Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.
Iklan

Asia

Kuasa China: Bagaimana tarif Trump justru memperkuat cengkeraman Beijing di Asia Tenggara

Di balik kekhawatiran akan tarif Trump, China malah membuka peluang untuk semakin menancapkan taringnya di kawasan ini. CNA mengulasnya dalam serial liputan khusus mengenai kuasa China di Asia Tenggara.

Kuasa China: Bagaimana tarif Trump justru memperkuat cengkeraman Beijing di Asia Tenggara

Sebuah kontainer China Shipping terlihat di pelabuhan Oakland, ketika ketegangan perdagangan meningkat terkait tarif AS dengan China, di Oakland, California. (Foto: Reuters/Carlos Barria)

SINGAPURA: Di saat negara-negara Asia Tenggara tengah terguncang akibat hantaman tarif Amerika Serikat, Presiden China Xi Jinping menyatakan akan menyambangi negara-negara tetangga di kawasan. Sebelumnya, Xi mengatakan bahwa China memang akan mempererat hubungan dengan negara-negara tetangga.

Para pengamat mengatakan, China tengah memanfaatkan peluang di tengah terkikisnya kepercayaan negara-negara Asia Tenggara terhadap Amerika Serikat akibat kebijakan Trump yang tidak bisa diprediksi dan memantik perang dagang. Dengan kunjungan Xi, ujar pengamat, China ingin semakin memperkuat pengaruh mereka di kawasan.

Perang dagang sendiri masih terjadi dengan saling berbalas tarif.

Terakhir pada Jumat pekan lalu (11/4), China meningkatkan tarif barang-barang dari AS menjadi 125 persen, naik dari sebelumnya 84 persen. Langkah ini adalah balasan China atas tarif yang diberlakukan Trump.

Para pengamat mengatakan, pemerintahan Asia Tenggara yang resah akan kondisi terbaru ini tengah menganalisa risiko dan meninjau berbagai opsi strategis yang akan mereka lakukan.

Para pengamat mengatakan China akan memperkuat pengaruhnya di Asia Tenggara lantaran banyak negara di kawasan yang kehilangan kepercayaan terhadap AS akibat tarif Trump. (Foto: Reuters/Hasnoor Hussain)

Beberapa waktu lalu, ISEAS-Yusof Ishak Institute mengumumkan hasil survei antara Januari hingga pertengahan Februari, menunjukkan bahwa negara-negara Asia Tenggara kini condong kepada AS ketimbang China jika mereka "dipaksa" memilih keduanya.

Namun dengan kebijakan tarif Trump baru-baru ini, para pengamat mengatakan kondisinya akan berubah. Kini, China sepertinya lebih unggul dalam situasi yang saling tarik-menarik dengan AS di kawasan.

Li Yao, peneliti senior di Institut Asia Timur (EAI), National University of Singapore, mengatakan tarif Trump akan merusak reputasi AS sebagai negara ekonomi global terkemuka.

"Ini jadi peluang bagi China untuk menunjukkan tanggung jawab dan kedewasaan mereka sebagai negara besar."

Tapi ternyata tidak semudah itu.

Beberapa pengamat mengatakan China akan menghadapi hambatan karena tidak semua negara di kawasan mempercayai pemerintah Beijing, terutama mereka yang memiliki sengketa wilayah di Laut China Selatan.

Faktor lainnya adalah masalah ekonomi dalam negeri China yang memengaruhi seberapa jauh Beijing akan menjalin keterlibatan dengan Asia Tenggara. Langkah balasan dari China terhadap AS disebut malah merugikan usaha domestik.

"Di tengah tekanan tarif tinggi AS dan langkah balasan China, banyak perusahaan China terancam bangkrut dan angka pengangguran akan naik," kata Li dari EAI.

"Namun jika China bisa secara efektif memperkuat kerja sama dengan negara-negara lain, itu tidak hanya akan memicu stabilitas perekonomian dalam negeri, tetapi juga meningkatkan pengaruh secara global."

DIPLOMASI TEBAR PESONA CHINA

Penerapan tarif baru oleh Trump bertujuan untuk menghukum China. Namun menurut para pengamat, tarif itu justru akan membuat China memperat hubungan dengan pasar-pasar alternattif.

Alih-alih melakukan serangan balik besar-besaran, China malah menekankan "keterbukaan".

Dalam pidato kuncinya di pembukaan China Development Forum 2025 di Beijing, 23 Maret lalu, Perdana Menteri China Li Qiang menegaskan bahwa mereka akan terus membuka diri dan menyambut perusahaan dari seluruh dunia.

Ia juga menekankan komitmen China dalam menjaga perdagangan bebas serta memastikan rantai pasokan dan industri global tetap berjalan lancar dan stabil.

Alicia García-Herrero, kepala ekonom Asia Pasifik di Natixis, mengatakan China bisa menurunkan bea masuk bagi negara-negara lain sebagai respons dari tarif Trump.

Hal ini membuat China lebih mudah untuk diajak berdagang dan memberikan akses pasar yang lebih mudah, kata dia dalam webinar 7 April lalu.

Namun pendekatan ini bukannya tanpa keterbatasan, ada kekhawatiran praktik dumping terhadap barang-barang dari China.

Kotak-kotak pakaian untuk diekspor terlihat di sebuah pabrik pakaian di Guangzhou, provinsi Guangdong, Tiongkok pada 1 April 2025. (REUTERS/Sophie Yu)

Xu Jianwei, ekonom senior yang juga dari Nataxis, mengatakan langkah China untuk memperluas aliansi - termasuk dengan Asia Tenggara - menjadi lebih sulit di tengah kondisi sekarang ini.

“Negara-negara tidak hanya harus menyeimbangkan hubungan dengan kedua kekuatan besar, tetapi juga perlu mewaspadai potensi lonjakan ekspor China yang dapat mengancam industri dalam negeri — terutama ketika China mengalihkan kelebihan kapasitas produksinya ke pasar non-AS,” ujarnya kepada CNA.

Namun menurut Lee Kok How, dosen dan pakar iklim bisnis China di Singapore Management University (SMU), diversifikasi China ke Asia Tenggara masih akan terus berlanjut dan menjadi semakin mendesak.

"Tapi membangun permintaan di negara-negara ini akan memerlukan waktu."

ASIA TENGGARA MENINJAU KEMBALI POSISI MEREKA

Para pemimpin Asia Tenggara masih memantau perkembangan yang terjadi. Pengamat menilai, mereka masih bersikap hati-hati dan berusaha menyeimbangkan hubungan dengan Beijing dan Washington. Tetapi ruang untuk bersikap netral kian sempit.

“ASEAN sangat prihatin atas penerapan tarif sepihak oleh Amerika Serikat,” ujar pernyataan bersama ASEAN usai Pertemuan Khusus Para Menteri Ekonomi ASEAN pada 10 April.

Para menteri ASEAN juga menyoroti risiko yang lebih luas, menyatakan bahwa tarif tersebut akan “berdampak pada keamanan dan stabilitas ekonomi, memengaruhi mata pencaharian jutaan orang di kawasan, serta menghambat kemajuan ekonomi ASEAN, khususnya di negara-negara yang kurang berkembang.”

Menanggapi tarif Trump, para menteri ASEAN mengatakan bahwa mereka akan menahan diri dari tindakan balasan apa pun, dan memilih jalur “dialog yang jujur dan konstruktif” dengan AS melalui kerangka kerja yang sudah ada, seperti ASEAN-US Trade and Investment Framework Agreement (TIFA) dan Expanded Economic Engagement (E3) Workplan.

Mereka juga menegaskan kembali komitmen untuk memperdalam integrasi ekonomi kawasan termasuk melalui inisiatif seperti peningkatan ASEAN Trade-In-Goods Agreement (ATIGA) dan ASEAN Digital Economy Framework Agreement (DEFA).

Yenny Wahid, direktur Wahid Foundation di Indonesia, mengatakan situasi ini bisa menjadi peringatan bagi ASEAN untuk mengambil kendali yang lebih besar atas masa depan ekonominya.

“Dorong sentralitas Asia pada momentum yang tepat … kita tidak bisa lagi bergantung pada kedua negara adikuasa,” katanya. “Kita perlu menemukan cara kita sendiri untuk memperkuat kawasan.”

Beberapa pihak juga khawatir akan dampak ekonomi yang lebih luas dari kebijakan tarif Trump.

“Reaksi dari pasar dan publik (Amerika) sangat negatif hingga tidak ada yang benar-benar yakin apakah tarif baru ini adalah batas bawah ... atau batas atas,” kata Michael Green, CEO United States Studies Centre di Australia, berbicara dalam webinar ISEAS pada 3 April.

“Presiden Trump ingin terus menambahkan lebih banyak tarif, meskipun itu merugikannya secara politik dan ekonomi.”

Xu dari Nataxis mengatakan kepada CNA: “Dengan kemunduran globalisasi dan peningkatan proteksionisme secara global, jalan perdagangan global ke depannya tampak semakin rumit bahkan di luar AS.”

Berbicara dalam webinar ISEAS yang sama, Peter Varghese, Rektor University of Queensland, mengatakan: “Sepertinya tidak ada negara yang menyambut baik penerapan tarif. Jadi ini bukan cara terbaik untuk mencari sahabat.”

Tumpukan peti kemas di pelabuhan di Shanghai, 8 Maret 2009. (REUTERS/Aly Song (CHINA BUSINESS)/File Photo)

Beberapa pengamat melihat adanya peluang bagi China.

Salah satunya adalah Chris Pereira, pendiri dan CEO iMpact, sebuah grup konsultasi komunikasi dan bisnis yang berbasis di China.

“Jika AS akan menaikkan tarif terhadap semua negara, ini adalah peluang besar bagi China untuk menyerukan perdagangan bebas dengan semua pihak … mungkin dimulai dengan Asia Tenggara,” katanya kepada CNA.

“Mungkin tatanan berbasis aturan itu dapat dipertahankan dan didukung oleh China, bukan Amerika Serikat.”

Li dari EAI mengatakan bahwa salah satu cara bagi China untuk mengurangi tekanan – baik dari dalam negeri maupun kawasan – adalah dengan secara proaktif mengatur ulang rantai pasok, bukan sekadar mengalihkan ekspor.

“Jika China justru mengambil inisiatif … dan mempromosikan pasar global yang lebih inklusif dan seimbang, kemungkinan besar akan memperoleh kepercayaan dan dukungan dari para elite dan pembuat kebijakan di ASEAN.”

“Ini akan memungkinkan ekonomi negara-negara berkembang untuk mendapatkan porsi pasar yang lebih besar, dan mendorong pembangunan mereka,” ujar Li.

Seiring pertumbuhan ekonomi tersebut, permintaan mereka terhadap barang-barang China juga akan meningkat, menciptakan “siklus saling menguntungkan yang berkesinambungan”, kata Li.

“Yang terpenting, strategi ini tidak berdampak langsung pada pasar AS, sehingga menjadi jalur yang lebih strategis dan berkelanjutan ke depan.”

Pereira, pendiri iMpact, setuju – namun dengan satu catatan.

"China harus sangat berhati-hati dalam mengalihkan kemampuan dan kapasitas manufakturnya ke negara lain,” katanya.

“Jika tidak, itu bisa menimbulkan rasa ketidakadilan di pasar lain, termasuk Asia Tenggara.”

Menurut survei ISEAS, tingkat kepercayaan terhadap China di enam dari 10 negara ASEAN lebih rendah dibanding tingkat kepercayaan mereka. 

Sebanyak 47,6 persen responden di Asia Tenggara khawatir kekuatan ekonomi dan militer China dapat mengancam kepentingan dan kedaulatan negara mereka.

Kekhawatiran terutama muncul akibat tumpang tindih klaim wilayah di Laut China Selatan antara China dengan beberapa negara ASEAN. Wilayah itu diyakini kaya sumber daya alam dan merupakan jalur perdagangan vital.

"TIDAK ADA KEPANIKAN" DI CHINA

Para pengamat meyakini langkah China nantinya di Asia Tenggara akan sangat bergantung pada cara mereka mengatasi dampak tarif Trump terhadap konsumen dan bisnis di dalam negeri.

“Guncangannya sangat besar, tidak hanya terhadap ekspor, tetapi juga terhadap efek limpahannya, terhadap kepercayaan investasi, bahkan terhadap konsumsi,” kata Xu dari Natixis.

Jika perang dagang menjadi lebih luas, di mana negara-negara lain juga menerapkan tarif terhadap China, Xu mengatakan pemerintah Beijing “harus mengeluarkan banyak stimulus untuk membantu perekonomian”.

Untuk saat ini, meskipun tarif Trump mendominasi pemberitaan global, para pemimpin bisnis dan eksportir China tampaknya tidak terlalu terguncang, kata para pengamat.

“Tidak ada kepanikan di China — tidak di ruang rapat, tidak di pabrik-pabrik, dan tidak di kedai-kedai kopi,” kata Alexander Glos, CEO China i2i Group yang berbasis di Shanghai.

“Sebagian besar sudah diperkirakan sebelumnya.”

Menyadari hal ini, beberapa bisnis telah bergerak lebih dulu. “Banyak perusahaan, terutama bisnis B2B, sudah mulai memproduksi di luar negeri,” kata Pereira.

“Mereka telah membentuk tim di luar negeri. Mereka sedang dalam proses melokalisasi operasional mereka di luar negeri.”

Meski begitu, tekanannya nyata, terutama bagi eksportir China skala kecil dan menengah yang kini menghadapi tarif AS hingga 145 persen. “Tidak mungkin bagi perusahaan biasa di China untuk bisa menanggung tarif sebesar itu,” kata Xu dari Natixis.

“Itu merugikan semua pihak, termasuk AS.”

Yang lain masih berusaha memahami apa yang akan terjadi selanjutnya. “Kebanyakan saat ini menerapkan pendekatan wait-and-see,” kata Lee dari SMU.

Sependapat, Glos mengatakan eksportir kecil dan menengah “tampaknya berada dalam pola menunggu”.

“Mereka tidak mengambil tindakan langsung, sebagian besar karena masa depan tarif-tarif ini masih belum pasti. Banyak yang percaya bahwa langkah-langkah ini lebih bersifat manuver politik daripada kebijakan jangka panjang.”

Orang-orang berjalan di dekat pintu masuk ke zona industri di distrik Panyu, Guangzhou, provinsi Guangdong, China pada tanggal 1 April 2025. (REUTERS/Casey Hall)

Salah satu sebab mengapa sektor dalam negeri China lebih tenang menghadapi tarif adalah karena mereka sudah mengurangi ketergantungan terhadap pasar AS, ujar para pengamat. 

Pada tahun 2024, ekspor ke AS menyumbang 14,7 persen dari total ekspor China, meskipun semakin banyak barang kini dikirim secara tidak langsung melalui Vietnam, Meksiko, dan negara-negara lain.

“(AS) bukan lagi pusat alam semesta perdagangan Tiongkok,” kata Glos dari China i2i Group.

“Ini bukan tahun 2003. China saat ini tidak bergantung pada satu pasar ekspor saja. Jika permintaan AS melambat, China akan beralih. China punya rantai pasok, mitra, dan infrastruktur untuk melakukannya.”

Namun demikian, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memperkirakan bahwa ketegangan yang terus berlangsung dapat memangkas perdagangan barang antara AS dan China hingga 80 persen, yang berpotensi mengurangi PDB riil global hampir 7 persen dalam jangka panjang.

Natixis dan perusahaan lainnya telah merevisi turun perkiraan pertumbuhan mereka untuk China. “Kami akan menurunkan ... proyeksi PDB Tiongkok dari 5 persen menjadi 4,2 persen,” kata García-Herrero.

Xu memperingatkan, bahkan mencapai 4,2 persen bukanlah hal yang mudah.

“Bahkan untuk mencapai 4,2 persen, pemerintah China harus meluncurkan stimulus yang jauh lebih besar di masa depan,” katanya. “Itu tidak akan mudah.”

Namun Beijing tetap berhati-hati, menunggu untuk melihat bagaimana lanskap kebijakan global berkembang.

“Strategi China pasti akan lihat dan tunggu,” kata Xu, seraya menambahkan bahwa itu tergantung pada seberapa besar “serangan” AS terhadap Tiongkok dalam beberapa bulan mendatang.

Jika situasinya memburuk, sektor mana yang paling tertekan?

“Mainan dan permainan, furnitur, tekstil, dan alas kaki,” kata Lee, menyebutkan kategori yang paling rentan.

"China memasok sekitar 75 persen, 65 persen, 60 persen, dan 55 persen dari total impor AS dalam kategori ini, masing-masing, berdasarkan data tahun 2023.”

Penjualan e-commerce lintas batas - terutama barang murah dengan merek yang tidak terkenal - adalah paling terdampak. "para pedagang kecil di China ini yang akan terdampak parah," kata Pereira.

Beralih ke pasar Asia Tenggara juga tidak sederhana. Pasalnya, kata Pereira, daya beli konsumen Asia Tenggara jauh di bawah AS.

"Setiap pasarnya kecil dan beragam, dengan pola konsumen dan budaya yang berbeda, tidak sama dengan pasar Barat yang menarik karena konsistensi dan besarannya."

Pedagang sepatu melakukan siaran langsung penjualan di media sosial dan platform e-commerce dari tokonya di sebuah mal di Jakarta. (CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

DAPATKAH PASAR DOMESTIK CHINA TUTUPI KEKOSONGAN?

Dengan permintaan luar negeri yang melemah, China menggantungkan harapan pada kekuatan belanja dari 1,4 miliar konsumennya.

“Kepercayaan konsumen yang lemah dan pengangguran yang meningkat adalah tantangan nyata, tapi permintaan eksternal bukan lagi solusi segalanya. China akan fokus menstimulasi ekonominya sendiri,” kata Xu dari Natixis.

Namun beberapa pengamat mengatakan transisi itu berjalan lambat – dan belum tentu berhasil di bawah tekanan.

“Saya rasa masih terlalu dini untuk mengetahuinya,” kata Pereira. China menghadapi tantangan untuk berpindah dari ekonomi berbasis ekspor ke ekonomi campuran.”

Sejauh ini, konsumen China belum bereaksi dengan memboikot produk Amerika.

“Orang-orang melihat Trump dan pemerintah AS sebagai hal yang terpisah dari merek-merek Amerika,” kata Pereira. “Saya belum melihat adanya aksi boikot terhadap produk Amerika.”

Glos mencatat bahwa merek-merek AS seperti Apple, Levi’s, dan Starbucks tetap populer di China.

Namun retorika politik bisa cepat mengubah kondisi, tambahnya, merujuk pada pernyataan terbaru Wakil Presiden AS JD Vance yang menyebut warga China sebagai “petani”, memicu reaksi keras di media sosial Tiongkok.

“Meski belum berdampak pada boikot luas, persepsi terhadap merek sedang dipantau secara ketat,” kata Glos.

“Secara historis, nasionalisme telah mendorong gelombang sentimen 'beli produk China' – terutama saat terjadi ketegangan politik.”

Pengamat mencatat bahwa perilaku konsumen China sedang berubah. Merek-merek domestik berkembang pesat, didorong oleh daya saing harga, peningkatan kualitas, dan kebanggaan nasional.

“Pasti ada penurunan merek-merek Amerika di China,” kata Pereira. “Salah satu contoh yang sangat jelas saat ini adalah Starbucks. Jelas terlihat lebih sedikit orang di Starbucks dibandingkan dengan Luckin coffee.”

Bukan hanya kopi. BYD telah menyalip Tesla dalam penjualan kendaraan listrik. Ponsel Mate 60 dari Huawei dilaporkan telah melampaui penjualan iPhone 15 di beberapa wilayah.

Merek-merek Amerika “tidak (sebegitu) kompetitif” dibandingkan dengan merek-merek China, kata Pereira.

“Itulah kenapa mereka kehilangan pangsa pasar, (dan) itu menyebabkan banyak gesekan.”

“Pandangan pribadi saya, perusahaan-perusahaan Amerika perlu lebih bersaing ketimbang menaikkan tarif,” kata Pereira.

“Kalau Anda bertanya pada konsumen biasa atau pelaku bisnis lima tahun lalu, negara mana yang lebih sesuai dengan nilai-nilai Anda, mereka mungkin akan menjawab Amerika Serikat.”

“Sedangkan sekarang … nilai yang lebih penting bagi orang-orang adalah keandalan dan stabilitas.”

“Saya rasa China memiliki peluang dalam lima atau sepuluh tahun ke depan untuk memimpin dan menjadi pelopor perdagangan bebas di seluruh dunia.”

Pada akhirnya, Asia Tenggara harus menjadi salah satu prioritas utama China untuk kolaborasi regional, kata Li dari EAI.

“Sejak awal masa jabatan pertama Trump, Asia Tenggara dan China telah menjadi sangat terintegrasi dalam hal rantai pasok – kenyataan yang tidak bisa diubah dalam semalam,” tambahnya.

"China bisa – dan seharusnya – berbuat lebih banyak untuk mendukung perekonomian negara-negara ini.”

Laporan tambahan oleh Melody Chan.

Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. Pastikan fungsi notifikasi telah dinyalakan dengan menekan tombol lonceng.

Source: CNA/da

Juga layak dibaca

Iklan
Iklan