Skip to main content
Iklan

Asia

China ingin memediasi konflik Israel-Iran. Apa kepentingannya?

Menurut pengamat, kepentingan China dari de-eskalasi konflik Israel dan Iran bukan hanya ambisi diplomatik, tetapi juga demi keamanan dalam negeri mereka sendiri, termasuk ketahanan energi. 
 

China ingin memediasi konflik Israel-Iran. Apa kepentingannya?

Asap terlihat saat serangan rudal dari Iran ke Tel Aviv, Israel, 22 Juni 2025. (Foto: Reuters/Violeta Santos Moura)

BEIJING/SINGAPURA: China memposisikan diri sebagai mediator dalam konflik antara Israel dan Iran yang kian memanas. Menurut para pengamat, langkah China ini tidak hanya demi perdamaian kawasan, tetapi juga melindungi kepentingan nasional mereka.

Dalam beberapa pekan terakhir, China aktif menyerukan de-eskalasi konflik antara Israel dan Iran. China juga tegas mengutuk serangan Amerika Serikat terhadap fasilitas nuklir Iran di akhir pekan lalu.

"China mengutuk keras serangan AS terhadap Iran dan pengeboman fasilitas nuklir di bawah perlindungan Badan Energi Atom Internasional (IAEA)," ujar Kementerian Luar Negeri China pada Minggu (22/6).

Menurut China, tindakan AS adalah pelanggaran Piagam PBB serta hukum internasional, selain akan memperburuk konflik di Timur Tengah. Untuk itu, China menyerukan Israel dan Iran segera menggelar gencatan senjata.

Pengamat mengatakan, Beijing memiliki kepentingan yang kuat untuk terlibat dalam memediasi konflik tersebut, di antaranya adalah ketergantungan energi, hubungan yang strategis dengan Iran, perseteruan geopolitik dengan AS hingga kekhawatiran meluasnya konflik yang akan membahayakan investasi dan infrastruktur yang telah dibangun China di kawasan.

Namun meski memiliki hubungan yang kuat dengan Iran dan negara-negara Timur Tengah lainnya, para pengamat mengatakan China tidak punya pengaruh apa-apa terhadap Israel. Hal ini akan menjadikan upaya mediasi oleh Beijing sia-sia.

China, lanjut pengamat, juga berhati-hati agar tetap terlihat netral dan tidak terkesan terlalu condong kepada Iran demi menghindari meningkatnya ketegangan dengan AS.

"China akan terseret ke dalam konflik regional dengan dampak global, yang jelas ini bukan sesuatu yang diinginkan Beijing," kata Andrea Ghiselli, dosen politik internasional di University of Exeter, Inggris.

"Ini adalah posisi yang sangat sulit bagi diplomasi China."

Craig Singleton, peneliti senior bidang China di Foundation for Defense of Democracies (FDD), sebuah lembaga pemikir non-partisan di AS yang berfokus pada kebijakan luar negeri dan isu keamanan nasional, mengatakan bahwa konflik kali ini mengungkapkan fakta pahit bagi Beijing.

"Krisis saat ini dan ketidaberdayaan China dalam mempengaruhinya telah menunjukkan bahwa retorika Beijing yang mengaku negara berkekuatan besar tetap tidak memiliki pengaruh besar di Timur Tengah."

Asap mengepul dari serangan Israel ke Teheran, Iran, pada 17 Juni 2025. (Foto: Media sosial via Reuters)

DAPATKAH CHINA JADI JURU DAMAI?

Konflik ini pecah pada 13 Juni lalu ketika Israel melakukan serangan ke berbagai wilayah di Iran. Israel berdalih serangan ini dilakukan untuk mencegah Iran mengembangkan senjata nuklir.

Serangan ini kemudian dibalas Iran dengan melontarkan rudal ke kota-kota di Israel. Baku tembak ratusan rudal antara kedua negara telah menewaskan ratusan orang, kebanyakan adalah warga sipil.

Pada Sabtu (21/6), Presiden AS Donald Trump mengatakan bahwa mereka telah mengebom tiga lokasi yang diyakini sebagai tempat pengembangan senjata nuklir Iran. Padahal sebelumnya, Trump telah menegaskan akan memberi waktu dua minggu untuk memberi ruang solusi diplomasi sebelum AS turun tangan.

Menyusul serangan tersebut, Duta Besar China untuk PBB Fu Cong mengatakan berbagai pihak harus menahan diri agar konflik tidak semakin membesar, seraya menyerukan gencatan senjata.

Menurut Fu, serangan oleh AS ke Iran telah merusak kredibilitas AS untuk terlibat dalam negosiasi internasional.

Sebelumnya China juga telah gencar berupaya meredam konflik di kawasan. Pada 14 Juni lalu misalnya, Menteri Luar Negeri China Wang Yi menelepon menlu Iran dan Israel mengatakan bahwa negaranya siap terlibat dalam upaya de-eskalasi konflik.

Hal yang sama disampaikan Presiden China Xi Jinping yang mengatakan bahwa "China siap bekerja sama dengan semua pihak untuk memainkan peran konstruktif dalam memulihkan perdamaian dan stabilitas di Timur Tengah".

FOTO FILE: Presiden China Xi Jinping menghadiri sesi pleno kedua Kongres Rakyat Nasional (NPC), di Aula Besar Rakyat di Beijing, 8 Maret 2025. (Foto: Reuters/Tingshu Wang/File Photo)

Beberapa pemberitaan menyoroti kemungkinan besar China ingin mengambil peran sebagai mediator. Dalam beberapa tahun terakhir, China memang aktif memosisikan diri sebagai penjaga perdamaian global yang tidak bisa dipengaruhi Amerika Serikat.

“China adalah pihak yang netral dan bisa memainkan peran mediasi yang sangat penting,” kata Wang Huiyao, pendiri sekaligus presiden lembaga pemikir Tiongkok Center for China and Globalization (CCG) kepada CNA.

Wang melanjutkan, China memiliki rekam jejak yang baik di Timur Tengah dan tidak memiliki beban sejarah. 

Pada Juli 2024, Beijing memfasilitasi kesepakatan persatuan Palestina di Gaza yang tengah dilanda perang. Setahun sebelumnya, China juga menengahi rekonsiliasi bersejarah antara Arab Saudi dan Iran, bekerja sama dengan Irak dan Oman, tanpa keterlibatan langsung dari Amerika Serikat maupun negara-negara Eropa.

Pola khas diplomasi ini kembali dimainkan China dalam konflik Israel-Iran, yaitu mewujudkan perdamaian dan menawarkan mediasi tanpa terlibat langsung dalam konflik. Hal serupa juga diambil China dalam konflik di Suriah dan Yaman.

Namun kebanyakan pengamat yang berbicara kepada CNA menyakini China tidak memiliki pengaruh yang cukup kuat untuk memediasi konflik Israel dan Iran.

Terkhusus lagi, China tidak punya pengaruh apa pun terhadap Israel, kata Jonathan Fulton, peneliti senior di Program Timur Tengah lembaga Atlantic Council.

China telah memihak Palestina pada konflik di Gaza yang dimulai 7 Oktober 2023 ketika Hamas menyerang Israel. Menurut Fulton, sikap China ini membuat mereka kehilangan kredibilitas dan pengaruh di mata Israel. 

“China sejak dulu sangat jelas mendukung Palestina, dan dalam kasus ini, dukungannya sangat terbuka. Saya rasa Israel mulai menyadari bahwa China tidak memberikan dukungan apa pun bagi mereka dalam situasi ini.”

Ghiselli dari University of Exeter mengatakan bahwa konflik Israel dan Iran adalah perang yang telah mereka persiapkan sejak puluhan tahun lalu. 

"Benar atau tidak, keduanya berpikir bahwa mereka berperang untuk bertahan hidup, yang lainnya tidak penting. Terlebih lagi, tidak ada dari keduanya yang bergantung pada China sehingga Beijing tidak bisa memaksa mereka untuk berhenti," kata Ghiselli.

"China tidak seperti AS yang bisa menghentikan mesin perang Israel dengan cara menarik dukungan."

Sun Degang, profesor ilmu politik dan direktur Pusat Studi Timur Tengah di Universitas Fudan, mengatakan bahwa upaya mediasi Beijing sangat bergantung pada kemauan politik dari kedua belah pihak — sesuatu yang tampaknya tidak ada saat ini.

“Saya tidak yakin Israel siap menerima mediasi dari China,” ujarnya kepada CNA. “Israel ingin menghancurkan fasilitas nuklir Iran dan mengganti rezim di negara itu.”

Singleton dari FDD mengatakan bahwa China masih belum dipercaya, tidak memiliki saluran intelijen dan tidak sanggup mempengaruhi perencanaan perang Israel atau Iran.

“Paling banter, China hanya bisa menyampaikan pesan. China jelas tidak akan bisa merundingkan kesepakatan atau menegakkan aturan," kata dia, menambahkan bahwa mediasi gencatan hanya akan berjalan jika kedua pihak menginginkannya. 

“Dan saat ini, mereka tidak menginginkannya.”

MENGAPA CHINA MAU TURUN MEMEDIASI?

Terlepas dari kesediaan China memediasi konflik, pemerintah Beijing telah jelas menunjukkan keberpihakan kepada Iran.

Dalam percakapan telepon dengan menlu Iran dan Israel, menlu China Wang Yi tegas mengatakan bahwa tindakan Israel "tidak bisa diterima".

Menteri Luar Negeri China Wang Yi berbicara dalam konferensi pers di sela-sela Kongres Rakyat Nasional di Beijing, China, pada 7 Maret 2025. (Foto: CNA/Lee Gim Siong)

Sementara Presiden China Xi Jinping pekan lalu mengatakan tindakan Israel telah meningkatkan ketegangan di Timur Tengah akibat serangan mereka terhadap Iran.

"Kami menentang segala bentuk tindakan yang melanggar kedaulatan, keamanan dan integritas wilayah negara lain. Konflik militer bukanlah solusi masalah, dan meningkatnya ketegangan di kawasan tidak selaras dengan kepentingan bersama dari komunitas internasional," kata Xi.

Para pengamat mengatakan bahwa kepentingan ekonomi dan geopolitik menjadi alasan China mengapa mereka mau turun memediasi konflik Israel-Iran.

"Sikap Beijing didorong oleh ketergantungan akan energi, kekhawatiran pada sanksi AS, persaingan dengan AS, dan agar hubungan tetap terbuka dengan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab," kata Singleton dari FDD.

Sun dari Universitas Fudan mengatakan sikap China juga ditentukan oleh BRICS dan Organisasi Kerja Sama Shanghai yang anggotanya sebagian adalah negara-negara Timur Tengah.

Namun, lanjut Sun, China berpotensi terlihat lemah secara diplomatik dan sebagai juru damai global jika ternyata gagal menjadi mediator.

Sementara Fulton dari The Atlantic Council mengatakan China memandang Iran sebagai sumber "minyak murah" dan duri bagi ambisi AS di kawasan Teluk dan Timur Tengah secara luas. Menurut Fulton, hubungan bilateral China dan Iran sangat transaksional dan tidak imbang.

Laporan media menyebutkan bahwa China membeli hampir 90 persen ekspor minyak Iran, yang seringkali harus melalui kilang independen demi menghindari sanksi AS.

Pada 2021, China dan Iran menandatangani kemitraan strategis komprehensif untuk jangka waktu 25 tahun, yang secara resmi memasukkan Teheran menjadi bagian dari Inisiatif Sabuk dan Jalan.

Fulton mengatakan China sepertinya khawatir dengan keselamatan rezim Iran. "Saya rasa mereka melihatnya sebagai mitra yang rapuh di tengah situasi yang berbahaya," kata dia.

Israel telah membunuh hampir seluruh jajaran tertinggi komandan militer Iran serta ilmuwan nuklir utamanya. Israel juga menyatakan kini menguasai wilayah udara Iran dan berniat untuk meningkatkan serangan dalam beberapa hari ke depan.

Ghiselli dari University of Exeter mengatakan bahwa China menginginkan rezim Iran saat ini bisa bertahan. Pasalnya, kejatuhan rezim akan memicu ketidakstabilan dan ketidakpastian di kawasan.

Para analis menyoroti bahwa China memandang Iran sebagai mitra strategis untuk menyeimbangkan pengaruh AS di Timur Tengah. Sanksi Barat terhadap Teheran juga membuka peluang bagi perusahaan-perusahaan China untuk masuk.

Meski demikian, pengamat mengatakan kecil kemungkinannya China mengambil langkah proaktif membantu Teheran, seperti memberikan bantuan militer.

“Iran membutuhkan lebih dari sekadar dukungan diplomatik atau komponen rudal. Ia membutuhkan sistem pertahanan udara dan jet tempur baru. China bisa saja menyediakannya, tapi tidak ada cara untuk langsung menggunakannya dalam waktu dekat,” ujar Ghiselli.

Selain itu, terlibat langsung dalam konflik akan meningkatkan ketegangan dengan AS, sebuah kondisi yang ingin dihindari oleh China, lanjut Ghiselli.

"Keterlibatan langsung China dalam konflik ini akan mendorong persaingan (dengan AS) ke tingkat yang lebih tinggi, di saat Beijing ingin menstabilkan hubungan dengan Washington untuk meringankan tekanan terhadap ekonomi dan perkembangan teknologinya," kata Ghiselli.

Hal sama disampaikan oleh Singleton dari FDD, yang mengatakan bahwa terlalu condong kepada Iran akan membuat China menuai sanksi dari AS, membuat mitra-mitra di Teluk menjauh dan jadi sebuah kelemahan dari upaya China untuk menjadi negara adidaya alternatif.

“(Dengan demikian) hal ini menegaskan kurangnya kredibilitas China sebagai mediator yang serius di Timur Tengah dan praktis membuatnya tersingkir,” tambahnya.

China kemungkinan akan mengambil pendekatan yang “reaktif”, “menunggu dan berharap” agar pemerintahan Iran tidak runtuh, sambil bersiap menghadapi “skenario pasca-Ayatullah,” kata Ghiselli dari University of Exeter.

“Bagaimanapun juga, demokrasi jarang muncul setelah rezim otoriter runtuh. Meski bukan skenario ideal, saya rasa China akan menerima kemunculan rezim yang lebih sekuler dan dipimpin militer,” ujarnya.

“Para analis China sudah lama berpendapat bahwa kebijakan para pemimpin Iran saat ini terlalu ekstrem dan justru merugikan, mengingat situasi ekonomi Iran yang sangat buruk.”

Sanksi besar-besaran dari Barat serta salah urus pemerintahan telah sangat memukul ekonomi Iran. Nilai mata uang riyal anjlok, inflasi melonjak tajam, dan pemadaman listrik yang sering terjadi di tengah krisis energi telah melumpuhkan produksi industri maupun kehidupan sehari-hari.

RISIKO KONFLIK MELUAS

Meski untuk saat ini konflik masih terbatas antara Israel dan Iran, para pengamat khawatir akan terjadinya perluasan konflik. Hal ini menjadi risiko besar, baik bagi China maupun dunia secara keseluruhan.

Ada spekulasi bahwa Iran bisa saja memblokir Selat Hormuz sebagai bentuk balasan serangan Israel dan AS. Teheran sebelumnya telah beberapa kali mengancam akan menutup jalur ini sebagai tanggapan atas tekanan Barat.

Gangguan terhadap pengangkutan minyak melalui Selat Hormuz — jalur laut satu-satunya yang menghubungkan para eksportir Teluk ke pasar global — dapat menghambat perdagangan dan menyebabkan lonjakan harga energi. Jalur ini menyumbang hampir seperlima dari pengiriman minyak dunia.

Kapal tanker melewati Selat Hormuz, pada 21 Desember 2018. Ada spekulasi bahwa Iran dapat memblokir jalur laut yang penting ini. (Foto file: Reuters/Hamad I Mohammed)

Ini jelas menjadi kabar buruk bagi China sebagai negara importir minyak mentah terbesar di dunia. Pasalnya, 40 persen minyak mentah China berasal dari kawasan Timur Tengah, dengan pemasok utama termasuk Arab Saudi, Iran, Irak, dan Uni Emirat Arab.

“China adalah mitra dagang terbesar Timur Tengah dan pengimpor utama minyak Teluk. China ingin mempromosikan Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) di kawasan ini,” kata Sun dari Universitas Fudan.

Pecahnya konflik regional juga berisiko mendorong lonjakan harga minyak global, yang akan meningkatkan beban impor bagi China dan membuat perekonomiannya semakin tertekan.

Harga minyak sempat melonjak ke titik tertinggi dalam tiga tahun terakhir pada pertengahan Juni, setelah serangan Israel terhadap Iran, sebelum kemudian stabil kembali.

Jika konflik menyebar ke lebih banyak wilayah di Timur Tengah, hal ini juga akan mengancam keselamatan warga negara China di kawasan tersebut, bersama jutaan warga asing lainnya.

Menurut laporan, terdapat sekitar 1 juta warga China di Timur Tengah — kemungkinan lebih banyak dari itu jika termasuk pengunjung sementara, pedagang, dan pekerja kontrak asal China.

Kedutaan Besar China di Israel dan Iran telah meminta warganya untuk segera meninggalkan kedua negara tersebut.

Meski arah konflik belum pasti, para pengamat menilai masih ada peluang untuk menghindari risiko meluasnya agresi.

“Harga minyak tetap stabil, para aktor regional belum bergerak, dan selama tidak ada eskalasi lewat proxy, dampaknya (konflik) bisa tetap terbatas,” kata Singleton dari FDD, seraya menyebut situasi ini masih berada di tahap awal.

“Namun konflik berkepanjangan bisa mengubah perhitungan risiko di kawasan Teluk maupun Indo-Pasifik.”

Eskalasi konflik ke skala regional akan menjadi “skenario mimpi buruk,” ujar Fulton dari Atlantic Council.

“Pada akhirnya, semua bergantung pada perhitungan Israel — apakah mereka siap habis-habisan demi mencapai tujuan, atau akankah akal sehat yang menang?”

Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. Pastikan fungsi notifikasi telah dinyalakan dengan menekan tombol lonceng.

Source: CNA/da

Juga layak dibaca

Iklan
Iklan