Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.

Iklan

Asia

Dari Guantanamo ke Malaysia: Dua pelaku bom Bali pulang, proses deradikalisasi panjang menanti

Dipulangkannya Nazir Lep dan Farik Amin dari penjara Guantanamo menyebabkan publik Malaysia resah. Mereka mempertanyakan mengapa pemerintah Malaysia mau menerima kembali dua orang yang dianggap berbahaya itu.

Dari Guantanamo ke Malaysia: Dua pelaku bom Bali pulang, proses deradikalisasi panjang menanti

Penjara Guantanamo di Kuba yang dioperasikan militer Amerika Serikat. (Foto: Reuters/Bob Strong)

KUALA LUMPUR: Setelah 21 tahun tidak bertemu, keluarga Mohammad Nazir Lep masih berharap untuk bisa memeluknya kembali. 

Nazir, 48, adalah tahanan Amerika Serikat di Teluk Guantanamo, Kuba, yang dipulangkan ke Malaysia pada 18 Desember lalu bersama dengan rekan senegaranya Farik Amin, 49.

Meski telah ditahan AS sejak 2003, namun mereka baru dijatuhi vonis 23 tahun penjara pada pengadilan militer Januari tahun ini. Keduanya terbukti bersalah karena terlibat peristiwa bom Bali 2002 yang menewaskan 202 orang.

Mereka menjalankan berbagai perintah dari dalang serangan teroris tersebut, seorang warga negara Indonesia bernama Encep Nurjaman alias Hambali, dan menjadi kurir dana yang ditelusuri mengarah kepada para pelaku pengeboman. Bersama Hambali, ketiganya menjadi satu-satunya warga negara Asia Tenggara yang ditahan di penjara Guantanamo.

Nazir dan Farik diserahkan ke tangan Malaysia melalui kesepakatan diplomatik sebagai bagian dari pengakuan bersalah keduanya. Nantinya setelah sekitar lima tahun dalam penahanan Malaysia, mereka akan dibebaskan.

Dua pekan setelah Nazir dilaporkan mendarat di kampung halaman, kakaknya Najib mengaku masih belum mendengar kabar keberadaan adiknya.

"Kami senang dia sudah kembali ke Malaysia, tapi kami belum dapat informasi di mana dia berada saat ini," kata Najib kepada CNA.

Di saat keluarga tidak sabar menanti kabar mereka, kepulangan Nazir dan farik memicu keresahan di tengah masyarakat Malaysia. Beberapa mempertanyakan mengapa pemerintah mau menerima kembali orang-orang yang dianggap berbahaya itu.

"Tolong jangan terima mereka lagi. Mereka bisa mempengaruhi orang lain dengan ideologinya," bunyi sebuah komentar di salah satu artikel berita.

Para ahli mengatakan bahwa memang sudah tugas pemerintah untuk memulangkan warga negaranya. Namun pemerintah Malaysia, kata mereka, harus memastikan keduanya menjalani proses rehabilitasi dan dapat kembali ke tengah masyarakat dengan baik.

Potret diri oleh Farik Amin.

BUKAN BERARTI BEBAS

Setelah Kementerian Pertahanan AS mengumumkan repatriasi Nazir dan Farik pada 18 Desember lalu, pemerintah Malaysia mengaku sudah punya rencana reintegrasi bagi mereka.

Dalam postingannya di media sosial, Menteri Dalam Negeri Malaysia Saifuddin Nasution Ismail mengatakan keduanya akan menjalani serangkaian program deradikalisasi yang komprehensif.

Hal pertama yang ditekankan dalam proses rehabilitasi ini adalah transisi kehidupan ke "lingkungan baru yang terkendali", sebelum akhirnya mereka dikembalikan ke kehidupan keluarga. Tujuan akhirnya, kata Saifuddin, adalah memastikan mereka "mampu hidup mandiri dan produktif di tengah masyarakat".

Polisi akan terus mengawasi proses rehabilitasi dan memastikan kesejahteraan mereka terpenuhi melalui kunjungan rutin. Malaysia, lanjut Saifuddin, mendukung repatriasi yang didasarkan pada "prinsip hak asasi manusia dan keadilan universal".

Kemhan AS pada 18 Desember lalu mengatakan bahwa berdasarkan perjanjian prapengadilan, pihak berwenang pada 13 Juni telah menyetujui pemenjaraan setidaknya lima tahun bagi keduanya, lalu direpatriasi ke negara pihak ketiga untuk menjalani sisa hukuman yang disepakati.

CNA telah menghubungi Kemhan AS dan Kemendagri Malaysia untuk menanyakan rincian dari repatriasi dan masa hukuman keduanya, namun belum mendapatkan balasan.

Aizat Shamsuddin, pendiri Initiate.my - sebuah organisasi yang mendorong toleransi dan mencegah kekerasan di Malaysia - mengatakan bahwa Malaysia sebagai negara berdaulat berhak memulangkan warganya, seperti halnya negara lain.

"Ini bukan cuma soal moral, tapi mereka adalah warga negara Malaysia. Ditambah lagi, keputusan pemerintah AS untuk menutup penjara Guantanamo yang kontroversial - sebuah penjara yang tidak memiliki yurisdiksi sah untuk menahan warga asing - membutuhkan tindakan lebih lanjut," kata dia.

Aizat menyadari bahwa ada sebagian pihak yang menolak pemulangan mereka. Namun dia mengatakan, dengan pemulangan ini bukan berarti mereka bebas.

Kerusakan parah akibat pengeboman di Kuta, Bali, pada 2002. (Foto: Reuters/Jonathan Drake

"Orang-orang ini akan dimintai pertanggungjawaban di bawah sistem pengadilan kriminal Malaysia dan menjalani rehabilitasi untuk memastikan mereka bukan lagi ancaman bagi masyarakat," kata dia.

Dia menambahkan bahwa pemerintah Australia dan Amerika akan meminta jaminan bahwa keduanya bukan lagi ancaman. Ada 88 warga Australia di antara 202 orang yang terbunuh dalam peristiwa bom Bali 2002.

Penny Wong, juru bicara Kementerian Luar Negeri Australia, usai pengumuman pemulangan kedua tersangka ke Malaysia mengatakan: "Meski kesekapatan pemulangan itu adalah urusan pemerintah Malaysia dan AS, tapi kami meminta jaminan kepada Malaysia bahwa keduanya akan terus diawasi dan dipantau."

BELAJAR DARI MASA LALU

Upaya diplomatik memulangkan Farik dan Nazir dimulai bertahun-tahun lampau. Pada 2009, menteri luar negeri Malaysia ketika itu Rais Yatim mengatakan mereka tengah berupaya memulangkan keduanya.

Bukan kali ini saja Malaysia memulangkan warganya yang terlibat militansi dan ekstremisme di luar negeri. Sekembalinya ke tanah air, mereka juga menjalani program rehabilitasi.

Pada 2014, terjadi gelombang kepergian warga negara-negara Asia Tenggara ke Irak dan Suriah setelah ISIS mengumumkan kekhalifahan.

Kepolisian Malaysia ketika itu memperkirakan ada 122 warga Malaysia yang berangkat ke Suriah dan Irak dari 2011 hingga 2019, ujar Ahmad El-Muhammady, pengamat dari International Islamic University Malaysia dalam laporannya untuk lembaga riset International Centre for Counter-Terrorism tahun lalu.

Setelah kejatuhan ISIS, upaya Malaysia memulangkan warganya menuai protes. Masyarakat khawatir orang-orang yang dipulangkan ini bisa mengancam keselamatan publik dan keamanan nasional, kata Ahmad.

Meski Malaysia berencana memulangkan sebanyak mungkin warga mereka, tapi nyatanya hanya 16 orang yang berhasil dibawa pulang sebelum akhirnya upaya itu dihentikan.

Alasan dihentikannya upaya pemulangan di antaranya adalah keengganan warga Malaysia untuk kembali, hilang kontak dengan mereka setelah tentara AS ditarik dari utara Suriah, dan kekhawatiran bekerja sama dengan aktor non-negara di kamp-kamp pengungsian di Suriah dan Irak.

Dari pengalaman masa lalu itu, Ahmad dalam laporannya mengatakan perlu adanya "penilaian secara holistik" soal milisi di luar negeri dan keluarga mereka, berkolaborasi dengan aparat dan organisasi masyarakat sipil dalam upaya reintegrasi dan membuka peluang pendidikan bagi mereka dan keluarganya.

Aizat sepakat pemerintah harus melakukan program rehabilitasi dan reintegrasi yang berkelanjutan serta komprehensif.

Menurut Aizat, mereka harus diberi kesempatan kembali ke tengah masyarakat melalui kesempatan kerja dan keterlibatan dalam aktivitas sosial, tidak ubahnya warga negara lainnya, tanpa adanya stigma.

"Upaya reintegrasi ini harus dilakukan di bawah pengawasan ketat aparat. Tanpa upaya semacam ini, risiko mereka kembali melakukan kejahatan atau kembali ke paham ekstrem akan meningkat," kata dia.

"Dengan dukungan dan reintegrasi yang tepat, mereka bisa berubah menjadi individu-individu yang berkontribusi positif kepada bangsa," lanjut dia.

Aizat mengatakan, pemerintah harus menunjuk ahli yang berkualifikasi di bidang tertentu, seperti psikolog dan kriminolog, untuk bisa mencari dan mengatasi akar dari perilaku mereka. 

"Ini bukanlah upaya yang bisa dilakukan sekali atau terlalu bergantung pada pelurusan paham teologi semata. Tapi, upaya ini seharusnya bisa menyembuhkan beban psikologis dan keluhan dari para tahanan kelas kakap ini akibat pemahaman radikalisme masa lalu mereka atau perlakuan buruk yang dialami selama di Guantanamo," kata dia.

Farik, misalnya, telah menggambarkan berbagai macam penyiksaan yang diduga dialaminya saat diinterogasi di Guantanamo. Pengakuan ini disampaikannya dalam pengadilan sebagai bagian dari upaya memperoleh keringanan hukuman.

Dia dan Nazir ditangkap di Thailand pada 2003 dan ditempatkan di penjara rahasia CIA sebelum akhirnya dipindahkan ke Guantanamo pada 2006.

Kemhan AS pada 18 Desember mengatakan bahwa mereka tengah fokus pada mengurangi jumlah tahanan di Guantanamo dengan secara bertanggung jawab, sebelum akhirnya menutup penjara itu secara permanen. 

AS mengatakan masih ada 27 tahanan di Guantanamo, 15 di antaranya dinyatakan layak dipindahkan, tiga akan menjalani asesmen oleh Dewan Peninjau Periodik, sementara tujuh tahanan tengah dalam proses pengadilan militer, dan dua sudah divonis.

Di penjara Guantanamo, para tahanan diduga mengalami berbagai macam penyiksaan. Sejak dioperasikan pada 2022, sudah ada 780 orang ditahan di tempat ini, sebanyak 753 telah dipindahkan.

Kriminolog dari Universiti Malaya (UM) Haezreena Begum Abdul Hamid mengatakan perlu adanya rasa percaya dari publik terhadap proses rehabilitasi yang akan dijalani dua pelaku Bom Bali dari Malaysia.

"Mereka akan diawasi polisi, karena itulah saya tidak terlalu khawatir," kata dia.

"Saya lebih mengkhawatirkan rentannya kondisi mereka, dan fakta bahwa akan ada banyak orang yang mendekati mereka."

Haezreena yang pernah terlibat dalam program deradikalisasi menambahkan: "Akan ada orang-orang yang menganggap mereka sebagai pahlawan, ada juga para periset yang ingin mengorek informasi dari mereka, media yang ingin menulis cerita mereka, hal itu mungkin akan membuat mereka stres dan terhimpit."

Karena itulah, kata dia, kerahasiaan sangat penting, biarkanlah penegak hukum dan para ahli melakukan tugas mereka. 

"Kita tidak tahu apa yang telah mereka lalui, pengalaman menjalani hidup di salah satu penjara paling keras di dunia, PTSD (gangguan stres pascatrauma) - kita harus memperlakukan mereka selayaknya manusia," kata dia.

Inspektur Jenderal Polisi Malaysia Razarudin Husain pada keterangannya 18 Desember lalu menyampaikan kondisi keduanya: "Mereka berdua kami terima dalam keadaan baik dan sehat. Mereka sangat bersyukur bisa pulang dan kembali berkumpul bersama keluarga."

Sebuah sketsa oleh Farik Amin yang menggambarkan penyiksaan yang dialaminya di penjara Guantanamo, Kuba. (Foto: Kementerian Pertahanan AS)

MENGAKU MENYESAL, MEMINTA MAAF

Berdasarkan berbagai dokumen yang dirilis ke publik, baik Farik dan Nazir telah meminta maaf atas tindakan yang mereka lakukan.

Farik, yang berasal dari kota Kajang di Selangor, di pengadilan Januari lalu mengaku tidak tahu soal pengeboman di Bali sampai peristiwa itu terjadi. 

Kendati demikian, dia meminta maaf kepada para korban dan siap mempertanggungjawabkan tindakannya.

"Sebagai pria yang kini lebih dewasa dan bijak, saya menyesali keputusan saya untuk terlibat dalam tindakan yang telah menewaskan banyak orang. Saya meminta maaf," kata dia.

Dia juga mengaku telah menjadi orang berbeda dengan keyakinan yang berubah.

“Saya merasa sangat puas dan percaya diri dengan keyakinan saya saat ini. Saya berencana untuk terus berkembang (dan menjadi) Muslim yang taat dan damai. Seperti halnya semua orang, saya harus terus berusaha menjadi orang yang baik setiap harinya. Belajar dari kesalahan dan tidak mengulanginya lagi adalah salah satu cara untuk menjadi orang baik," kata dia.

Pengacara Nazir, Brian Bouffard, mengatakan bahwa kedua pria itu cuma orang suruhan dan tidak terlibat langsung dalam pengeboman. Sama seperti Farik, Nazir di pengadilan juga meminta maaf kepada keluarga para korban.

"Saya menerima foto-foto sebagian korban, dan wajah-wajah mereka tidak akan hilang dari ingatan saya seumur hidup," kata Nazir.

"Saya membayangkan seperti apa kehidupan mereka dan bagaimana masa depan mereka telah saya renggut. Tindakan saya salah, dan saya akan hidup menanggung kesalahan itu selamanya."

Keluarga Nazir mengatakan sudah pasti mereka akan menerimanya kembali. Pada 2020, keluarganya bahkan sudah membangunkan rumah untuknya di atas tanah milik mendiang orangtuanya di Muar. Harapan mereka, semoga di lahan itu Nazir bisa bertani dan hidup normal.

"Yang terpenting adalah dia kembali pulang. Rumah itu sudah ada sejak 2020, sebagai bukti bagi Amerika bahwa keluarganya siap menerima dia," kata Najib.

Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. ​​​​​

Source: CNA/da

Juga layak dibaca

Iklan

Iklan