Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.

Iklan

Asia

Analisis: Malaysia kian mesra dengan Rusia, negara Barat dan sebagian anggota ASEAN akan kegerahan

Meski banyak yang mempertanyakan kedekatan Malaysia dengan Rusia, namun beberapa pengamat justru menyebutnya sebagai realisasi "kebijakan non-blok" dan cara untuk bergabung dengan BRICS.

Analisis: Malaysia kian mesra dengan Rusia, negara Barat dan sebagian anggota ASEAN akan kegerahan

Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim bertemu Presiden Rusia Vladimir Putin di sela-sela Forum Ekonomi Timur (EEF) ke-9 di Vladivostok. (Foto: Fath Rizal/Kantor Perdana Menteri Malaysia)

JOHOR BAHRU: Dalam pidatonya pada Forum Ekonomi Timur (EEF) ke-9 di Vladivostok, 5 September lalu, Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim mengatakan negaranya yang akan menjadi ketua ASEAN tertarik menjajaki "sinergi dengan kawasan dan mitra dialog yang lain". 

"Dalam konteks ini, kemitraan ASEAN-Rusia penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, kerja sama pertahanan, dan pertukaran budaya antar kawasan," ujar Anwar yang usai berpidato menjabat hangat tangan Presiden Rusia Vladimir Putin.

Sehari sebelumnya, Anwar dan Putin melakukan pertemuan bilateral. Dalam pertemuan tersebut, Putin mengatakan Malaysia memiliki peran penting di ASEAN.

"Seperti yang Anda tahu, Rusia menaruh perhatian besar dalam meningkatkan hubungan dengan Asia Tenggara dan ASEAN," kata Putin kepada Anwar, berdasarkan transkrip yang dikirim oleh pemerintah Kremlin.

"Di bawah keketuaan Anda, kami sangat berharap Rusia bisa menjajaki peluang kerja sama baru dengan kawasan yang berkembang cepat dan menjanjikan ini," imbuh Putin.

Tahun depan, Malaysia akan mendapatkan giliran untuk menjadi ketua ASEAN. Anwar dalam pertemuan itu lantas mengundang Putin untuk menghadiri KTT ASEAN yang akan digelar di negaranya. Sebagai balasan, Putin mengundang Anwar untuk menghadiri KTT BRICS di Kazan, Rusia, Oktober mendatang.

Melalui postingan di Facebook, Anwar mengatakan bahwa undangan itu adalah "bukti nyata" akan pentingnya Malaysia bagi Rusia, serta kemajuan dari upaya Malaysia untuk bergabung dengan BRICS.

Jika Anwar menghadiri KTT BRICS, maka itu akan menjadi pertemuan kedua antara dirinya dan Putin dalam dua bulan terakhir. Para pakar kepada CNA mengatakan, perkembangan ini menunjukkan kian mesranya hubungan antara Rusia dan Malaysia.

Namun menurut mereka, kedekatan Anwar dengan Rusia akan membuat gerah beberapa anggota ASEAN serta mitra dialog mereka, terutama Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya.

Sebelum Anwar, ada beberapa pemimpin lainnya yang telah bertemu Putin usai Rusia menginvasi Ukraina lebih dari dua tahun lalu. Di antaranya adalah Perdana Menteri India Narendra Modi, Presiden China Xi Jinping, pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, panglima militer Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing dan Presiden Indonesia Joko Widodo.

Dalam pertemuan pekan lalu, Anwar memuji Putin yang menurutnya telah menciptakan kemajuan di Rusia. Anwar melanjutkan, keputusannya mengunjungi Rusia "tidaklah mudah" tapi dia yakin ini adalah "keputusan yang tepat".

Pakar geopolitik dari Universitas Islam Internasional di Kuala Lumpur, Tunku Mohar Mokhtar, mengatakan bahwa kebijakan luar negeri Rusia adalah menjauhi hubungan dengan negara-negara Barat dan mempererat kerja sama dengan negara-negara Selatan Global - Asia, Amerika Latin dan Afrika.

"Rusia masih menganggap diri mereka sebagai kekuatan besar. Dengan mendekatkan diri ke negara-negara berkembang, Rusia bisa memposisikan diri sebagai pemimpin mereka. Kekecewaan yang terus tumbuh terhadap Barat dapat membuat negara-negara seperti Malaysia dan Indonesia mendekat ke Rusia," kata Tunku Mohar kepada CNA.

Dari sudut pandang Rusia, lanjut Tunku, hubungan yang lebih kuat dengan negara-negara Asia Tenggara dapat menyeimbangkan pengaruh AS dan Barat di kawasan.

Namun dia juga mengatakan, negara-negara seperti Singapura dan Filipina dibuat gelisah dengan langkah Rusia yang gencar merapat ke Asia Tenggara.

Filipina telah sejak lama akrab dengan AS, sementara Singapura secara terbuka mengecam Rusia atas Perang Ukraina dan turut menjatuhkan sanksi bagi pemerintahan Moskow.

Di antara sanksi Singapura adalah membatasi ekspor barang-barang yang bisa digunakan sebagai senjata di Ukraina. Singapura juga memblokir beberapa bank dan transaksi keuangan yang terkait dengan Rusia.

Dr Ian Storey, peneliti senior di ISEAS-Yusof Ishak Institute, mengatakan dengan merapat ke Asia Tenggara, Putin ingin menunjukkan kepada Barat bahwa upaya mengisolasi Rusia telah gagal, terutama di antara negara-negara Selatan Global.

Storey melanjutkan, Rusia sejauh ini berhasil menghindari sanksi Barat dengan meningkatkan penjualan minyak dan gas ke negara-negara di kawasan. Namun, dia menekankan akan muncul reaksi yang beragam dari kedekatan Rusia terhadap Asia Tenggara.

"Kremlin punya sahabat lama di Asia Tenggara, seperti Vietnam, Laos, Indonesia, Malaysia dan Thailand. Rusia juga telah mendekat ke Myanmar sejak militernya mengambilalih kekuasaan pada Februari 2021. Tapi Singapura dan Filipina masih menentang agresi Rusia terhadap Ukraina," kata Storey.

Usai invasi Rusia ke Ukraina, AS kerap mengkritisi negara-negara yang mengundang Putin untuk datang.

Misalnya ketika pekan lalu Putin menyambangi Mongolia. Pemerintah AS menanggapinya dengan mengatakan seharusnya tidak ada negara yang memberikan Putin "panggung untuk mempromosikan perang terhadap Ukraina". Kalimat yang sama disampaikan AS terhadap Vietnam di awal 2024 ketika mereka mengundang Putin.

Pengamat mengatakan, undangan Anwar untuk Putin di KTT ASEAN adalah perkembangan yang menuai perhatian.

Biasanya dalam rangkaian KTT ASEAN juga terdapat pertemuan lain seperti KTT ASEAN-China, KTT ASEAN-AS dan KTT Asia Timur. Rusia, AS dan China adalah anggota dari KTT Asia Timur.

"Anwar melakukan langkah yang berani dengan mengundang Putin ke KTT Asia Timur, karena ada kemungkinan beberapa Mitra Dialog ASEAN mengancam boikot jika pemimpin Rusia itu hadir," kata Storey.

Namun Storey mencatat, Putin hanya pernah sekali menghadiri secara langsung KTT Asia Timur, yaitu di Singapura pada 2018 silam. Pada KTT ASEAN tahun depan, Putin diperkirakan hanya akan mengirim Menteri Luar Negeri Sergey Lavrov untuk menggantikannya.

Dr Azmi Hassan, peneliti senior di lembaga Nusantara Academy for Strategic Research, mengatakan banyak negara ASEAN memiliki hubungan dagang yang kuat dengan AS. Mengingat AS dan Rusia berada di dua kutub yang berbeda, undangan Anwar untuk Putin memantik pertanyaan dari beberapa negara di kawasan.

"Malaysia akan menjadi ketua ASEAN tahun depan dan hal ini akan menyulitkan bagi AS karena Malaysia tidak segan-segan bekerja sama dengan Putin dan Xi, meski Anwar telah menegaskan bahwa negaranya netral," ujar Azmi.

Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim, Presiden Rusia Vladimir Putin, dan Wakil Presiden Tiongkok Han Zheng di Forum Ekonomi Timur (EEF) di Vladivostok. (Foto: Facebook/Anwar Ibrahim)

MALAYSIA TELAH BERSIKAP NETRAL?

Pengamat mengatakan kunjungan Anwar ke Rusia telah menegaskan bahwa kebijakan Malaysia berprinsip "netral" dan 'bersahabat dengan semua'. Selain itu, pengamat menduga kunjungan tersebut juga untuk menunjukkan keinginan Malaysia bergabung dengan BRICS.

Didirikan pada 2009, awalnya BRICS beranggotakan Brasil, Rusia, India dan China. Setahun kemudian, Afrika Selatan bergabung. Organisasi negara-negara ekonomi berkembang ini terus menambah anggotanya, yaitu Mesir, Ethiopia, Iran dan Uni Emirat Arab.

Anggota BRICS berkontribusi terhadap seperempat perekonomian global, menyumbang seperlima dari perdagangan global dan mencakup 40 persen populasi dunia.

Tunku Mohar mengatakan, sikap netral Malaysia mengharuskan mereka menetapkan jarak yang sama dengan negara-negara besar dan bersahabat dengan semua.

"Malaysia punya kerja sama ekonomi, hubungan dagang dan kemitraan strategis dengan kebanyakan negara-negara tersebut. PM Anwar menekan pragmatisme dari kebijakan luar negeri Malaysia yang sesuai dengan kepentingan nasional mereka. Dalam konteks ini, pertemuan dengan Putin adalah bentuk dari kebijakan luar negeri Malaysia," kata Tunku Mohar.

Hal yang sama disampaikan Storey, yang mengatakan bahwa Malaysia telah mengedepankan "kebijakan luar negeri non-blok" demi menjaga hubungan dengan negara-negara besar tetap seimbang.

Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim berbicara di Forum Ekonomi Timur (EEF) ke-9. (Foto: Facebook/Anwar Ibrahim)

Dalam sesi dialog EEF pekan lalu, Anwar menegaskan bahwa Malaysia ingin melanjutkan kerja sama dagang dengan semua pihak, termasuk dengan AS, Eropa, China dan Rusia.

"Rusia secara tradisional adalah negara yang secara diplomatik memiliki hubungan kerja sama yang baik ... Ada peluang yang terbuka lebar, kami telah melihat kemampuan dan kapasitas Rusia untuk memperluas kerja sama di semua lini," kata dia.

Anwar juga menyampaikan bahwa Malaysia dapat memberikan nilai tambah jika menjadi anggota BRIC.

Dia berkata: "Menjadi anggota BRICS akan memungkinkan kami memberikan keuntungan dan berbagi. Malaysia saat ini adalah pusat dari semikonduktor di kawasan ... saya kira jaringan Selatan Global di BRICS ingin memberikan kami kesempatan untuk memanfaatkannya demi memastikan adanya praktik dagang yang adil, yang infrastruktur keuangan internasional-nya tidak dimonopoli oleh satu negara atau satu kawasan."

"Dan pada akhirnya hal itu akan menguntungkan, tidak hanya bagi Malaysia, tetapi juga bagi Selatan Global dan seluruh dunia," kata dia.

Menurut Storey, mendorong keanggotaan Malaysia di BRICS adalah agenda utama Anwar dalam kunjungan tersebut.

Meski Rusia memang ingin memperbesar BRICS untuk menandingi G7, namun Storey mengatakan masih belum jelas apakah Malaysia akan diberikan keanggotaan penuh pada KTT BRICS mendatang atau hanya sebagai mitra.

"Tapi, karena Malaysia adalah ketua ASEAN pada 2025, permohonan keanggotaan penuhnya kemungkinan mendapat dukungan ... para pemimpin BRICS telah menyinggung soal perlunya hubungan yang lebih dekat dengan ASEAN, jadi peluang Malaysia cukup baik."

G7 adalah kelompok informal negara-negara demokrasi maju yang terdiri dari Amerika Serikat, Jerman, Inggris, Prancis, Italia, Kanada, dan Jepang.

KONFLIK GAZA DI MATA MALAYSIA DAN INDONESIA

Para pengamat mengatakan, negara mayoritas Muslim seperti Malaysia dan Indonesia telah sangat vokal menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap posisi AS dan negara-negara Barat dalam konflik Gaza.

Bertemu dan menjalin hubungan dengan Rusia dan China menjadi cara Malaysia dan Indonesia menunjukkan penentangan mereka atas dukungan AS terhadap Israel di konflik Gaza.

Selain Anwar, presiden terpilih Indonesia Prabowo Subianto juga telah mengunjungi Rusia pada Juli lalu. Dia memberi sinyal akan menjalin hubungan yang erat dengan Rusia saat menjabat Oktober nanti, kata Storey.

Storey berkata, Malaysia dan Indonesia memandang Rusia sebagai negara yang "ramah terhadap Islam" karena sejak lama mendukung Palestina.

"Seperti kebanyakan warga Malaysia, Anwar juga mengecam pembantaian dan penghancuran di Gaza serta mengkritik Barat, terutama AS, karena menyalurkan senjata ke Israel. Hasilnya, persepsi publik Malaysia terhadap AS menurun, sementara Rusia meningkat," kata Storey.

Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim bertemu dengan para pemimpin komunitas Muslim di Rusia. (Foto: Facebook/Anwar Ibrahim)

Azmi juga mencatat, Presiden AS Joe Biden tidak menghadiri KTT ASEAN di Jakarta pada 5-7 September lalu meski telah diundang. Biden malah menghadiri KTT G20 di India pada 9-10 September.

Ketidakhadiran Biden memicu keraguan soal komitmen AS untuk Asia Tenggara. Menurut pengamat kala itu, hal ini akan membuat negara-negara ASEAN lebih condong ke China atau Rusia.

Pernyataan tersebut terbukti kebenarannya dalam kurun waktu setahun kemudian, ujar Azmi.

"Ketika Jakarta menjadi ketua ASEAN pada 2023, Jokowi juga menjalin hubungan erat dengan Putin dan Xi, hal ini membuat negara-negara Barat gerah. Malaysia juga akan menghadapi masalah yang sama tahun depan, padahal kenyataannya mereka hanya bersikap netral dan non-blok," kata Azmi.

Tunku Mohar menambahkan, condong kepada Rusia dan China untuk negara seperti Indonesia dan Malaysia sepadan dengan risikonya. Keuntungan yang didapat, kata dia, akan lebih besar ketimbang kerugian akibat renggang dengan Barat.

"Jelas, negara-negara mayoritas Muslim seperti Malaysia dan Indonesia lebih suka bekerja sama dengan negara-negara yang menunjukkan simpati terhadap perjuangan Palestina. Sikap Rusia dalam konflik Gaza telah membuatnya disukai oleh banyak negara mayoritas Muslim," katanya.

Dan untuk Anwar Ibrahim, merapat ke Rusia akan membuatnya lebih berani untuk lebih vokal bersuara soal konflik Gaza.

"Anwar memilih tetap menjaga hubungan dengan Barat, dan ketika nantinya ada kesempatan, misalnya pada pertemuan bilateral dan multilateral dengan para pemimpin Barat, dia akan terus menyuarakan perjuangan rakyat Palestina, terutama di Gaza," kata Tunku Mohar. 

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini. 

Source: CNA/da

Juga layak dibaca

Iklan

Iklan