Cuma cukup untuk makan: Sarjana muda keluhkan gaji rendah, Malaysia terancam alami 'brain drain'
Survei terbaru menunjukkan masa depan yang suram bagi para sarjana muda di Malaysia. Hampir dari sepertiga sarjana baru di Malaysia mendapatkan gaji awal kurang dari Rp11 juta, hanya cukup untuk kebutuhan dasar.

KUALA LUMPUR: Setelah lulus kuliah September tahun lalu, Andy Yap menghabiskan waktu sekitar empat bulan tanpa hasil untuk mencari kerja.
Lulusan ilmu komputer berusia 23 tahun dari Asia Pacific University of Technology and Innovation di Malaysia itu mengatakan bahwa perekrut kerap kali mengatakan bahwa gaji awal yang dimintanya, yaitu RM3.000 (Rp11 juta), "terlalu tinggi".
Pada akhirnya Andy memang mendapatkan pekerjaan sebagai software engineer dengan gaji awal RM4.000 (Rp15,3 juta) per bulan. Namun dia mengatakan, beberapa kawannya yang juga bergelar sama mendapatkan gaji awal "sediki di atas RM1.000 (Rp3,8 juta)".
"Saya merasa bersyukur, terutama karena telah mencari lama dan berusaha keras," kata dia kepada CNA.
Perjuangan sarjana muda seperti Yap kembali jadi sorotan di tengah merebaknya perdebatan soal krisis pengangguran di Malaysia.
Sebuah riset pasar tenaga kerja terbaru bertajuk Gaji Cukup Makan" yang dirilis Mei lalu oleh Future Studies Berhad, lebih dari 65 persen sarjana muda di Malaysia mendapatkan gaji kurang dari RM3.000.
Riset itu mengutip data dari studi pelacakan lulusan universitas milik Kementerian Pendidikan Tinggi Malaysia. Masuk dalam kategori sarjana muda dalam laporan itu adalah lulusan baru dengan gelar S1, Master dan PhD.
CNA telah menghubungi penulis laporan tersebut untuk menyelami rincian lainnya, seperti metodologi survei dan berapa lulusan yang terlibat dalam studi iu.
"Gaji Cukup Makan" yang menjadi judul laporan itu merujuk pada kondisi bahwa gaji mereka hanya cukup untuk menutupi kebutuhan dasar, sedikit atau tidak ada sama sekali tersisa untuk menabung, investasi atau pengeluaran lainnya.
Polanya yang mengkhawatirkan mencerminkan tren berulang yang disorot dalam Laporan Outlook Ekonomi Kementerian Keuangan Malaysia yang dirilis pada Oktober lalu, menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen sarjana muda menerima gaji awal di bawah RM2.000 per bulan selama sedekade terakhir.
Berbeda dengan laporan "Gaji Cukup Makan" yang hanya mencakup pemegang gelar sarjana, survei Kementerian Keuangan juga memasukkan lulusan diploma.
"Stagnasi ini membuat mereka kesulitan memenuhi kebutuhan dasar, memaksa mengkompromikan gaya hidup, lebih memilih memasak di rumah dari pada makan di luar atau tinggal di perumahan yang lebih terjangkau di lokasi yang kurang strategis," kata konsultan sumber daya manusia (SDM) dari HR Edge, Diana Khairuddin, kepada CNA.
“Ini adalah sistem yang jelas tidak sesuai dengan realitas ekonomi saat ini dan sangat membutuhkan reformasi,” kata Diana.

Menurut Kumpulan Wang Simpanan Pekerja (KWSP), lembaga pengelola dana pensiun wajib pekerja sektor swasta dan publik di Malaysia, pengeluaran bulanan untuk individu tunggal tanpa kendaraan berkisar antara sekitar RM1.530 (Rp5,8 juta) di Alor Setar, Kedah, hingga RM1.930 (Rp7,4 juta) di Klang Valley.
Seorang lulusan tahun 2024, Howard Ng, 23, mengatakan kepada CNA bahwa gajinya sekitar RM3.000 per bulan “hampir tidak cukup” untuk menutupi pengeluaran. Hal ini membuat dia seringkali harus mengatur anggaran dengan ketat dan mengalami defisit.
“Sepertiga dari gaji saya digunakan untuk membayar sewa, sisanya untuk kebutuhan sehari-hari, terutama makanan … syukurlah saya saat ini tidak sedang membayar pinjaman pendidikan,” kata Ng, lulusan University of Reading Malaysia, yang saat ini bekerja sebagai eksekutif perusahaan properti.
Lulusan lainnya dari INTI International University yang tidak ingin disebutkan namanya juga mengatakan kepada CNA bahwa dia merasa “kecewa” dengan gaji awalnya sebesar RM2.400 (Rp9,2 juta) sebagai fisioterapis. Dia mengatakan, kisaran gaji yang diterimanya dan rekan-rekannya di bidang yang sama adalah RM2.200 hingga RM2.800.
Dia mengaku bersyukur saat ini tinggal bersama kakaknya, sedikit membantu mengurangi biaya hidupnya.
“Saat ini, saya hanya perlu menutupi biaya seperti parkir dan perawatan mobil,” katanya.
Mantan gubernur Bank Negara, Muhammad Ibrahim, dalam wawancara dengan media lokal Sinar Harian awal bulan ini, mengatakan bahwa gaji lulusan universitas di Malaysia seharusnya mendekati RM7.000 (Rp26 juta) hingga RM8.000 (Rp30 juta) per bulan jika disesuaikan dengan tingkat inflasi tahunan sebesar 5 persen.
CNA menelaah lebih dalam faktor-faktor di balik rendahnya gaji awal lulusan baru di Malaysia dan apa upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah ini.

KURANGNYA LAPANGAN KERJA BERKEAHLIAN TINGGI
Salah satu penulis laporan “Gaji Cukup Makan”, Mohd Yusof Saari, mantan kepala ekonom pasar tenaga kerja di Kementerian Sumber Daya Manusia dan Emiratisasi di Uni Emirat Arab, kepada New Straits Times mengatakan bahwa laporan tersebut mengungkapkan krisis struktural antara pendidikan tinggi dan ketenagakerjaan. Kini, pendidikan tinggi tidak lagi menjamin gaji tinggi.
Laporan itu juga menemukan bahwa 70 persen lulusan baru di Malaysia bekerja di pekerjaan semi-terampil atau tidak terampil.
Pekerjaan semi-terampil misalnya posisi administrasi, layanan, dan penjualan, sedangkan pekerjaan dengan keterampilan rendah mencakup pekerjaan di bidang pertanian dan perikanan, kerajinan dan perdagangan, operator mesin dan pabrik, serta tugas-tugas dasar lainnya.
Departemen Statistik Malaysia menyebutkan pekerjaan terampil meliputi manajer, legislator, profesional, dan teknisi.
Temuan sebelumnya oleh departemen tersebut menemukan bahwa 36,8 persen, atau hampir 2 juta, tenaga kerja berpendidikan tinggi di Malaysia adalah pengangguran terselubung (underemployment) pada kuartal ketiga tahun lalu.
Underemployment adalah pekerja yang masih mencari pekerjaan penuh atau sambilan dan mereka yang bekerja dengan jam kerja rendah.
Departemen itu mencatat bahwa hanya 17 persen pekerjaan baru yang dianggap berkeahlian tinggi.
CNA sebelumnya melaporkan bahwa Menteri Sumber Daya Manusia Malaysia Steven Sim telah mengidentifikasi tiga paradoks ketenagakerjaan di Malaysia – stagnasi upah serta ketidaksesuaian keterampilan dan pekerjaan.
Paradoks tersebut berpusat pada bagaimana negara menunjukkan statistik “positif” dalam hal pengangguran dan jumlah lulusan yang dihasilkan, tetapi kesulitan dalam hal upah, underemployment, dan ketersediaan pekerjaan dengan gaji tinggi.
Sim mencatat bahwa Malaysia menghasilkan 300.000 lulusan setiap tahun, tetapi hanya tersedia 50.000 pekerjaan terampil dengan gaji tinggi.
Baca:
Diana, konsultan SDM, mengatakan kepada CNA: “Kita melihat lonjakan jumlah sarjana yang memasuki pasar kerja, tetapi kenyataannya pekerjaan berketerampilan tinggi yang sudah penuh terisi.”
Konsultan karier dan pendiri SY Professional Review, Sharifah Hani Yasmin, menambahkan bahwa situasi seperti ini “menciptakan pasar yang sangat kompetitif sehingga menekan gaji awal dan melemahkan daya tawar para profesional muda”.
Laporan lain dari Permodalan Nasional Berhad Research Institute yang menganalisis gaji awal di sektor swasta Malaysia dari 1998 hingga 2022 menemukan bahwa kesenjangan upah antara mereka yang memiliki pendidikan tinggi dan pendidikan menengah semakin menyempit.
Survei tersebut menemukan bahwa pada tahun 1997, pemegang gelar sarjana mendapat gaji 2,7 kali lebih banyak dari lulusan SPM, tetapi pada tahun 2022, kesenjangannya menyempit menjadi 1,7 kali.
SPM setara dengan lulusan SMA di Indonesia.
“Ketika gaji sarjana hampir tidak bisa dibedakan dari mereka yang bukan sarjana, maka investasi di pendidikan tinggi tidak lagi menjadi jalan pasti menuju mobilitas sosial, justru jadi risiko ekonomi,” kata Mohd Yusof kepada New Straits Times.
Laporannya menyoroti bagaimana hal ini akan sangat terasa bagi rumah tangga berpendapatan rendah dan menengah yang terbebani oleh kenaikan biaya pendidikan.

MEMBENTUK LULUSAN SIAP KERJA
Arulkumar Singaraveloo, CEO dari Malaysia HR Forum — organisasi yang melatih para profesional dan organisasi SDM — mengatakan kepada CNA bahwa para pemberi kerja mengaku cemas akan rendahnya kualitas lulusan Malaysia.
Pasalnya kurikulum yang ada dianggap sudah usang dan kurangnya keterampilan esensial para sarjana muda, menyebabkan anggapan bahwa banyak lulusan yang belum siap kerja.
Sharifah sependapat dan menambahkan: “Banyak lulusan juga kurang mendapat paparan industri — seperti magang dan pengalaman kerja langsung — yang membuat mereka tidak siap memenuhi ekspektasi pemberi kerja atau menuntut gaji yang kompetitif.”
Lulusan fisioterapi yang berbicara secara anonim kepada CNA mengungkapkan bahwa pelatihan akademis saja tidak cukup untuk mempersiapkan dirinya menghadapi dunia kerja.
“Salah satu tantangan utama yang saya hadapi adalah dalam berkomunikasi, terutama saat berinteraksi dengan berbagai tipe pasien... Saya menyadari betapa pentingnya pengalaman klinis dalam membangun rasa percaya diri dan kompetensi di bidang ini,” katanya.
Ia mengatakan kepada CNA bahwa program studinya hanya mencakup penempatan klinis jangka pendek dengan pasien. Menurutnya, itu tidak cukup untuk membangun interaksi yang mendalam antara terapis dan pasien, serta soft skill yang penting dalam pekerjaan ini.
Ia meyakini bahwa keterbatasan ini yang membuat dia sulit menuntut gaji yang lebih baik sebagai fisioterapis.
Para ahli mengatakan bahwa perlu ada pendekatan sistemik dan terkoordinasi yang melibatkan kebijakan terkait tenaga kerja, reformasi pendidikan, dan perubahan ekonomi melalui “kemitraan antara publik dan swasta”.
Arulkumar mengatakan, hal ini bisa diwujudkan dengan mendengarkan masukan dari para pemberi kerja untuk kemudian disertakan dalam pengembangan kurikulum. Dengan cara ini, lulusan baru akan jadi relevan dengan apa yang dibutuhkan oleh industri.
“Magang seharusnya lebih bermakna dan terstruktur, memastikan bahwa magang memberikan paparan kerja yang nyata dan menjadi jalur transisi yang jelas ke pekerjaan penuh waktu,” katanya.
Selain mempersiapkan lulusan agar siap kerja, para ahli juga menyoroti perlunya reformasi ekonomi struktural untuk menghasilkan pekerjaan bergaji tinggi dan mendorong pertumbuhan upah yang berkelanjutan.
Sharifah, yang juga perekrut lepas di A Job Thing, mengatakan bahwa Malaysia perlu “mengembangkan secara agresif” ekosistem industri berdampak tinggi dengan memperkuat inisiatif seperti Rencana Induk Industri Baru 2030 (NIMP 2030).
NIMP 2030, yang diumumkan pada 2023, adalah kebijakan industri selama tujuh tahun untuk sektor manufaktur dan layanan terkait manufaktur. Beberapa tujuannya mencakup peningkatan lapangan kerja sebesar 20 persen untuk menciptakan 3,3 juta pekerjaan baru.
“Dengan menarik investasi di sektor-sektor masa depan seperti semikonduktor, energi bersih, dan bioteknologi, kita dapat menghasilkan rangkaian pekerjaan terampil dengan bayaran tinggi yang dapat diisi oleh lulusan lokal,” kata Sharifah kepada CNA.
Selain menciptakan lebih banyak pekerjaan terampil, pakar SDM Arulkumar mengatakan bahwa pemerintah harus memperkenalkan insentif yang ditargetkan, seperti subsidi upah atau hibah perekrutan, bagi pemberi kerja yang menerima lulusan baru untuk posisi terampil.
Sharifah mengatakan bahwa jenis hibah ini sebaiknya dikaitkan dengan hasil terukur seperti pertumbuhan upah dan peningkatan keterampilan tenaga kerja agar bantuan tepat sasaran, benar-benar kepada perusahaan yang menciptakan kemajuan, “bukan hanya yang memperbesar angka di atas kertas”.
“Malaysia harus memprioritaskan peningkatan industri dengan mendorong sektor-sektor dengan nilai tambah tinggi dan inovasi untuk meningkatkan permintaan akan talenta terampil,” tambah Arulkumar.
Para penulis laporan “Gaji Cukup Makan” juga mengusulkan agar pemerintah memperkenalkan pedoman gaji sebagai saran untuk mengatasi upah terlalu rendah.
Arulkumar mengatakan bahwa meskipun pedoman seperti itu bisa membantu dalam menetapkan ekspektasi dasar bagi gaji lulusan baru—terutama di wilayah perkotaan dengan biaya hidup tinggi—pedoman tersebut harus fleksibel dan tidak bersifat mengikat agar tidak mengganggu dinamika pasar dan mengurangi perekrutan.
“Agar efektif, pedoman itu harus spesifik untuk setiap sektornya dan mencerminkan kemampuan lulusan serta kompleksitas pekerjaan, bukan hanya berdasarkan kualifikasi akademis,” katanya.
“Meski upah seharusnya ditentukan oleh pasar, namun pedoman yang dirancang dengan baik, ditambah peningkatan industri secara luas, bisa membantu memastikan transisi memasuki dunia kerja yang lebih adil dan transparan bagi para talenta muda.”

APA DAMPAK DARI UNDEREMPLOYMENT DI MALAYSIA?
Arulkumar mengatakan bahwa underemployment yang terus terjadi di kalangan sarjana baru dapat menciptakan siklus upah rendah, talenta yang tersia-siakan, dan menurunnya kepercayaan terhadap lulusan pendidikan tinggi.
“Lama kelamaan, hal ini (underemployment yang berkelanjutan) bisa memperlebar ketimpangan, mendorong talenta pergi ke luar negeri, dan merusak tujuan Malaysia menjadi negara berpendapatan tinggi,” kata Arulkumar kepada CNA.
Selama bertahun-tahun, banyak lulusan dan pekerja terampil Malaysia mempertimbangkan bekerja di negara lain demi peluang kerja yang lebih baik, gaji yang menarik, dan nilai tukar yang menguntungkan.
Pemerintah Malaysia telah menyoroti fenomena “brain drain” dan mengambil berbagai langkah agar warga kembali ke tanah air setelah memperoleh pengalaman kerja di luar negeri.
Brain drain adalah ketika individu dengan pendidikan tinggi, keahlian khusus, atau keterampilan profesional meninggalkan negara asal mereka untuk bekerja atau menetap di negara lain, dengan berbagai alasan, salah satunya gaji yang tinggi.
Selain kekhawatiran tentang brain drain, Arulkumar juga memperingatkan bahwa underemployment yang terus berlangsung akan membebani dan memberi tekanan pada pemerintah untuk membantu lulusan ini atau bahkan menyerap mereka menjadi pegawai negeri, yang jumlahnya sudah terlalau banyak.
“Jika tidak ada perubahan terkoordinasi di mana institusi akademik merancang ulang program berdasarkan kebutuhan industri nyata dan perusahaan mengambil peran dalam pengembangan talenta, saya percaya pola (underemployment) ini akan terus berulang,” kata Sharifah kepada CNA.
“Satu generasi yang terjebak dalam siklus underemployment, frustrasi karier, dan pendapatan stagnan bukan hanya masalah lulusan baru, tetapi masalah nasional.”
Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. Pastikan fungsi notifikasi telah dinyalakan dengan menekan tombol lonceng.