China sindir keras dominasi AS, apakah bisa jadi senjata makan tuan?
Menurut pengamat, Menteri Luar Negeri China Wang Yi ingin memperlihatkan bahwa negaranya adalah pemain global yang bertanggung jawab, tidak seperti AS. Namun, yang perlu dilihat nanti apakah China benar-benar melakukan seperti apa yang mereka katakan.

Presiden China Xi Jinping (kiri) bertemu dengan Presiden AS Donald Trump di Osaka, Jepang, 29 Juni 2019. (Foto file: Reuters/Kevin Lamarque)
BEIJING: Pekan lalu China mengeluarkan sindiran keras terhadap AS dengan mengatakan bahwa mereka menolak pendekatan 'siapa yang kuat, dia yang benar'. Menurut para pengamat, pernyataan ini menunjukkan bahwa China ingin mengambil hati negara-negara lain dengan menunjukkan diri sebagai negara yang bertanggung jawab dan lebih bersahabat.
Para pengamat berpendapat, China bisa saja mengambil keuntungan jangka pendek, terutama karena Amerika Serikat mulai ditinggalkan oleh sekutu-sekutu terdekatnya akibat kebijakan ekspansionisme dan sepihak di bawah pemerintahan Donald Trump dengan jargonnya "America First".
"Dalam konteks saat ini, pesan yang ingin ditunjukkan oleh China adalah... China berkontribusi aktif, dan pesan bahwa China memenuhi tanggung jawab, berbeda dengan negara lain," ujar pengamat dari Universitas Teknologi Nanyang (NTU) Singapura, Hoo Tiang Boon, kepada CNA.
Hoo menambahkan bahwa lebih mudah bagi China untuk menjual pesan ini di saat AS tengah dituduh merongrong tatanan yang mereka ciptakan sendiri.
Sejak menjabat pada 20 Januari, Trump telah menarik AS keluar dari badan-badan internasional seperti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Dewan Hak Asasi Manusia PBB, serta membekukan dana bantuan luar negeri.
Namun, para pengamat memperingatkan bahwa pernyataan China tersebut bisa jadi senjata makan tuan jika pemerintah Beijing tidak menjalankan apa mereka katakan, terutama mengingat berbagai preseden yang terjadi sebelumnya.
"HUKUM RIMBA"
Pada Jumat lalu (7/3) di sela Dua Sesi, Menteri Luar Negeri China Wang Yi dalam konferensi pers mengemukakan pentingnya tanggung jawab bagi negara-negara besar.
Dalam sindiran terselubung terhadap AS, Wang memperingatkan bahwa jika negara-negara besar beroperasi dengan prinsip "siapa yang kuat, dia yang benar" maka tatanan dunia akan menjadi jauh lebih buruk.

“Ada lebih dari 190 negara di dunia,” ujar Wang.
"Jika setiap negara hanya menekankan ‘negaraku yang utama’ dan terobsesi dengan kekuatan, maka hukum rimba akan kembali berlaku, negara-negara kecil dan lemah akan menjadi korban pertama, serta norma dan tatanan internasional akan mengalami kerugian besar,” tambahnya.
Para pengamat mengatakan, sikap AS yang semakin keras terhadap Ukraina dan kecenderungannya yang dianggap berpihak pada Rusia sebagai pemicu pernyataan Wang.
Setelah cekcok antara Presiden Donald Trump dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy di Gedung Putih pada Jumat (28/2), AS menghentikan seluruh bantuan militer ke Ukraina serta menangguhkan berbagi intelijen dengan negara yang dilanda perang tersebut.
Pada saat yang sama, Washington mendorong negosiasi damai dengan Moskow, tetapi mengecualikan Ukraina dari pertemuan awal. AS juga menyatakan menolak dalam pemungutan suara terkait Ukraina di Majelis Umum PBB, sejalan dengan Rusia serta negara-negara seperti Korea Utara dan Belarus.
Carl Thayer, profesor emeritus di University of New South Wales (UNSW) Canberra, menggambarkan langkah terbaru pemerintahan Trump sebagai sebuah “gol bunuh diri” yang memberi China kesempatan untuk menegaskan kembali posisinya.
“Wang Yi memanfaatkan situasi ini untuk mengklaim posisi moral yang lebih tinggi di hadapan negara-negara berkembang yang belum berpihak, terutama negara-negara Selatan Global dan anggota ASEAN,” kata Thayer.
Ia menambahkan bahwa respons kuat Beijing juga didorong oleh kekhawatiran bahwa Trump tengah berupaya mengganggu hubungan China-Rusia.

NEGARA BESAR, TANGGUNG JAWAB JUGA BESAR
Dalam pernyataannya pada Jumat, Wang, yang menjabat Menlu karena posisinya sebagai kepala Komisi Urusan Luar Negeri Pusat Partai Komunis China, menegaskan bahwa negara-negara besar harus memimpin upaya dalam menjaga tatanan internasional.
"Negara-negara besar harus memimpin dengan memberi contoh dalam menegakkan integritas dan supremasi hukum, menentang standar ganda dan tebang pilih, dan tidak boleh terlibat dalam penindasan, manipulasi pasar, atau perampasan."
Para pengamat menilai pernyataan Wang dimaksudkan untuk menampilkan China sebagai kekuatan besar yang bertanggung jawab, terutama jika dibandingkan dengan tindakan ekspansionis dan sepihak yang dilakukan AS di bawah kepemimpinan Trump.
Namun, meskipun beberapa negara, terutama negara berkembang, mungkin akan lebih condong merapat ke Beijing, para pengamat menekankan bahwa tidak semuanya akan mudah diyakinkan.
“(Meskipun) lebih mudah bagi China untuk memposisikan dirinya seperti ini, namun apakah negara-negara mempercayai mereka adalah soal lain,” ujar Hoo dari NTU.
Para pengamat juga menunjukkan bahwa strategi Beijing bisa menjadi bumerang dalam jangka panjang jika China dianggap tidak melakukan apa yang mereka katakan.
Menurut Hoo dari NTU, hampir tidak dapat disangkal bahwa China saat ini adalah kekuatan besar, dan negara lain pun memperlakukannya demikian. Namun, ia menyoroti bahwa China kerap bersikap selektif dalam menyoroti status tersebut.
“Tergantung pada forum internasionalnya, China seolah-olah mengubah identitasnya sesuai dengan kepentingannya sendiri. Dalam beberapa kesempatan di forum tertentu seperti Organisasi Perdagangan Dunia, China justru menyangkal statusnya sebagai kekuatan besar dan berusaha mengklaim dirinya sebagai negara berkembang.
"Itulah saat di mana China juga berupaya membangun hubungan dan solidaritas dengan Selatan Global," ujar Hoo, merujuk pada negara-negara berkembang yang lebih miskin, memiliki tingkat ketimpangan pendapatan yang lebih tinggi, serta angka harapan hidup yang lebih rendah.
Banyak dari negara-negara ini berada di Belahan Bumi Selatan, terutama di Afrika, Asia, dan Amerika Latin.
MENJALANI APA YANG DIUCAPKAN
Menurut Wu Se-chih, direktur Pusat Penelitian China di Taiwan Thinktank, reputasi China bisa tercoreng jika dianggap tengah memperluas pengaruhnya secara diam-diam, atau melakukan kebijakan yang terlihat menguntungkan padahal menjebak.
“Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) China, misalnya, telah menyebabkan krisis utang di negara-negara lemah, menimbulkan kekhawatiran tentang risiko kedaulatan saat menghadapi kesulitan finansial,” ujarnya kepada CNA.
“Jika China ingin memposisikan dirinya sebagai pemain global yang kuat dan bertanggung jawab, tindakan semacam ini justru kontradiktif.”
China sendiri bahkan telah menggunakan kekuatannya untuk menghadapi perselisihan politik, kata Thayer dari UNSW Canberra yang berpendapat bahwa pernyataan Wang tidak tulus dan menyebutnya sebagai bagian dari “perang informasi”.
Ia mencontohkan sanksi dagang China terhadap ekspor Australia sejak 2020 yang menargetkan batu bara dan produk pertanian. Sanksi itu dijatuhkan setelah setelah Australia menyerukan penyelidikan terhadap asal-usul COVID-19.
Tindakan ini menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan bagi Australia, ujar Thayer. Sebagian besar pembatasan ini secara bertahap dicabut setelah pemerintahan baru berkuasa di Canberra pada 2022.
Sebuah studi yang diterbitkan pada Januari 2024 di Australian Economic Papers memperkirakan bahwa kerugian ekspor bruto Australia di pasar China akibat sanksi dagang melonjak dari A$3 miliar pada 2020 menjadi A$31 miliar pada 2022.
“Sanksi ekonomi China terhadap Australia adalah contoh sempurna dari hukum rimba … (mereka) bertujuan menekan negara mana pun yang berani mengikuti langkah Australia dalam menghadapi China,” tegas Thayer.
Wu dari Taiwan Thinktank mengatakan bahwa meski AS mendominasi secara global, namun mereka masih bertindak sesuai dengan norma-norma internasional yang telah mapan. Sementara, kata dia, posisi China sebagai pemimpin moral global masih belum jelas.
Pernyataan Wang bisa semakin menjauhkan negara-negara lain, karena China “tidak memiliki kredibilitas” untuk mengajari tentang bagaimana seharusnya kekuatan besar bertindak, kata dia kepada CNA, merujuk pada contoh BRI serta tuduhan Kanada bahwa China ikut campur dalam pemilu mereka.
Thayer dari UNSW Canberra memiliki pandangan serupa. “Pernyataan seperti ini justru membuat sebagian besar negara di dunia yakin bahwa mereka sebaiknya tidak berpihak antara AS dan China,” ujarnya.
Negara-negara kecil menyadari meningkatnya rivalitas antara kedua kekuatan ini dan enggan terseret dalam persaingan mereka, jelas Thayer.
Ketegasan China yang semakin meningkat di Laut China Selatan juga dapat menjadi hambatan dalam upayanya untuk mendapatkan dan mempertahankan dukungan dari negara-negara lain, menurut para pengamat.
China mengklaim hampir seluruh wilayah Laut China Selatan. Dalam beberapa bulan terakhir, ketegangan meningkat dengan Filipina, negara pengklaim Laut China Selatan seperti beberapa negara ASEAN lainnya.
Perilaku agresif di Laut China Selatan menjadi salah satu kekhawatiran geopolitik utama di kawasan ini, menurut survei State of Southeast Asia tahun lalu oleh ISEAS-Yusof Ishak Institute.
Namun, meskipun ada pihak yang menuduh adanya kontradiksi antara kata-kata China dan tindakannya di perairan sengketa, rakyat China sendiri tidak melihatnya demikian, kata Hoo dari NTU, yang menekankan bahwa semua ini adalah masalah persepsi.
“(Bagi China), meskipun (mereka) menjalankan tanggung jawabnya terhadap dunia dan berkontribusi secara aktif, itu tidak berarti mereka dapat membiarkan pihak lain merusak atau mengorbankan kepentingannya, terutama kepentingan intinya,” katanya.
Ia menambahkan bahwa China akan berargumen bahwa mereka tidak sedang menunjukkan kekuatan berlebihan, melainkan hanya melakukan apa yang diperlukan untuk mempertahankan kepentingannya.
“Bayangkan ada seekor singa, dan hewan yang lebih kecil memasuki wilayahnya. Jika singa itu menggigit hewan kecil tersebut, Anda tidak bisa mengatakan bahwa singa itu sedang memamerkan kekuatannya,” ujar Hoo.
“Sebab singa lebih kuat daripada hewan kecil itu, dan ia hanya menggigitnya karena wilayahnya telah dilanggar.”
Ikuti Kuis CNA Memahami Asia dengan bergabung di saluran WhatsApp CNA Indonesia. Menangkan iPhone 15 serta hadiah menarik lainnya.