Dari murah hingga mewah: Produk-produk China membanjiri Asia Tenggara, bikin untung atau buntung?
Para pengamat mengatakan peningkatan ekspor China ke Asia Tenggara adalah dampak ketegangan antara China dan AS. Pertanyaannya, apakah negara-negara Asia Tenggara untung atau malah buntung dengan membanjirnya produk asal China.

Mesin ekspor China menjadikan Asia Tenggara sebagai kawasan tujuan utama. (Foto file: China Daily via REUTERS)
SINGAPURA: Mesin ekspor China semakin membanjiri negara-negara Asia Tenggara dengan produk-produk mereka, berdasarkan data statistik terbaru. Para pengamat mengatakan, China memang menggencarkan ekspor ke Asia Tenggara karena barang mereka semakin hilang pamor di Barat akibat ketegangan geopolitik, dan akan diperparah dengan kepemimpinan periode kedua Donald Trump di Amerika Serikat.
Kondisi ini bisa jadi merupakan keuntungan atau tantangan bagi Asia Tenggara. Para pengamat mengatakan, negara-negara ASEAN perlu mengembangkan strategi yang terkoordinasi untuk menyeimbangkan antara menyelamatkan perekonomian dalam negeri dan hubungan politik dengan China.Â
Pasalnya, di satu sisi konsumen Asia tenggara diuntungkan dengan keragaman produk dan keterjangkauan harga dari produk-produk China. Namun di sisi lain, industri lokal terancam dengan persaingan yang terus meningkat.
"Demi menandingi harga-harga murah (produk China), para pengusaha dalam negeri berkurang keuntungannya, menutup pabrik dan banyak yang kehilangan pekerjaan," kata Doris Liew, ekonom dan asisten manajer penelitian di lembaga pemikir Malaysia, Institute for Democracy and Economic Affairs (IDEAS).
"Asia Tenggara sedang bergulat dengan efek riak dari melimpahnya ekspor Tiongkok, sebuah tantangan yang dihadapi hingga ke luar kawasan ini."
Negara-negara Asia Tenggara kemudian mengambil langkah menghadapi serbuan ekspor China, salah satunya dengan kebijakan anti-dumping. Namun menurut pengamat, keberhasilan upaya tersebut akan tergantung dari apakah negara-negara Asia Tenggara dapat bekerja sama mengatasinya.
"Faktanya, konsekuensinya sangat berbeda di masing-masing industri .... antar kawasan atau bahkan antar industri hasilnya berbeda," kata Diana Choyleva, ekonomi dari lembaga Enodo Economics kepada CNA.
MENGGENJOT MESIN EKSPOR
China menggenjot mesin ekspor di semua lini di tengah melemahnya perekonomian akibat terpuruknya sektor properti dan merosotnya permintaan dalam negeri. Saat ini, ekspor China mencakup 20 persen dari produk domestik bruto (PDB) mereka.Â
Ekspor China pada 2024 tumbuh 7,1 persen menjadi 25,45 triliun yuan (US$3,47 triliun), untuk pertama kalinya melampaui 25 triliun yuan, menurut data bea cukai China yang dirilis pada 13 Januari lalu.
"China mengukuhkan posisinya sebagai negara perdagangan terbesar di dunia," ujar Wang Lingjun, wakil kepala Administrasi Umum Bea Cukai, dalam sebuah konferensi pers hari Senin.
Overproduksi oleh para manufaktur China, ditambah dengan tantangan perekonomian dalam negeri, telah menyebabkan surplus produk, mulai dari barang murah hingga mewah, kata Liew.
China terus mengirimkan barang-barang murah seperti tekstil dan pakaian ke berbagai negara, sembari meningkatkan produksi barang-barang bernilai tinggi. Nilai ekspor barang andalan China yang disebut "trio baru", yaitu kendaraan listrik, baterai lithium dan panel surya mencapai 1 triliun yuan tahun lalu, meningkat hingga 900 persen dibanding satu dekade sebelumnya.
"Untuk mengurangi kelebihan pasokan, manufaktur China mengekspor produk-produk mereka - yang seringkali harganya di bawah ongkos produksi - sehingga mengganggu pasar global," kata Liew kepada CNA, menambahkan bahwa kebijakan industri China turut menyumbang dalam strategi ini.

Para pengamat mengatakan, produk-produk ini semakin banyak yang masuk ke Asia Tenggara akibat ketegangan antara China dan Barat. Konflik geopolitik ini menyebabkan barang-barang produksi China sulit masuk Amerika Serikat akibat tarif tinggi.
"Hubungan perdagangan yang semakin retak antara AS dan China juga dapat meningkatkan ketegangan perdagangan di Asia. Dengan berkurangnya permintaan dari AS dan Eropa, China telah beralih ke pasar Asia," kata Priyanka Kishore, direktur dan ekonom utama di Asia Decoded, kepada CNA.
Pengiriman dari China ke negara-negara anggota ASEAN melonjak 18,9 persen pada Desember lalu dibanding periode yang sama di tahun sebelumnya, berdasarkan data bea cukai China yang dirilis pekan lalu. Secara keseluruhan, ekspor China pada Desember naik 10,7 persen dibanding periode sebelumnya.
Kinerja yang kuat ini sebagian didorong oleh eksportir China yang bergegas mengirimkan produk ke luar negeri untuk mengantisipasi ancaman tarif dari presiden terpilih AS Donald Trump, kata para pengamat. Pengiriman China ke AS juga melonjak 15,6 persen pada Desember dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
"Percepatan perdagangan menjadi lebih terlihat pada Desember sebagai akibat dari efek Tahun Baru Imlek dan pelantikan Donald Trump," kata Xu Tianchen, ekonom senior di Economist Intelligence Unit, seperti dikutip Reuters.
ASEAN adalah ekonomi terbesar ketiga di Asia. Ditambah dengan perjanjian perdagangan bebas dengan ASEAN, China semakin leluasa mengekspor produk mereka ke kawasan ini.
Proporsi ekspor Tiongkok ke negara-negara anggota ASEAN telah meningkat dari 6,9 persen pada awal abad ini menjadi sekitar 16 persen saat ini. Data bea cukai China menunjukkan bahwa ASEAN muncul sebagai pasar ekspor terbesar Tiongkok pada tahun 2023, dengan nilai tahunan mencapai US$523,7 miliar.

UNTUNG ATAU BUNTUNG?
Bertambahnya produk asal China ke Asia Tenggara telah menguntungkan para konsumen.
Produk-produk China biasanya lebih murah jika dibandingkan dengan produk serupa di ASEAN, sehingga konsumen - terutama dari kalangan menengah ke bawah - punya pilihan barang dengan harga lebih terjangkau.
Produk berteknologi tinggi asal China seperti kendaraan listrik kini juga dianggap memberikan kualitas yang baik dengan harga lebih murah, mematahkan persepsi masa lalu soal barang made-in-China yang berkualitas buruk.
Namun derasnya aliran barang dari China juga merugikan para pengusaha lokal dan merugikan masyarakat. Pasalnya, produsen di dalam negeri tidak mampu bersaing dengan barang China yang jauh lebih murah.
Persaingan yang tidak seimbang ini berisiko menurunkan kapasitas produksi di negara-negara ASEAN, kata Liew dari IDEAS.
Industri yang paling terdampak di Indonesia adalah tekstil dan keramik, kata Muhammad Zulfikar, direktur China-Indonesia di lembaga penelitian Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Jakarta.
"Masuknya barang-barang China ke Indonesia menghancurkan bisnis-bisnis lokal," katanya kepada CNA. Tahun lalu, industri tekstil, garmen, dan alas kaki di Indonesia tutup pabrik, membuat lebih dari 50.000 orang kehilangan pekerjaan.
Sementara itu, 2.000 pabrik di Thailand tutup antara Juli 2023 dan Juni 2024, dengan 50.000 orang yang jadi menganggur. Fenomena ini telah mengguncang sektor manufaktur Thailand yang menyumbang hampir seperempat dari PDB negara tersebut.Â
"Lonjakan impor China yang murah telah memicu protes di banyak negara ASEAN dan penolakan secara verbal dari pemerintah," kata Kishore.
"Karena lingkungan perdagangan yang tidak bersahabat di Barat, China kemungkinan akan mengarahkan lebih banyak kelebihan pasokannya ke negara-negara tetangganya, yang akan berpotensi menyebabkan lebih banyak gesekan di sektor perdagangan."
Sejumlah negara Asia Tenggara telah mengambil tindakan.
Vietnam meluncurkan penyelidikan anti-dumping pada bulan Agustus 2024 terhadap baja canai panas dari China dan India. Negara ini juga memperpanjang masa penerapan bea masuk untuk produk aluminium dari China selama lima tahun lagi, dengan tarif pajak antara 2,85 persen hingga 35,58 persen.
Selain itu, Vietnam menangguhkan operasional raksasa e-commerce China, Temu, pada Desember 2024 setelah melewatkan tenggat waktu yang ditetapkan pemerintah untuk mendaftarkan perusahaan tersebut. Langkah ini diambil setelah pemerintah Vietnam menyuarakan kekhawatiran tentang keaslian produk Temu yang harganya sangat murah dan dampaknya terhadap produsen Vietnam.
Sementara itu, Thailand telah mengidentifikasi 58 produk, termasuk baja dan furnitur, sebagai target bea masuk anti-subsidisasi, dan mengusulkan pengenaan tarif 30,9 persen untuk baja canai panas China.
Untuk mengelola impor berbiaya rendah, Thailand juga menerapkan pajak pertambahan nilai sebesar 7 persen untuk barang-barang di bawah 1.500 baht pada Juli 2024. Pada Desember 2024, langkah ini telah menyebabkan penurunan 20 persen impor barang murah yang sebagian besarnya dari China.
Di Indonesia, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan pada Juli 2024 mengatakan bahwa pemerintah akan mempertimbangkan penerapan bea masuk hingga 200 persen untuk berbagai impor dari China, seperti tekstil, keramik, dan barang-barang lainnya, demi melindungi industri dalam negerinya.
Menurut para pengamat, berbagai langkah ini tidak akan sampai menyebabkan konfrontasi ekonomi yang besar antara China dan negara-negara Asia Tenggara.
Kishore menyoroti bahwa China adalah pemasok utama barang-barang penting seperti mesin dan bahan kimia ke negara-negara ASEAN. "Mengenakan pajak yang besar untuk barang-barang ini hanya akan merugikan produsen dalam negeri," katanya.
"Akan lebih baik bagi kepentingan ASEAN untuk mengambil pendekatan yang seimbang dan menyelesaikan masalah melalui dialog dengan China daripada melakukan pembalasan perdagangan."
Senada, Choyleva dari Enodo Economics mencatat bahwa Asia Tenggara adalah "wilayah sasaran" bagi ekspor China karena faktor-faktor seperti kedekatan geografis, "infrastruktur yang layak", serta basis industri yang ada. Berbagai kondisi tersebut memudahkan perusahaan-perusahaan asal China untuk memindahkan barang jadi mereka ke Asia Tenggara.
"Sebagian besar aktivitas ini (ekspor China ke Asia Tenggara) bukanlah bagian dari strategi terkoordinasi oleh Beijing... tetapi lebih merupakan inisiatif dari perusahaan-perusahaan individu, seringkali swasta, yang ingin mencari pasar untuk produksi mereka sendiri," ujarnya kepada CNA.
Para pejabat China belum secara langsung menanggapi laporan-laporan tentang kelebihan ekspor di Asia Tenggara. Namun, Beijing secara konsisten membantah tuduhan-tuduhan tentang kelebihan kapasitas industri, terutama di sektor-sektor seperti kendaraan listrik, baterai lithium, dan panel surya.
Mereka berargumen bahwa klaim-klaim tersebut tidak berdasar dan hanya menjadi dalih untuk proteksionisme ekonomi demi menekan perkembangan industri China.

MENGANDALKAN RESPONS REGIONAL
Untuk mengatasi dampak buruk gelombang ekspor China yang terus meningkat, para pengamat mengatakan hal itu membutuhkan respons kolektif negara-negara anggota ASEAN.
"(Kondisi ekonomi di kawasan) kemungkinan akan terus membujuk perusahaan-perusahaan China agar berinvestasi lebih banyak dalam perekonomian mereka dan membatasi ekspor," kata Kishore, sambil memberikan catatan bahwa upaya ini akan sangat terasa di industri seperti manufaktur kendaraan listrik yang dapat membantu meningkatkan kemampuan teknologi ASEAN.
Menurut Liew dari IDEAS, kecil kemungkinannya Asia Tenggara akan menjadi "tempat pembuangan" untuk kelebihan produksi China.
Pasalnya, kata dia, meski populasi Asia Tenggara cukup besar, yaitu 675 juta jiwa, namun mereka tidak memiliki daya beli yang cukup untuk menyerap kelebihan barang dalam jumlah besar. Selain itu, "kontrol anti-dumping secara berkala" membantu menjaga distorsi pasar.
Jika dikelola dengan hati-hati, integrasi ekonomi yang lebih dalam dengan China malah akan membawa manfaat infrastruktur, teknologi canggih dan penciptaan lapangan kerja, kata Choyleva dari Enodo Economics.
Meskipun begitu, dampaknya kemungkinan akan "sangat tidak merata" karena negara-negara ASEAN memiliki tingkat kemajuan yang berbeda-beda, ujar Choyleva.
Negara-negara ASEAN juga belum kompak dalam merespons China, tambah Choyleva. Misalnya Thailand, kata dia, pernah bernegosiasi untuk akses bebas tarif bagi masuknya mobil listrik China sebelum perang harga terjadi dan melemahkan produsen lokal.
"Perbedaan pandangan politik antara negara anggota ASEAN juga akan menghambat koordinasi," kata dia.
Liew dari IDEAS percaya bahwa diperlukan respons regional yang lebih terkoordinasi dan proaktif.
"Para pembuat kebijakan harus fokus pada penguatan industri dalam negeri melalui inovasi dan investasi, sembari menerapkan kebijakan perdagangan yang tepat sasaran untuk mempertahankan tingkat persaingan yang adil," katanya.
"Kemampuan Asia Tenggara untuk beradaptasi, akan menentukan apakah kawasan ini akan muncul sebagai korban dari kelebihan pasokan global atau menjadi pemain yang tangguh di pasar global."
Ikuti Kuis CNA Memahami Asia dengan bergabung di saluran WhatsApp CNA Indonesia. Menangkan iPhone 15 serta hadiah menarik lainnya.