Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.

Iklan

Asia

Buatan China, untuk China: Apakah sikap cinta tanah air bisa mengatasi ekonomi Tiongkok yang melemah?

Tahun ini, China menetapkan target pertumbuhan ekonominya sebesar 5 persen, namun ini dianggap terlalu ambisius. CNA mengulas faktor-faktor di balik tantangan ekonomi yang dihadapi China dan solusi yang mereka lakukan.

Buatan China, untuk China: Apakah sikap cinta tanah air bisa mengatasi ekonomi Tiongkok yang melemah?

Pemerintah China ingin mendorong rakyatnya untuk terus berbelanja demi pertumbuhan ekonomi.

BEIJING: Tinggal di Beijing, di mana "material pemicu alergi beterbangan di mana-mana", wanita 26 tahun bernama Yao Yao ini sangat telaten perihal memilih kosmetik untuk melindungi kulitnya.

Ia menghabiskan sekitar 500 yuan (Rp1,1 juta) per bulan untuk membeli make-up, dan kini koleksinya sudah banyak. Namun kini, ia sudah tidak lagi berburu brand-brand impor.
 
"Mungkin dulunya, orang-orang pakai brand-brand besar ... demi gengsi. Tetapi yang ada di benak anak muda sekarang, kalau kita pakai produk dalam negeri, kita bakal lebih dilirik,'" kata dia.

Pernyataannya mencerminkan sebuah tren yang sedang berkembang di kalangan anak muda China: Produk impor sudah ketinggalan zaman, sekarang trennya adalah buatan dalam negeri. Mereka menyebutnya "guo chao", yang berarti "gelombang nasional".

Namun bukan hanya sekadar gelombang semangat dan cinta tanah air yang mengobarkan hati konsumen China untuk memilih produk dalam negeri. Menurut laporan McKinsey tahun lalu, mereka lebih memprioritaskan brand-brand dalam negeri karena harganya terjangkau dan bermutu.

Lei Dongsheng, 24, penggila game mobile, sudah beralih dari Apple ke Xiaomi sejak 2012. Menurut dia, brand ponsel pintar asal China ini memiliki "rasio harga terhadap kinerja yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan brand lainnya, dan pengalaman usai menggunakannya juga bagus".

Dan bagi pecinta make-up seperti Yao, lipstik dan lip gloss China lebih mudah digunakan dan praktis ketimbang brand internasional.

Meski begitu, konsumsi domestik masih terbilang lemah dalam perekonomian China.

Walaupun produk domestik bruto China tumbuh sehat di 5,2 persen pada tahun lalu, berkat "gelombang belanja balas dendam", namun kemudian melambat di pertengahan kedua tahun itu, ujar Heron Lim, seorang ekonom dari Moody's Analytics.

Belanja balas dendam membantu menaikkan industri layanan dan ritel China pada pertengahan pertama tahun lalu.

China ingin warganya melakukan pengeluaran yang lebih banyak dan membeli dari usaha-usaha lokal karena pertumbuhan ekonomi negara tersendat akibat ketegangan geopolitik.

Tahun ini, target pertumbuhan PDB telah ditetapkan sekitar 5 persen. Target ini hampir menyamai tingkat pertumbuhan yang dicapai pada tahun lalu namun kali ini lebih tinggi daripada perkiraaan Dana Moneter Internasional (IMF), yakni sebesar 4,6 persen.

Banyak yang berpendapat bahwa target ini begitu ambisius.

Program acara Insight CNA ingin mengamati mengapa China mengalami hambatan ekonomi dan apakah meningkatnya nasionalisme serta 'kekuatan produksi baru,' sebagaimana Beijing menyebutnya, cukup untuk mengangkat perekonomian China keluar dari keterpurukan.

PENGELUARAN YANG BERHATI-HATI DAPAT MENAMBAH MASALAH

Sebelumnya, selama empat dekade terakhir, pertumbuhan ekonomi China didorong oleh insentif pasar, tenaga kerja yang murah, ekspor, investasi asing langsung, dan pembangunan infrastruktur. Namun masa itu sudah berlalu, terutama yang berkaitan dengan infrastruktur.

Menurut Lim, berkurangnya kegiatan pembangunan dan penjualan properti telah mengurangi permintaan di pasar properti sehingga memengaruhi sekitar 30 persen perekonomian China.

Keadaan semakin parah ketika sektor real estat menjadi sumber pendapatan utama pemerintah daerah, yang kontrak sewanya bervariasi hingga 70 tahun dan menghasilkan pendapatan yang signifikan bagi pemerintah.

Akibatnya, hilangnya pendapatan menghambat kemampuan pemerintah kota dalam merangsang pertumbuhan ekonomi daerahnya. Dengan beban utang yang tinggi saat ini, pemerintah daerah China juga tidak mampu meningkatkan tingkat utangnya dalam menanggapi guncangan ekonomi baru, yang dapat membatasi kemampuan mereka ke depannya dalam merespons tantangan dengan efektif.
 
Selain itu, Amerika Serikat (AS) telah mengetatkan larangan terhadap China, termasuk batasan akses dalam memperoleh teknologi baru, sejak perang dagang dengan pemerintahan Trump, kata ekonom senior Natixis, Gary Ng.

Di dalam negara China sendiri, orang-orang juga membatasi pengeluaran mereka dengan sangat ketat.

Pekerja serabutan seperti Li Yu Chen, misalnya. Ia lebih memilih berbelanja bahan makanan mingguannya ke warung tetangga terdekat ketimbang ke supermarket. Pria berusia 29 tahun itu juga menahan diri untuk tidak membeli sepatu dan baju baru sebab pendapatannya belum stabil.

Pengeluaran yang hati-hati juga tidak luput dilakukan oleh mereka yang bekerja penuh waktu. Di tahun 2022, simpanan beli rumah yang baru mencapai rekor sebesar 17,9 triliun yuan, meningkat sekitar 8 triliun yuan dari tahun 2021. Tahun lalu, keluarga-keluarga di China menyimpan tambahan sebesar 16,67 triliun yuan.

Lim mencatat bahwa meskipun harga umumnya stabil dan ada beberapa kasus deflasi di China, banyak konsumen merasa lebih bijak untuk menabung di saat ini dan memanfaatkan penurunan harga di masa depan.

Heron Lim, asisten direktur dan ekonom Moody's Analytics, berbicara kepada Insight.

"Ekonomi yang kian tidak jelas semakin meningkatkan keinginan para konsumen China untuk menabung," tambahnya. "Mereka semakin enggan membuka dompet untuk membeli produk dan layanan baru."

Untuk mendorong pengeluaran, rencana pemerintah kali ini meliputi program tukar-tambah — yang rinciannya telah diumumkan pada April lalu — bersama dengan diskon dan subsidi untuk keluarga-keluarga yang ingin memperbarui peralatan dan mobil lamanya.

"Namun cukup sulit membuat orang-orang melakukan pengeluaran bila sentimennya lemah," kata Ng.

MENUNGGANGI 'GELOMBANG NASIONAL'

Kabar baiknya, pendapatan per kapita yang siap dibelanjakan meningkat 6,2 persen tahun lalu, sehingga daya beli yang besar ini dapat mendorong "perputaran konsumsi yang positif dan layak yang dapat menjaga perekonomian tetap berjalan", kata analis asal Beijing, Einar Tangen.

Einar Tangen adalah seorang peneliti senior di lembaga Taihe Institute.

Kemudian ada tren "guo chao", yang tampaknya tidak hanya sesaat, melainkan akan terus berlanjut hingga ke depannya. Gerakan yang dipimpin oleh kaum muda ini sudah mendominasi kancah busana China. Delapan dari 10 orang yang berbelanja busana datang dari kelompok Gen Z dan milenial.

Menurut Daxue Consulting, 75 persen konsumen yang disurvei mengatakan bahwa mereka suka produk yang menampilkan unsur "guo chao", sedangkan 32 persen dilaporkan memeriksa negara produsennya dulu saat berbelanja daring.

Yao memandangnya seperti ini: "Lebih baik memilih dan mempromosikan brand kita, untuk memajukan budaya China kita."

Semangat nasionalisme ini dapat menjadi kartu as dalam mendorong laju perekonomian daerah, industri dan brand-brand di China, terutama dalam bersaing dengan rekan asing, kata Chen Gang, wakil direktur East Asian Institute di National University of Singapore.

Dr Chen Gang peneliti senior di East Asian Institute.

Rasa cinta tanah air mereka begitu mendalam sehingga brand luar berpotensi mendapatkan kritik yang keras jika mereka menyinggung perasaan warga China.

Misalnya, di tahun 2018, Dolce and Gabbana menghadapi tuduhan rasisme ketika kampanye iklan media sosialnya menyelipkan stereotip budaya China. Respons negatif yang diterima berujung pada terhapusnya barang-barang mereka dari platform daring dan tuntutan pengembalian uang dari pelanggan mereka.

Dampak serupa terjadi ketika brand-brand seperti Burberry dan H&M mengumumkan bahwa mereka tidak lagi mengambil kapas dari Xinjiang. Karena keputusan ini, brand-brand ini diboikot.

Oleh karena itu, mengandalkan kebanggaan lokal saja tidak cukup untuk menjual produk — kualitas juga harus terjamin.

Pada bulan Maret, laporan Wall Street Journal mengungkap isi Document 79 yang merupakan arahan negara untuk entitas China agar dapat mengganti teknologi asing dengan teknologi buatan dalam negeri dan mengutamakan pengembangan yang didorong oleh inovasi pada tahun 2027.

Inisiatif yang dulunya rahasia ini berjalan dengan baik. Huawei baru-baru ini menarik banyak perhatian kala mereka memperkenalkan ponsel barunya yang dilengkapi dengan chip 7 nanometer yang diproduksi di dalam negeri. Hal ini meruntuhkan keraguan akan kemampuan China dalam memproduksi perangkat keras yang canggih. 

Huawei menjadi merek ponsel pintar teratas di Tiongkok pada kuartal pertama tahun ini, menurut data perusahaan analis IDC dan Canalys.

Beijing juga telah berkomitmen untuk berkontribusi sebesar 344 miliar yuan guna meningkatkan laju perkembangan industri semikonduktor China, mendukung upaya negara untuk memajukan kemandirian teknologi.

Dan karena pabrik-pabrik China tengah meningkatkan rantai nilainya, semangat nasionalisme bukan satu-satunya alasan mengapa konsumen mempercayai brand dalam negeri, kata Chen.

Menurut Euromonitor, selama puluhan tahun terakhir, brand-brand dalam negeri China telah memperluas pangsa pasar mereka hingga ke berbagai sektor, mulai dari ponsel, susu formula, hingga restoran cepat saji.

HARAPAN AKAN TEKNOLOGI TINGGI

Meski demikian, apa dampak nasionalisme ekonomi terhadap perusahaan-perusahaan asing? Pada akhirnya, dengan berinvestasi di industri dalam negeri, China berisiko mengasingkan perusahaan-perusahaan luar negeri yang telah kehilangan pangsa pasar dari kompetitor-kompetitor lokal.

Supaya perusahaan-perusahaan multinasional tidak khawatir, Beijing menegaskan kembali bahwa pihaknya tidak berupaya melawan arus globalisasi.

China justru ingin mengubah posisinya yang semula sebagai pabrik dunia menjadi industri teknologi tinggi bernilai tinggi, yang mampu mengekspor produk-produk teknologi hijau, kecerdasan buatan, komputasi kuantum, dan bioteknologi.

Guna mendukung "kekuatan produksi baru" ini, pemerintah pusat meningkatkan anggaran sains dan teknologinya pada tahun ini sebesar 10 persen. Ini merupakan sebuah peningkatan besar dibandingkan dengan tahun lalu, yang hanya sebesar 2 persen.

Salah satu kesuksesan China yang paling menonjol adalah brand mobil China BYD. Didukung oleh taipan investasi Warren Buffett, perusahaan ini menggunakan keahliannya dalam membuat baterai telepon untuk memproduksi kendaraan listrik (EV) pada tahun 2003. Kini, perusahaan tersebut sukses mendorong China masuk ke dalam pasar EV global.

Salah satu mobil listrik BYD. BYD adalah singkatan dari Build Your Dreams.

Di Indonesia, negara yang menyambut EV China dengan antusias, David Budiatmadja baru-baru ini membeli EV Wuling untuk mempermudahnya menjemput istri dan anak-anaknya.

"Saya sudah pakai mobilnya (saya) kira-kira selama dua bulan, dan sangat irit," ujarnya. "Biaya operasional (bulanan saya) ... sekitar 500,000 rupiah." 

Berkat konsumen-konsumen muda yang memiliki keluarga sepertinya, Indonesia diprediksi akan menjadi pasar kendaraan listrik terbesar di kawasan ini pada tahun 2035, sehingga memberikan peluang emas bagi China.

Namun tidak semua negara dapat menerima tingkat ekspor China yang terus meningkat. Pada bulan April, Menteri Keuangan AS Janet Yellen mengunjungi Beijing dan menyuarakan keprihatinannya terhadap masalah kelebihan kapasitas industri kendaraan listrik, panel surya, dan baterai China.

"Kelebihan kapasitas" di sini mengacu pada perlakuan istimewa pemerintah China terhadap produsen dalam negeri, misalnya dengan menetapkan biaya pinjaman yang menguntungkan, sehingga mendorong mereka untuk melakukan produksi dalam skala yang dapat membanjiri pasar internasional.

Presiden China Xi Jinping pada bulan Mei lalu menolak untuk melihatnya sebagai "masalah kelebihan kapasitas China" dengan mengatakan bahwa hal itu tidak ada.

Meski demikian, Ng mengatakan kepada Insight bahwa kelebihan kapasitas bisa menjadi sumber perselisihan jika China terus bergantung secara berlebihan pada ekspor untuk pertumbuhan perekonomiannya.

Sementara itu, masih belum pasti sejauh mana konsumsi domestik dan investasi produksi dan inovasi teknologi dapat menghidupkan kembali perekonomian China. Bagaimanapun, pertumbuhan 5,3 persen yang tidak terduga itu menawarkan secercah harapan.

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini. 

Source: CNA/da

Juga layak dibaca

Iklan

Iklan