Analisis: Perjuangan Sabah dan Sarawak untuk otonomi yang lebih besar di Malaysia semakin menguat
Pemerintahan Perdana Menteri Anwar Ibraham menghadapi rintangan besar dalam mengimplementasikan Perjanjian Malaysia 1963. Pada artikel bagian pertama ini, CNA membahas beberapa masalah utama yang dihadapi oleh pemerintahannya.
KOTA KINABALU/KUCHING: Masalah air mati yang berulang kali terjadi di Sabah beberapa tahun terakhir ini mendesak mahasiswa di ibu kota negara bagian, Kota Kinabalu, untuk melakukan aksi.
Pada pertengahan Juni, CNA menyaksikan sekitar 50 mahasiswa Universiti Malaysia Sabah (UMS) nekat protes di luar Menara Kinabalu, gedung pemerintahan negara bagian, untuk menyuarakan kekecewaan mereka terhadap berbagai masalah hak asasi manusia.
Sambil memegang pengeras suara dan poster, para mahasiswa berupaya menunjukkan sebuah memorandum kepada Ketua Menteri Hajiji Mohd Noor. "Kami di sini hanya meminta hak-hak kami," seru salah satu dari mereka.
Polisi memberikan instruksi kepada mahasiswa agar bubar, namun mereka menolak. Mereka bersikukuh ingin bertemu secara pribadi dengan Hajiji.
Meski protes yang berlangsung selama 17 jam itu tidak membuahkan pertemuan, mahasiswa-mahasiswa itu tampaknya telah berhasil menyampaikan maksud mereka, terbukti dari pemberitaan yang banyak menyoroti aksi tersebut.
Meski sebagian besar kemarahan pada aksi itu ditujukan kepada pemerintah Sabah, mantan pejabat eksekutif utama Institute for Development Studies di Sabah, Johan Arriffin Samad, memandang masalah air di UMS dan tempat lainnya adalah imbas dari masalah yang lebih besar, yakni pembangunan infrastruktur di Sabah yang tertinggal jauh dari Semenanjung Malaysia atau dikenal juga dengan Malaysia Barat.
"Bagaimana mungkin setelah 60 tahun di Malaysia, Sabah mengalami kekurangan hal-hal yang paling mendasar seperti air? Saya belum lagi membahas masalah bangunan sekolah yang rusak, kurangnya rumah sakit, layanan kesehatan, jalan, dan sebagainya," terang pengamat politik itu kepada CNA.
Dr Johan, penulis buku yang membahas hubungan Sabah dan Sarawak yang tidak setara dengan Malaysia Barat, mengatakan bahwa kedua negara bagian tersebut telah dikesampingkan dalam proses pengambilan keputusan negara. Menurutnya, hal ini jelas-jelas menghiraukan Perjanjian Malaysia 1963 (MA63).
MA63 merupakan instrumen hukum yang disahkan pada 1963 sebagai dasar pembentukan negara Federasi Malaysia.
Malaya, Sabah (sebelumnya Borneo Utara), Sarawak dan Singapura bersatu menjadi Malaysia pada September 1963. Singapura keluar dari federasi pada Agustus 1965.
"Sabah dan Sarawak tidak bergabung dengan Malaysia; kedua negara bagian tersebut merupakan mitra yang setara dalam pembentukannya. Malaya, Sabah dan Sarawak bersama-sama melahirkan negara ini; tanpa Sabah dan Sarawak, tidak akan ada Malaysia," kata Dr Johan.
UPAYA KERAS MENDAPATKAN OTONOMI LEBIH BESAR
Beberapa dekade terakhir, para pengamat melihat bahwa negara-negara bagian di pulau Borneo semakin mengupayakan otonomi yang lebih besar, yang seharusnya mereka dapatkan di bawah MA63 menjelang Hari Malaysia pada Senin (16 September), hari peringatan pengesahan perjanjian tersebut yang ke-61.
MA63 mengakui Sabah dan Sarawak bukan hanya sebagai negara bagian tetapi sebagai mitra yang setara dengan Malaysia Barat.
Meski negara-negara bagian di Malaysia Timur memiliki otonomi di bidang-bidang tertentu seperti imigrasi, mereka sebenarnya ingin mendapatkan kemandirian yang lebih besar di bidang keuangan dan politik. Pengamat mengatakan, hal ini adalah maksud utama dari disepakatinya MA63.
Para pengamat melihat bahwa upaya membangkitkan kembali isu otonomi dipicu oleh beberapa perkembangan belakangan ini, yaitu ketergantungan koalisi penguasa terhadap dukungan dari partai-partai di negara bagian pulau Borneo untuk mempertahankan kekuasaan di badan legislatif, mengingat pemilu November 2022 lalu berakhir dengan parlemen gantung - tidak ada koalisi mayoritas. Partai di Sabah dan Sarawak menguasai porsi besar dari total 222 kursi parlemen Malaysia.
Usai masa politik dagang sapi dan intervensi kerajaan berakhir, ketua koalisi Pakatan Harapan (PH) Anwar Ibrahim muncul dengan menerima dukungan dari koalisi Barisan Nasional (BN), terutama dari koalisi di Sabah dan Sarawak. Dukungan ini membantunya membentuk pemerintahan persatuan dan memperoleh kekuasaan sebagai perdana menteri yang ke-10 di negara itu.
Partai-partai politik di Sabah dan Sarawak mulai naik pamor pasca pemilu 2018, ketika pemerintahan koalisi BN kalah untuk pertama kalinya. Kekalahan ini membuat anggota legislatif BN di Semenanjung buru-buru mencari dukungan dari partai-partai di pulau Borneo untuk membentuk koalisi pemerintahan.
Para pengamat mengatakan, situasi politik ini berlangsung di tengah meningkatnya sentimen nasionalisme di dua negara bagian di pulau Kalimantan: Sabah dan Sarawak. Mereka melihat, partai-partai yang menyuarakan nasionalisme berhasil memenangi pemilihan dengan sangat meyakinkan. Kemenangan ini terlalu sulit untuk diabaikan pemerintahan Putrajaya.
Berbagai slogan nasionalisme seperti "Sabah untuk Warga Sabah" dan "Sarawak untuk Warga Sarawak" mewarnai situasi politik ketika itu. Slogan-slogan ini merujuk pada status khusus yang tidak didapatkan oleh negara-negara bagian lainnya di Malaysia, menunjukkan kebanggaan terhadap keragaman ras-nya dan penolakan terhadap Islamisasi yang menurut mereka terjadi di Semenanjung Malaysia.
Anwar telah berulang kali menegaskan keinginannya untuk memenuhi hak-hak Sabah dan Sarawak dalam MA63. Meski belum ada kemajuan, beberapa politisi dan aktivis di Malaysia Timur melihat bahwa ini sudah lama dinanti-nanti dan perkembangannya masih sangat lambat.
Bagi Sabah, tujuan utama di bawah otonomi ini adalah untuk mendapatkan kembali 40 persen pemasukan mereka dari pemerintahan pusat setiap tahunnya.
Sementara itu, Sarawak telah menetapkan tenggat waktu yang sulit dipenuhi oleh perusahaan minyak nasional, Petronas, untuk menyerahkan posisinya sebagai pembeli dan penjual gas bumi yang diproduksi di negara bagian tersebut.
Kedua negara bagian ini juga menginginkan 35 persen kursi di parlemen federal. Menurut mereka, langkah ini akan memberikan mereka perwakilan yang lebih adil, dan juga benteng untuk melawan perubahan konstitusi yang dapat mengurangi hak-hak khusus mereka.
Negara-negara bagian ini juga mengupayakan otonomi penuh atas sektor-sektor seperti kesehatan, pendidikan, lingkungan, dan pariwisata, dengan kendali sepenuhnya atas kebijakan dan pendanaan, seperti perekrutan dan penempatan guru serta petugas layanan kesehatan.
Walau komitmen Anwar terdengar kuat, para analis berpendapat bahwa pemerintahannya banyak menghadapi rintangan dalam mengimplementasikan MA63 dengan sepenuhnya, seperti menjamin bahwa ia tidak terus mengasingkan dukungan Melayu di Semenanjung dan mendapat persetujuan kerajaan untuk itu.
"Ke depannya, saya tidak melihat kekuatan politik di Semenanjung Malaysia akan bersatu. Jadi, Sabah dan Sarawak masih akan memiliki peranan yang sangat, sangat penting," ucap Professor James Chin, Professor Kajian Asia di Universitas Tasmania, dalam wawancaranya dengan CNA.
Wakil Ketua Menteri Sabah Jeffrey Kitingan, yang juga merupakan anggota parlemen tingkat federal dari sisi pemerintah, menyebutkan kepada CNA bahwa tuntutan negara bagian terhadap MA63 akhirnya memasuki agenda politik arustama, berkat posisi mereka yang menjadi penentu di tengah perubahan peta politik.
"Sudah lebih dari 60 tahun Malaysia terbentuk, kita masih belum bisa mewujudkan kerja sama ini dengan sepenuhnya," kata Kitingan, politisi yang pernah dijerat UU Keamanan Dalam Negeri Malaysia (kini sudah tidak berlaku) pada 1991 karena memperjuangkan hak-hak Sabah.
Dalam wawancaranya dengan CNA pada Agustus lalu, Perdana Menteri Sarawak - titel khusus untuk pemimpin negara bagian ini - Abang Johari Openg terdengar lebih optimistis. Dia mengaku puas dengan kemajuan dari upaya pemerintah dalam mengembalikan hak-hak Sarawak dalam MA63.
Abang Johari menerangkan bahwa ia kini merasakan adanya "kesepahaman" antara para pemimpin di pusat dan negara bagian perihal bagaimana mematuhi ketentuan-ketentuan dasar dalam MA63.
"Sudah semakin, semakin baik," jawabnya. Ia menambahkan bahwa generasi pemimpin pertama di Sarawak, dalam dua dekade setelah pengesahan MA63, lebih fokus untuk membangun bangsanya.
"Saya dari generasi kedua. Generasi kedua merasa bahwa kita harus kembali pada apa yang telah kita sepakati."
PENDAPATAN NEGARA BAGIAN
Meski begitu, Kitingan percaya bahwa perjuangan masih panjang untuk bisa melaksanakan semua janji-janji dalam MA63, yakni tuntutan 40 persen alokasi pendapatan Sabah, salah satu unsur terpenting yang hingga kini belum terpenuhi.
Sabah selama bertahun-tahun berusaha berunding untuk mendapatkan kembali 40 persen dari pendapatannya, sebagaimana yang tertuang dalam Konstitusi Federal. Menurut mereka, hal ini sangat penting demi pengembangan ekonomi di negara bagiannya.
Konstitusi Federal Malaysia mengatur pengumpulan pendapatan negara bagian - termasuk hasil pungutan pajak - harus dipusatkan di pemerintahan federal. Pengumpulan pendapatan ini kemudian dikembalikan ke negara bagian dalam persentase yang disesuaikan dengan jumlah populasi mereka.
Di bawah MA63, pemerintah pusat seharusnya mengembalikan 40 persen pendapatan Sabah. Namun, hal ini belum terpenuhi dari 1974 hingga 2022.
Pada tahun 2022, pemerintah federal dan Sabah menyepakati pembayaran "sementara" untuk Sabah hingga 2026, sambil menunggu perundingan selanjutnya mengenai awal perjanjian 40 persen tersebut.
"Saya harap ada solusinya karena kami tidak dapat menunda ini lebih lama lagi. Kami butuh uang untuk melakukan pembangunan. Kami masih menjadi negara bagian termiskin di negara ini," kata Kitingan.
Menurut departemen statistik Malaysia, pada 2022, Sabah memiliki tingkat kemiskinan tertinggi di Malaysia, yaitu sebesar 19,7 persen, disusul Kelantan (13,2 persen) dan Sarawak (10,8 persen).
Kitingan menyoroti bahwa dari RM90 miliar (Rp324 triliun) yang disisihkan dalam anggaran nasional untuk belanja pembangunan tahun 2024, Sabah dan Sarawak masing-masing menerima RM6,6 miliar dan RM5,8 miliar, atau hanya 14 persen dari anggaran.
Padahal luas kedua negara bagian ini mencakup 60 persen dari total daratan Malaysia.
"Delapan puluh hingga 90 persen dari anggaran pembangunan masih ada di Semenanjung. Sabah dan Sarawak hanya mendapat remah-remahannya saja ... jadi, bagaimana kami bisa menyusul?" sindirnya.
Kitingan mengatakan bahwa selain penerimaan pajak, Sabah juga berjuang mendapatkan kembali sebagian besar aliran pendapatan lainnya yang dihasilkannya, seperti royalti perminyakan dan bea materai.
"Uangnya ada di sana. Mereka (pemerintah federal) mengumpulkan uangnya, jadi hanya tinggal mengembalikan bagian itu saja," ungkapnya, menyinggung 40 persen bagian yang diminta.
"(Kita) tidak bisa bilang bahwa pemerintah federal bergantung sepenuhnya pada pendapatan Sabah, sampai-sampai bisa mengatakan, "Kami tidak punya uangnya'. Jadi, pertanyaannya: Ke manakah uang itu pergi selama ini?"
MINYAK DAN GAS
Sarawak juga tengah berniat mengeruk keuntungan ekonomi yang lebih banyak dari apa yang seharusnya menjadi hak-hak mereka.
Mereka telah menetapkan tenggat waktu 1 Oktober bagi Petronas untuk memfinalisasi kesepakatan yang akan memberikan Sarawak hak penuh atas pengawasan dan perdagangan gas yang diperoleh dari negara bagian tersebut.
Sebelumnya, Petronas membeli gas bumi dari produsen gas hulu dan menjualnya melalui perjanjian kontrak kepada pengguna di Sarawak - seperti pabrik gas alam cair di Bintulu - untuk menghasilkan tenaga listrik.
Sarawak merasa hal ini bertentangan dengan undang-undangnya karena Petronas belum mengajukan izin untuk menjalankannya. Sejak saat itu, Sarawak menunjuk perusahaan milik negara Petroleum Sarawak Bhd (Petros) sebagai satu-satunya pengumpul gas. Tindakan ini memaksa Petronas menghentikan pembelian dan penjualan gas alam dan menyerahkan jaringan distribusinya.
Menurut laporan The Edge Malaysia pada 8 Agustus, Sarawak adalah negara bagian pengekspor gas terbesar di Malaysia. Sebanyak 90 persen dari pasokan Petronas di Malaysia bersumber dari atau melintasi Sarawak.
Para analis industri memperkirakan bahwa Petronas akan kehilangan sebagian besar pendapatannya bila kesepakatan baru ini dijalankan. Hal ini akan berdampak pada berapa banyak yang dapat dibelanjakan Petronas untuk kegiatan eksplorasi minyak dan juga jumlah yang dapat diserahkan ke kas nasional pemerintah dalam bentuk dividen.
Abang Johari menyebutkan dalam wawancaranya dengan CNA pada Agustus lalu bahwa perselisihan dengan Petronas hanya "masalah kecil". Ia melihat bahwa Sarawak akan memastikan redelegasi ini tidak mempengaruhi pasokan gas untuk menghasilkan tenaga listrik.
Ia sebelumnya pernah mengatakan bahwa pemerintah negara bagiannya punya kuasa atas sumber gas dan minyaknya di bawah UU Pertambangan Minyak Sarawak Tahun 1958 yang disahkan sebelum pembentukan Malaysia pada 1963. UU ini tidak pernah dicabut dan terus berlaku.
"Sebelumnya, tentu saja, dilakukan oleh Petronas, tapi di bawah konstitusi kami, kami punya UU Penambangan Minyak sendiri, dan di saat yang sama, distribusi gas sebelum Hari Malaysia (pada 1963) di bawah kendali pemerintahan negara bagian," terangnya kepada CNA.
Meskipun demikian, CNA mengabarkan pada 7 September 2024 bahwa Petronas sedang mempertimbangkan mengambil langkah hukum, termasuk perintah pengadilan, karena perundingan dengan Sarawak tidak mendapat titik temu.
Anwar telah menyampaikan keinginannya agar tuntutan Sarawak dapat ditangani di tingkat perusahaan dengan Petronas, tanpa melibatkan pemerintah pusat, kata seorang pejabat senior pemerintah kepada CNA, yang mengetahui rahasia pembahasan perihal masalah tersebut.
Menanggapi laporan CNA, Abang Johari pada 9 September menyangkal bahwa dialog dengan Petronas tidak menemui titik temu. Ia menambahkan bahwa perundingan antara Petronas dan Petros akan selesai sebelum 1 Oktober.
"Tidak ada masalah antara kami dan Petronas," ucapnya, sebagaimana dikutip oleh media setempat.
Kemudian, pada 10 September, Petronas mengatakan bahwa pihaknya masih berdiskusi dengan pemerintah pusat, Sarawak dan juga Petros untuk mencapai kesepakatan bersama terkait pendistribusian gas bumi.
"Sikap kami adalah, setiap kesepakatan yang dibangun oleh semua pihak harus bisa melayani kepentingan terbaik negara dan tidak boleh mempertaruhkan stabilitas ekonomi negara," jelas pihak perusahaan dalam pernyataannya.
Profesor Chin menduga Petronas pada akhirnya akan bersikap kooperatif, Sabah akan mengikuti langkah Sarawak menuntut perihal minyak dan gasnya, dan kedua negara bagian mengembangkan jaringan distribusinya sendiri.
Baca:
Secara terpisah, Sabah dan Sarawak juga berupaya mendapatkan royalti minyak yang lebih tinggi sebagai bagian dari tuntutan mereka dalam MA63. Keduanya menilai pendapatan miliaran ringgit Petronas sebagian besarnya berasal dari cadangan minyak di Sabah dan Sarawak.
Wakil Perdana Menteri Sarawak Fadillah Yusuf, anggota koalisi pemerintahan Sarawak dan ketua komite teknis MA63 yang bertugas mengawasi pelaksanaannya, mengatakan pada Maret lalu bahwa tuntutan menyoal royalti minyak dan pembayaran tunai untuk minyak bumi, mineral minyak dan ladang minyak masih dalam pembahasan.
Dalam wawancaranya dengan CNA, Abang Johari mengatakan bahwa masalah terkait hak-hak Sarawak atas wilayah dan perbatasannya, termasuk juga landas kontinennya yang kaya akan minyak dan gas, tidak dapat dinegosiasikan.
Ia kembali menegaskan bahwa Sarawak mempunyai UU yang melindungi hak-hak ini sebelum pembentukan negara Malaysia, dan di bawah MA63 dan Konstitusi Federal, UU ini masih tetap berlaku.
"Dengan kata lain, pemerintah pusat kita tidak bisa seenaknya mengambil hak-hak tanah kami, yang sangat jelas tertuang dalam konstitusi," ujarnya.
Ini juga menjadi sentimen beberapa warga Sarawak yang diajak bicara oleh CNA.
Pensiunan perwira angkatan Darat Fabian Wong, 80, menyampaikan kepada CNA bahwa menurutnya, Sarawak masih "belum mendapat cukup" dana dari pemerintah pusat, meskipun kontribusinya begitu besar terhadap kas negara selama bertahun-tahun.
Ia yakin sekali bahwa Sarawak seharusnya mendapatkan otonomi penuh dalam segala urusan dan mumpuni dalam mengelolanya.
"Cukup berikan saja otonomi ke Sarawak dan lihat bagaimana kinerja Sarawak. Jika pemerintah federal baik dan tulus, seharusnya tidak ada rasa khawatir dengan Sarawak dan Sabah," imbuhnya.
KURSI PARLEMEN
Masalah lainnya yang masih dibahas adalah, langkah penyisihan 35 persen kursi parlemen untuk Sabah dan Sarawak. Kesepakatan dalam MA63 ini bertujuan untuk melindungi kepentingan khusus negara bagian di Borneo dalam badan legislatif Malaysia.
Sabah dan Sarawak saat ini menerima alokasi 56 - atau 25 persen - dari total 222 kursi parlemen, kurang 10 poin dari persentase yang mereka inginkan.
Ketika Singapura meninggalkan Malaysia pada Agustus 1965, bagian kursi Singapura didistribusikan kembali ke negara-negara bagian di Semenanjung Malaysia. Sementara, jatah Sabah dan Sarawak tetap sebesar 25 persen sampai saat ini.
Para pengamat menyoroti bahwa di luar MA63, kedua negara bagian tersebut berhak mendapatkan perwakilan yang lebih besar, mengingat daerah pemilihan mereka seluas satu negara bagian di Semenanjung Malaysia.
Di bulan Mei, menteri pemerintahan Sarawak menyampaikan kepada badan legislatif negara bagiannya bahwa tuntutan perihal penambahan jumlah perwakilan di parlemen masih belum diputuskan, meski sudah dibahas dalam dua rapat pada 2022 dan 2023.
Fadillah, Wakil Perdana Menteri Sarawak, menyampaikan pada Februari 2023 lalu bahwa ia mengatakan masalah ini baru akan tuntas dalam dua atau tiga tahun lagi, karena butuh banyak tahapan yang harus dilalui, termasuk tiga komite utama, dan melibatkan berbagai pihak.
Beberapa penduduk Sabah merasa, lemahnya perwakilan negara bagian di parlemen federal menjadi alasan mengapa Sabah mengalami kesulitan dengan kurangnya pembangunan.
Warga asli kota Kinabalu Mohd Firdaus Jaya (31 tahun), penjual ayam di pasar di jantung kota, menginginkan lebih banyak orang Sabah untuk mewakili mereka di parlemen. Ia juga meminta partai-partai di Semenanjung untuk tidak ikut campur dalam politik Sabah.
"Saya berharap pemimpin-pemimpin kita lebih bersatu, seperti mereka-mereka yang ada di Sarawak. Sabah sudah meminta banyak hal, tapi hal-hal itu kelihatannya cuma janji-janji saja," kata ayah empat anak itu. Ia menambahkan bahwa penghasilan bulanannya yang sebesar RM3.000 masih belum cukup untuk membiayai kenaikan biaya hidup.
"Kalau saja Sabah lebih berkembang, kami mungkin punya peluang yang lebih baik. Ini alasan mengapa banyak pemuda kita meninggalkan negara bagian untuk bekerja."
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini.
Politik ras dan agama di Semenanjung Malaysia
Beberapa politisi, aktivis dan penduduk di Malaysia Timur tidak menanggapi dengan baik perihal negosiasi yang berlarut-larut mengenai permasalahan seperti penerimaan negara, minyak dan gas, dan juga pembagian jatah kursi di parlemen federal. Di tambah lagi, muncul persepsi adanya peningkatan Islamisasi di Semenanjung Malaysia.
Pejuang hak asasi Sarawak Peter John Jaban merasa pemerintah federal tidak punya "kapasitas maupun kemauan" untuk memberikan kompensasi kepada Sarawak dan Sabah atas "kerugian ekonomi dan pembangunan" yang mereka derita selama 60 tahun terakhir.
"Sejak dimulainya perundingan mengenai pemulihan hak-hak MA63 di tahun 2015, terjadi penundaan yang begitu signifikan, sehingga masalah-masalah seperti hak pendapatan Sabah sebesar 40 persen itu tidak terselesaikan," ujarnya kepada CNA.
Jaban mengatakan bahwa pemerintah federal tengah menghadapi masalah-masalah besar dalam mengimplementasikan MA63 dengan sepenuhnya. Menurutnya, hal ini disebabkan oleh pergeseran konsep bernegara Malaysia yang semula sekuler dengan beragam budaya menjadi negara yang didominasi oleh ras dan agama.
Pengamat politik Murray Hunter menyoroti adanya ketidaksenangan terhadap banyaknya orang Melayu yang menjabat sebagai pegawai negeri sipil dan insiden jaringan toko swalayan yang mengkotak-kotakkan agama, sehingga membuat warga Sabah dan Sarawak yang berasal dari berbagai ras merasa tertekan.
Menurut laporan dari ISEAS - Yusof Ishak Institute yang dirilis pada 2023, warga Bumiputera dari Malaysia Timur hanya mengisi 3,1 persen posisi pegawai negeri di manajemen atas pada 2022, meski mereka mengemban status istimewa dibanding orang Melayu yang sebagian besar tinggal di Semenanjung.
Pada April lalu, gerai KK Super Mart di Perak, Pahang dan Sarawak diserang dengan bom bensin, usai salah satu gerai diketahui menjual sepasang kaus kaki bertuliskan "Allah".
Kritikan tajam atas insiden itu berasal dari Sarawak, yang mengatakan bahwa insiden itu telah mengotak-otakkan agama. Beberapa politisi di Sarawak juga menyuarakan dukungan mereka untuk pendiri jaringan toko tersebut, yang sudah meminta maaf atas insiden itu.
KK Super Mart dan pemasoknya pada tanggal 15 Juli didenda RM60.000 karena telah sengaja menyakiti perasaan umat Islam Malaysia, meskipun pendiri dan direktur jaringan toko serta direktur pemasoknya dibebaskan dari dakwaan.
Fabian Wong, pensiunan perwira angkatan darat Sarawak, mengatakan: "Perhatian utama Sarawak adalah kebebasan memeluk agama. Segala bentuk ekstremisme tidak diterima di sini. Sarawak bangga dengan kerukunannya dan ingin mempertahankannya seperti itu."
Warga Sarawak lainnya Aziz Ali (61 tahun) setuju dengan pernyataan itu. Ia melihat bahwa selama puluhan tahun, Malaysia menjalankan konsep "Malaysia Satu" dengan beragam budaya. Namun, beberapa tahun terakhir, situasi politik di Semenanjung tampaknya kerap mempermainkan masalah ras, keluarga kerajaan, dan agama.
Pengamat politik Dr Johan Arriffin Samad juga menyoroti kontroversi yang memicu reaksi keras di Semenanjung Malaysia, perihal penggunaan kata "Allah" dalam Alkitab berbahasa Melayu dan publikasi keagamaan oleh penduduk asli beragama Kristen di negara-negara bagian pulau Kalimantan.
Penguasa Melayu di Malaysia telah memutuskan bahwa kata "Allah" tidak dapat digunakan oleh warga non-Muslim di Semenanjung, namun penggunaannya diperbolehkan di Sabah dan Sarawak dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.
"Ini beberapa contoh yang memengaruhi Sabah dan Sarawak, kedua negara bagian mengeluhkannya. Orang-orang khawatir dengan hal semacam ini," kata Dr Johan.
Hunter mengatakan jika Islamisasi semakin membesar di Malaysia, hal ini akan dapat "mendorong Sabah dan Sarawak untuk angkat kaki lebih cepat."
Ia menambahkan bahwa Anwar akan "sangat peka" terhadap isu-isu tersebut. Terlebih, perdana menteri tengah berupaya mendapatkan dukungan dari Sabah dan Sarawak untuk "menjaga koalisi pemerintahan tetap bersatu".
"Saya rasa kata hatinya mengatakan kalau dia butuh Sabah dan Sarawak agar bisa menang dan kembali menjabat," tambah Hunter.