Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.
Iklan

Asia

AI di Asia Tenggara: Harap-harap cemas para pekerja di tengah penyusunan regulasi

Di tengah upaya negara-negara meregulasi AI, kekhawatiran muncul akan dampak AI terhadap pekerjaan, keamanan dan privasi. 

AI di Asia Tenggara: Harap-harap cemas para pekerja di tengah penyusunan regulasi
Berbagai negara menimbang manfaat dan bahaya AI ketika menggodok regulasi yang akan mengaturnya. (Ilustrasi: CNA/Rachel Wong)

SINGAPURA: Animator dan ilustrator lepas Denis Yap, 28, mengaku bahwa kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), dalam satu dan lain hal, jadi tantangan bagi profesinya.

"Konsep-konsep dan ide-ide keren yang saya lihat dibuat menggunakan AI cukup menarik," kata warga Singapura ini kepada CNA.

ChatGPT diluncurkan tepat setahun yang lalu, menghebohkan dunia dan AI generatif sontak jadi sorotan.

Sejak saat itu, popularitas situs-situs AI generatif seni seperti DreamUp, MidJourney dan Stable Diffusion meningkat pesat. Situs-situs ini memiliki alat yang memungkinkan para seniman digital menciptakan karya baru - bahkan dalam hitungan detik.

AI menggunakan teknik pembelajaran mesin untuk menganalisa ribuan gambar di internet, dengan mengacu pada instruksi dari pengguna dan faktor estetikanya.

Bagi Yap, di situlah sumber masalahnya.

"Idealnya, ketika AI membangun kumpulan data dari para seniman asli, secara hukum seharusnya ada persetujuan sebelum (gambar itu) digunakan," kata dia, menyerukan adanya peraturan untuk melindungi para pemegang hak cipta seperti dirinya.

"Seni AI masih terlalu dini dalam konsepnya, dan karena itu kurang adanya batasan-batasan."

Perdebatan soal hak cipta terjadi di seluruh dunia. Beberapa seniman marah karena AI telah meniru gaya yang susah payah mereka kembangkan selama bertahun-tahun, seringkali tanpa persetujuan atau kompensasi. Hal ini memunculkan pertanyaan soal kepemilikan hak kekayaan intelektual dan tantangan legal di berbagai negara, salah satunya AS.

Tapi ini baru satu kekhawatiran di permukaan yang muncul akibat keberadaan AI. Beberapa orang khawatir akan kehilangan pekerjaan mereka karena AI, sementara yang lain mengatakan teknologi ini bisa digunakan untuk kejahatan.

Sistem AI pada proses rekrutmen dan peradilan berisiko memunculkan bias. Pasalnya, data-data yang digunakan untuk pelatihan AI bisa tercampur dengan prasangka sosial-ekonomi, ras, agama dan gender, demikian para ahli menyampaikan.

Namun di saat yang sama, ada juga potensi penggunaan AI untuk kebaikan - mulai dari meningkatkan automasi hingga memprediksi penyakit.

Di tengah situasi di atas, sedang berlangsung upaya meregulasi AI untuk mencegah risiko yang akan timbul sembari berharap ada keuntungan yang bisa diraih dari teknologi ini - baik di tingkat global, regional dan nasional.

Sebuah tonggak sejarah baru tercipta di ranah internasional pada November tahun lalu. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Keamanan AI pertama diadakan di Inggris pada 1 November 2023, dihadiri oleh AS dan China bersama dengan lebih dari 25 negara lainnya untuk merundingkan keamanan dan penggunaan AI yang bertanggung jawab.

Kesepakatan utama dalam KTT itu adalah memberikan "tanggung jawab yang besar" bagi para pengembang AI frontier untuk menguji sistem mereka demi keamanan.

AI frontier adalah sebutan untuk aplikasi-aplikasi AI gelombang pertama yang ternama, seperti ChatGPT. 

Dalam skala regional, Uni Eropa sudah mengesahkan undang-undang pertama di dunia yang mengatur AI. UU ini memuat peraturan yang mengklasifikasikan sistem AI berdasarkan risikonya dan menetapkan persyaratan penggunaan serta pengembangannya.

Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) tengah merancang panduan tata kelola dan etika penggunaan AI, yang menurut pengamat kepada CNA akan memberikan "pengamanan" untuk memitigasi risiko yang ada.

Meski panduan tersebut sepertinya tidak akan diwujudkan menjadi undang-undang regional, namun dapat memacu negara-negara anggota untuk menciptakan regulasi baru atau mengubah regulasi yang ada untuk mengatur teknologi AI, imbuh para pengamat.

Negara-negara tempat perusahaan-perusahaan AI berada juga akan diuntungkan karena mereka dapat memperoleh manfaat dari berbagi pengetahuan.

"Masyarakat harus peduli pada regulasi AI karena teknologi ini lebih luas dari yang kita bayangkan," kata Dr Karryl Sagun-Trajano, peneliti untuk isu-isu dan teknologi masa depan di S Rajaratnam School of International Studies (RSIS), seraya menekankan bahwa AI digunakan di berbagai sektor seperti kesehatan, pendidikan, transportasi dan pemberantasan kejahatan.

APAKAH AI AKAN MEREBUT PEKERJAAN KITA?

Potensi AI dalam mengubah pasar tenaga kerja dan mendisrupsi berbagai industri telah banyak dibicarakan. Goldman Sach dalam laporannya memprediksi, sebanyak 300 juta pekerjaan bisa terdampak oleh automasi AI.

Para pengamat telah memperingatkan bahwa chatbot bertenaga-AI yang lebih cepat, pintar dan murah bisa menggantikan karyawan call-center layanan pelanggan di banyak perusahaan.

Kondisi ini terutama bisa terjadi di negara-negara seperti India dan Filipina, tempat di mana layanan call center menyediakan pekerjaan bergaji rendah. Survei juga menunjukkan bahwa automasi AI bisa menggantikan lebih dari satu juta pekerjaan.

Kekhawatiran yang sama juga muncul di Thailand.

Pada 2018 Bangkok Post melaporkan bahwa 72 persen, atau hampir sepertiga, dari sarjana di Thailand bisa kehilangan pekerjaan karena digantikan AI pada 2030. Menurut wakil menteri pendidikan Thailand, yang paling terancam adalah para pekerja kantoran dan administratif yang tidak memiliki keterampilan khusus.

Salah satu pengguna AI di Thailand, Kulvadee Pounglaph, mengaku menggunakan chatbot besutan Google, Bard, untuk merancang pidato bagi manajernya.

"Sangat menghemat banyak waktu, karena jika melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan bahasa, kita harus banyak berpikir. Tapi dengan AI, dia akan memberikan contoh. Kita bisa membacanya dan sedikit mengubahnya," kata perempuan 36 tahun ini kepada CNA.

Di saat yang sama, Pounglaph yang bekerja untuk bagian pengadaan, menyadari bahwa bot AI seperti Bard - yang menurut dia berbicara "seperti manusia" - bisa menggantikan pekerjaannya.

"AI mungkin berdampak pada orang-orang yang bekerja di bidang bahasa; mereka bisa dipecat. Tapi tetap saja, AI tidak tahu semuanya. AI memang punya basis data, tapi kalau soal kreativitas, tidak terlalu baik," kata dia.

Mengingat banyaknya profesi yang bisa digantikan AI, Pounglaph berharap Thailand bisa membentuk undang-undang yang memuat kuota karyawan manusia untuk perusahaan-perusahaan besar.

Thailand sendiri pada 2022 telah meluncurkan Rencana Aksi dan Strategi Nasional AI. Selain membuka jalan untuk penegakan hukum dan regulasi AI, tujuan utama rencana aksi ini adalah meningkatkan kemampuan AI yang terkait dengan pendidikan dan tenaga kerja.

Dalam laporan kemajuannya Agustus lalu, pemerintah Thailand menyatakan mendukung rencana untuk mengembangkan tenaga kerja dengan keterampilan AI untuk memenuhi kebutuhan berbagai sektor industri.

PANDUAN ASEAN BERGUNA BAGI NEGARA ANGGOTA

Panduan AI yang akan disusun ASEAN bisa sangat berguna. Para ahli mengatakan, negara-negara anggota bisa menjadikan panduan menyeluruh itu sebagai referensi atau memodifikasinya jika diperlukan.

Saat ini asosiasi negara Asia Tenggara itu tengah menggodok panduan tata kelola dan etika penggunaan AI. Reuters melaporkan, panduan ini kemungkinan akan diumumkan pada Pertemuan Menteri Digital ASEAN ke-4 pada awal 2024 dengan Singapura sebagai ketuanya.

Awal 2023 lalu, ASEAN sepakat akan perlunya membentuk kebijakan dan regulasi untuk meningkatkan pengembangan AI menuju "ekosistem yang inovatif, bertanggung jawab dan aman".

Kepada CNA, Kementerian Komunikasi dan Informasi Singapura mengatakan panduan tersebut akan menjadi "langkah praktis yang mampu diimplementasikan" untuk mencapai tujuan tersebut.

Para pemimpin ASEAN dan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres berpegangan tangan pada sesi foto KTT ASEAN-PBB ke-13 di Jakarta, Indonesia, 7 September 2023. (Foto: Reuters/Tatan Syuflana)

Kristina Fong, peneliti hubungan ekonomi ASEAN di ISEAS-Yusof Ishak Institute, mengatakan panduan tersebut tidak akan diwujudkan dalam bentuk legislasi tingkat regional. Pasalnya, jelas Fong, ASEAN adalah organisasi antarpemerintah yang tidak memiliki parlemen sehingga tidak punya kekuatan legislatif.

Menurut Fong, manfaat utama dari upaya bersama negara-negara ASEAN ini adalah "inisiasi dialog terkoordinasi (tentang AI), untuk menilai risiko dan memastikan kawasan siap merespons insiden-insiden yang merugikan".

"Dengan mempertimbangkan kebutuhan yang paling mendesak, kerangka utama pembentuk regulasi yang penting untuk melindungi pengguna dari bahaya adalah perlindungan data pribadi, keamanan siber, perlindungan konsumen dan produsen dan undang-undang hak cipta," kata Fong.

Dr Sagun-Trajano dari RSIS mengatakan upaya regional yang terkoordinasi memungkinkan negara-negara yang lebih maju dalam hal spesifik, seperti pengembangan teknologi, dapat membantu negara-negara yang masih mengejar ketertinggalan.

"Model ASEAN, jika dilakukan dengan benar, akan menjadi contoh yang baik bagi negara-negara lainnya. Bukan sebagai contoh satu-satu negara, tapi sebagai upaya untuk menciptakan perlindungan berdasarkan faktor-faktor yang sesuai dengan konteks kawasan," kata dia, sembari menjabarkan konteks yang dimaksud, yaitu politik, ekonomi, sosial, teknologi, dan lingkungan dan hukum.

PERBEDAAN TINGKAT PENGEMBANGAN AI

Negara-negara di kawasan harus memastikan mereka memiliki kerangka regulasi AI yang memadai sebelum kebijakan regional bisa diimplementasikan dengan baik, ujar Fong kepada CNA.

Fong dalam tulisan opininya yang dirilis ISEAS-Yusof Ishak Institute mengatakan, dari 10 negara anggota ASEAN, empat di antaranya - yaitu Brunei, Kamboja, Laos dan Myanmar - belum mengembangkan strategi AI mereka sendiri.

Dia mencermati ada tema serupa pada strategi enam negara anggota lainnya, di antaranya menggunakan AI untuk pertumbuhan ekonomi serta mengembangkan dan membentuk kerangka tata kelola dan etika penggunaan AI.

Fong menambahkan dalam tulisannya, Singapura dan Malaysia memiliki "strategi meningkatkan pengaruh melalui badan atau kerangka international". Singapura misalnya, merupakan anggota Kelompok Ahli Tingkat Tinggi AI untuk Komisi Eropa sehingga memungkinkannya untuk memengaruhi standar global.

Logo OpenAI terlihat pada sebuah ponsel di depan layar komputer. (Foto file: AP/Michael Dwyer)

Indonesia juga berkepentingan. Menurut data Konferensi PBB untuk Perdagangan dan Pembangunan tahun 2021, impor layanan digital Indonesia adalah yang terbesar di antara negara-negara ASEAN lainnya.

Menurut laporan kantor berita Antara pada Agustus lalu, Jakarta bersiap meluncurkan panduan etika terkait AI untuk perlindungan data pribadi. Panduan ini disebut akan mencakup panduan bagi AI dalam membentuk set data pelatihan mereka.

Pegawai negeri, Irvan, mengaku menggunakan AI untuk membantu pekerjaannya dalam menganalisa data dan menyunting naskah. Tapi dia khawatir teknologi ini tidak hanya sekadar mengumpulkan data pribadi dan mempelajari intuisi manusia.

"Jika (AI mencuri) nomor ID kita - itu adalah data pribadi. Cara kita bersikap, itu adalah sesuatu yang dapat dipahami AI," kata pegawai negeri berusia 39 tahun ini, yang mengaku takut AI bisa menguasai dunia seperti digambarkan pada film-film. 

"Ini yang paling saya takuti. Mereka tahu bagaimana manusia akan bertindak, bagaimana manusia bereaksi pada pola atau kondisi tertentu."

Irvan juga menyadari bahwa AI bisa digunakan untuk menciptakan deepfakes dan berita palsu yang sangat meyakinkan.

"Jika Anda bisa membuat artikel palsu dan tidak tahu ada agenda siapa di baliknya - apakah manusianya atau AI - maka itu bisa memengaruhi orang-orang," kata dia.

"Jika ASEAN memberikan panduan, mungkin hal ini juga bisa mendorong pemerintah lokal menciptakan regulasi."

Namun, Irvan berharap negara-negara yang terlebih dulu mengembangkan AI tidak menghambat negara-negara lainnya. "Dalam soal regulasi, negara A dan negara B bisa memiliki agenda yang berbeda."

MENYEIMBANGKAN INOVASI DAN REGULASI

"Sangat mungkin" ASEAN akan mempercepat pembentukan panduan penggunaan AI karena kebutuhan akan regulasi yang semakin meningkat. Tetapi "ujian utamanya" adalah apakah panduan tersebut dapat memengaruhi kebijakan dalam negeri, kata Fong dari ISEAS-Yusof Ishak Institute.

"Membentuk kebijakan untuk industri yang inovatif selalu sangat rumit. Ada risiko menjadi terlalu kaku dan ketat, sehingga menghambat inovasi ke depannya. Di sisi lain juga berisiko menjadi terlalu longgar dan membahayakan masyarakat," tambahnya.

"Dengan karakteristik AI yang dinamis, negara-negara perlu memikirkan dengan hati-hati tentang bagaimana cara memantau dan mengawasi perkembangannya, jika tidak melalui regulasi langsung."

Bagaimana seharusnya AI diatur di Asia Tenggara? CNA bertanya kepada ChatGPT

Kami bertanya kepada ChatGPT 3.5: "Jelaskan dalam 100 kata bagaimana seharusnya AI diregulasi - khususnya di Asia Tenggara."

Alat AI generatif membutuhkan waktu kurang dari 10 detik untuk memberikan jawaban - ini adalah jawabannya:

"Di Asia Tenggara, regulasi AI harus menyeimbangkan antara mendorong inovasi dan menjaga penggunaan yang etis. Kerangka kerja yang komprehensif harus membahas privasi data, transparansi algoritmik, dan akuntabilitas.

Upaya kolaboratif di antara pemerintah regional sangat penting untuk memastikan konsistensi dalam standar, untuk mencegah potensi celah.

Peraturan juga harus berevolusi seiring dengan kemajuan teknologi, mendorong kemampuan beradaptasi sambil menjaga agar tidak disalahgunakan. Keterlibatan publik dan kampanye kesadaran sangat penting untuk menjawab mitos-mitos soal AI, sehingga mendorong diskusi yang mencerahkan.

Mencapai keseimbangan ini akan membuat Asia Tenggara dapat mengambil manfaat dari AI sambil mengurangi risikonya, memastikan pengembangan yang bertanggung jawab selaras dengan nilai-nilai regional dan mempromosikan masa depan digital yang adil dan inklusif."

Collapse

Josh Lee, direktur pelaksana Asia-Pasifik untuk Future of Privacy Forum, mengatakan bahwa negara-negara dapat memilih regulasi lunak, seperti peraturan industri yang bersifat sukarela dan tidak mengikat, panduan, standar, persyaratan lisensi, dan sertifikasi.

Negara-negara, lanjut Lee, juga dapat menggunakan regulasi keras dalam bentuk peraturan dan undang-undang, meskipun hal ini dapat menciptakan ketidakpastian dan kekhawatiran di antara para pemain AI di negara tersebut.

"Akan ada pertanyaan tentang bagaimana istilah-istilah penting didefinisikan, ruang lingkup peraturan, bagaimana regulator terkait akan menafsirkan peraturan tersebut, dan bagaimana peraturan itu dapat bersinggungan dengan undang-undang yang ada," jelas Lee.

Misalnya, meminta perusahaan untuk menyaring semua data pelatihan AI untuk meminimalkan semua bentuk bias akan menghabiskan banyak waktu dan sumber daya. Dampak paling besar akan dirasakan oleh perusahaan-perusahaan kecil dan menengah.

Persyaratan untuk menyerahkan rincian sistem AI kepada regulator untuk dinilai juga dapat menimbulkan kekhawatiran tentang kebocoran informasi rahasia dan rahasia dagang yang membahayakan profitabilitas perusahaan.

"Peraturan yang dirancang dengan buruk dapat menyebabkan perusahaan yang berencana mengembangkan atau menggunakan produk atau layanan AI yang inovatif mengurungkan niatnya, atau bahkan menarik diri dari negara tersebut," ujar Lee, yang menangani masalah hukum, kebijakan, dan teknologi.

BUAT PERATURAN BARU ATAU AMANDEMEN?

Lee mengatakan bahwa "pertanyaan besarnya" adalah apakah perlu adanya regulasi khusus untuk teknologi AI, atau cukup menambah aturan-aturan pada aspek-aspek yang sudah teregulasi terkait pengembangan dan penggunaan AI.

Menurut Lee, ini tergantung dari apakah kewenangan yang ada dapat secara efektif menegakkan regulasi yang relevan, dan apakah AI - dari perspektif teknologi - dianggap membawa tantangan baru yang tidak bisa diatasi oleh regulasi yang sudah ada.

Fong dari ISEAS-Yusof Ishak Institute mengatakan bahwa kebanyakan negara lebih memilih untuk memasukkan unsur-unsur terkait AI ke dalam regulasi yang sudah ada. Hal ini dianggap cara yang lebih efisien dalam mengatasi risiko yang mungkin muncul dan untuk menerapkan perlindungan dengan cepat.

Pengunjung melihat instalasi yang dibuat dengan menggunakan kecerdasan buatan (AI) di Museum of Modern Art di New York City, Rabu, 11 Januari 2023. (Foto: AP/John Minchillo)

Di tengah peningkatan AI generatif, Singapura pada 2021 mengamandemen Undang-undang Hak Cipta yang mengizinkan penyalinan karya berhak cipta untuk tujuan analisis data komersial dan non-komersial. 

Amandemen ini juga mencakup perlindungan terhadap kepentingan pemegang hak cipta. Para pengguna yang ingin menggunakan pengecualian ini harus memiliki akses legal bagi karya yang akan disalin, dan karya itu tidak boleh disebarluaskan kepada pihak-pihak yang tidak punya legalitas.

Pin-Ping Oh, pengacara dari firma hukum spesialis teknologi dan inovasi di Singapura, Bird & Bird, kepada CNA mengatakan bahwa dengan amandemen tersebut berarti situs seni AI yang menggunakan gambar-gambar sebagai data pelatihan AI dapat tercakup dalam pengecualian asalkan memenuhi persyaratan "akses legal".

"Tampaknya langkah ke depan adalah mempertimbangkan bagaimana model lisensi dapat diterapkan untuk memastikan bahwa pengembang AI memiliki akses ke data pelatihan yang mereka butuhkan, sembari memastikan para pencipta dan pemegang hak cipta lainnya mendapatkan kompensasi yang adil atas penggunaan karya mereka," ujarnya.

Pada akhirnya, masalah ini akan menjadi salah satu teka-teki regulasi bagi Singapura dan seluruh dunia, lantaran mereka harus mempertimbangkan aspek AI lainnya seperti privasi, keamanan dan akuntabilitas.

"Kita perlu memastikan bahwa AI akan menjadi kekuatan yang tidak hanya menjadi lebih baik - tetapi juga digunakan untuk kebaikan," kata Dr Sagun-Trajano dari RSIS.

"Regulasi, jika diterapkan dengan baik, akan membawa kita lebih dekat ke tujuan tersebut."

Laporan tambahan oleh Pichayada Promchertchoo

Baca artikel ini dalam bahasa Inggris di sini.

Source: CNA/da(ih)

Juga layak dibaca

Iklan
Iklan