Bertahan atau hengkang: Kegamangan penduduk Tuvalu, negara yang terancam terhapus dari peta dunia
Jika fisik sebuah negara tidak lagi ada, lantas bagaimana dengan penduduknya? Inilah pertanyaan yang membuat gamang warga Tuvalu, negara kecil yang terancam tenggelam. Tulisan ini adalah bagian pertama dari tiga seri kisah negara-negara Pasifik yang berjuang melawan perubahan iklim.
FUNAFUTI, Tuvalu: Saat lautan mengganas, mengantarkan gelombang tinggi yang menghantami bibir pantai, Gitty Yee merenggut kameranya dan berlari menghampiri pusaran badai.
Badai dahsyat itu tiba juga di Tuvalu, ditandai oleh ombak besar yang bergulung-gulung. Gelombangnya yang kuat menabrak dan menyapu sisi-sisi pulau Fongafale yang ramping, menyisakan puing-puing yang berserakan di jalan utama yang membentang dari ujung pulau yang satu ke ujung lainnya.
"Itu adalah badai terbesar yang pernah saya lihat," kata fotografer amatir berusia 25 tahun itu, mengenang bencana pada Februari tersebut.
"Banyak rumah yang hancur. Badai juga menghancurkan beberapa sisi tembok laut, airnya setinggi lutut kami," lanjut dia.
Di tengah situasi yang mencekam kala itu, perempuan kelahiran Tuvalu ini mengalihkan pandangan - dan mengarahkan kameranya - ke anak-anak yang berlarian keluar untuk berenang. Seakan tidak sadar akan bahaya amukan Samudera Pasifik, anak-anak itu justru bermain-main dengan ombak besar.
Kata dia, anak-anak pulau memang seperti itu setiap kali gelombang pasang datang.
Tuvalu adalah sebuah atol, pulau yang berbentuk cincin. Dengan ketinggian hampir setara permukaan laut, Tuvalu sudah selayaknya takut jika menghadapi badai seperti itu. Pulau kecil ini telah diramalkan akan jadi negara pertama yang hilang akibat perubahan iklim, menyebabkan naiknya permukaan laut secara perlahan dan pada akhirnya menenggelamkan pulau.
Lokasinya yang rentan membuat Tuvalu gencar menyuarakan upaya memerangi perubahan iklim, sebuah suara yang dianggap pengganggu di telinga negara-negara polutan berat. Di saat yang sama, Tuvalu sadar bahwa negara mereka di masa depan bisa jadi hanya ada di metaverse.
Berdasarkan skenario emisi global, jika emisi gas rumah kaca terus meningkat dan infrastruktur Tuvalu masih seperti sekarang, 95 persen ibu kota Funavuti akan terendam air di akhir abad ini. Jauh sebelum itu, kemungkinan sekitar tahun 2050, kota itu sudah tidak akan bisa lagi ditinggali.
Proyeksi ilmiah ini menjadikan Tuvalu sebagai contoh negara yang akan hilang akibat terendam air laut yang permukaannya terus meninggi.
Kendati demikian, Menteri Perubahan Iklim Tuvalu, Maina Talia, mengatakan kegembiraan anak-anak bermain dengan air pasang menjadi gambaran tentang bagaimana negara itu menghadapi malapetaka.
"Terlepas dari kenyataan bahwa perubahan iklim ini membuat kami ketakutan, tapi di saat bersamaan, Anda akan melihat anak-anak bermain di laut," kata dia.
"Mereka bermain di pantai dan menikmati air pasang, menyadari betul bahwa kondisi ini memang akan menghancurkan kehidupan kami sebagai manusia. Tapi kami tidak bisa berbuat apa-apa," kata dia.
Pertanyaan besar yang masih menggantung adalah, bagaimana masa depan Tuvalu bagi anak-anak ini.
Tuvalu telah mengundang rasa penasaran para peneliti dan penulis untuk memahami fenomena yang terjadi. Mereka ingin mencari tahu, bagaimana rasanya menjadi negara yang akan hilang dari peta dunia.
Penduduk setempat juga turut menggemakan narasi tersebut. Di balik meja resepsionis salah satu rumah singgah, tergantung kaos-kaos yang mereka jual. "Tuvalu, garis depan perubahan iklim" dan "Tuvalu, ketika perubahan iklim jadi kenyataan" tersablon di kaos tersebut.
Tapi bagi mereka yang benar-benar berjuang menghadapinya, situasi ini bukan slogan belaka. Bagi mereka, ini adalah soal menyelamatkan sebuah tempat, kebudayaan dan manusianya.
WARGA BEBAS UNTUK PERGI
Beberapa tahun yang lalu, menteri luar negeri Tuvalu ketika itu Simon Kofe berdiri di atas mimbar di ujung utara Fongafale, terendam di air setinggi lutut. Dengan berapi-api, dia menyampaikan pidato soal dampak perubahan iklim terhadap negaranya dan dunia secara luas.
"Kami tidak bisa menunggu pidato-pidato itu ketika permukaan lautan di sekeliling kami terus meninggi," kata dia, menjelang perundingan iklim di Konferensi Perubahaan Iklim PBB (COP26) di Glasgow pada 2022. "Kami memang sedang tenggelam, tapi demikian juga dengan semua tempat."
Tidak banyak perubahan yang berarti bagi negara itu setelah pidato Kofe. Tuvalu masih berada di ujung tanduk, mencoba bertahan hidup di tengah dunia yang mengabaikan mereka.
Rumah-rumah dan tempat usaha warga yang diapit samudera luas dan sebuah laguna kerap kali kemasukan air laut. Di beberapa tempat pulau utama, memiliki lebar hanya beberapa meter saja. Fongafale sendiri hanya memiliki panjang 12km yang diukur dari ujung ke ujung. Itulah keseluruhan negara Tuvalu.
Pemerintahnya telah mengambil langkah proaktif untuk melindungi kedaulatan dan memastikan keberlangsungan negara, terlepas dari apa yang akan terjadi nanti akibat perubahan iklim.
September tahun lalu, pemerintah Tuvalu mengamandemen konstitusi untuk menyatakan bahwa status kenegaraan Tuvalu akan ada selamanya, bahkan jika secara fisik negara itu telah raib.
Ini adalah sebuah langkah untuk memastikan eksistensi Tuvalu sebagai sebuah negara. Namun kemudian muncul pembicaraan soal skenario terburuk, yaitu memindahkan seluruh isi negara ke tempat yang baru.
Untuk saat ini, pemerintah Tuvalu menegaskan bahwa relokasi tidak masuk dalam agenda mereka.
"Pemerintah kami menekankan bahwa tidak akan ada migrasi. Tapi itu terserah dari rakyat kami. Masyarakat punya kebebasan untuk pergi jika mereka mau," kata Dr Talia.
Jika memilih pindah, kata Talia, pemerintah siap memfasilitasi prosesnya dan mencarikan jalan bagi rakyat demi pilihan masa depan mereka, sembari tetap melindungi tanah air.
"Tugas kami sebagai pemerintah adalah memastikan Tuvalu tetap ada, karena jika kami pindah ke tempat lain, maka suatu hari anak-anak kami akan bertanya, di mana Tuvalu? Dari mana kami berasal? Tuvalu telah sirna dari muka bumi," kata dia.
Tinta masih belum kering dalam perjanjian kerja sama dengan Australia yang menyatakan negara itu siap menyambut ratusan warga Tuvalu setiap tahunnya.
Perjanjian Falepili Union itu diteken oleh pemerintahan kedua negara pada November 2023. Digadang sebagai "jalur mobilitas khusus", perjanjian ini membahas pemberian visa jangka panjang setiap tahunnya bagi 280 warga Tuvalu dan keluarganya untuk tinggal, bekerja dan belajar di Australia.
Bagi sebuah negara dengan populasi total sekitar 12.000 orang, itu adalah jumlah yang banyak, kata Menteri Urusan Luar Negeri, Tenaga Kerja dan Perdagangan Tuvalu, Paulson Panapa.
"Ini adalah peluang yang penting bagi masyarakat. Ini murni sebagai pilihan. Terserah mereka apakah ingin pergi dan tinggal di Australia," kata Panapa.
"Sebagai pemerintah, sudah tugas kami membuka jalan bagi masyarakat untuk memulai hidup baru di Australia. Bukan berarti di sini tidak bagus, tapi memang peluang kerjanya sulit."
Pemerintah berharap, tawaran visa tersebut bukanlah sebuah tiket sekali jalan. Panapa berharap anak-anak muda yang mendapatkan pendidikan di luar negeri dapat membantu Tuvalu untuk terus maju di masa mendatang.
Inisiatif ini adalah bagian dari kemitraan yang lebih luas dengan Australia yang salah satunya fokus pada kerja sama iklim. Kesepakatan ini disusun atas dasar pengakuan bahwa rakyat Tuvalu masih ingin tinggal di tanah mereka sendiri.
"Kedua pihak berkomitmen bekerja sama untuk membantu rakyat Tuvalu untuk tinggal di rumah mereka dengan aman dan bermartabat," bunyi perjanjian tersebut.
Perjanjian tersebut juga mengakui "kondisi unik dan khusus yang dihadapi Tuvalu, dan bahwa perubahan iklim adalah ancaman keamanan nasional yang besar bagi Tuvalu".
Australia juga berkomitmen memberikan bantuan jutaan dolar AS untuk proyek reklamasi Tuvalu yang diharapkan mampu menambah daratan mereka sekitar 6 persen. Selain dukungan terkait iklim, perjanjian itu juga mencakup urusan keamanan.
Pemerintah Canberra, dalam perjanjian itu, tidak boleh menentang jika Tuvalu menandatangani perjanjian pertahanan dengan negara lain. Selain itu, militer Australia juga berjanji akan membantu melindungi Tuvalu jika ada ancaman keamanan.
Kepada CNA, Panapa mengatakan bahwa walau perjanjian tersebut telah ditandatangani, namun rinciannya masih dalam pembahasan sebelum bisa diberlakukan.
Perjanjian ini adalah contoh dari upaya perpindahan manusia akibat iklim, sebuah rencana yang tengah jadi pertimbangan di seluruh dunia.
Selain Tuvalu dengan pulaunya yang kritis, ratusan juta orang juga menghadapi ancaman tenggelam yang sama dalam beberapa dekade ke depan. Pada 2021, Bank Dunia mengeluarkan laporan bahwa bahwa pada 2050 lebih dari 200 juta orang akan bermigrasi akibat dampak perubahan iklim yang terjadi secara perlahan.
Mahkamah internasional dan regional tengah dalam proses meninjau aspek hukum yang ada untuk menyikapi kondisi tersebut.
Direktur iklim di lembaga International Refugee Assistance Project (IRAP), Ama francis, mengatakan bahwa negara-negara beremisi tinggi punya tanggung jawab dan kewajiban moral untuk memberi bantuan migrasi bagi orang-orang yang terdampak perubahan iklim. Pasalnya, orang-orang tersebut terusir dari tanah air mereka karena emisi yang dibuang negara-negara itu sejak lama.
Australia sendiri adalah negara penyumbang emisi ke-14 terbesar dunia, berkontribusi sekitar 1 persen dari emisi global.
"Kesepakatan antara Australia dan Tuvalu menunjukkan bahwa pemerintahan kedua negara mulai mengakui bahwa menangani migrasi adalah bagian penting dalam merespons perubahan iklim. Kesepakatan yang proaktif seperti ini sangat penting karena merencanakan migrasi akan memberikan hasil yang lebih baik," kata dia.
"Orang-orang ini pada akhirnya tetap akan pindah juga terlepas dari apa yang dilakukan pemerintah. Dengan menetapkan dasar hukum dan jalur yang dapat diakses bagi warga yang terusir akibat perubahan iklim, berarti telah memberikan opsi yang bermartabat dan kesempatan untuk menentukan pilihan sendiri demi memastikan keberlangsungan budaya mereka."
MENYIMPAN KENANGAN DI METAVERSE
Sebagai langkah untuk mengabadikan Tuvalu dan keindahan alamnya sebelum datang malapetaka, pemerintah telah melirik teknologi sebagai solusinya.
Pada 2022, Kofe menyarankan negara itu membangun keberadaannya di dunia digital. Artinya, di metaverse nantinya akan ada kembaran Tuvalu dengan tujuan melestarikan kebudayaan, warisan dan rupa kepulauannya.
Negara yang telah melakukannya adalah Singapura. Namun "Virtual Singapore" di buat bukan untuk mengenang atau menjadi kapsul waktu, melainkan sebagai alat uji dan pengembangan solusi serta teknologi perkotaan.
"Tuvalu akan menjadi negara pertama di dunia yang hanya ada di ranah siber - tapi jika pemanasan global tidak diatasi, Tuvalu bukan jadi yang terakhir," kata Kofe ketika itu.
Meski tidak ada kemajuannya, namun gagasan itu telah memicu perdebatan sengit soal pembatasan dan anggaran untuk teknologi hingga pentingnya melestarikan kebudayaan di dunia virtual.
"Ada validitas dan kredibilitas dari gagasan tersebut. Ini semua tentang memberikan alternatif dan memastikan keberlanjutan kami," kata Talia.
"Tapi melindungi garis pantai dan meninggikan daratan merupakan hal yang paling harus dilakukan. Dan saya yakin akan ada dukungan dari komunitas donor untuk memastikan kami tetap tinggal di kepulauan ini," kata dia.
Bagi Richard Gorkrun, direktur eksekutif Jaringan Aksi Iklim Tuvalu, fokus untuk membangun diri di metaverse sama saja dengan menyerah dan mengabaikan lingkungan fisik.
"Kami tahu ada beberapa keuntungan jika budaya dan tampilan lanskap kami dilestarikan di dunia digital, agar generasi mendatang bisa melihatnya," kata dia.
"Tapi cara itu tidak benar-benar menangkap esensi dari gaya hidup warga Tuvalu yang berkelindan dengan tanah fisik tempat kami tinggal sekarang. Seakan kita sudah menyerah untuk membangun dan berjuang untuk mempertahankan negara ini."
Tuvalu adalah sebuah negara dengan kepercayaan tradisional yang berpadu dengan ajaran Kristiani. Misalnya setiap pukul 18.45, seluruh negeri itu sepi, lalu lintas harus berhenti, untuk menghormati waktu tenang untuk beribadah.
Sebagai tetua, Kalisi Sogibalu, khawatir nilai-nilai budaya, bahasa dan tradisi yang membuat Tuvalu unik dan spesial akan terkikis.
Namun, Sogibalu adalah salah satu orang yang paling pertama menyaksikan imbas perubahan iklim terhadap tanah kelahirannya. Setiap hari, pria 66 tahun ini harus menggunakan perahu dari Funafuti untuk menuju pulau kecil di selatan, tempat keluarganya memiliki tanah, peternakan dan sebuah rumah sederhana.
Kerusakan yang ditimbulkan sangat serius dan doa tahu apa artinya bagi masa depan mereka.
"Kami bisa jadi adalah pengungsi pertama (akibat perubahan iklim) di negara-negara besar. Tapi mari berharap itu tidak terjadi," kata dia.
"Masalahnya apakah negara lain mau menerima budaya kami. Tapi budaya itu akan selalu kami bawa, karena kami lahir dan besar dengannya. Akan sangat sulit untuk melepaskannya begitu saja."
PENGUNGSI DARI TUVALU
Sementara itu, generasi muda Tuvalu terjebak dalam dilema. Mereka diminta memutuskan apakah ingin bertahan di tanah air atau meninggalkannya.
Seperti kebanyakan rekan senegaranya, Yee sadar akan narasi hari kiamat yang melingkupi negaranya.
Godaan peluang kerja dan pendidikan yang lebih baik di luar negeri sungguh nyata. Namun untuk saat ini Yee mengaku tidak tergoda, tapi kawan-kawannya ada beberapa yang siap untuk pindah.
"Sebagian besar teman-teman saya yang ingin meninggalkan Tuvalu hanya mau masa depan yang lebih baik. Mereka merasa tidak ada masa depan yang cerah di Tuvalu," kata dia.
"Tapi karena besar di Tuvalu, bagi saya tempat ini adalah rumah. Jadi dalam pandangan saya, saya tidak ingin pergi meski dikatakan Tuvalu akan tenggelam. Masalahnya adalah, kami mencoba menyesuaikan diri terhadap sesuatu yang tidak kami lakukan, itu menyedihkan."
Bagi Yee, kameranya telah menjadi alat untuk mengabadikan semangat dari tanah kelahirannya. Meski dia berniat mendokumentasikan betapa perubahan iklim telah membawa kerusakan bagi negaranya, tapi bagi Yee memotret keseharian masyarakat juga sama pentingnya.
Dia berharap karyanya dapat menunjukkan kepada dunia bahwa orang-orang yang terdampak perubahan iklim belum siap dilabeli sebagai korban.
"Ada jauh lebih banyak hal yang dimiliki Tuvalu ketimbang hanya soal perubahan iklim dan jadi korban perubahan iklim," kata dia.
"Kami punya tradisi dan budaya, cara hidup dan makanan lokal. Kami punya pemandangan yang indah dan terutama, kami punya matahari terbenam.
Ketika senja datang, warga di Funafuti mulai melakukan tradisi mereka setiap hari. Seiring memudarnya panas bersamaan dengan meredupnya cahaya siang, keluarga-keluarga di Tuvalu keluar untuk berenang di perairan yang dangkal - hanya terpaut jarak beberapa meter dari rumah mereka di bibir pantai.
Landasan pacu internasional Tuvalu hanya digunakan sekali sehari untuk penerbangan dari dan ke Fiji. Jika tidak terpakai, landasan ini digunakan masyarakat untuk berkumpul bermain voli atau rugby. Anak-anak memacu sepedanya dan para remaja berjalan-jalan sore sepanjang aspalnya, suasananya riuh ramai, berbeda dengan tempat-tempat lainnya yang kosong di pulau tersebut.
Seiring terbenamnya matahari, semburat jingga merambat perlahan dari cakrawala sebelum akhirnya memenuhi seantero langit. Sebuah ironi, pemandangan matahari terbenam terbaik ini baru bisa disaksikan dari sebidang tanah hasil reklamasi.
Lahan seluas tujuh hektare ini adalah bagian dari L-TAP atau “Te Lafiga o Tuvalu” (Pengungsi Tuvalu) Project. Pembangunannya memakan biaya jutaan dolar AS yang sebagian besarnya adalah sumbangan dari Green Climate Fund PBB.
Di masa mendatang, warga yang rumahnya terancam terendam air laut akan direlokasi ke tempat ini. Rencana itu masih menghadapi ganjalan, termasuk apakah relokasi itu akan permanen dan perkara kepemilikan lahan.
L-TAP memiliki visi untuk membangun "lahan seluas 3,6 km persegi yang tinggi dan aman sebagai tempat relokasi masyarakat dan infrastruktur secara bertahap". Rencana tersebut juga termasuk membuka akses air minum, sumber energi terbarukan, ketahanan pangan dan infrastruktur yang tahan badai.
Apakah rencana tersebut dapat direalisasikan bergantung pada ketersediaan dana iklim global dalam jumlah besar, hasil sumbangan berbagai negara untuk menutupi kerugian dan kerusakan iklim atau sebagai mekanisme adaptasi. Perkiraan biaya L-TAP adalah lebih dari US$1 miliar, sementara PDB Tuvalu pada tahun 2022 hanya sebesar US$60 juta.
"Saya mengerti untuk mewujudkannya sangatlah mahal. Tapi apa lagi yang bisa kami lakukan? Bagi kami ini urusan hidup dan mati," kata Talia.
Pada COP28 di Dubai tahun lalu, para delegasi sepakat untuk menggalang dana kerugian dan kerusakan untuk mendukung negara-negara yang rentan. Namun, mengumpulkan dana tersebut dan mendistribusikannya dengan tepat waktu masih menjadi sebuah tantangan.
Para pemuda di Tuvalu berusaha keras agar pendanaan itu bisa sampai ke negara Pasifik mereka. "Ini adalah masalah ekstrem bagi kami," kata Talua Nivaga, aktivis iklim dan pendiri dari organisasi lingkungan yang anggotanya adalah para pemuda.
"Kami bekerja secara kolaboratif dan kolektif untuk memastikan bahwa kami bisa bertahan dan tidak tenggelam," kata dia.
Nivaga ingin meningkatkan pemahaman masyarakat setempat terkait mekanisme pendanaan iklim serta cara dan peluang untuk mendapatkannya. Dia menyadari bahwa waktunya sudah habis untuk meyakinkan kepada dunia tentang apa yang terjadi di Tuvalu.
"Dunia sadar betul kalau kami terdampak. Kita bicara soal nyawa manusia, bicara soal anak-anak, kita bicara soal orang-orang yang paling rentan menghadapi dampak dari tindakan orang lain," kata dia.
Dia satu pemikiran dengan menteri perubahan iklim Maina Talia, pria yang akan memimpin Tuvalu dalam negosiasi tingkat dunia terkait iklim.
Talia yang baru sekarang menangani urusan iklim setelah pemilu nasional awal tahun ini mengatakan tidak akan melakukan aksi teatrikal, seperti berendam di air pasang.
"Kita tidak seharusnya meromantisasi perubahan iklim. Kita berbicara soal keselamatan manusia, tidak hanya di Tuvalu, tapi juga orang-orang kurang beruntung yang tinggal di kepulauan rendah," kata dia.
"Negara-negara penyumbang polutan harus menerima kenyataan pahit ini. Dan kita harus terus meminta pertanggungjawaban mereka."
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini.