'Berwisata ala pasukan khusus': Selera baru turis muda-mudi China memaksa Hong Kong ubah strategi pariwisata
Perubahan ragam dan minat turis asal China daratan menjadi tantangan tersendiri bagi tempat usaha di Hong Kong untuk menarik wisatawan.
HONG KONG: Di pinggiran sebuah lapangan basket di Kennedy Town, Hong Kong, sekumpulan orang merangsek pagar kawat dengan ponsel pintar dan kamera di tangan, berusaha mengambil gambar terbaik.
Tujuan mereka adalah memotret pemandangan laut Teluk Belcher, dengan latar depan gedung-gedung. Mereka adalah para wisatawan berbahasa Mandarin, berusia antara 20 dan 30 tahunan. Berfoto dan "check in" di tempat ikonik tersebut adalah bagian wajib dari rencana perjalanan mereka.
Tang Xueping, salah seorang di antara mereka, adalah guru olahraga berusia 28 tahun dari Shanghai. Dia sedang berlibur selama tujuh hari. Selain Hong Kong, dia juga berencana menginap semalam di Macau.
"Kami 'da ka' (mengambil foto di tempat-tempat terkenal) hampir setiap hari," ujarnya, seraya menambahkan bahwa mereka berbelanja hanya untuk kebutuhan penting saja.
Cara berwisata "tezhong bingshi luyou" atau "berwisata ala pasukan khusus" ini sedang ngetren dan berhasil menumbuhkan kembali sektor pariwisata di Hong Kong. Dengan cara ini, mereka berpindah dengan cepat dari satu lokasi ke lokasi lain, namun hanya sedikit berbelanja.
Strategi wisata semacam ini populer di kalangan turis asal China daratan. Demografi turis dari China juga semakin muda dan memiliki perspektif yang berbeda tentang berwisata, membuat mereka pilih-pilih dalam menghabiskan uang.
Menghadapi jumlah dan profil baru wisatawan asal China, para pebisnis lokal mengubah strategi mereka. Agen wisata mulai menawarkan paket tur yang lebih mendalam, sementara toko-toko memajang barang-barang murah.
Pemerintah juga turun tangan dengan menjadikan pariwisata sebagai pendorong utama ekspor jasa. Dana sebesar HK$1.5 billion (Rp3,15 triliun) dialokasikan oleh pemerintah Hong Kong untuk menarik "turis berkualitas".
Namun menurut pengamat, Hong Kong masih punya pekerjaan rumah besar untuk bisa menarik uang para turis dari China daratan. Beberapa di antaranya adalah menghadapi persaingan dari destinasi bebas-visa di kawasan, seperti Malaysia dan Singapura, serta tingginya nilai tukar dolar Hong Kong dan mahalnya biaya hidup.
"Jika hal-hal seperti makanan itu mahal, maka sebuah tempat akan jadi kurang menarik. Wisatawan akan mencari tempat lain yang lebih murah. Mereka akan menilai dari seberapa banyak uang yang dihabiskan di tempat tersebut," kata Simon Lee, dosen di Shenzhen Finance Institute, Chinese University of Hong Kong-Shenzhen (CUHK-Shenzhen).
BERWISATA TANPA PEMANDU
Pengamat membandingkan kondisi saat ini di Hong Kong dengan masa sebelum pandemi. Dulu, bus-bus wisata banyak terlihat dan wisatawan ramai-ramai berbelanja barang mewah. Kini, wisatawannya kebanyakan anak-anak muda yang menginginkan perjalanan wisata yang fleksibel dan penuh penjelajahan.
"Saya kira anak-anak muda sekarang tidak suka mengikuti tur yang terencana, karena mereka harus berkumpul di waktu tertentu, dan itu tidak fleksibel. Zaman sekarang, informasi tempat wisata dapat dengan mudah didapatkan di internet, anak-anak muda tinggal membacanya dan memilih tempat mana yang paling menarik untuk dikunjungi," kata Tang, turis asal Shanghai.
Turis dari China daratan adalah penggerak utama bagi sektor pariwisata Hong Kong. Jumlah mereka mencakup hampir 80 persen dari total turis per tahunnya sejak Skema Kunjungan Individu diluncurkan pada 2003. Dengan skema ini, mereka bebas berkunjung ke Hong Kong seorang diri tanpa perlu adanya pemandu atau pendamping.
Seperti banyak tempat lainnya, pandemi COVID-19 berdampak besar pada jumlah kedatangan, dan pemulihannya berjalan lambat. Tahun lalu, Hong Kong kedatangan 34 juta turis - hanya 52 persen dari total pengunjung tahun 2018.
Badan Pariwisata Hong Kong (HKTB) memperkirakan mereka akan kedatangan 46 juta pengunjung tahun ini, meningkat 35 persen dari tahun lalu. Tetapi tetap saja, jumlahnya hanya 70 persen jika dibanding tingkat kunjungan 2018.
Sejak perbatasan China daratan dan Hong Kong dibuka pasca pandemi pada Februari 2023, jenis turis yang datang pun berbeda.
Sebagian besar dari mereka berusia lebih muda. Generasi "pasca tahun 2000" - yang lahir setelah tahun 2000 - merupakan kelompok turis yang jumlahnya terus bertambah.
Data dari platform perjalanan Tiongkok, Qunar, turis berusia 23 tahun ke bawah yang terbang dari China daratan ke Hong Kong berjumlah 35 persen. Angka ini naik dibanding 28 persen pada 2019.
Mahasiswa doktoral bidang Sastra Universitas Soochow, Gu Yufan, menghabiskan tiga hari di Hong Kong untuk liburan musim panas bersama ibu dan teman-temannya. Mereka mengunjungi tempat-tempat populer seperti Pelabuhan Victoria dan menjelajahi kota.
"Saya merencanakan perjalanan menggunakan media sosial seperti Xiaohongshu dan juga mendapat rekomendasi dari teman-teman yang kuliah di Hong Kong," kata perempuan berusia 24 tahun ini kepada CNA. "Beginilah cara saya merencanakan perjalanan. Lebih santai, dan saya bisa beristirahat kapan pun merasa lelah."
Data resmi menunjukkan bahwa anak-anak muda lebih tertarik berwisata dengan bebas dan mudah seperti ini, ketimbang jadi peserta paket tur terorganisir yang biasanya diikuti generasi yang lebih tua.
Menurut HKTB, enam dari 10 turis asal China daratan yang disurvei di ruang terbuka Hong Kong berusia antara 16 hingga 25 tahun. Dari jumlah tersebut, 53 persen di antaranya mengaku ingin merasakan langsung gaya hidup dan budaya setempat.
TURIS YANG IRIT BERBELANJA
Turis dari China daratan ke Hong Kong dikenal irit dalam berbelanja.
Menurut laporan HKTB, 53 persen turis China daratan adalah wisatawan harian. Mereka hanya menghabiskan sekitar HK$1.400 (Rp2,7 juta) per orang, 42 persen lebih rendah dari HK$2.400 (Rp4,7 juta) yang dihabiskan pada 2018.
Turis dari negara lain yang menetap rata-rata 3,5 hari di Hong Kong juga merogoh kocek lebih sedikit dibanding 2018.
Perubahan perilaku konsumsi mereka terlihat gamblang. Pengeluaran belanja mereka turun menjadi 49 persen, 12 persen lebih rendah dibandingkan tahun 2018. Sementara pengeluaran untuk hotel dan restoran masing-masing meningkat menjadi 22 persen dan 20 persen, naik dari 15 persen dan 13 persen pada 2018.
Toko-toko ritel lokal juga merasakan dampaknya.
Hal ini terlihat di sepanjang Canton Road di Tsim Sha Tsui. Ketika CNA mengunjungi daerah tersebut pada hari Minggu malam di akhir Juli, daerah yang dipenuhi toko barang-barang mewah itu terlihat sangat sepi. Padahal biasanya tempat itu terkenal ramai dengan para pembeli dan turis.
Seorang karyawan toko pakaian di jalan tersebut melaporkan penurunan penjualan hingga 30 persen. Sementara sebuah toko kosmetik mengalami penurunan penjualan hingga separuhnya.
Merek-merek besar juga terkena dampaknya. Sasa, grup ritel kosmetik terbesar di Hong Kong mengatakan pengeluaran rata-rata turis China Daratan kini 7 persen lebih rendah dibanding masa sebelum pandemi.
Canton Road yang pernah menjadi lokasi ritel termahal kedua di dunia telah turun peringkatnya, dengan harga sewa tempat turun 39 persen dari sebelum COVID-19 menjadi rata-rata US$ 1.493 per kaki persegi pada 2022, menurut survei oleh Cushman & Wakefield.
Para ahli mencatat bahwa penurunan jumlah wisatawan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Selain perubahan perilaku konsumen, perlambatan ekonomi Tiongkok dan tingginya nilai mata uang Hong Kong terhadap dolar AS juga turut berkontribusi.
Lisa C Wan, lektor kepala School of Hotel and Tourism Management dan Departemen Pemasaran di CUHK menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang lebih lambat, angka pengangguran yang tinggi di kalangan anak muda, dan mahalnya properti telah berdampak pada perilaku belanja turis.
"Harga perumahan yang anjlok telah membuat orang ragu-ragu untuk berbelanja, memengaruhi pola pariwisata."
Lee menyebutkan bahwa melonjaknya biaya hidup di Hong Kong membuat daya tarik kota tersebut menurun.
Kedua pengamat juga menyebut penurunan wisatawan terjadi akibat persaingan ketat dengan destinasi bebas visa di Asia Tenggara, seperti Malaysia, Thailand dan Singapura.
"Pengunjung dari China daratan harus mengajukan permohonan untuk bisa masuk ke Hong Kong, (tetapi) dengan adanya kebijakan bebas visa, lebih mudah bagi mereka bepergian ke negeri lain," ujar Lee.
BERUSAHA TETAP BERTAHAN
Suasana tampak sepi pada minggu malam di Ladies Market Mong Kok, sebuah pasar terbuka sepanjang 1 km yang menjual aksesori dan pakaian. Sebagian besar pemilik toko terlihat asyik melihat layar ponsel mereka, kios-kios terlihat sepi.
Seorang pemilik kios pakaian berusia 56 tahun mengatakan kepada CNA bahwa penjualannya sekarang 70 persen lebih rendah dibanding dua dekade lalu. Dalam 10 tahun terakhir, penurunan terjadi secara terus menerus.
"Dulu sangat mudah untuk berjualan," kata pemilik yang hanya ingin disebut sebagai Miu itu.
Pemilik kios lainnya, Chan, telah berjualan aksesoris di sana selama 10 tahun terakhir. Wanita 40 tahun ini mengeluh bahwa ia sekarang hanya bisa menjual "sedikit sekali" dibanding sebelum pandemi.
Sementara itu, beberapa tempat usaha terpaksa beradaptasi dengan selera baru para pelancong.
Prince Traveller, yang awalnya adalah lembaga pertukaran budaya yang fokus menghadirkan pendidikan sejarah dan budaya untuk sekolah menengah setempat, kini menawarkan tur bagi wisatawan dalam dan luar negeri.
Andy Lam, direktur lembaga ini, menekankan perlunya memanfaatkan keunggulan Hong Kong untuk tetap bersaing dengan kota-kota lainnya di China, seperti Shenzhen.
"Bagaimana kita bisa bersaing dengan mereka? Menjadi lebih maju? Lihatlah apa yang telah terjadi di Shenzhen - mereka bahkan berhenti menggunakan uang tunai. Bagaimana agar bisa lebih menarik? Ada banyak hal yang bisa dilakukan di sana, yang tidak kita miliki di sini," katanya.
"Hong Kong hanya bisa menang jika bersaing dalam hal nostalgia, sejarah, dan budaya."
Pariwisata sangat penting bagi penciptaan lapangan kerja di Hong Kong, tetapi para ahli mencatat bahwa aksi protes dan pandemi telah mengganggu sektor ini dan menghambat pemulihannya.
Menurut HKTB, sektor pariwisata menyumbang 4,5 persen dari PDB Hong Kong pada 2018, tetapi anjlok menjadi 0,1 persen pada 2021. Sementara itu, lapangan kerja di sektor ini menyusut sebesar 91 persen dari 257.000 menjadi hanya 22.500.
Wan menyoroti bahwa pada akhir 2022, 32 persen dari 78.000 staf bandara dari tahun 2019 telah meninggalkan industri ini, berdasarkan data Otoritas Bandara Hong Kong.
"Hong Kong sangat lambat dalam membuka diri kembali, dan mata uang kami yang tinggi telah menimbulkan keluhan tentang harga, sementara tenaga kerja masih belum pulih," katanya.
CARA BERJUALAN BARU
Di bidang ritel, Sasa menyesuaikan diri dengan tren belanja baru. Mereka kini memajang barang-barang dengan harga lebih murah di etalase dan menampilkan merek-merek khusus untuk menarik minat pembeli.
"Konsumen China daratan semakin terbuka untuk mencoba merek-merek khusus yang kurang dikenal. Hal ini memungkinkan konsultan kecantikan Sasa lebih mudah memperkenalkan merek eksklusif mereka dengan margin kotor yang lebih tinggi," menurut juru bicara Sasa.
Penyedia tur sejarah dan budaya, Prince Traveller, juga menjajaki peluang baru.
"Kami berpikir untuk menyelenggarakan paket menginap semalam di sampan ikan terapung," ujar Andy Lam.
Meskipun perusahaannya telah mencatat peningkatan bisnis sebesar 50 persen sejak pembatasan COVID dilonggarkan, namun ia menyoroti perlunya perubahan strategi.
"Kami harus mengubah model bisnis untuk bisa bertahan," kata Andy Lam, seraya menambahkan bahwa fokus wisata Hong Kong di masa lalu yang mempromosikan barang-barang mewah sudah tidak lagi menjual.
Industri tur wisata lokal juga menghadapi tantangan yang cukup besar. Menurut Dewan Industri Perjalanan Hong Kong, dari 1.660 agen perjalanan, lebih dari 300 di antaranya ditutup pada 2022 saat COVID-19 merajalela.
STRATEGI HONG KONG MENARIK WISATAWAN
Pemerintah dan pemilik usaha di Hong Kong telah melancarkan berbagai strategi untuk menarik wisatawan.
Pada Mei lalu, otoritas pariwisata Hong Kong mengumumkan bahwa pertunjukan kembang api dan drone akan diadakan secara rutin untuk menghiasi festival dan acara-acara besar. Pertunjukan pertama telah diadakan pada awal bulan itu, bertepatan dengan periode liburan Golden Week Hari Buruh di China.
HKTB juga telah menjalin kerja sama yang lebih erat dengan Xiaohongshu untuk menarik wisatawan Tiongkok daratan, dengan berbagai inisiatif bersama yang akan diluncurkan tahun depan.
Banyak digunakan oleh kaum muda Tiongkok daratan, media sosial Xiaohongshu telah memacu bisnis di beberapa tempat makan dan toko di Hong Kong setelah ditampilkan dalam postingan pengguna.
Hong Kong juga menyambut baik skema perjalanan solo yang yang diperluas pemerintah China. Mulai 27 Mei lalu, warga dari delapan kota di China daratan bisa mengajukan Skema Kunjungan Individu untuk mengunjungi Hong Kong.
Pemerintah Hong Kong juga telah mengalokasikan dana hingga HK$100 juta untuk periode 2023-2024 dan 2024-2025 untuk mendanai acara-cara penting.
Pejabat Hong Kong mengatakan, acara besar tahun ini akan ditambah dari 150 menjadi lebih dari 210, yang diperkirakan akan dihadiri 1,7 juta wisatawan. Salah satu acara besar adalah Hong Kong Book Fair ke-34 pada 17 Juli lalu yang menarik 990.000 pengunjung.
Departemen Pelayanan Informasi Hong Kong juga telah mengalokasikan dana HK$179,2 juta untuk meningkatkan citra kota tersebut. Hal ini dilakukan menyusul banyaknya keluhan wisatawan di media sosial Xiaohongshu atas buruknya pelayanan di restoran hingga sopir taksi.
Lee dari CUHK mengatakan cara lainnya yang bisa dilakukan adalah mengatasi tingginya harga akomodasi akibat beban pajak dari pemerintah.
Lee mengusulkan adanya potongan harga jangka pendek atau pembebasan pajak untuk mendorong masa tinggal yang lebih lama.
"Jika seorang turis menghabiskan HK$5.000 dan menerima potongan harga HK$1.000, itu akan membuat Hong Kong lebih kompetitif," katanya.
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini.