‘Budak seks suami’: 18 tahun perempuan Singapura tersiksa dalam grup aliran sesat Malaysia
CNA berbicara dengan dua mantan anggota GISB atau Global Ikhwan Services and Business, sebuah konglomerat Malaysia yang tengah terlibat dalam tuduhan pelecehan seksual anak.
SINGAPURA: Dia baru berusia 17 tahun ketika dipaksa menikahi putra seorang anggota berpengaruh Global Ikhwan Services and Business (GISB) Holdings, konglomerat Malaysia yang kontroversial dan ramai diberitakan atas tuduhan pelecehan seksual, perdagangan manusia, dan penyimpangan agama.
Perempuan Singapura itu terus menghadapi pelecehan di tangan suaminya selama 14 tahun, sementara anggota senior GISB menutup mata dan mendesaknya untuk bertahan dalam pernikahannya.
Ibu tunggal sembilan anak itu menerima pelecehan berupa pemukulan - bahkan saat dia hamil - hingga dipaksa berhubungan intim hingga lima kali sehari.
"Saya adalah budak seks bagi suami saya," Zoey, yang ingin menggunakan nama samaran, mengatakan kepada CNA dalam sebuah wawancara.
Wanita berusia 34 tahun itu termasuk dalam sekelompok mantan anggota GISB Singapura yang sejak September telah diselidiki oleh otoritas Malaysia.
Ratusan penangkapan telah dilakukan terkait dengan aktivitas kelompok tersebut, termasuk beberapa eksekutif senior, sementara aset-aset di luar negeri telah diidentifikasi.
GISB memiliki hubungan dengan sekte keagamaan Al-Arqam yang dilarang di Malaysia pada tahun 1994 karena ajarannya yang menyimpang. Fatwa atau komisi agama di beberapa negara bagian Malaysia baru-baru ini juga menyatakan bahwa kepercayaan yang disebarkan dan dianut oleh pengikut GISB menyimpang.
Menteri Dalam Negeri Malaysia Saifuddin Nasution mengatakan pada tanggal 15 Oktober bahwa anggota GISB masih mempraktikkan ajaran terlarang yang terkait dengan Al-Arqam, meskipun ada klaim publik yang menyatakan sebaliknya.
Sejak tahun 1991, komisi fatwa Majelis Agama Islam Singapura (MUIS) telah menyatakan beberapa elemen ajaran Al-Arqam berpotensi menyesatkan. Pada tahun 1994, komite tersebut melarang umat Islam di sini untuk mengikuti ajaran Al-Arqam.
Menanggapi pertanyaan CNA tentang ajaran GISB, MUIS menegaskan kembali "pedoman yang jelas" yang telah dikeluarkannya pada tahun 1994.
"Meskipun demikian, mungkin ada pengikut gerakan tertentu yang ngotot bertahan," kata seorang juru bicara.
"KAMI DICUCI OTAK"
Zoey memberi tahu CNA bahwa orang tuanya sudah menjadi anggota GISB sejak dia masih kecil.
Dia bersekolah di Singapura hingga berusia 10 tahun, sebelum pindah ke Indonesia ke sebuah asrama yang dikelola oleh kelompok tersebut.
Sekitar tahun 2003, dia pindah ke negara bagian Selangor Malaysia tempat dia tinggal bersama remaja lainnya di asrama lain yang dikelola oleh GISB.
Tahun berikutnya, setelah gempa bumi dan tsunami Samudra Hindia, ia diberi tahu oleh para pemimpin GISB bahwa pendiri Al-Arqam, Ashaari Muhammad - yang juga dikenal sebagai Abuya, yang dalam bahasa Arab berarti ayah - telah "menyebabkan" bencana tersebut.
"Para pemimpin (GISB) mengklaim bahwa tsunami 2004 terjadi karena Abuya ingin membersihkan tempat itu dari dosa," kata Zoey.
Ia terbuai oleh premis tersebut saat itu.
“Ketika saya pikir-pikir lagi … wow, itu bodoh … kami dicuci otaknya," imbuhnya.
Mantan anggota GISB lainnya dari Malaysia juga telah maju untuk mengungkap ajaran menyimpang kelompok tersebut.
Beberapa orang mengatakan kepada CNA bahwa mereka diajarkan bahwa Abuya yang meninggal pada tahun 2010 masih dapat berkomunikasi dengan para pemimpin kelompok tersebut dari alam gaib. Mereka juga diajarkan bahwa Abuya adalah perantara kepada Tuhan dan akan menyelamatkan mereka pada hari penghakiman.
Seorang mantan anggota yang ayahnya adalah anggota berpangkat tinggi juga menceritakan kepada CNA bagaimana anak-anak dalam kelompok tersebut tidak bersekolah dan tidak menerima pendidikan formal.
Hal yang sama terjadi pada Zoey dan remaja lainnya di asramanya. Mereka menghabiskan waktu pagi hari dengan membaca tentang Abuya dan sore hari bekerja - secara gratis - di toko-toko milik GISB.
“Kami hanya diizinkan untuk membaca bahan bacaan (tentang Abuya) yang (GISB) berikan kepada kami, dan tidak ada yang lain. Bahkan koran pun tidak,” katanya.
Dia mengatakan bahwa dia juga tidak diizinkan untuk berteman di luar komunitas.
Sebab asrama Malaysia tempat ia tinggal bukanlah sekolah terdaftar, ia tidak dapat mengajukan permohonan izin pelajar - jadi ia harus kembali ke Singapura setiap beberapa minggu agar tidak melanggar undang-undang imigrasi.
SUAMI PUNYA HAK "MUTLAK" ATAS ISTRINYA
Pada tahun 2007, dengan dalih “menyelamatkan” dirinya dari pemberontakan dan pengaruh luar, GISB memaksanya untuk menikah dengan seorang pria yang 10 tahun lebih tua darinya, yang juga merupakan putra seorang anggota yang aktif dan berpengaruh, kata Zoey.
“Saya dipaksa menikah karena mulut saya. Karena saya berbicara langsung menentang keinginan mereka," tambahnya.
Saat itu, remaja putri itu menikah tanpa kehadiran atau izin dari orang tuanya. Hukum Islam di Singapura dan Malaysia mengharuskan ayah mempelai wanita – atau jika tidak ada, seseorang yang memiliki wewenang setara dalam keluarga – untuk memberikan persetujuan sebelum upacara pernikahan dapat dilaksanakan.
Ketika dia bertanya apa yang akan terjadi jika dia tidak menikahi pria itu, GISB mengancam akan mengusir ibunya – yang saat itu sangat mengimani aliran sesat itu – dari komunitas tersebut.
Seminggu kemudian di Penang tempat pasangan itu pindah, pria itu mulai menendang dan memukul Zoey. Dia melakukannya bahkan ketika dia sedang mengandung anaknya, katanya.
“Ketika saya hamil sampai melahirkan, kapan pun dia ingin berhubungan seks, kapan pun, saya harus mengatakan ya,” kata Zoey.
Selama bertahun-tahun, para pemimpin GISB telah dikutip mengklaim bahwa kecakapan seksual menjadi hal yang utama dalam pernikahan, melampaui peran stereotip "ibu yang baik atau juru masak yang baik".
Putri sulung Abuya sendiri juga telah berbicara kepada media Malaysia bahwa ia dipaksa menikah dengan seorang pemimpin GISB setelah ayahnya meninggal, dan menjadi korban kekerasan fisik oleh tokoh-tokoh senior dalam kelompok tersebut. Ummu Atiyyah, yang kini berusia 41 tahun, mengatakan awal bulan ini bahwa ia dipukuli, dibakar dengan korek api, dikunci di dalam kamar, ditenggelamkan di kolam renang, dan dipaksa telanjang di antara berbagai kekejaman lainnya.
Tiga tahun setelah menikah, Zoey pergi ke polisi dan berusaha meninggalkan pria itu.
Namun, ia mengatakan ayah mertuanya menyuruhnya untuk mencabut laporannya, dan berjanji bahwa putranya akan berubah.
"Ia juga mengatakan bahwa perceraian akan mempermalukan (GISB)," kata Zoey.
Ia mengatakan bahwa mantan suaminya juga mengatakan kepadanya bahwa sebelum seorang wanita berusia 21 tahun, pasangannya memiliki "hak pengasuhan mutlak" atas dirinya, dan bahwa jika sang suami tidak menginginkan perceraian, tidak ada yang dapat dilakukan sang istri.
Setelah memiliki empat anak dengan pria itu, dia mencoba lagi pada tahun 2014 untuk menceraikannya.
Namun kali ini ibunya sendiri yang mencegahnya melakukannya, kata Zoey yang masih tidak yakin apakah ibunya hanya melaksanakan perintah GISB.
Selama bertahun-tahun, dia mengatakan bahwa dia terus berbicara tentang pelecehan yang dialaminya, bahkan menunjukkan foto luka-lukanya kepada ibunya serta pimpinan senior GISB, termasuk istri Abuya. Namun, tangisannya diabaikan.
"(Pimpinan GISB) terus mengatakan kepada saya, suamimu adalah jalanmu ke surga," katanya.
Zoey mengatakan dia juga mencoba minum pil kontrasepsi tetapi dicegah oleh anggota lain yang mengatakan hal itu bertentangan dengan agama mereka. Dia terus memiliki lima anak lagi selama tujuh tahun berikutnya.
Zoey memberi tahu CNA bahwa GISB juga ada di Singapura. Ia mengatakan para anggota mengelola sebuah kafe di distrik Kembangan di wilayah timur, tempat ia melakukan pekerjaan tanpa upah seperti menerima pesanan dan membersihkan meja. Restoran itu kini telah tutup.
Mantan anggota di Malaysia juga memberi tahu CNA dan beberapa kantor media tentang bagaimana mereka bekerja di berbagai perusahaan GISB tanpa upah.
Ketika orang tua Zoey mendaftarkannya di sekolah swasta di Singapura, para anggota GISB secara aktif mengucilkannya dan tidak mendukungnya, meskipun keluarga itu akhirnya tetap pada keputusan itu.
Hal-hal ini membuatnya semakin kecewa, hingga ia membuka mulutnya menentang beberapa dari mereka.
Dia mengatakan bahwa suatu kali, karena terlalu blak-blakan, dia dimasukkan ke dalam “isolasi” dan tidak diizinkan meninggalkan kamar di wisma tamu.
“Saya melihat begitu banyak hal yang saya ragukan atau tidak setujui,” katanya. “Pada usia 17 tahun, saya menyuarakan keinginan saya untuk keluar.”
TITIK BALIK
Kekerasan pria itu akhirnya meluas ke anak-anaknya juga, khususnya putri kedua mereka yang menderita autisme, kata Zoey. Dia menambahkan bahwa kadang-kadang, pria itu akan menghunus pisau dan mengancam akan membunuhnya dan anak-anak mereka.
“Satu-satunya hal yang (GISB) dan ibu saya katakan kepada saya adalah bersabar,” kata Zoey.
Namun, keempat putrinya yang lebih tua mengatakan kepadanya bahwa mereka ingin keluar.
Zoey bercerita: "Mereka berkata kepada saya: 'Jika bukan ibu yang dipukuli, kami yang kena. Kalau bukan kami, adik-adik kami.'"
Di antara kejahatan yang diselidiki GISB adalah tuduhan pelecehan fisik dan seksual terhadap anak-anak yang berada di bawah asuhan kelompok tersebut.
Keselamatan anak-anak Zoey-lah yang terbukti menjadi titik kritis dan pada akhir tahun 2021, ia akhirnya mengumpulkan tekad untuk pergi dan dengan bantuan kerabat, membuat laporan polisi.
Ibunya, yang dulunya penganut ketat ajaran GISB, akhirnya mengalah dan dibujuk oleh anggota keluarga lainnya untuk membantu putrinya keluar dari kelompok tersebut. Ia menghubungi seorang pensiunan pengusaha Mona Din, yang dikenal membantu anggota masyarakat rentan Malaysia.
Mona mengatakan kepada CNA melalui telepon bahwa ia merespons dengan mengaktifkan kenalannya di masyarakat serta pihak berwenang Penang.
Zoey dan anak-anaknya kemudian dipindahkan ke rumah aman bagi perempuan dan anak-anak yang dilecehkan yang dikelola oleh sebuah lembaga swadaya masyarakat. Sebut Mona, mantan anggota GISB dan korban lainnya juga meminta bantuan setelah mendengar cerita Zoey.
Pada 18 Oktober, Mona bersama dengan beberapa mantan anggota GISB serta pengacara dan aktivis, mengadakan konferensi pers di Kuala Lumpur. Mereka memulai upaya hukum untuk mendapatkan ganti rugi atas dugaan kejahatan GISB, termasuk pelanggaran kemanusiaan dan ketenagakerjaan seperti yang diakui Zoey telah dialaminya.
Warga negara Singapura itu mengajukan gugatan cerai pada tahun 2021, sesaat sebelum berangkat ke Singapura dengan bantuan dari Kementerian Luar Negeri Singapura.
Dia sekarang tinggal di Singapura bersama sembilan anaknya dan menjalankan bisnis rumahan.
CNA telah menghubungi GISB melalui berbagai cara, tetapi tidak mendapat tanggapan.
TUDUHAN PEKERJAAN TAK BERUPAH
Mantan anggota GISB lainnya yang sekarang berusia empat puluhan dan ingin tetap anonim mengatakan kepada CNA - seperti yang diklaim Zoey - bahwa GISB aktif di Singapura.
Dia mengatakan para anggota menampung remaja di sebuah wisma tamu di daerah Bedok, dengan dua anak tertuanya di antara sekelompok lebih dari 10 gadis yang tinggal di sana pada awal tahun 2010-an. Rumah tersebut kini telah ditempati oleh penyewa lain.
Ia mengatakan bahwa gadis-gadis di sana saat itu berusia 13 tahun dan mereka juga tidak menerima pendidikan formal apa pun.
Baru setelah meninggalkan GISB pada tahun 2016, dia memiliki "keberanian" untuk menyekolahkan anak-anaknya di sekolah negeri di Singapura.
Ia mengatakan bahwa saat berada di wisma tamu, gadis-gadis tersebut dipaksa melakukan pekerjaan tanpa upah. Pekerjaan mereka berlangsung di sebuah kafe bernama Mat'am Ikhwan di daerah Kampong Glam yang tutup pada tahun 2016, katanya.
Seorang wanita lain yang pernah berurusan dengan GISB menceritakan kisah serupa kepada CNA.
Pada tahun 2012, Zainab Ash Shughra, 39 tahun, tinggal di wisma tamu yang sama dengan kedua anaknya selama sekitar tiga bulan, sambil menunggu untuk pindah ke rumah permanen.
Ia mengatakan kepada CNA bahwa ia tidak pernah menjadi anggota GISB, tetapi diperkenalkan ke tempat itu oleh seorang kenalan.
Di wisma tamu, Zainab melihat gadis-gadis remaja bergantian mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak-anak yang lebih kecil. Ia mengatakan para remaja itu memberitahunya tentang pekerjaan mereka di sebuah kafe di Kampong Glam yang tak berupah.
"Ini jelas bertentangan dengan agama kami yang mengajarkan kami untuk membayar pekerja dengan segera," katanya.
Selama tinggal di wisma tamu, ia juga tidak melihat seorang pun gadis mengikuti kelas apa pun.
"Saya merasa kasihan pada mereka. Pendidikan adalah hak dasar mereka," tambahnya.
Ketika ditanya tentang keterlibatan warga Singapura dalam GISB, MUIS mengatakan pendekatan utamanya "melibatkan upaya berkelanjutan untuk mendidik masyarakat tentang karakteristik ajaran yang menyimpang".
Majelis tersebut juga menegaskan kembali pentingnya mengikuti hanya panduan yang kredibel dari otoritas agama setempat yang diakui.
"Hubungi MUIS atau asatizah (pendakwah) kami jika mereka memiliki pertanyaan tentang ajaran atau gerakan agama apa pun," kata juru bicara tersebut.
📢 Kuis CNA Memahami Asia, eksklusif di saluran WhatsApp CNA Indonesia, sudah dimulai. Ayo uji wawasanmu dan raih hadiah menariknya!
Jangan lupa, terus pantau saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk mendapatkan tautan kuisnya 👀
🔗 Cek info selengkapnya di sini: https://cna.asia/4dHRT3V