Analisis: Mengapa semakin banyak negara Asia Tenggara ingin bergabung dengan BRICS
Analis khawatir, dengan semakin banyak negara ASEAN yang ingin bergabung dengan BRICS, maka ketergantungan mereka terhadap China akan semakin besar.

Presiden Brazil Luiz Inacio Lula da Silva, Presiden China Xi Jinping, Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa, Perdana Menteri India Narendra Modi dan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov berpose dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS 2023 di Pusat Konvensi Sandton, Johannesburg, Afrika Selatan, pada 23 Agustus 2023. (Foto: Reuters/Gianluigi Guercia)
SINGAPURA: Beberapa negara Asia Tenggara semakin banyak yang tertarik bergabung dengan kelompok negara ekonomi berkembang BRICS, dengan Malaysia menyatakan ketertarikannya baru-baru ini. Menurut analis, dengan bergabung dengan BRICS, negara-negara tersebut ingin memiliki lebih banyak pilihan posisi di kancah ekonomi global.
Para ahli yang berbicara dengan CNA juga meyakini para pemimpin negara-negara Asia Tenggara ingin menunjukkan bahwa mereka memiliki peran di komunitas internasional, sehingga membuat para pemilih tertarik.
Dr Joseph Liow, Dekan Fakultas Humaniora, Seni dan Ilmu Sosial di Nanyang Technological University, Singapura, mengatakan adanya "potensi keuntungan bersama" menjadi salah satu alasan negara-negara Asia Tenggara tertarik bergabung dengan BRICS.
"Ini adalah bagian dari kalkuasi atas kepentingan nasional mereka sendiri, dan keinginan untuk mendiversifikasi pilihan pada kancah ekonomi global," kata dia kepada CNA.
Namun dengan semakin banyaknya negara anggota ASEAN yang ingin bergabung dengan BRICS, analis menyampaikan kekhawatiran hal ini berujung pada ketergantungan yang berlebihan kepada China.
Juru bicara kementerian luar negeri Thailand Nikorndej Balankura, seperti dilaporkan Reuters Kamis pekan lalu, mengatakan negaranya telah mengajukan permohonan resmi untuk bergabung dengan BRICS "seminggu yang lalu".
Sementara itu, Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim dalam wawancara dengan media China, Guancha, pada 16 Juni lalu mengatakan bahwa negaranya "telah memutuskan" untuk bergabung dengan BRICS dan "akan segera menjalankan prosedur resminya".
Pernyataan Anwar ini disampaikan sebelum Perdana Menteri China Li Qiang melakukan kunjungan tiga hari ke Malaysia pada 18 hingga 20 Juni lalu. Li - pemimpin tertinggi kedua China setelah Presiden Xi Jinping - adalah perdana menteri pertama China yang berkunjung ke Malaysia sejak 2015.

Sebelumnya pada Januari, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi mengatakan mereka  "masih mempelajari keuntungan yang akan diperoleh dari bergabung dengan BRICS".
Negara ASEAN lainnya seperti Myanmar dan Laos telah lebih dulu menyampaikan ketertarikan bergabung dengan BRICS. Vietnam telah mengatakan mereka "mengamati proses menjadi anggota BRICS". Sementara Singapura dan Filipina sejauh ini belum menyampaikan ketertarikan mereka.
DAYA TARIK BRICS
Bhima Yudhistira, direktur eksekutif lembaga peneliti Centre of Economic and Law Studies (CELIOS) di Indonesia, mengatakan bahwa negara-negara tersebut tertarik bergabung dengan BRICS karena "dipengaruhi oleh potensi kerja sama dalam hal investasi, perdagangan, dan pembiayaan infrastruktur, terutama oleh China dan India".
"Kebanyakan negara di ASEAN menganggap China dan India adalah pasar tradisional yang potensial," kata dia.
BRICS dibentuk pada 2006 dengan anggota awal adalah Brazil, Rusia, India dan China, dengan Afrika Selatan bergabung kemudian pada 2010. Mesir, Ethiopia, Iran, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab diundang untuk menjadi anggota pada 1 Januari 2024.
Jika digabungkan, nilai ekonomi semua negara anggota BRICS mencapai lebih dari US$28,5 triliun, atau sekitar 28 persen dari perekonomian global.
Prosedur menjadi anggota BRICS
- Sebuah negara dianggap tertarik bergabung dengan BRICS ketika pemimpin atau menteri luar negerinya secara resmi mengkomunikasikannya dengan Ketua BRICS.
- Ketua BRICS kemudian menyampaikan hasil komunikasi tersebut ke negara anggota BRICS lainnya.
- Negara yang ingin menjadi anggota baru dianggap sebagai calon anggota ketika Sherpa BRICS - wakil negara-negara anggota BRICS - memberikan rekomendasi positif untuk jadi bahan pertimbangan para menlu BRICS.
- Para pemimpin BRICS akan memutuskan penambahan anggota BRICS berdasarkan diskusi dan konsensus penuh.
- Negara calon anggota menjadi negara anggota ketika sudah mendapatkan undangan untuk menjadi anggota dari BRICS usai diperoleh konsensus para pemimpin.
- Ketua BRICS akan mengumumkan hasil konsensus tersebut dan meminta penunjukan Sherpa, yang akan menjadi saluran komunikasi utama di antara para negara anggota.
- Calon anggota BRICS resmi menjadi anggota setelah pemimpin atau menteri luar negerinya secara resmi menyatakan kepada Ketua BRICS bahwa mereka menerima undangan untuk menjadi anggota.
Â
Dr Alan Chong, peneliti senior di S Rajaratnam School of International Studies (RSIS), Singapura, menyebut BRICS adalah "alternatif kepemimpinan dalam tata kelola global".
Ketertarikan Malaysia bergabung dengan BRICS, misalnya, Chong mengatakan keanggotaan itu "akan menjadi cara meningkatkan kebijakan luar negeri (Malaysia) secara luar biasa".
Dia menambahkan: "Sekarang, (Anwar) ingin menggunakan sorotan internasional yang diam-diam telah dia kembangkan dalam beberapa tahun terakhir ini untuk memberi dampak yang baik bagi Malaysia. Mengapa tidak? Dia berhasil menghidupkan kembali hubungan China melalui inisiatif sabuk dan jalan (Belt dan Road Initiative), dan ini bagus."
AKAN TERLALU BERGANTUNG KEPADA CHINA
Bhima mengatakan, bergabungnya negara-negara ASEAN dalam BRICS akan memberikan keuntungan yang besar bagi China dalam perang dagangnya dengan Amerika Serikat, dan juga pada konflik Laut China Selatan.
"Selain itu, dalam konteks geopolitik, negara-negara ASEAN akan menghindari mengkritisi soal meningkatnya tensi konflik di Semenanjung Taiwan dan juga masalah sensitif seperti Xinjiang/Uighur," kata Bhima.
Ditambah lagi, kata Bhima, bergabungnya negara ASEAN dapat memicu ketergantungan yang berlebihan kepada China dalam berbagai aspek, terutama ekonomi.
"Sebenarnya ini sangat berisiko, karena China tengah mengalami perlambatan permintaan domestik untuk setidaknya dua sampai tiga tahun ke depan, dan masih kesulitan mengatasi krisis properti.
"Perekonomian China yang diperkirakan akan melambat, juga akan berdampak para pertumbuhan ekonomi negara-negara di kawasan ASEAN," kata dia.
Liow mengatakan perpolitikan di dalam BRICS sendiri akan menjadi sebuah batu sandungan.
"Ada hambatan besar juga, seperti negara-negara anggota yang memiliki masalah bilateral, misalnya China dan India, atau Arab Saudi dan Iran. Masalah politik dapat muncul sehingga membuat potensi (kelompok ini) sulit diwujudkan," kata dia.
Meski beberapa negara Asia Tenggara tertarik bergabung dengan BRICS, namun ada juga negara yang tidak ikut-ikutan, seperti Singapura dan Filipina.
Bhima meyakini hal ini karena adanya hubungan antara negara-negara tersebut dengan anggota BRICS.
"Singapura merasa, tanpa bergabung dengan BRICS pun, mereka sudah menjadi pusat keuangan dan investasi bagi banyak perusahaan China. Ada juga kekhawatiran kesepakatan multilateral dan bilateral ganda dengan China dan negara-negara BRICS lainnya.
"Sementara, Filipina lebih terpengaruh pada masalah sengketa Laut China Selatan, jadi mereka menjaga jarak dari China," kata Bhima.
Chong dari RSIS mengatakan meski secara "informal" China memiliki hak voting di BRICS, namun mereka berharap "hubungannya dengan Rusia tidak diterjemahkan sebagai posisi negatif di dalam BRICS."
Bhima percaya bahwa BRICS akan terus memiliki daya tarik karena manfaat ekonomi yang mungkin dihasilkannya.
"Banyak negara akan tertarik bergabung dengan BRICS jika negara-negara besar seperti China dan India menawarkan paket investasi yang riil, hambatan ekspor yang rendah ke negara-negara BRICS, meningkatkan pertukaran pengetahuan antara para pemimpin partai politik, dan memberikan kepastian tentang pinjaman mega-proyek yang sejalan dengan agenda nasional," kata dia.
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini.Â