Dari hotel berbintang ke dapur rumah sakit: Kisah chef Singapura hadapi tantangan memasak untuk pasien
Setelah berkarier di hotel berbintang seluruh dunia, para chef dari Singapura meninggalkan kemewahan dunia perhotelan untuk bekerja di dapur rumah sakit. Kepada CNA, mereka berkisah mengenai tantangan dan kepuasan batin dari keputusan tersebut.
SINGAPURA: Lebih dari dua dekade melayani tamu di resor dan hotel mewah, ternyata tidak cukup membuat chef Catan Tan terlatih dalam menyiapkan "hidangan terakhir" untuk pasien.Â
Tidak seperti melayani acara penuh kegembiraan di hotel-hotel, koki berusia 56 tahun ini - yang pernah memimpin tim koki di hotel Pan Pasific Singapore dan Four Seasons Singapore, juga di luar negeri seperti di London atau Maladewa - dikejutkan oleh kenyataan pahit yang harus dihadapinya di rumah sakit.
"Di hotel, kami melayani para tamu yang sedang berbahagia. Tapi di rumah sakit, tamunya bukan datang untuk acara keriaan," kata Tan, chef eksekutif di IHH Healthcare, jaringan rumah sakit swasta terbesar di Singapura.
"Setiap harinya, ada pasien yang menerima kabar buruk dari dokter. Mereka seperti kehilangan arah, tidak tahu harus berbuat apa."
Tan mengisahkan salah satu peristiwa. Ketika itu timnya menghias keik pernikahan tiga tingkat untuk pasien dari Australia yang ingin menikahi kekasihnya. Mereka juga memasakkan untuk pasien dengan alat penyokong kehidupan itu menu masakan Australia.
Dua hari kemudian, pasien itu meninggal dunia di unit perawatan intensif.
"Tentu saja, ada perasaan emosional, perasaan sedih di dalam hati kami," kenang Tan, yang sebelumnya bekerja sebagai koki eksekutif di Rumah Sakit Gleneagles.
"Di awal menjalani pekerjaan ini, saya merasa sangat tersentuh. Saya merasa sangat dekat dengan pasien seperti itu. Tapi sekarang, setelah bertahun-tahun, saya jadi terbiasa. Kami merasa menyajikan hidangan terakhir untuk pasien adalah tugas yang sangat indah. Kami memberikan yang terbaik agar mereka bisa menyantap makanan yang nikmat sebelum berpulang."
MEMASAK DENGAN EMPATI
Tan kini telah bekerja selama 11 tahun di rumah sakit. Awalnya, keputusan Tan meninggalkan zona nyamannya di hotel ditanggapi dengan keraguan oleh rekan-rekan kerjanya. Mereka menyebut rumah sakit sebagai "tempat untuk pensiun".
"Ketika sudah bergabung, ya ampun, sejujurnya ini lebih menantang ketimbang di hotel ... percayalah, ini bukan tempat untuk pensiun," kata dia.
Baru dua bulan di pekerjaan barunya, Tan dicaci maki oleh pasien lansia penderita kanker karena makanan buatannya. Tidak pernah mengalami perlakuan seperti itu sepanjang kariernya, Tan marah dan terkejut. Dia lalu mengadu ke putrinya, yang ketika itu adalah perawat di bangsal kanker.
"Dia bilang kepada saya, 'Ayah tidak pernah merasakan apa yang pasien rasakan. Ayah hanya merasakan apa yang ayah rasakan.' Dia benar. Hal itu membuat saya merenung," kenang Tan.
Dua hari kemudian, Tan kembali menemui pasien itu dan meminta maaf atas reaksinya.
"Sebelum saya meminta maaf, dia meminta maaf duluan ... Lalu dia menunjukkan gambar hasil pemeriksaannya, dan saya melihat banyak luka di tenggorokannya akibat kemoterapi. Saya akhirnya mengerti, dia ingin memberi tahu bahwa dia tidak bisa makan makanan dengan tekstur tebal (dalam keadaan) dingin, tapi saat itu dia sangat kesakitan."
Koki lainnya yang juga banting setir dari perhotelan ke rumah sakit mengenang peristiwa-peristiwa mengharukan ketika melayani para pasien yang sekarat.
Beberapa pasien sangat akrab dengan tim kuliner rumah sakit. "Kami akan sangat sedih" jika mereka meninggal, kata chef eksekutif Rumah Sakit Mount Elizabeth Novena, Wong Boo Hor. "Tapi itulah kehidupan. Jika telah bekerja di rumah sakit selama beberapa tahun, kita akan bisa mengelola stres tersebut."
Chef berusia 56 tahun ini mengatakan, tim kuliner seringkali tidak mengetahui seberapa besar peluang hidup pasien.
Staf rumah sakit yang membawakan makanan untuk pasien "akan mendatangi kami dan mengatakan: 'Chef, tolong jangan membuat makanan lagi untuk pasien ini, tidak perlu memasak lagi'". Itulah satu-satunya momen ketika tim kuliner tahu pasien telah meninggal dunia, kata Wong.
MERACIK MENU YANG SESUAI
Mempersiapkan makanan di rumah sakit memerlukan tingkat ketelitian dan detail yang berbeda, serta dalam jumlah yang banyak. Tan biasanya menyiapkan sekitar 800 jenis makanan per hari, terdiri dari 40 hingga 50 komposisi yang berbeda.
Para koki juga perlu memperhatikan diet terapeutik pasien (perencanaan menu untuk mengendalikan asupan makanan atau nutrisi tertentu) dan mencatat adanya alergi.
Rumah sakit juga menyajikan menu makanan dengan tekstur yang dimodifikasi, contohnya untuk pasien yang baru pulih dari koma. Karena melemahnya otot mulut, mereka harus kembali belajar cara mengunyah makanan sampai menjadi potongan-potongan kecil.
Pasien seperti ini, kata Tan, tidak bisa diberikan makanan cair karena akan tersedak.
"Di hotel kita bisa memasak apa pun yang kita mau, selama tamu senang dengan masakan kita. Tapi di rumah sakit, tidak seperti itu ... beberapa pasien punya alergi makanan laut, beberapa tidak bisa makan pedas, yang lainnya harus rendah garam, rendah kolesterol, hal-hal seperti itu," kata Wong.
"Kami harus memasak makanan sesuai dengan diet mereka. Tentu saja, terkadang sangat rumit, jadi kami butuh saran dari ahli gizi. Mereka akan memberitahu kami cara melakukannya dan kami harus mempersiapkannya dengan mengikuti resep dan takaran yang sama persis."
Chef eksekutif Rumah Sakit Mount Elizabeth, Lawrence Tay, menjelaskan bagaimana dia membuat kaldu di dapur hotel.
"Saya merebus (sayuran) di dalam air lalu menambahkan butter. Sayurnya kemudian di-sauté ... untuk kaldunya sendiri, saya harus memasukkan wine. (Kami juga) tidak menggunakan banyak sayuran, hanya wortel, daun bawang, seledri dan bawang bombay. Saya kemudian menambahkan perasa buatan," kata chef berusia 64 tahun ini.
Tapi sekarang, dia hanya menggunakan bahan-bahan yang segar. Sayuran seperti kubis dan lobak lebih banyak dipakai, garamnya juga hanya sejumput saja.
Tay, yang telah bekerja di hotel-hotel seperti Shangri-la Rasa Sentosa dan Orchard Hotel selama 35 tahun sebelum memasak di rumah sakit pada 2014, harus belajar membaca komposisi pada paket bumbu sebelum membelinya demi memastikan aman bagi pasien.
Ini merupakan perubahan besar bagi Tay yang mengaku awalnya tidak tahu sama sekali tentang diet terapeutik. Hal ini juga menjadi pemicu Tay akhirnya memutuskan beralih karier, karena dia ingin tahu cara memasak makanan bagi orang lanjut usia.Â
MEMBANTU PASIEN MENIKMATI MAKANAN
Meski ada beberapa pantangan makanan, para chef meyakini menu rumah sakit tidak mesti membosankan.
Pasalnya, tidak semua pasien sedang menjalani diet terapeutik. Tan mengatakan beberapa dari pasien, misalnya, dirawat karena patah tangan atau kaki dan masih bisa menyantap apapun.
"Jadi akhirnya kami mengatakan kepada diri sendiri untuk tidak terlalu kaku. Kami membuat menu dengan banyak jenis makanan, seperti pizza untuk anak-anak dan burger ... Secara mental, kami tengah mengubah pemikiran para pasien: 'Saya sedang tidak di rumah sakit. Saya diberikan makanan normal dengan beberapa obat."
Membuat menu yang lezat juga membantu pasien agar mereka dapat menikmati makanan. Hal ini dapat mempercepat proses pemulihan.
"Banyak obat yang harus diminum setelah makan. Jadi jika kami tidak membuat makanan yang layak untuk pasien, bagaimana mereka bisa pulih?" kata Tan.Â
"Kami harus (mengingatkan) diri sendiri akan pentingnya peran kami. Ini bukan hanya soal obat atau perawatan medis, kami juga sama pentingnya. Karena makanan sebenarnya juga bagian dari proses pemulihan. Nutrisi pada makanan akan membantu pasien mendapatkan energi untuk melawan penyakit dan kembali ke kehidupan normal."
Demi meningkatkan pengalaman pasien dengan makanan rumah sakit, Tan meminta bantuan kawannya chef Sam Leong, seorang ahli kuliner Asia di Singapura, untuk terlibat dalam Guest Chef Project.
Pada proyek gelombang kedua yang diadakan oleh IHH Healthcare Singapura ini, pasien disuguhi lima makanan yang dikurasi oleh Leong, yang juga merupakan penyintas kanker.
Wong memang menikmati memberi pelayanan kepada tamu di hotel, namun dia "melihat ada tantangan di rumah sakit untuk menjadikan pekerjaan ini lebih bermakna".
"Ada kepuasan yang berbeda. Hotel dengan tamu-tamu yang gembira. Sementara rumah sakit dengan pasien - yang terkadang dalam situasi hidup dan mati. Pekerjaan ini seperti memberi sumbangsih kepada masyarakat dengan keterampilan sendiri."
MENEMUKAN MAKNA
Keterampilan yang dipelajari para koki dari pengalaman internasional, sangat berguna dalam melayani berbagai jenis pasien.Â
Seperti pemahaman ragam budaya yang diperoleh Wong ketika bekerja di luar negeri. Dari pengalaman itu, dia "memandang berbagai hal dari sisi yang berbeda" dan memahami apa yang diperlukan ketika melayani pasien dari berbagai budaya yang bermacam-macam.
Begitu juga Tan. Pengalaman internasional memberikan Tan pengetahuan mengenai bumbu dan rempah, yang digunakannya untuk "merombak seluruh resep bagi pasien rumah sakit".
Bagi para koki muda yang mencari tantangan dan bekerja "dengan sangat mendetail", Tan menyarankan mereka untuk menjadi koki pastri atau bekerja di rumah sakit.Â
"Membuat pastri harus sangat terperinci, sangat disiplin. Kita tidak bisa sembarangan memasukkan beberapa gram tepung, tidak bisa memasak gula dengan suhu yang asal-asalan. Pastri tidak seperti itu, harus sangat presisi."
"Seperti halnya di rumah sakit, jika seseorang tidak bisa memakan makanan dalam jumlah tertentu dan dia menderita diabetes, maka kita harus mengikuti aturannya," kata dia.
"Bagi mereka yang menyukai kedisiplinan seperti ini, saya menyarankan mereka untuk bekerja di rumah sakit."
Dan bagaimana dengan rekan kerjanya yang menganggap ini adalah pekerjaan pensiunan? Sekarang "mereka tahu ini lebih menantang", kata Tan.
Mungkin, bukti terbaik bagaimana dia telah mengubah pola pikir itu adalah kenyataan bahwa semua anak buahnya adalah bekas koki hotel.
"Sekarang mereka merasakan bedanya. Mereka merasa lebih bersemangat," kata dia. "Mereka menjadi lebih menikmati dalam membuat masakan."
Baca artikel ini dalam Bahasa Inggris.Â
Baca juga artikel Bahasa Indonesia ini yang mengulas ekstremisme dan isu identitas yang terjadi di Indonesia.
Ikuti CNA di Facebook dan Twitter untuk lebih banyak artikel.