Apa agenda tersembunyi China di balik uji coba rudal balistik di Samudera Pasifik?
Ini adalah kali pertama dalam 44 tahun China uji tembak rudal balistik antarbenua (ICBM) ke perairan internasional. China mengatakan ini cuma kegiatan rutin, tapi para pengamat menduga ada maksud lain.
SINGAPURA: Pamer kekuatan militer kepada dunia di tengah ketegangan geopolitik, sekaligus demi mendongkrak moral dari cabang militer elite yang diterpa skandal - itulah pendapat para pengamat soal tujuan China melakukan uji tembak rudal balistik antarbenua (ICBM) ke Samudera Pasifik.
Digelar oleh Angkatan Roket Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA), uji luncur yang biasanya jarang dipublikasikan ini terjadi pada pagi 25 September lalu. Kementerian pertahanan China mengatakan rudal itu membawa hulu ledak tiruan dan berhasil "jatuh di wilayah laut yang diincar".
Kemenhan China berdalih uji tembak itu adalah "latihan tahunan rutin yang telah terencana" dan tidak ditujukan ke negara atau target lain. Kendati demikian, peristiwa itu menjadi tajuk pemberitaan di seluruh dunia karena menjadi uji tembak ICBM China pertama dalam puluhan tahun.
Kepada CNA, para analis mengatakan peluncuran itu adalah langkah yang telah diperhitungkan oleh China untuk memamerkan kemampuan pertahanan strategis dan modernisasi alat utama sistem senjata (alutsista) mereka. China meluncurkan ICBM ini di tengah persaingan ketat di banyak sektor dengan negara adidaya Amerika Serikat, dan di saat ketegangan terkait Taiwan kian meninggi.
"China telah melakukan uji tembak rudal di daratan, dan menurut beberapa pakar, secara ilmiah itu sudah cukup untuk mengumpulkan data-data yang diperlukan, sehingga uji tembak di perairan terbuka tidak diperlukan," kata Dr Bernard Loo, peneliti senior di Program Studi Militer S Rajaratnam School of International Studies (RSIS), Singapura, kepada CNA.
"Jika demikian, maka tujuan uji tembak terbaru ini bukanlah 'Ayo kita buat agar rudal ini sukses', tapi 'Hey kawan, lihat nih saya punya apa'."
Selain itu, pengamat juga mengatakan ada agenda dalam negeri dari uji tembak ICBM ini, yaitu China ingin menunjukkan kesiapan Angkatan Roket untuk operasi penyerangan. Dalam dua tahun terakhir, angkatan yang menguasai pasokan senjata nuklir China ini memang tengah diterpa skandal.
Apa pun agenda pemerintah Beijing, para pengamat sepakat bahwa langkah ini berisiko memicu ketegangan lebih lanjut dengan Barat dan negara-negara di kawasan yang sudah hilang kepercayaan terhadap China dalam beberapa hal.
"Hubungan antara Beijing dan Washington saat ini kurang baik, dengan berbagai sanksi teknologi yang dijatuhkan AS terhadap China. (Uji tembak ICBM) saya kira adalah pesan bagi AS: 'Tahu nggak, meski kalian berusaha menjegal kemajuan teknologi kami, tapi kami masih bisa kok memodernisasi rudal balistik,'" kata Loo.
PESAN BAGI MASYARAKAT DUNIA
Uji tembak pada Rabu lalu diyakini adalah yang pertama dalam 44 tahun China meluncurkan ICBM ke perairan internasional. Tindakan serupa dilakukan pada 21 Mei 1980, ketika ICBM pertama China DF-5 - meluncur lebih dari 9.000km sebelum akhirnya mendarat di Pasifik Selatan.
Para pengamat mencermati bahwa China jarang menembakkan rudal jarak-jauh ke lautan, lebih memilih melakukan uji tembak di daratannya sendiri, terutama di provinsi terjauh seperti Mongolia Dalam. Uji tembak daratan biasanya tidak diumumkan oleh China.
Reuters menuliskan bahwa pelacakan online menemukan ICBM pada uji pekan lalu ditembakkan China dari Hainan, bukan dari tempat peluncuran di pedalaman. Artinya, kemungkinan besar rudal itu ditembakkan dari kendaraan peluncur rudal jarak jauh yang juga tengah diujikan oleh China.
Loo mencatat, uji coba ICBM oleh China adalah hal yang sangat penting.
"Rudal balistik sangat penting bagi China karena merupakan alat utama bagi mereka untuk menembakkan nuklir. Dibanding pengebom atau kapal selam peluncur rudal, ICBM adalah faktor penentu dari kemampuan strategis China," kata dia.
Peluncuran ini terjadi di tengah persaingan yang kian sengit antara China dan Barat. Selain itu, China juga semakin agresif terutama jika berurusan dengan Taiwan dan Laut China Selatan, ujar Dr Grant Newsham, peneliti senior di lembaga riset Japan Forum for Strategic Studies.
"Dalam beberapa tahun terakhir, Beijing meningkatkan kehadiran militer mereka di area-area ini, menegakkan klaim teritorial mereka dan menantang norma-norma internasional. Saya melihat uji tembak ICBM terbaru ini sebagai bagian dari tren itu," kata dia kepada CNA.
Drew Thompson, mantan pejabat Kementerian Pertahanan AS mengatakan, jangkauan ICBM China "melampaui jarak" untuk menyerang Taiwan. Namun kata dia, uji tembak itu masih menjadi pengingat soal sikap Beijing terhadap Taipei.
Sampai saat ini, China masih menganggap Taiwan sebagai provinsi pemberontak, bukan negara, dan akan menguasainya kembali suatu saat nanti, jika perlu dengan kekerasan.
ICBM biasanya memiliki jarak tembak lebih dari 5.500 km dan dirancang untuk membawa hulu ledak nuklir. Sementara jarak antara China daratan dan Taiwan hanya sekitar 128km.
"Rudal jarak jauh itu adalah bagian dari kemampuan strategis untuk mencegah AS ikut campur (dalam konflik dengan Taiwan) ... sekaligus juga menunjukkan bahwa China bisa membuat daratan AS terancam," kata Thompson yang bertugas di departemen urusan keamanan Asia dan Pasifik di Kemenhan AS.
"Rudal ini juga menjadi cara China untuk mempertahankan blokade di sekitar Taiwan, yang dilaporkan telah mereka (China) lakukan dalam beberapa tahun terakhir," lanjut Thompson kepada CNA.
Meski China tidak menyebut jenis ICBM yang mereka tembakkan pekan lalu, namun rudal jarak jauh China yang terbaru adalah Dongfeng-41 (DF-41). Rudal ini diperkenalkan pada peringatan 70 tahun negara China pada 2019 lalu.
Dengan perkiraan jangkauan tembak antara 12.000km hingga 15.000km, DF-41 mampu mencapai daratan AS.
Newsham dari Japan Forum for Strategic Studies mengatakan uji tembak ICBM kali ini jadi tamparan bagi AS, yang sebelumnya berulangkali menyerukan diturunkannya ketegangan di isu-isu panas seperti Taiwan dan Laut China Selatan.
"Dalam banyak hal, peluncuran rudal China mirip dengan provokasi Korea Utara; agendanya bukan hanya pengujian militer, tapi juga menciptakan efek psikologis dan mengirimkan pesan yang kuat," kata dia.
Pada pelantikan Presiden Taiwan William Lai pada 20 Mei lalu, pemerintah AS mendesak China untuk "menahan diri dan menghindari menggunakan transisi pemerintahan Taiwan sebagai alasan memprovokasi dan tindak kekerasan".
China seringkali mengerahkan jet dan kapal tempur ke garis batas di Selat Taiwan, yang menjadi perbatasan tak resmi antara kedua sisi. China menuding AS "mencampuri urusan dalam negeri" mereka setelah beberapa kali menjual senjata ke Taiwan.
Dalam isu Laut China selatan, AS dalam pertemuan militer tinggal tinggi bulan ini, menyerukan China untuk "mempertimbangkan kembali penggunaan taktik berbahaya, kekerasan dan memicu ketegangan di kawasan dan sekitarnya".
Menjawab seruan itu, pemerintah Beijing kembali menegaskan bahwa mereka hanya mempertahankan hak-hak di laut sengketa tersebut.
Beberapa pengamat menduga, pemilihan waktu pelaksanaan uji rudal bisa jadi adalah cara China untuk meningkatkan daya tawar menjelang percakapan telepon antara Presiden AS Joe Biden dengan Presiden Xi Jinpng.
Pihak Gedung Putih pada akhir Agustus lalu telah mengatakan bahwa kedua kepala negara akan berbicara "dalam beberapa pekan ke depan". Ini akan menjadi percakapan kedua Biden dan Xi sejak pertemuan langsung mereka di California pada November 2023.
"China memberikan sinyal bahwa mereka punya kemampuan untuk menyerang wilayah AS dengan senjata nuklir," kata ahli militer Taiwan, Lin Ying-yu kepada Financial Times. "Pamer kekuatan ini untuk memberikan mereka daya tawar yang lebih banyak menjelang percakapan antara Xi dan Biden."
Loo dari RSIS mengatakan uji tembak rudal terbaru ini adalah cara China memamerkan kemajuan militer mereka.
"Timing pengujian (sangat penting), karena tidak hanya untuk menunjukkan kemampuan pertahanan China, tapi juga membawa pesan bagi komunitas global bahwa mereka terus memodernisasi kemampuan militer," kata dia.
Presiden Xi Jinping telah menetapkan beberapa target yang harus dipenuhi militer China dalam beberapa tahun, bahkan beberapa dekade ke depan. Salah satunya target 2035, militer China harus mencapai modernisasi - menyelaraskan kekuatan dan kemampuan pertahanan dengan teknologi saat ini. Pada pertengahan abad ini, militer China ditargetkan harus mampu berperang dan memenangkan perang.
Uji tembak rudal kali ini hanya selang sepekan sebelum China memperingati 75 tahun berdirinya negara Republik Rakyat China (RRC) pada 1 Oktober.
Ketika ditanya apakah ini juga jadi alasannya, Loo mengatakan ada kemungkinan itu.
Dalam beberapa tahun terakhir, China memang meningkatkan perkembangan nuklir serta menambah anggaran belanja pertahanan mereka. Menanggapi kondisi tersebut, AS memperingatkan pada Oktober tahun lalu bahwa kapasitas persenjataan China meningkat lebih cepat dari perkiraan.
Menurut laporan Kementerian Pertahanan AS atau Pentagon tahun lalu, per Mei 2023 China memiliki lebih dari 500 hulu ledak nuklir yang beroperasi dan diperkirakan jumlahnya akan menampau 1.000 pada 2030.
Sebagai perbandingan, AS memiliki 1.770 hulu ledak nuklir dan Rusia 1.710. Pentagon mengatakan, pada 2030 China akan menempatkan persenjataannya dalam kondisi kesiagaan tingkat tinggi.
Sejak melakukan uji tembak nuklir pada 1964, China berulang kali menegaskan kebijakan mereka untuk tidak menembakkan bom atom lebih dulu. Saat ini, kebijakan tersebut secara resmi hanya dipegang oleh China dan India.
MENDONGKRAK MORAL TENTARA ANGKATAN ROKET
Para pengamat juga mencermati adanya tujuan dalam negeri dalam uji tembak ICBM China. Mereka mengatakan, pengujian dilakukan untuk mendongkrak moral pada tentara Angkatan Roket PLA dan juga kemiliteran secara keseluruhan. Sebelumnya, beberapa pemimpin Angkatan Roket PLA digulingkan karena dituduh korupsi.
Angkatan Roket, yang melakukan uji tembak ICBM, bertugas mengawasi penggunaan rudal nuklir dan konvensional. Mereka juga telah ditugaskan untuk memodernisasi kekuatan nuklir China di tengah meningkatnya kekuatan rudal pertahanan dan kemampuan mata-mata AS, serta memperkuat aliansi.
Angkatan Roket berada langsung di bawah Komisi Sentral Militer China, komando militer tertinggi dalam politik hirarki China yang dikepalai Presiden Xi.
"Angkatan Roket PLA tengah jadi sorotan beberapa tahun terakhir ini karena tuduhan korupsi di antara petingginya, membuat para pakar mempertanyakan kemampuan mereka," kata Dr Chang Ching, peneliti di lembaga riset Society for Strategic Studies asal Taiwan.
"Dengan berhasil melakukan uji tembak rudal jarak-jauh, angkatan ini ingin menunjukkan kepada para penguasai politik bahwa kapasitas serang mereka masih ada, meski pun ada berbagai masalah belakangan ini," lanjut dia lagi kepada CNA.
Sejak tahun lalu, Angkatan Roket telah menjadi pusat penyelidikan anti-korupsi China, sebuah inisiatif pemberantasan rasuah di pemerintahan yang dilakukan Xi sejak 2012.
Wei Fenghe, mantan menteri pertahanan yang juga bekas kepala unit elite militer ini, dilaporkan hilang tak ada kabarnya. Sementara penerusnya Li Shangfu dipecat pada Oktober tahun lalu setelah sebelumnya juga hilang selama berbulan-bulan.
Keduanya dikeluarkan dari Partai Komunis China pada Juni lalu karena "pelanggaran disiplin serius", bahasa lain untuk korupsi, seperti diberitakan kantor berita Xinhua.
Sembilan jenderal PLA, termasuk lima mantan atau pejabat tinggi Pasukan Roket yang masih menjabat, dicopot dari badan legislatif tertinggi Tiongkok akhir tahun lalu.
Newsham, peneliti dari Japan Forum for Strategic Studies, sepakat uji tembak ICBM dilakukan PLA untuk menunjukkan kepada publik bahwa Angkatan Rudal mereka saat ini "lebih dari siap".
"Uji coba ini menunjukkan prioritas China, terutama dalam fokus mereka terkait kemampuan rudal. Para pemimpin China menempatkan prioritas tinggi bagi Angkatan Roket, jadi tidak heran jika mereka merasa perlu memamerkan kekuatan terbaru ini," kata dia lagi.
BERISIKO MENINGKATKAN KETEGANGAN KAWASAN
Para pengamat mengatakan uji tembak ICBM China berisiko meningkatkan ketegangan yang sudah meninggi di kawasan dan dengan negara Barat. Mereka mempertanyakan berapa negara yang diberitahu China sebelum uji rudal, dan apa yang disampaikan.
Xinhua dalam laporannya di hari peluncuran rudal mengutip kementerian pertahanan China yang mengatakan bahwa mereka sebelumnya telah memberitahu "negara-negara terkait". Namun mereka tidak memberitahu jalur tembaknya atau tepatnya di bagian mana dari Samudera Pasifik rudal itu akan mendarat.
Beijing tidak menjelaskan secara spesifik negara mana saja yang telah dikabarkan, dan apakah secara spesifik disebutkan bahwa peluncuran ICBM akan dilakukan. Jepang, misalnya, mengatakan bahwa mereka tidak menerima pemberitahuan sebelumnya bahwa China akan melakukan uji tembak ICBM.
"Tidak ada pemberitahuan sebelumnya dari pihak China mengenai peluncuran ICBM," kata Kepala Sekretaris Kabinet Yoshimasa Hayashi pada hari Rabu.
Namun, seorang pejabat Pasukan Penjaga Pantai Jepang mencatat bahwa pada Senin (23/9), China telah mengeluarkan peringatan navigasi untuk kemungkinan jatuhnya "puing-puing luar angkasa" di tiga zona: Laut China Selatan, Samudera Pasifik di utara Pulau Luzon, Filipina, dan Samudera Pasifik Selatan, kesemuanya untuk hari Rabu.
Berbagai negara berkomentar miring tentang uji coba rudal itu, di antaranya Selandia Baru yang menyebut tindakan Beijing sebagai "perkembangan yang tidak diinginkan dan memprihatinkan", sementara Australia mengatakan bahwa mereka sedang menuntut penjelasan dari China.
Pentagon telah mengonfirmasi bahwa China telah mengirimkan pemberitahuan sebelumnya tentang uji coba ICBM kepada AS.
"Ini adalah langkah ke arah yang benar dan membantu mencegah kesalahan persepsi atau kesalahan perhitungan," kata juru bicara Kementerian Pertahanan AS Sabrina Singh pada Rabu lalu, sembari menambahkan bahwa pemberitahuan tersebut "berfungsi sebagai langkah praktis untuk membangun rasa saling percaya".
"Kami berharap pemberitahuan semacam ini terus berlanjut," tambahnya.
Beijing memutuskan komunikasi militer tingkat tinggi dengan Washington pada Agustus 2022 setelah kunjungan Ketua DPR AS Nancy Pelosi ke Taiwan.
Komunikasi berlanjut secara singkat bulan ini ketika Laksamana Samuel Paparo dari Komando Indo-Pasifik AS dan Jenderal Wu Yanan, komandan Komando Teater Selatan PLA, mengadakan konferensi video.
Selama panggilan tersebut, Laksamana Paparo menekankan bahwa menjaga jalur komunikasi terbuka di antara para petinggi militer senior sangat penting "untuk memperjelas maksud dan mengurangi risiko salah persepsi atau salah perhitungan," demikian menurut pernyataan Gedung Putih.
Sebuah pernyataan dari media pemerintah Tiongkok mengonfirmasi pembicaraan tersebut, mencatat bahwa "kedua belah pihak bertukar pandangan mendalam tentang isu-isu yang menjadi perhatian bersama".
"Pembagian informasi yang efektif sebelum peluncuran sangat penting untuk stabilitas strategis dan berfungsi sebagai langkah penting membangun kepercayaan," tegas Thompson.
"Situasi ini memberikan kesempatan bagi AS dan China untuk mempertimbangkan pengembangan langkah-langkah pembangunan kepercayaan demi mengurangi risiko konflik yang tidak disengaja."
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini.