lalu.

Antara Desember 2021 dan Juni lalu, investor global juga menarik sekitar 1,37 triliun yuan (Rp2.985 kuadriliun) dari pasar saham dan obligasi China, kemudian menjual lagi sahamnya yang berada di China daratan senilai 219 miliar yuan antara Agustus dan bulan lalu.

Saham China jatuh ke tingkat terendah dalam lima tahun terakhir pada akhir Januari, setelah aktivitas manufaktur China menyusut berturut-turut di bulan keempat.

"Garis tren menunjukkan bahwa perusahaan semakin menyadari bahwa diversifikasi kepentingan mereka lebih menguntungkan," kata Ryan Hass, direktur John L Thornton China Centre dari Brooking Institution.

"Presiden Xi (Jinping) dan para pemimpin China lebih percaya bahwa lingkungan (geopolitik) yang baik ... akan memaksa perusahaan untuk terus ... memperluas jejak mereka di China. Namun, kenyataannya, menurut saya, situasinya jauh lebih rumit.”

Jadi, apakah ini menandakan bahwa era barang-barang buatan China akan segera berakhir, tanya program siaran When Titans Clash.

SAKSIKAN: China vs the West — Does trade war spell end to made-in-China goods? (45:47)

DIDORONG INVESTASI CHINA 

Satu hal yang pasti: Perusahaan manufaktur berduyun-duyun pindah. Perusahaan China juga akan pindah ke Meksiko, terutama supaya lebih dekat dengan pelanggan Amerika mereka di sana. Berdasarkan Perjanjian AS-Meksiko-Kanada, barang-barang buatan Meksiko juga dapat masuk ke AS tanpa tarif.

Menurut data dari portal riset Latin America and the Caribbean Network on China, sejak 2018, perusahaan China telah menggelontorkan lebih dari US$8,29 miliar (Rp130 miliar) ke dalam proyek-proyek asal Meksiko.

Ketika Jorge Zermeno, mantan walikota Torreon -kota yang tidak terlalu jauh dari perbatasan AS - melakukan kunjungan ke China, "banyak animo berdatangan dari perusahaan China yang sudah pernah ke Torreon dan melihat apa yang kami kerjakan", katanya.

Mereka bahkan meminta kami untuk menyisihkan sebagian lahan untuk perusahaan China.”

Tak jauh dari Torreon, lebih dari 10 merek asal China telah membangun pabrik mereka di kota Monterrey.

Di antaranya termasuk pembuat suku cadang mobil Ningbo Xusheng Group, Ningbo Tuopu Group dan Bethel Automotive Safety Systems, pembuat peralatan rumah tangga Hisense, dan produsen furnitur Kuka Home.

"Perusahaan China sedang membangun atau membentuk usaha patungan di negara lain. Tentunya, Vietnam menjadi salah satu contohnya, begitu juga dengan Meksiko," kata Anthony Saich, direktur Rajawali Foundation Institute for Asia dan profesor Daewoo Jurusan Hubungan Internasional di Harvard Kennedy School.

"(China) menjadikan negara-negara itu sebagai pengekspor barangnya ke AS.”

SAKSIKAN: Is Mexico China’s back door to the US? (6:17)

Meningkatnya ekspor dari negara-negara ini kemudian didorong oleh meningkatnya impor dari China, kata Victor Stolzenburg, ekonom riset Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

"Alhasil, timbul jalur perdagangan segitiga, yang benar-benar kelihatannya seperti tidak banyak melakukan pengurangan risiko terhadap bisnisnya. Hanya saja perdagangan yang sama terjadi secara tidak langsung dan kurang transparan. Dan saya rasa ini tidak berkelanjutan," jelasnya.

"Yang sudah kita lihat adalah harganya menjadi naik sedikit.”

Meski baru saat ini perusahaan-perusahaan mulai melakukan pengurangan risiko, pemerintah China sudah lebih dulu mendorong perusahaannya untuk mendirikan pabrik di luar negeri sejak 10 tahun yang lalu, dalam skema besar yang dikenal sebagai Belt and Road Initiative (BRI).

Kawasan Industri Timur (EIZ) di Etiopia merupakan kawasan industri yang investor utamanya adalah Jiangsu Yongyuan Investment, yang berasal dari China.

Zona Industri Timur di Ethiopia merupakan kawasan industri yang investor utamanya adalah Jiangsu Yongyuan Investment, dari China.

Ambil contoh, pabrik sepatu Huajian di Etiopia: Mei lalu, kapasitas produksi tahunannya telah mencapai tiga juta pasang sepatu ekspor, menjadikannya salah satu perusahaan ekspor terbesar di Etiopia.

"Semakin banyak perusahaan China yang mencoba melepaskan tekanan dari kenaikan biaya dalam negeri dan mulai mempertimbangkan Afrika sebagai pilihan yang memungkinkan," kata Yin Xinjun, wakil manajer umum divisi Etiopia di Huajian Industrial Holding.

"Afrika merupakan benua yang padat penduduk, setara dengan China saat dibuka pada tahun 70-an dan 80-an. Kekurangannya ada di dana, kemahiran, dan sistem. Jadi perusahaan China yang sedang mengalami hambatan produksi di negerinya ingin melakukan investasi di sana.”

Di bawah skema BRI, ribuan perusahaan China telah pindah ke luar negeri guna mencari biaya tanah dan upah yang lebih rendah.

Di dalam pabrik sepatu Huajian di Ethiopia.

"Bahkan tanpa ketegangan geopolitik ... atau konflik serupa lainnya, perpindahan industri China yang tak terhindarkan masih akan tetap terjadi," Xu Qiyuan, kepala Institute of World Economics and Politics, Chinese Academy of Social Sciences.

"Sejak 2007, kami telah memperhatikan ... di antaranya apresiasi terus-menerus terhadap nilai tukar yuan China, kenaikan biaya tenaga kerja yang berkelanjutan, dan tekanan lingkungan domestik yang terus meningkat.”

Alih keluar (offshoring) manufaktur dalam skala besar telah terjadi beberapa kali sebelumnya. Pada tahun 60-an dan 70-an, misalnya, negara-negara maju memindahkan sektor manufakturnya ke wilayah-wilayah yang berkembang seperti Taiwan, Korea Selatan, Singapura, dan Hong Kong.

Saat ini, China juga sedang bertransisi ke industri jasa, seperti hal-nya negara-negara G7, yang sekarang ingin mengurangi risiko hubungan mereka dengan Beijing.

Pangsa sektor jasa China, termasuk perdagangan ritel, terus meluas.

"Kami sudah sampai di tahap kurva membentuk U terbalik, mendekati puncaknya atau turun dari puncaknya," kata Xu. "Itu artinya proporsi manufaktur dalam perekonomian sudah mencapai puncaknya dan sekarang mulai menurun.”

'DALAM CHINA UNTUK CHINA'

Terlepas dari ketegangan geopolitik dan restrukturisasi rantai pasokan China, beberapa raksasa industri melipatgandakan investasi China mereka.

Tesla, misalnya, yang memiliki pabrik raksasa yang sedang dibangun di samping pabriknya di daerah Lingang, Shanghai. Dan Tesla tidak akan hanya memproduksi mobil.

April lalu, Tesla menandatangani kesepakatan dengan kota tersebut untuk memproduksi secara massal Megapack-nya, "baterai bertenaga yang menyediakan penyimpanan dan dukungan energi, membantu menstabilkan jaringan dan mencegah pemadaman", seperti yang dijelaskan oleh perusahaan.

Seremoni penandatanganan pabrik besar Tesla di Shanghai. (Gambar: China Central Television)

Proyek-proyek besar seperti ini tidak akan mungkin terwujudkan tanpa adanya dukungan dari pemerintah China.

Ketika China dibuka kembali tahun lalu setelah pandemi, CEO Tesla Elon Musk bertemu dengan pejabat setempat dan seperti yang dikutip oleh pers China, dia mengatakan bahwa ia memiliki "kepercayaan penuh" pada pasar China.

"Elon telah menyatakan tujuannya untuk menjual 20 juta kendaraan pada tahun 2030 untuk Tesla. Sebagian besar ... dengan menjual (produknya) ke pasar China," kata Tu Le, pendiri dan direktur pelaksana Sino Auto Insights.

Hampir 26 juta mobil baru terjual di China tahun lalu, berbeda dengan angka penjualan di Eropa yang mencapai hampir 13 juta dan di AS, 15,5 juta untuk kendaraan ringan (mobil penumpang dan truk ringan).

Pangsa pasar 20 persen di China akan membuat Tesla "mencapai angka 20 juta itu", kata Tu.

Sino Auto Insights, badan konsultasi manajemen tempat Tu Le menjabat, memiliki spesialisasi di bidang layanan mobilitas.

Seperti Tesla, banyak perusahaan Amerika dan Eropa menggantungkan sebagian besar dari penjualan mereka pada China.

Menurut Xu, di tahun 2006, bisnis asing di China mengekspor kira-kira tujuh kali lipat dari jumlah yang mereka jual di dalam negeri. Sekitar tahun 2012, rasionya juga hampir sama, "naik-turun dalam kisaran sekitar US$900 miliar hingga US$1 triliun".

Di tahun 2021, penjualan domestik perusahaan asing lebih dari dua kali lipat ekspor mereka. "Jika Anda perhatikan semua bisnis asing yang ada di dunia, dua pertiga dari bisnis mereka ada 'di China, untuk China' — mereka produksi di China dan jual di China," kata Xu.

Itu sebabnya perusahaan asal Jerman, BASF, rela menghabiskan €10 miliar untuk membangun kompleks pabrik di China. Hal ini juga dilakukan oleh Volkswagen, yang berencana menanamkan modalnya sekitar €1 milliar di pusat baru China untuk memperkuat keberadaan bisnisnya.

Kantor pusat perusahaan kimia Jerman BASF yang bertempat di Padong, China Raya. (Gambar: CCTV)

Menurut Wang Huiyao, pendiri dan presiden Centre for China and Globalisation asal Beijing, perusahaan multinasional menyadari bahwa "China punya potensi yang sangat besar", mengingat angka pertumbuhan kelas menengah di China semakin meningkat.

"Di negara maju seperti AS, (setiap 1.000 populasi) ada 800 mobil, ... tapi di China hanya ada 200 (mobil). Jadi ada gelombang (pertumbuhan) yang sangat besar untuk China," katanya.

Kendatipun, bisnis AS di China punya "pandangan yang kurang optimis", menurut American Chamber of Commerce (AmCham) di Shanghai.

Survei mereka menunjukkan bahwa tahun lalu, 31 persen perusahaan anggotanya meningkatkan jumlah investasinya di China dibandingkan tahun sebelumnya. Di sisi lain, 22 persen perusahaan justru menurunkan jumlahnya investasinya. Selain itu, 40 persen perusahaan mengalihkan atau berencana untuk mengalihkan investasinya dari China, khususnya Asia Tenggara.

TEKNOLOGI BERSIH MENGURANGI RISIKO

Tampaknya dunia tak bisa hidup tanpa produk buatan China. Baru tahun lalu, misalnya, China menjadi pengekspor mobil penumpang terbesar di dunia, mengalahkan Jepang.

Tak hanya itu, China juga memimpin di sektor kendaraan listrik (EV). Walau hanya menyumbang 4,2 persen ekspor EV global di tahun 2018, di tahun 2022 pangsanya meningkat 35 persen, menurut Badan Energi Internasional (IEA).

Sebaliknya, di tahun 2018, Jepang menjadi pengekspor EV terbesar dengan pangsa 24,5 persen, namun kemudian anjlok menjadi 9,3 persen di tahun 2022.

Saat ini, BYD, produsen asal China, menjadi penjual EV teratas di dunia. Tu, yang awalnya bekerja di pabrik perakitan mobil di Michigan, melihat kualitas BYD berubah dibandingkan sebelumnya.

BYD menjual banyak kendaraan listrik daripada Tesla pada kuartal keempat tahun lalu. (Foto oleh Kazuhiro Nogi/AFP)

"Ketika saya pertama kali sampai di Beijing tahun 2019, saya diterima kerja di BYD, dan ... itu sangat buruk sekali," ingatnya. "Pintunya setipis kertas. Semua bisa Anda dengar jelas. Kualitas konstruksi interiornya tidak begitu bagus.”

Tahun lalu, di Shanghai Auto Show, dia menyadari bahwa BYD bukan satu-satunya produsen EV asal China yang berusaha melampaui merek mobil terbesar di dunia.

Ada juga Zeekr yang saat itu memamerkan "mobil mini" Zeekr X. Untuk melihatnya saja, ia perlu mengantre 10 menit "karena banyak sekali orang yang ingin melihatnya".

"Orang manajemen dari produsen-produsen otomotif asal Eropa juga pergi melihat itu, dan dengan rasa tidak percaya, mereka masuk sendiri ke dalam kendaraannya," kata Tu.

"Mereka tutup pintu, mereka dengar suaranya mirip seperti yang biasa mereka lakukan, lalu melihat teknologi yang digunakan pada panel instrumen dan sistem infotainmentnya. Dan semua ... pada tercengang.”SAKSIKAN: Will the world give up European cars for made-in-China electric vehicles? (10:17)

Shanghai Auto Show April lalu. (Gambar: AP)

Di pameran mobil yang sama, executive vice president dan representative executive officer Honda, Shinji Aoyama, menyatakan: "China adalah negara paling maju di dunia dalam hal elektrifikasi (kendaraan)."

Namun kenyataannya tidak selalu menyenangkan bagi produsen EV di China. Perusahaan seperti Nio, XPeng dan Li Auto yang sudah berdiri sejak sekitar tahun 2014 dan 2015, ternyata masih berjuang keras.

Di tahun 2020, Nio hampir bangkrut, tetapi pemerintah Hefei menjamin dana sebesar 7 miliar yuan untuk perusahaan tersebut, dan mereka "berhasil menempuh badai itu", kata Tu. "Saat ini mereka memiliki enam atau tujuh produk di pasaran.”

Bukan rahasia lagi bahwa kebijakan pemerintah sangat penting bagi industri EV China. Tetapi, pertumbuhan dari perusahaan-perusahaan China ini mendesak pemerintah lain untuk mengambil langkah mundur.

Di bulan September, Komisi Eropa (EC) meluncurkan penyelidikan antisubsidi terhadap kendaraan EV dari China. Saat itu, Ursula von der Leyen, Presiden Komisi Eropa, menyampaikan bahwa "Eropa menyambut baik persaingan bisnis tapi tidak yang merugikan. ... Kurangi risiko bisnis, bukan memutus hubungan bisnis.”

Di hari yang sama, China memperpanjang kebijakan bea masuk antisubsidi terhadap tepung kentang impor dari Uni Eropa selama lima tahun. Banyak yang menganggap kebijakan tersebut sebagai balasan atas penyelidikan yang dijalankan.

Tu membayangkan kemungkinan "dampak negatif yang akan dirasakan merek-merek Eropa di pasar China" seandainya pasar EV Eropa mengeluarkan "kebijakan proteksi dagang nyata" yang akan menyakiti pasar China.

Produsen EV asal China tidak hanya mampu bersaing dengan produsen di seluruh dunia, tetapi enam dari 10 produsen EV terbesar juga berasal dari China. Dapat dikatakan, China telah menguasai lebih dari 70 persen pangsa pasar berdasarkan volume pengiriman produknya.

Manufaktur baterai di Provinsi Sichuan, China. (Gambar: CCTV)

China juga mengendalikan 70 persen dari produksi panel surya global dan memasok setidaknya 50 persen dari peralatan pembangkit listrik tenaga angin dunia.

Jadi muncul beberapa pertanyaan seputar apakah perusahaan barat dapat mengurangi risiko dalam rantai pasokan teknologi hijau mereka jika mereka ingin mencapai target perubahan iklim.

"Saya pikir, setelah melihat cara dunia bertahan di tengah perubahan (iklim) ini, upaya itu akan sangat mahal walau bukan mustahil," kata Danny Quah, Dekat Lee Kuan Yew School of Public Policy."Kalau Anda berniat ingin menyelamatkan bumi ini, Anda jangan terus menerus mengeluh tentang orang lain yang punya pandangan yang berbeda dengan Anda. Simpan saja itu di lain waktu.”

Profesor Danny Quah sedang berbicara dalam program siaran CNA bertajuk When Titans Clash.

Hass, yang sebelumnya pernah menjabat sebagai direktur China dalam Dewan Keamanan Nasional (NSC) AS (2013 hingga 2017), sepakat bahwa AS harus mau melakukan "apa pun yang mereka bisa untuk mempercepat transisi ke energi terbarukan dan energi hijau."

"Kenyataannya sederhana. Sebagian besar teknologi terkemuka di dunia ada di China," katanya. "Kalau AS ingin bergerak maju secepat mungkin, maka mereka harus bekerja sama dengan China."

Source: CNA/ih

Juga layak dibaca

Iklan

Iklan