Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.

Iklan

Asia

Bagaimana seniman Asia Tenggara memandang AI, anugerah atau malapetaka?

Kecerdasan Buatan (AI) kian mendorong semangat kreativitas di dalam maupun di luar galeri seni. Akan tetapi, hukum yang tidak pasti berpotensi menekan popularitasnya yang tengah naik daun.
 

Bagaimana seniman Asia Tenggara memandang AI, anugerah atau malapetaka?

Panorama kota prakolonial dari atas Filipina, 2023. (Foto: Patrick Cabral)

SINGAPURA: Dari bilik kantor pusatnya di Manila, Patrick Cabral membangun sebuah kota.  

Kota metropolitannya bergaya tradisional. Struktur bangunannya menyerupai sarang lebah dan beratapkan jerami palem nipa, mirip seperti bahay kubo, rumah adat asli orang Filipina. Namun demikian, kotanya tetap bernuansa modern. Gambar fotorealistis ini memperlihatkan suasana kontemporer Filipina sebelum penjajahan. Cabral menciptakan gambar ini di tahun 2023 dengan menggunakan perangkat lunak Stable Diffusion dan Midjourney.  

Bagi seniman multidisiplin sepertinya, yang semula mengawali karier di bidang seni kaligrafi, teknologi kecerdasan buatan (AI) dan pembelajaran mesin (machine learning) menjadi sarana baru untuk mewujudkan gagasan-gagasannya, dan juga platform untuk menggagas kembali konsep historis negaranya.  

"Eksperimen (saya), tujuannya untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana perkembangan arsitektur dan fesyen kalau kita tidak dijajah," ujarnya kepada CNA, menyinggung era Filipina di bawah kekuasaan Spanyol mulai dari tahun 1565 hingga 1898, dan berbagai periode di bawah penjajahan Amerika dan pendudukan Jepang mulai dari 1898 hingga 1946.

Selama beberapa tahun terakhir, potensi kreatif AI di Asia Tenggara tidak hanya menguntungkan seniman seperti Cabral saja namun juga merambat hingga ke galeri dan studio seni. Alat pembelajaran mesin sudah sering digunakan untuk meningkatkan mata pencarian orang, mendorong kemajuan medis, dan mengenal lebih dalam identitas dan warisan budayanya. 

Meski begitu, banyak penggemar dan penggiat seni yang mengkhawatirkan masalah seperti hak cipta dan kemungkinan bahwa peran manusia akan tergantikan, sehingga mereka bertanya-tanya apakah perkembangan AI terlalu cepat.

AWAL MULA PERKEMBANGAN AI 

Meski fenomena ini terdengar baru, penggunaan AI sebagai alat berkesenian pertama kali dimulai sejak tahun 1973. Kala itu, seniman kelahiran Inggris bernama Harold Cohen memperkenalkan program komputernya bertajuk AARON, yang mampu menghasilkan gambar biasa berwarna hitam putih.  

Di tahun 1979, karya AARON dipajang dalam pameran di Museum Seni Modern San Fransisco (SFMOMA).  

Algoritme AARON dilatih dengan kode program yang Cohen rancang dan suap ke tangan robotnya, guna mengajarkan robot tersebut untuk meniru cara menggambar.

Dengan berkembangnya teknologi pembelajaran mendalam (deep learning) di awal tahun 2000an, teknologi tidak hanya bisa mereplikasi gambar, namun juga menghasilkan gambar sendiri dengan menggunakan data latih (training data). Teknologi-teknologi ini diproduksi kilat dan tidak lagi memerlukan tangan robot untuk melakukan pekerjaannya seperti AARON.

Program teks ke gambar pertama, AlignDRAW, dikembangkan oleh ilmuwan komputer bernama Elman Mansimov di tahun 2015. Saat itu, usianya masih 19 tahun. 

Puluhan tahun berikutnya, beberapa generator teks ke gambar bermunculan. Tidak seperti algoritme AARON, sebagian besar generator gambar AI modern menggunakan perintah teks (text prompt), dan melatih algoritmanya dengan mengorek data dari berbagai gambar yang ada di internet.

Misalnya, DALL-E. Teknologi ini diperkenalkan pada tahun 2021 dan mampu menggabungkan konsep-konsep yang telah dipelajarinya untuk menggambarkan ide-ide yang abstrak, seperti kursi alpukat. Kemudian di tahun 2022, Midjourney menggunakan AI untuk menangkap dan meniru gaya seniman tertentu. 

Akan tetapi, bagi kebanyakan seniman Asia Tenggara seperti Cabral, penggunaan program seperti ini akan memicu permasalahan budaya.

"Jika Anda masukkan prompt 'rumah bambu' (ke algoritma AI), dia akan kasih rumah bambu yang secara statistik lagi tren," terangnya kepada CNA. "Tapi dia tidak paham dengan konsep kedaerahan, seperti yang saya maksud dengan rumah bambu sebelum masa penjajahan di Filipina." 

Menurut Cabral, kurangnya penggambaran otentik Asia Tenggara di internet membuktikan bahwa generator AI belum bisa menghasilkan gambar pakaian, orang, ataupun arsitektur daerah dengan akurat. 

Eksperimennya menyoroti kurangnya representasi dalam seni visual dan hal ini menjadi salah satu kelemahan utama dari alat AI ini. Alhasil, ia membuat barisan kode yang dapat ia tanamkan langsung ke dalam program-program ini, guna melatih AI-nya dalam membuat ulang motif dan panorama Filipina. 

Dia berharap karyanya dapat membantu mengubah siklus hidup AI yang konstan dan senantiasa dilatih dengan menggunakan sumber-sumber yang condong ke barat-baratan dan membantu seniman lokal merebut kembali narasinya.   

"Kemajuan teknologi memberi harapan tertentu bagi kancah seni lokal, khususnya bagi kami yang berasal dari negara, yang ekspresi kreatifnya belum mendapatkan perhatian global," ucapnya.   

Seniman Indonesia bernama Rimbawan Gerilya sepakat bahwa teknologi AI punya potensi untuk menggali budaya-budaya pascakolonial, yang dapat membantu seniman-seniman lokal untuk mempertimbangkan dan menantang sejarah mereka sendiri, dan menaikkan nama mereka.  

"Mereka bisa pakai AI generatif untuk merekonstruksi identitas mereka, dengan menggunakan warisan (budaya) mereka sebagai bahan rujukan alih-alih meminjam budaya dominan untuk mengisi kekosongannya," terangnya kepada CNA.

Seniman Indonesia, Rimbawan Gerilya percaya akan potensi AI untuk membantu seniman lokal dalam merebut dan menemukan kembali warisannya. (Foto: Rimbawan Gerilya)

PERPINDAHAN AI KE ARUSTAMA 

Bagi Grey Chow, seorang fotografer asal Kuala Lumpur, AI berperan dalam membuka peluang komersil yang baru. 

Semua gambar anjing Corgisnya—yang penuh ceria, warna, dan senyuman, serta berlatarkan dekor seni psikedelik atau semburan petir badai di atas meja yang berantakan—dihasilkan dengan memasukkan perintah teks ke perangkat lunak Midjourney.  

Seniman Grey Chow menghasilkan ribuan gambar dengan memasukkan perintah teks ke dalam Midjourney, perangkat lunak AI. (Gambar: Grey Chow)

"Dengan menggunakan AI, saya bisa menghasilkan lebih dari seribu gambar setiap bulannya. Berkat ini, saya jadinya punya penghasilan tambahan," ungkapnya kepada CNA.  

Seniman berusia 39 tahun ini juga membuka lokakarya pembuatan gambar AI. Ia mengajar peserta tentang bagaimana memilih perintah yang terbaik supaya pembuatan gambarnya menjadi optimal dan tetap mempertahankan gayanya dengan konsisten.  Lokakarya ini berlangsung selama dua hari dan menelan biaya sebesar RM150 (Rp500.000).  

"AI dapat memberikan banyak keuntungan dengan menyingkirkan penghalang dalam berkarya, sehingga lebih mudah digapai dan dinikmati semua orang," ujarnya. 

Galeri-galeri seni di Asia Tenggara juga turut memanfaatkan AI yang kian mudah diakses.  

Di bulan September 2023, Museum Seni Singapura (SAM) meluncurkan sebuah pameran bertajuk 'Proof of Personhood'. Pameran ini berlangsung selama lima bulan, menguliti hubungan antara seni, identitas dan AI. 

Yang membuat kurator seperti Duncan Bass terpukau bukan hanya "jumlah orang yang memiliki akses (AI) ... kecepatan mereka dalam menghasilkan konten ini," namun juga karena pameran itu turut membahas mereka yang tidak menggunakan AI.

Selama akhir pekan pertama pameran, Bass memandu pengunjung yang datang ke galeri. 

Duncan Bass, kurator Museum Seni Singapura (SAM), memimpin rombongan tur di galeri seni, memperkenalkan pengunjung pada cara seniman bereksperimen dengan AI. (Foto: Museum Seni Singapura)

"Di penghujung tur-tur ini, saya menerima pertanyaan dari pengunjung-pengunjung yang usianya 70-80an mengenai kemampuan AI dalam merasa, apakah kita sepatutnya memandang entitas AI ini (sebagai wujud yang berperasaan) atau tidak," jelasnya kepada CNA. "Bagi saya, tandanya (pamerannya) berhasil." 

Bagi seniman Singapura seperti Charmaine Poh, yang karyanya dipamerkan di 'Proof of Personhood', AI menyediakan platform untuk bersuara.  

'GOOD MORNING YOUNG BODY,' adalah instalasi video berdurasi tujuh menit, dibintangi oleh artis yang dihidupkan kembali dengan deepfake. Instalasi ini dibuat dari rekaman Poh semasa mudanya, ketika ia masih menjadi artis di usia menjelang remaja. Dialognya disusun dengan menggunakan teks-teks yang berhubungan dengan teori media dan feminisme siber, istilah yang merujuk pada hubungan antara gender, teknologi, dan internet. 

Avatar ini mampu bersuara melawan trolling dan seksualisasi yang Poh alami selama meniti karier sebagai bintang televisi pada usia 12 tahun.

"Untuk hal semacam ini, AI menjadi alat untuk menyadur kisah dari perspektif lain. Deepfake-nya berfungsi sebagai kulit yang dijalin dengan data, yang diperoleh dari rekaman tubuh saya sewaktu berusia 12 tahun," katanya kepada CNA.

"Menurut saya, deepfake itu bisa menarik kalau digunakan untuk mempertanyakan narator dalam cerita, atau untuk mengubah asumsi posisi kuasa. Kalau dikupas lebih dalam, tubuh siapa yang kita pandang punya otoritas, dan (tubuh) siapa yang kita kesampingkan?"

Tampilan instalasi Charmaine Poh yang berjudul 'GOOD MORNING YOUNG BODY', 2021-2023. (Foto: Charmaine Poh)

Di saat yang sama, ArtScience Museum di negara kota itu juga turut membicarakan AI. 

Deborah Lim, kurator pameran 'Notes From the Ether: From NFTs to AI,' yang sedang diselenggarakan di museum itu sejak Agustus hingga September 2023, menyampaikan kepada CNA bahwa salah satu pencapaian penting proyek ini adalah dengan memamerkan seni AI kepada audiens baru, supaya seni ini bisa "menggugah mereka yang tidak hanya terlibat langsung dengan teknologi dan ruang web3, namun juga masyarakat umum." 

Bagi Jo Ho, anggota dari kolektif seni Singapura bernama jo+kapi, proses pembuatan seni AI tidak jauh berbeda dari proses kreativitas manusia. Justru, AI mempercepat pekerjaan. 

"AI dilatih menggunakan dataset yang sangat besar, berisi data-data kami, semua yang kami hasilkan, semua yang kami buat," terangnya. 

"(AI) bisa mengekspresikan sesuatu, yang kalau kita yang kerjakan, mungkin butuh waktu 200 jam, atau bisa-bisa sampai 2,000 jam." Tapi AI (sangat) jauh lebih cepat dalam mengerjakannya."

Namun terkadang, alat-alat ini bisa menghasilkan perspektif baru. Untuk membuat satu karyanya saja, Ho ingat bagaimana ia harus melatih algoritma AI dengan menggunakan dataset dari kerangka hewan. Program ini mampu menggunakan informasi data untuk menghasilkan bentuk hewan yang baru dan imajinatif.

'Skelchion', Jo Ho, 2022. (Foto: Jo Ho)

"Saya melatih datasetnya... tapi mesinnya malah membuat bentuk baru... kejutannya amat menarik," jelasnya kepada CNA. 

Teman kolaborasinya, Kapilan Naidu, juga merasakan hal yang sama dengan hasil algoritmanya yang di luar dugaannya. 

Ketika memberi perintah untuk mengambil potret Kuba dan AS pasca badai Ian tahun 2022, ia justru mengambilnya dari mata drone, bukan dari perspektif di lapangan yang biasa dipilih seniman dengan menggunakan instingnya.  

Kendati, ia tetap skeptis apakah ini pertanda bahwa kreativitas AI adalah bawaan, setidaknya untuk saat ini.  

"Apakah android memimpikan domba listrik? Saya pikir masih terlalu dini untuk bilang bahwa AI sengaja kreatif. "Pada akhirnya, meski Anda membongkar semua teknologinya, (teknologi tersebut) tidak lebih dari sekadar mesin statistik ... yang membuat keputusan berdasarkan dataset praduga yang telah dilatihkan kepadanya," ujarnya kepada CNA.

'Hurricane Ian approaches Florida' karya Kapilan Naidu, 2022. (Foto: Kapilan Naidu)

BAGAIMANA PERKEMBANGAN AI DI LUAR DUNIA SENI

Di saat seniman-seniman mematut-matut masa depan, di bangsal Rumah Sakit Masyarakat Jurong (JCH) Singapura, AI justru kembali ke masa lalu.

Sebuah tim di institusi yang memiliki 400 tempat tidur itu pernah meluncurkan program terapi seni pada tahun lalu, dengan menggunakan alat-alat AI guna membangun kembali kenangan penting pasien demensia. Ahli terapi seni Lee Sze-Chin bersama kolektif seni-nya Kronoscopes meminta pesertanya untuk mengingat kembali saat-saat bahagia dalam hidup mereka dan menggambar momen-momen ini di tatakan gelas kecil.  

Informasi dari percakapan antara pasien dan terapis dimasukkan ke dalam Midjourney. Kemudian, program ini menerjemahkan perintah ke dalam bentuk visual yang melukiskan kembali kenangan-kenangan pasien secara mendetail.  

Satu peserta yang berusia 60-an dan hanya ingin disebut dengan inisial C, mengingat kembali kenangan membantu ibunya di daerah perkebunan karet. Kala itu, ia masih sembilan tahun. Dia terharu ketika melihat gambar hasil AI yang sangat mirip dengan kenangan yang diingatnya, terutama pada sosok utama dalam gambar yang "agak mirip dengan saya." 

"Saya ... kaget melihat bagaimana gambar-gambar yang dihasilkan menghasilkan respons yang cukup mendalam bagi beberapa pasien," kata Lee kepada CNA kala mengingat proyek tersebut. 

Pasien terapi seni AI berinisial 'C' berhasil melukiskan kembali salah satu kenangan masa kecilnya yang paling membahagiakan, dengan mengandalkan bantuan dari perangkat lunak penghasil gambar tersebut. (Foto: Rumah Sakit Masyarakat Jurong)

Hampir setahun berlalu, ahli terapi seni ini masih bersemangat mengamati bagaimana AI mereformasi praktik terapi kenangan, jenis perawatan yang menggunakan memori pasien untuk merangsang aktivitas mentalnya dan meningkatkan kesehatan batinnya. 

Ia bercerita kepada CNA bahwa pasien mendapatkan pandangan yang baru terhadap identitas dan harga diri mereka. Mereka juga mampu memproses emosi yang timbul dari karya seni yang dihasilkan oleh ahli terapi mereka, baik itu positif maupun negatif.  

Lee menambahkan bahwa teknologi AI dapat memudahkan mereka yang tidak bisa melakukan terapi tradisional karena keterbatasan kemampuan motorik dan kognitif mereka.  

Alzheimer's Disease International, federasi Asosiasi Alzheimer dan Demensia sedunia, memprediksi bahwa di tahun 2025, 5,23 juta orang di Asia Tenggara akan menderita penyakit Demensia. Menurut badan layanan sosial Dementia Singapore, terapi kenangan dapat mendorong emosi positif dan memperkuat hubungan yang dijalin pasien saat ini.  

Akan tetapi, meski Buvenasvari Pragasam, ahli terapi seni di Solace Art Psychotherapy asal Singapura, setuju dengan manfaat dari terobosan yang dibawa AI dalam menciptakan kembali kenangan-kenangan pasien, ia memperingatkan bahwa ada batasan-batasan yang boleh dilakukan kepada pasien.  

"AI tidak bisa memberikan kepada klien pengalaman sensorik dan kinestetik yang serupa dengan yang pasien alami ketika berinteraksi dengan media seni fisik, seperti tanah liat," ucapnya. 

"AI memudahkan siapa saja yang ingin menghidupkan imajinasi mereka. (Namun) dalam terapi seni, penting bagi ahli terapi seni untuk memperhatikan bahwa klien betul-betul membuat karya seninya (sendiri tanpa bantuan teknologi). Hasil akhir karya seninya tidak begitu penting." 

KEKHAWATIRAN DAN TANTANGAN MENGENAI AI DALAM KESENIAN

Pertanyaan mengenai proses kreatif dan orang-orang di baliknya juga menimbulkan kekhawatiran di dunia seni.  

Kurator Lim memperingatkan bahwa "dengan penggunaan alat digital seperti AI, rasanya semakin sulit untuk mengaitkan kreativitas atau orisinalitas hanya kepada seniman itu saja."

Dengan merebaknya aplikasi generatif yang dilatih untuk meniru gaya dan karya seniman yang ada, beberapa penggiat industri menyuarakan keprihatinan mereka mengenai bagaimana materi iklan dapat melindungi identitas dan karya mereka.  

"Saya pikir masalahnya justru ada di layanan-layanan ini ... yang melatih algoritma dengan cara yang tidak etis ... pada dasarnya hanya sekedar merayap di internet untuk mencari karya seni dan melatihnya gaya tertentu," kata Naidu.

"(Layanan ini) ... membolehkan orang asing menyamar menjadi seniman, yang menurut saya, rasanya cukup mengganggu." 

Profesor Risqi Saputra, asisten lektor ilmu data di Monash University di Indonesia, sepakat bahwa kemudahan AI dalam meniru gaya seniman dapat mengancam orisinalitas di pasaran.

"Contoh menariknya adalah seniman biasa-biasa sekalipun dapat dengan mudah dan cepat mengaplikasikan gaya ikonik 'The Starry Night' karya Vincent Van Gogh pada gambar mereka sendiri dengan menggunakan teknik menjiplak gaya," jelasnya. 

Di tahun 2023, sekelompok seniman asal AS melayangkan gugatan class action (perwakilan kelompok) pertama terhadap beberapa AI generator, termasuk Midjourney, DeviantArt, dan Stability AI. Mereka menuding perusahaan-perusahaan tersebut melakukan pelanggaran hak cipta.  

Hakim menolak banyak dari klaim seniman-seniman tersebut dengan dalih bahwa dua dari tiga seniman tersebut ternyata belum pernah mendaftarkan karya mereka yang mengalami sengketa ke Kantor Hak Cipta setempat.  

"Sebagian besar negara masih mencoba mencernanya ... memahaminya, dan, kalau mungkin, membuat peraturan tentang AI," kata Ronald Wong, Wakil Direktur Pelaksana di firma hukum Covenant Chambers Singapura. 

Ronald Wong dari Covenant Chambers, percaya bahwa peraturan AI masih dalam tahap awal. (Foto: Ronald Wong)

Dia menjelaskan bahwa meskipun Undang-Undang Hak Cipta Singapura mengatur tentang kepenulisan manusia, peraturan tersebut masih belum menentukan definisi yang jelas mengenai siapa penulis manusia tersebut - apakah mereka adalah orang yang memasukkan perintah, seniman yang karyanya digunakan untuk melatih algoritma, pemilik program AI, atau mungkin tidak ada terlibat campur tangan manusia sekalipun. Dan ini bisa disengaja. 

"Dalam proses meninjau, lalu merevisi Undang-Undang Hak Cipta ... komite peninjau ... dengan sengaja membuka pertanyaan mengenai karya yang dihasilkan komputer (dan siapa) yang memiliki hak cipta tersebut," kata Wong.

"Saya pikir pendekatan ini semacam menunggu aba-aba, biarkan pengadilan memutuskan bagaimana jika sebuah kasus muncul di pengadilan," imbuhnya.

Mereka bisa saja menunggu beberapa saat. Wong berpikir bahwa kasus serupa dengan gugatan di AS itu mustahil terjadi di Asia Tenggara. Dia berkata bahwa alasannya terletak pada ketidakseimbangan kuasa yang melekat antara perusahaan teknologi internasional dan seniman lokal independen.  

"Saya rasa banyak dari hal ini pada dasarnya didorong oleh dompet siapa yang lebih tebal ... sulit rasanya membayangkan seniman Singapura punya sumber daya untuk menuntut OpenAI atau Microsoft, misalnya," ucapnya. "(Dan) banyak dari perusahaan-perusahaan ini tidak ada di Singapura (sehingga di luar yurisdiksi setempat)." 

MENUJU MASA DEPAN AI 

Walaupun tren seni AI masih berjalan, beberapa pakar mengingatkan bahwa tren ini tidak melaju seperti yang orang kira. 

"Durasi video yang dihasilkan Sora, salah satu model teks ke video yang paling kentara, masih belum melebihi satu menit," kata Profesor Bo An, Profesor Ilmu dan Teknik Komputer dan salah satu Direktur Artificial Intelligence Research Institute di Nanyang Technological University di Singapura.

"Pengembangan teknik baru untuk menyandi (encode) perintah yang diberikan pengguna supaya menghasilkan keluaran yang diinginkan (seperti) gambar yang sama persis dengan perintah yang diberikan pengguna, dan video berdurasi panjang, akan menjadi penting untuk menerapkan model AI di bidang kesenian."

Di sisi lain, Profesor Risqi berpandangan pesimistis tentang masa depan. 

"Kalau algoritma AI terlalu maju, risikonya, mereka bisa menggantikan semua seniman manusia. AI kemungkinan dapat menyebabkan hilangnya lapangan kerja dan peluang masuk di industri kreatif," ia memperingatkan. 

Namun, bagi Cabral dan kota virtual prakolonialnya, melihat ke depan sama saja seperti melihat ke belakang. 

Perkembangan AI di negaranya mengingatkannya pada era keemasan budaya dan seni di Barat selama abad ke-15 dan ke-16, ketika peradaban Barat tengah bertransisi menuju modernitas. 

"Konsep kreativitas sedang mengalami transformasi secara signifikan," ujarnya. "Perubahan ini mengingatkan (saya) dengan Renaisans—yang kala itu tidak ada pengotak-ngotakan yang kaku.

"Di era baru seperti ini, orang bisa dengan mudah menjadi seorang ahli matematika sekaligus penyair."

Source: CNA/da

Juga layak dibaca

Iklan

Iklan