Bertelepon rutin dan posting foto: Cara PM Lee amankan kepentingan nasional Singapura di kancah global
Sembari memantapkan posisinya di antara para pemimpin top dunia, Lee Hsien Loong rajin mengunggah foto-foto kunjungannya ke luar negeri di medsos. Hal ini membuat warga Singapura tahu apa yang dilakukan pemimpinnya di luar negeri.

Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong menyampaikan pidato dalam Dialog IISS Shangri-la di Singapura, 31 Mei 2019. REUTERS/Feline Lim
SINGAPURA: Mantan diplomat Singapura Ashok Kumar Mirpuri memulai tugas penempatannya di Amerika Serikat pada tahun yang sama ketika Perdana Menteri Lee Hsien Loong membuat akun media sosial.
Dalam kunjungan PM Singapura ke AS, Mirpuri melihat betapa Lee memiliki "ketertarikan mendalam" terhadap media sosial dan fotografi. Dua hal ini, kata dia, telah membuat perjalanan dinas keluar negeri Lee terasa "nyata" bagi warga Singapura di tanah air.
"Setiap kali datang ke AS, dia akan mengambil foto-foto yang menarik lalu mempostingnya di media sosial, seperti di New York, Washington atau San Fransisco," kenang Mirpuri, yang menjabat duta besar Singapura untuk AS dari 2012 hingga 2023.
"Dia tidak hanya ingin menyampaikan kepada rakyat Singapura betapa luasnya dunia tempat dia harus turut andil, tetapi juga menjadikan pekerjaannya nyata bagi mereka," kata Mirpuri kepada CNA.
Ini bukan sekadar kebijakan luar negeri, bukan sekadar menghadiri pertemuan, berdialog dengan para mitra .... tetapi dia menjalin semuanya menjadi satu bagi warga Singapura."

Di dalam negeri, Komisaris Tinggi Singapura untuk Malaysia Vanu Gopala Menon mengenang ketika Lee menyampaikan salam Hari Raya Idul Fitri kepada para pemimpin Malaysia, Indonesia dan Brunei ketika pandemi COVID-19 tidak memungkinkannya berkunjung ke luar negeri.
Lee, kata dia, "melakukan panggilan telepon rutin" terutama dengan koleganya dari Malaysia. Tindakan Lee ini yang kemudian menghasilkan skema perjalanan untuk memfasilitasi arus keluar masuk warga melintasi perbatasan saat masa-masa sulit pandemi COVID-19. Di antara kebijakan yang berhasilkan ditelurkan di antaranya Pengaturan Perjalanan Berkala, Jalur Hijau Resiprokal, Jalur Perjalanan Vaksinasi, dan jalur bagi masyarakat dengan alasan kemanusiaan.
"Ini adalah akumulasi dari upaya sederhana dan personal, yang berhasil menciptakan perbedaan substantif dan positif bagi hubungan bilateral di bawah kepemimpinan Lee," kata Menon.

Berbagai cerita di atas menunjukkan bagaimana Lee - yang mundur sebagai PM pada 15 Mei - telah memanfaatkan perangkat-perangkat baru dan cara yang tidak biasa dalam menerapkan kebijakan luar negeri pada 20 tahun kepemimpinannya, ujar para pengamat dan orang dalam di pemerintahan Singapura.
Mereka menambahkan, kepemimpinan Lee sangat berkesinambungan dan membuat Singapura tetap stabil, bahkan saat menghadapi situasi global yang rumit dan kian ketatnya kompetisi strategis antara kekuatan-kekuatan besar.
"KESEIMBANGAN ANTARA REALITA DAN IDEALISME"
Pada pidatonya di S Rajaratnam Lecture tahun 2015, Lee menjabarkan mengenai "kepentingan fundamental" Singapura yang menurut dia tidak pernah berubah dalam 50 tahun terakhir.
Kepentingan tersebut adalah menciptakan perdamaian dunia; mewujudkan tatanan dunia di mana negara-negara menghormati dan mematuhi hukum internasional; membangun jaringan persahabatan dan persekutuan dengan pihak-pihak yang bisa diajak kerja sama dengan Singapura; menciptakan wilayah Asia Pasifik yang stabil dan aman, terutama Asia Tenggara; dan yang terakhir, mempertahankan kedaulatan dan hak Singapura untuk menentukan masa depannya sendiri.
"Kebijakan luar negeri kita adalah keseimbangan antara realita dan idealisme," kata Lee dalam pidatonya yang berjudul "Pilihan dan Keyakinan - Kebijakan Luar Negeri dari Si Titik Merah Kecil". Titik Merah Kecil atau Little Red Dot adalah julukan yang kerap disematkan kepada Singapura, negara terkecil di Asia Tenggara.
Kita menyadari bahwa kita harus menerima dunia apa adanya dan itu tidak selalu seperti yang kita inginkan. Namun kami percaya bahwa kami dapat dan harus mempertahankan diri dan memajukan kepentingan bangsa."
Dua pertemuan penting yang pernah diadakan Singapura di masa kepemimpinan Lee disebut sebagai pembuktian dari prinsip kebijakan luar negeri negara tersebut. Dua pertemuan itu adalah pertemuan antara Presiden China Xi Jinping dan Presiden Taiwan Ma Ying-jeou pada 2015, dan Presiden AS Donald Trump dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un pada 2018.
Pertemuan antara Xi dan Ma adalah yang pertama bagi pemimpin China dan Taiwan setelah berakhirnya perang sipil China pada 1949. Kedua belah pihak-lah yang meminta Singapura untuk memfasilitasi pertemuan tersebut.

Sementara untuk pertemuan Trump dan Kim, ujar pejabat AS ketika itu, Singapura dipilih karena negaranya yang aman dan sikapnya yang netral. Lee mengatakan, Singapura rela merogoh kocek sendiri hingga S$20 million (Rp238 miliar) untuk logistik dan keamanan demi "membiayai operasional pertemuan yang sangat penting" tersebut.
Dianggap sebagai tuan rumah yang cocok untuk pertemuan ini "menunjukkan pentingnya hubungan Singapura dengan kedua pihak dan posisi kami di komunitas internasional", tambah Lee.

Sebagai seorang negarawan, Lee juga berpartisipasi pada Forum APEC (Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik), G20 dan pertemuan WEF (Forum Ekonomi Dunia), untuk menyuarakan sistem perdagangan multilateral yang terbuka dan inklusif.
Meski bukan anggota G20, Singapura telah diundang untuk berpartisipasi dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 dan berbagai pertemuan yang menyertainya sejak 2010, kecuali pada 2012. KTT ini adalah pertemuan dari 20 negara dengan perekonomian terbesar dunia.
Bilahari Kausikan, mantan diplomat dan sekretaris tetap Kementerian Luar Negeri Singapura, mengatakan bahwa kehadiran negaranya pada KTT G20 adalah "pencapaian luar biasa untuk sebuah negara kecil". Menurut Kausikan, Singapura sangat menghargai undangan KTT G20 karena memberikan mereka kesempatan untuk ikut bersuara dalam forum yang sangat penting bagi perekonomian dunia.
"Kami tidak ingin berada di atas panggung dunia hanya untuk menuai pujian. Kami melakukannya untuk mempertahankan kepentingan bangsa," kata dia.
Kausikan juga memuji cara Lee membawa Singapura mengarungi berbagai peristiwa besar dalam dua dekade terakhir, di antaranya krisis keuangan global 2007-2008, meningkatnya persaingan AS-China, sikap China yang lebih agresif di Laut China Selatan dan AS yang kian terpolarisasi.
"Melihat berbagai tantangan ini, saya kira dia telah menjaga Singapura tetap stabil, tetap menarik bagi tujuan investasi, sebagai mitra ekonomi dan mitra politik," kata Kausikan.
Perkembangan kebijakan luar negeri Singapura di bawah kepemimpinan PM Lee Hsien Loong
2004-2005: Angkatan Bersenjata Singapura menggelar operasi bantuan kemanusiaan dan bantuan bencana terbesar pada tsunami Samudra Hindia pada 26 Desember. PM Lee mengadakan pertemuan pemimpin khusus setelah bencara tsunami, mempertemukan negara-negara anggota ASEAN, mitra utama, dan organisasi internasional.
2005: AS dan Singapura menandatangani Perjanjian Kerangka Kerja Strategis, yang mengakui Singapura sebagai mitra kerja sama keamanan utama AS.
2007: Pertemuan pemimpin Singapura-Malaysia dimulai oleh PM Lee dan PM Malaysia Abdullah Ahmad Badawi. Pertemuan pertama diadakan di Langkawi.
2007: PM Lee memimpin KTT ASEAN ke-13 pada November; Piagam ASEAN diadopsi.
2008: Mahkamah Internasional memberikan kedaulatan atas Pedra Branca kepada Singapura, dan Middle Rocks kepada Malaysia.
2008: Tianjin Eco-city, proyek antar pemerintahan kedua antara Singapura dan China diluncurkan.
2010: PM Lee dan PM Malaysia Najib Razak memecahkan kebuntuan selama 20 tahun atas isu-isu yang belum terselesaikan terkait Poin-poin Kesepakatan 1990 tentang Lahan Kereta Api Malaya di Singapura. Mereka juga menyepakati hubungan Sistem Transit Cepat (RTS) yang akan dibangun antara Johor Bahru dan Singapura.
2015: Singapura memfasilitasi pertemuan bersejarah antara Presiden China Xi Jinping dan Presiden Taiwan Ma Ying-jeou.
2015: Inisiatif Konektivitas Chongqing, proyek antar pemerintah ketiga antara Singapura dan China diluncurkan.
2016: Singapura dan Malaysia menandatangani perjanjian untuk membangun jalur kereta cepat (HSR) antara Singapura dan Kuala Lumpur, dengan target untuk memulai layanan pada 31 Desember 2026.
2016: PM Lee melakukan kunjungan resmi ke Amerika Serikat atas undangan Presiden Barack Obama untuk merayakan 50 tahun hubungan diplomatik kedua negara. Jamuan makan malam kenegaraan di Gedung Putih menjadi penutup kunjungan tersebut.
2016-2017: Sembilan kendaraan Terrex Angkatan Bersenjata Singapura ditahan di Hong Kong selama sekitar dua bulan setelah menjalani latihan rutin di Taiwan.
2018: Singapura memfasilitasi pertemuan antara Presiden AS Donald Trump dan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un pada Juni.
2018: Proyek HSR Singapura-KL ditunda.
2018-2019: Malaysia berusaha untuk mengambil kembali wilayah udara di Johor Selatan yang didelegasikan kepada Singapura di bawah perjanjian dengan negara-negara kawasan tahun 1973. Kedua negara kemudian mencapai kesepakatan untuk mengakhiri perselisihan yang telah berlangsung selama berbulan-bulan, dengan Singapura menghentikan pendaratan pesawat di Bandara Seletar sementara Malaysia membuka area terbatas di dekat perbatasan kedua negara.
2018-2019: Kapal-kapal Malaysia berlabuh di perairan teritorial Singapura di lepas pantai Tuas selama berbulan-bulan mulai Desember; kedua negara kemudian sepakat untuk meredakan perselisihan batas maritim.
2020: Pandemi COVID-19 melanda. PM Lee berperan penting dalam pengaturan skema perjalanan termasuk Pengaturan Perjalanan Berkala, Jalur Hijau Resiprokal, Jalur Perjalanan Tervaksinasi, dan jalur untuk perjalanan kemanusiaan.
2021: Proyek HSR dihentikan, dengan Malaysia memberikan kompensasi kepada Singapura atas biaya yang telah dikeluarkan.
2023: Singapura dan China meningkatkan hubungan bilateral menjadi Kemitraan Berorientasi Masa Depan Berkualitas Tinggi dan menandatangani perjanjian perdagangan bebas yang telah ditingkatkan.
2024: Singapura dan Malaysia menandatangani Nota Kesepahaman tentang Zona Ekonomi Khusus Johor-Singapura yang baru pada Januari.
2024: Serangkaian perjanjian antara Singapura dan Indonesia, yang berkaitan dengan manajemen ruang udara, pertahanan, dan ekstradisi, mulai berlaku pada Maret.
"ANALITIS, BERPIKIRAN TERBUKA"
Mereka yang pernah bekerja bersama Lee mengatakan bahwa dia adalah orang yang detail, analitis dan berpikiran terbuka.
"Begitu Anda tahu apa harapannya, betapa dia menekankan pada analisis yang tepat, pada kualitas dan juga harapannya bahwa rekomendasi dari Anda adalah untuk kepentingan Singapura, maka saya rasa dia adalah orang yang mudah diajak bekerja sama," kata Peter Ho, mantan kepala layanan sipil Singapura dan mantan sekretaris tetap untuk Kementerian Pertahanan dan Luar Negeri Singapura.
Lee yang cakap dalam berkomunikasi dengan para pemimpin dunia dalam isu-isu besar di bidang ekonomi dan kemajuan global juga telah berhasil memoles citra Singapura.

"Jika Anda memiliki pemimpin yang bisa berbicara tentang masalah yang sangat rumit dan serius di tingkat tinggi dengan para pemimpin lainnya, maka itu akan membantu menciptakan kesan - terlepas dari pencapaian Singapura yang tidak diragukan lagi - bahwa Singapura adalah negara berkinerja tinggi dengan pemerintah yang berkinerja tinggi pula," kata Ho. "Dan itu sangat berarti."
Mantan duta besar Singapura untuk China, Chin Siat Yoon, mengaku sudah mengenal Lee ketika bekas PM itu bertugas di angkatan bersenjata pada tahun 1970-an. Salah satu pengalaman paling berkesan saat bekerja sama dengan Lee adalah di Kawasan Industri Suzhou (SIP), ketika Lee masih menjabat wakil perdana menteri untuk Goh Chok Tong.

SIP yang didirikan pada 1994 di provinsi Jiangsu, China, adalah proyek besar pertama antara Singapura dan pemerintah Beijing. Beberapa tahun kemudian, konsorsium merugi dan pejabat setempat mendirikan kawasan industri tandingan di dekatnya. Lee Kuan Yew yang ketika itu menjabat Menteri Senior menegaskan bahwa Singapura tidak akan keluar dari proyek tersebut.
Presiden China ketika itu Jiang Zemin telah menyebut SIP sebagai "contoh paling penting di China bagi kerja sama bilateral di bidang ekonomi". Chin adalah satu dari pejabat Singapura yang merasa keluar dari SIP akan menjadi keputusan yang buruk.Â
"Jika Singapura menarik diri begitu saja, maka kerja sama akan berakhir dan itu tidak baik bagi hubungan kedua negara ke depannya," kata Chin.
"Selain itu, saya kira sikap itu akan membuat Singapura dicitrakan buruk di mata dunia. Pasalnya ketika itu, negara-negara lain sudah menganggap Singapura - dan kami memang mencitrakan diri seperti itu - sebagai pintu gerbang ke China ... saya kira menarik diri (dari SIP) adalah langkah yang terlalu drastis."
Itu adalah masalah yang harus diselesaikan, tapi tidak dengan "berkoar-koar" - dan menurut Chin, Lee setuju dengan itu.Â
"Dia sangat berpikiran terbuka," kata Chin yang menjabat duta besar Singapura untuk China dari 1998 hingga 2012. "Jika Anda mampu membuktikannya, dia (Lee) siap mengambil pandangan yang berbeda."
Setelahnya, Chin ingat dia mengikuti dua pertemuan, satu yang dipimpin Lee saat menjabat wakil PM, dan yang lainnya dipimpin PM Goh dan dihadiri Lee Kuan Yew.
"Setelah dua pertemuan itu, tidak ada lagi pembicaraan soal menarik diri," kata Chin.
Singapura pada 1999 akhirnya merundingkan perubahan kepemilikan saham SIP dari 65 persen menjadi 35 persen, sebagai insentif bagi pemerintah lokal agar mendukung proyek tersebut. Selain itu, Singapura juga sepakat memangkas komitmen mereka dalam pembangunan SIP. Chin mengatakan, China juga telah mengganti pemimpin di Suzhou di tengah perundingan dengan Singapura saat itu.
Pada 2001, SIP berhasil menuai laba dan pada 2003, seluruh kerugian telah tertutupi.
"Itu adalah pengalaman saya yang paling berkesan (bekerja dengan Lee)," kata Chin.
"ASET YANG SANGAT KUAT DAN TAK TERNILAI"
Tahun lalu merupakan yang terakhir bagi Lee mengikuti Pawai Hari Kemerdekaan sebagai perdana menteri Singapura. Dalam pidatonya, Lee menyinggung kondisi dunia yang "dipenuhi ketegangan geopolitik dan ketidakpastian ekonomi".
Dia mengatakan bahwa Singapura harus "bertindak hati-hati di lansekap yang kian sarat masalah ini". Namun, Lee menambahkan, "meski awan hitam menggelayut, namun dunia masih menawarkan banyak kesempatan bagi mereka yang berani meraihnya."
Menurut para pengamat, ada beberapa blok dan wilayah yang semakin penting dan dapat menjadi pasar baru bagi Singapura.
Salah satunya adalah BRICS, organisasi negara yang didirikan oleh Brasil, Rusia, India dan China. Negara lain yang turut bergabung selanjutnya adalah Afrika Selatan, diikuti oleh Iran, Mesir, Ethiopia dan Uni Emirat Arab pada tahun ini. "BRICS akan memberikan kemajuan yang sangat penting," kata Chin.
Dr Alan Chong, peneliti senior dari S Rajaratnam School of International Studies, mengatakan Afrika dan Amerika Latin adalah wilayah yang tengah berkembang, sama halnya seperti negara-negara yang dilalui proyek Belt and Road Initiative (BRI) China.Â
"Jika ingin menjaga Singapura tetap relevan, kita jangan hanya masuk ke pasar Asia Timur dan Asia Selatan, tapi juga ke wilayah-wilayah yang disebut pasar baru ini," kata dia.
Sementara Lye Liang Fook, peneliti senior di ISEAS-Yusof Ishak Institute, mengatakan "trik" agar Singapura tetap maju adalah "melanjutkan kemajuan dan kesuksesan di sektor-sektor yang dikuasai Singapura ... dan bisa memberikan nilai tambah bagi negara lain."
Kompetisi strategis antara China dan AS diperkirakan masih akan terus berlanjut. Menanggapi persaingan kedua negara, Lee dalam berbagai wawancara beberapa tahun terakhir menegaskan bahwa Singapura dan Asia Tenggara tidak ingin berpihak kepada AS ataupun China.
Ini adalah dinamika yang harus dilalui oleh Singapura dan Lawrence Wong, Perdana Menteri berikutnya.
Perjalanan karier Wong untuk menduduki kursi PM lebih singkat dibanding para pendahulunya - Lee harus terlebih dulu menjabat wakil PM selama 14 tahun, sementara Wong baru ditunjuk jadi wakil PM pada 2022.Â
Menurut Chong, Wong telah menunjukkan "tingkat kenyamanan tertentu untuk berurusan dengan masalah diplomatik."

Wong telah diandalkan sebagai sekretaris pribadi utama Lee sedari 2005 hingga 2008, dan punya pengalaman panjang bekerja di sektor keuangan dan ekonomi.
Kausikan mengatakan, sektor yang digeluti Wong memiliki "dimensi internasional yang kuat dan menjadi bagian yang semakin penting dalam agenda internasional global."
Menon menambahkan, Wong telah mengikuti setiap pertemuan pemimpin Singapura-Malaysia sejak 2014.
Seperti halnya para perdana menteri Singapura sebelumnya, Lee akan menempati jabatan Menteri Senior di Kabinet sesudah lengser. Jabatan Lee ini akan memastikan adanya kesinambungan pada pemerintahan Singapura di bawah kepemimpinan Wong.
Para ahli mengatakan, Menteri Senior adalah jabatan yang telah mapan dalam sistem perpolitikan Singapura, memungkinkan seseorang yang kaya akan pengalaman tetap bisa memberikan sumbangsih bagi bangsa.
"Tentu saja pengambilan keputusan, kewenangan eksekutif, tetap ada di tangan perdana menteri saat ini, selalu seperti itu. Namun akan sangat disayangkan jika kita kehilangan orang dengan pengalaman masa lalu (seperti Lee)," ujar Kausikan.
"Setiap pemimpin tentu saja membawa gaya kepemimpinan yang berbeda. Namun, menurut saya, keuntungan bagi Singapura adalah kesinambungannya yang sangat kuat," ujar Mirpuri.
Menurut Kausikan, Wong mewarisi kepemimpinan di Singapura, negara "yang sangat kuat dan berharga" dan telah diakui kesuksesannya oleh dunia.
"Tidak ada pemimpin politik, diplomat, betapa pun cerdasnya mereka, bisa menegakkan kebijakan luar negeri jika negara ini bukan apa-apa," kata dia.
"Jika kebijakan luar negeri kita sukses, itu karena Singapura adalah negara yang sukses. Dan itu adalah andil dari beberapa generasi ke belakang, dan tugas ini akan terus berlanjut ke generasi-generasi berikutnya."
Reportase tambahan oleh Dawn Tan