Analisis: Akankah Sabah dan Sarawak berhasil mengupayakan otonomi yang lebih besar?
Pada bagian dua ini, CNA mencermati bagaimana pemerintahan Perdana Menteri (PM) Anwar Ibrahim memastikan implementasi Perjanjian Malaysia 1963 tidak terus mengasingkan dukungan Melayu di Semenanjung dan harus mendapatkan persetujuan kerajaan dulu untuk itu.
Simak bagian pertama analisis ini di sini.
KOTA KINABALU/KUCHING: Pemerintahan Perdana Menteri (PM) Anwar Ibrahim mengeklaim bahwa dalam setahun pemerintahannya, dia sudah berbuat banyak untuk memenuhi hak-hak Sabah dan Sarawak dalam Perjanjian Malaysia 1963 (MA63) dibandingkan pemerintahan sebelumnya selama puluhan tahun.
Pada saat yang sama, James Chin, Professor Kajian Asia di Universitas Tasmania, mengatakan Anwar juga menghadapi "rintangan besar" dalam mempertahankan dukungan Melayu di sisi Semenanjung Malaysia dan melalui monarki. Ia menekankan bahwa pada akhirnya para kerajaan Melayu yang akan memegang kekuasaan yang berdaulat di Malaysia.
Kendati demikian, Profesor Chin mengatakan pemerintah persatuan akan menyadari bahwa jika mereka terus mengecewakan jajaran politik Sabah dan Sarawak, hal ini akan membuat keadaan menjadi tidak stabil bagi pemerintah persatuan.
Yang ingin dilakukan oleh institusi-institusi Melayu di semenanjung Malaysia adalah menangani tuntutan Sabah dan Sarawak dengan "amat pelan dan hati-hati."
"Mereka tidak mau terburu-buru."
MENGAPA LAMA SEKALI?
Ketika ditanya mengenai hambatan dalam implementasi otonomi yang lebih luas, Wakil Ketua Menteri Sabah Jeffrey Kitingan menduga ada pegawai negeri sipil yang memberi masukan kepada politisi yang terlibat dalam proses perundingannya dan mereka punya andil besar dalam keputusan akhir. Alih-alih mengambil "keputusan yang berani", politisi-politisi ini malah mengikuti pendapat mereka.
Pengamat politik Murray Hunter menilai bahwa Anwar tengah mempertaruhkan dirinya dengan membuat "janji-janji yang tidak dapat terpenuhi di sana-sini." Ia juga memperhatikan bahwa perundingan MA63 kian terbebani oleh proses birokrasi yang berbelit-belit.
"Nantinya akan tertahan di komisi ini, evaluasi kementerian ini, rapat ini dengan begitu banyak laporan dan gagasan ini-itu. Sampai akhirnya, semua ini menjadi terlalu rumit untuk diwujudkan," ucapnya.
Tetapi Profesor Chin memandang bahwa partai-partai Sabah dan Sarawak tidak akan, misalnya, mengancam untuk menarik diri dari pemerintahan persatuan karena mereka tahu mereka harus menjadi bagian darinya untuk mendapatkan "otonomi maksimum".
"Karena sistem federal di Malaysia bekerja seperti itu, kalau kita tidak menjadi bagian dari pemerintah, hampir di semua kasus, pemerintah tidak akan menanggapi pihak oposisi dengan serius.
"Itu alasannya mengapa (koalisi) GPS dan GRS keduanya berada di pemerintahan federal," jelasnya. GPS adalah Gabungan Parti Sarawak dan GRS adalah Gabungan Rakyat Sabah, koalisi dengan bagian kursi perwakilan terbanyak di masing-masing pemerintahan negara bagian.
Status tuntutan Sabah dan Sarawak
Sebanyak 11 tuntutan yang diajukan Sabah dan Sarawak yang berhubungan dengan Perjanjian Malaysia 1963 (MA63) telah diselesaikan, kata Wakil PM Fadillah Yusof pada 12 September lalu.
Beberapa tuntutan yang telah diselesaikan meliputi penyerahan kuasa dalam membentuk undang-undang perihal pasokan gas, dengan mengubah UU Lembaga Pendapatan Dalam Negeri Malaysia untuk mengangkat perwakilan dari pemerintah negara bagian mereka sebagai anggota tetap dalam lembaga tersebut, dan pemerintahan yurisdiksi di kedua negara.
Media setempat sebelumnya melaporkan bahwa ada 29 tuntutan yang masih dalam pembahasan.
Fadillah - ketua komite teknis MA63 yang bertugas mengawasi pelaksanaannya - mengatakan bahwa tujuh dari tuntutan ini sudah diselesaikan di bawah pemerintahan PM Anwar Ibrahim, tiga di bawah masa jabatan Ismail Sabri Yaakob dan satu saat masa jabatan PM Muhyiddin Yassin.
"Di bawah kepemimpinan Perdana Menteri yang ke-10 (Anwar Ibrahim), banyak masalah telah dituntaskan dalam dua tahun ini," terangnya, sebagaimana dikutip oleh Bernama usai menghadiri pertemuan Dewan Aksi Perjanijan Malaysia 1963 (MTPMA63) di Sabah.
Fadillah menambahkan bahwa masih terdapat masalah-masalah lainnya yang perlu diselesaikan, termasuk hak-hak negara bagian terhadap landas kontinen, royalti minyak dan pembayaran tunai atas minyak bumi, bea materai, serta pembagian kursi di parlemen federal.
Sebelumnya pada bulan Maret, ia pernah menyebutkan bahwa durasi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tiap-tiap tuntutan bergantung pada bagaimana masalah-masalah tersebut dikaji secara mendalam. Terlebih, prosedur yang berbelit-belit dan kesiapan pemerintah negara bagian Sabah dan Sarawak perihal sumber daya manusia dan keuangannya juga diperhitungkan.
Di bulan Juni, Fadillah mengatakan bahwa Kabinet Malaysia akan mengambil keputusan mengenai perbedaan tafsir antara pemerintah federal dan Sabah dan Sarawak perihal batas dan wilayah yurisdiksi. Ia juga menyoroti bahwa perundingan ini sangatlah rumit.
Misalnya, ia menjelaskan bahwa tuntutan yang mendapat label "sepakat untuk berbeda pendapat" meliputi perihal bagaimana pemerintah negara bagian Sarawak mengambil klaim yurisdiksi atas pemungutan bea materainya, meskipun konstitusi menganggap hal itu adalah urusan yurisdiksi federal.
Tetapi dalam wawancaranya dengan CNA, PM Sarawak Abang Johari Openg mengatakan bahwa pernyataan Fadillah "disalahtafsirkan" dalam laporan-laporan media. Hal ini menimbulkan keraguan tentang seberapa banyak ruang gerak yang sebenarnya dimiliki pemerintah federal yang menyangkut hak-hak negara bagian Kalimatan atas batas-batas dan landas kontinennya.
"Batas adalah perkara yang tidak bisa dinegosiasi. Maksud Fadillah adalah, kita bisa merundingkan penggunaan lahan dan landas kontinen, tapi hak atas lahan dan landas kontinen tetaplah milik Sarawak," terangnya.
Daftar lengkap dari 29 tuntutan tersebut masih belum dirilis ke publik. Selain itu, laporan pemerintah mengenai iterasi sebelumnya dari tuntutan ini telah menjadi rahasia negara berdasarkan UU Rahasia Resmi Malaysia.
BLOK BORNEO
Bagaimanapun, kata Profesor Chin, kunci keberhasilan dalam mengupayakan otonomi terletak pada bagaimana Sabah dan Sarawak dapat bersatu dalam memperjuangkan tuntutannya. Ia menyoroti bagaimana keduanya bisa membentuk "blok Borneo", atau front persatuan koalisi Sabah dan Sarawak yang dominan.
Profesor Chin mengatakan bahwa hal ini tidak dapat diwujudkan untuk saat ini. Di saat koalisi GPS hampir menguasai seluruh parlemen Sarawak dengan 79 dari 82 kursi, GRS berkoalisi dengan koalisi Pakatan Harapan (PH), Barisan Nasional (BN) dan partai-partai lainnya untuk membentuk pemerintahan Sabah, dengan memegang 56 dari 79 kursi saja.
"Perihal Sabah, kita harus menunggu pemilihan umum negara bagian berikutnya. Jika GRS melakukan kerjanya dengan baik dan menang di Sabah dan mereka menjadi blok besar di Sabah, barulah, kita bisa katakan bahwa bersama dengan GPS, mereka bisa menjadi blok Borneo," terangnya.
Pemilihan Umum (Pemilu) Sabah berikutnya akan diadakan pada Desember 2025.
Profesor Chin mengatakan bahwa koalisi GRS dan GPS punya "kesamaan" ideologi politik. Keduanya menginginkan pemerintah federal untuk berpegang teguh pada MA63, dengan mengakui Sabah dan Sarawak sebagai salah satu pendiri Federasi Malaysia.
"Jika Anda dengar apa yang dibicarakan orang-orang di GRS dengan baik, mereka sebenarnya ingin mengikuti contoh GPS, dan mereka ingin mendominasi politik Sabah seperti halnya GPS mendominasi politik di Sarawak," imbuhnya.
Pemimpin koalisi GPS Abang Johari pernah menyebutkan bahwa koalisinya akan memperebutkan semua 82 kursi pada pemilu Sarawak berikutnya, yang akan diadakan pada 2026.
Beberapa anggota GPS telah mendesak PH oposisi untuk tidak bersaing dengan GPS untuk mencerminkan kerja samanya di tingkat federal. Akan tetapi, Abang Johari mengatakan kepada CNA bahwa "terserah mereka" jika ingin ikut serta atau tidak.
Profesor Chin berpendapat bahwa sikap koalisi GPS secara sederhana seperti "mencoba membuat negara bagian dalam negara bagian."
"Jadi, kalian bisa lihat dengan sangat jelas bahwa GPS sekarang sedang menyiapkan maskapai dan sistem transportasi ekstensif mereka sendiri. Mereka tengah melakukan begitu banyak hal yang sebelumnya dilakukan oleh pemerintah federal."
Pemerintah Sarawak pernah menyebutkan bahwa maskapai penerbangannya sendiri diperkirakan akan mulai beroperasi pada tahun 2025, menyusul pengambilalihan anak perusahan regional maskapai nasional Malaysia Airlines, MASwings.
Negara bagian tersebut juga telah mengambil alih Pelabuhan Bintulu dari pemerintah federal, berencana untuk membangun bandara internasional baru, dan sudah memulai dana kekayaan negara, sembari meningkatkan saham kepemilikannya dalam bank.
Hunter mengatakan hal ini tidak berlaku di Sabah karena koalisi semenanjung seperti PH dan BN begitu "tertanam" dalam kancah politik Sabah, sampai-sampai mereka dapat berkoalisi dengan partai Sabah yang berbeda di setiap putaran pemilihannya.
"Sabah punya visi jangka pendek dan banyak politik kepribadian. Saya rasa, ini ada kaitannya dengan kepribadian daripada alasan ideologis yang mendasar. Itu mengapa kita tidak bisa memprediksi apa yang terjadi di Sabah," tambahnya.
Pada 11 Agustus, para pemimpin koalisi PH di Sabah, beberapa di antaranya adalah menteri pemerintahan negara bagian, mengimbau untuk mengambil tindakan dengan kepala dingin setelah anggota parlemennya ditegur oleh Anwar karena telah mempertanyakan pernyataannya perihal pendanaan negara bagian. Para pemimpin itu menekankan bahwa beberapa tuntutan terkait MA63 sudah dipenuhi semasa kepemimpinan Anwar.
Kitingan mengutarakan ketidaksenangannya dengan campur tangan partai semenanjung di Sabah.
"Jika mereka memperebutkan kursi kami (kemudian mereka menang), mereka juga merenggut suara-suara kami karena anggota parlemen harus mematuhi partai-partai mereka," terangnya.
Pengamat politik Dr Johan Arriffin Samad mengakui bahwa Sabah tidak bisa dengan begitu saja menyalahkan partai-partai semenanjung atas semua masalahnya. Namun ia melihat bahwa campur tangan partai di Sabah selama bertahun-tahun ini telah memperkeruh suasana politik di sana. Sebagai contoh, ia menyebutkan satu peristiwa ketika masuknya partai pengikat koalisi BN, United Malays National Organisation, ke Sabah pada 1990-an.
"Sarawak tidak terbebani dengan keberadaan UMNO di sana. Itu mengapa mereka bebas dari segala hal. Kami dieksploitasi dan dipandang sebagai pemberi masukan tetap," kata Johan yang juga merupakan mantan pejabat eksekutif utama Institute for Development Studies di Sabah.
Pada 1994, pemerintah negara bagian Sabah, yang kala itu dikuasai oleh Parti Bersatu Sabah, digulingkan setelah banyak dari anggotanya membelot ke partai UMNO dan partai koalisi BN lainnya. Pemerintah Sabah kini masih terdiri dari beberapa anggota BN saja.
Meski partai UMNO tidak berada di Sarawak, empat partai yang membentuk koalisi GPS pernah menjadi sekutu UMNO di sana. Partai-partai ini keluar dari koalisi BN pada Juli 2018 usai koalisi tersebut kehilangan akan kekuasaaannya di tingkat federal untuk pertama kalinya, selama pemilu Mei tahun itu.
Hunter yakin bahwa Sarawak bisa menjadi kawasan otonomi sepenuhnya pada awal 2027. Ia memperhatikan bahwa rencana besar Sarawak adalah untuk menjadi pusat energi terbarukan regional dan kemungkinan akan mengekspor energinya ke wilayah semenanjung, Singapura, dan ibu kota baru Indonesia, Nusantara, yang juga berada di pulau Borneo.
"Kita nantinya akan lihat bahwa pemerintahan Sarawak, yang sangat stabil itu, hanya sekedar mengikuti alur permainan yang panjang saja. Mungkin, target mereka saat itu untuk menyingkirkan partai-partai politik di semenanjung pada pemilihan negara bagian berikutnya," kata Hunter.
Meski demikian, bagi aktivis Sarawak Peter John Jaban, pemerintahnya masih bersikap "tunduk" dengan Putrajaya. Ia menegaskan bahwa mereka secara hukum tidak menggugat "undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi" seperti Undang-Undang Laut Teritorial 2012.
UU tersebut membatasi perairan negara-negara bagian Malaysia menjadi tiga mil laut (5,5 km) dari pantai. Politisi Sabah dan Sarawak telah lama menyampaikan bahwa UU tersebut melanggar hak negara bagian untuk mengeksplorasi sumber dayanya dan menghasilkan pendapatan di dalam wilayah perbatasan lautnya. UU ini juga merupakan bagian dari tuntutan terkait MA63, yang sampai saat ini masih belum terselesaikan.
"Walau pemerintah Sarawak sedang menjalankan berbagai proyek pembangunan, pemerintah masih belum membahas ketentuan-ketentuan mendasar dalam MA63 seperti Borneonisasi (dari pegawai negeri sipil) dan pencabutan UU yang bertentangan dengan konstitusi, yang mempengaruhi hak-hak Sarawak," jelasnya.
Borneonisasi pegawai negeri sipil yang dimaksud di sini, mengacu pada upaya menjamin kesempatan warga Sarawak untuk menduduki jabatan pegawai negeri sipil teratas di negara bagiannya sendiri.
PERIHAL PEMISAHAN DIRI
Jaban memandang bahwa Sarawak masih belum berhasil mewujudkan tujuan dan manfaat dari kemerdekaannya di Malaysia. Hal ini memicunya untuk memikirkan pilihan yang tidak pernah terlintas di pikirannya, yang bisa membuat seseorang ditahan sebelum UU Keamanan Dalam Negeri Malaysia dicabut pada 2012.
"Upaya keluar dan merdeka tampaknya menjadi satu-satunya jalan untuk menentukan nasib Sarawak sendiri," jelasnya.
Voon Lee Shan, presiden Parti Bumi Kenyalang (PBK) Sarawak, mempertanyakan keabsahan dari MA63, menggaungkan argumen yang sering dilontarkan oleh orang-orang di Malaysia Timur yang mendukung Sarawak untuk memisahkan diri.
PBK, yang kerap mengupayakan kemerdekaan Sarawak secara damai, tidak memiliki kursi di badan legislatif negara bagian.
Voon menjelaskan kepada CNA bahwa ia percaya MA63 seharusnya "batal demi hukum" karena Singapura, Sabah dan Sarawak, yang dulunya menjadi koloni Inggris semasa itu, tidak memiliki kapasitas hukum untuk menandatangani perjanjian itu dengan Inggris.
Di samping itu, Voon menerangkan bahwa ada "begitu banyak pelanggaran serius" dari perjanjian tersebut, meliputi bidang-bidang seperti kebebasan beragama dan perwakilan dalam parlemen.
"Karena itu perjanjian ini tidak pernah atau bisa dilaksanakan dengan sepenuhnya, cabut atau nyatakan perjanjian tersebut tidak sah dan biarkan semua pihak menentukan nasib atau takdirnya masing-masing," ujarnya.
Dalam wawancaranya dengan CNA, PM Sarawak Abang Johari menepis klaim ini. Ia berkata bahwa hanya "sebagian kecil" warga Sarawak yang membicarakan upaya pemisahan diri ini dan mereka digiring oleh pihak oposisi yang ingin menggembar-gemborkan sentimen ini.
"Kita harus bersikap rasional. Bukan berarti suara itu (mendukung pemisahan diri) mencerminkan suara mayoritas. Dan kita harus ingat, kita punya pemilu, dan kita menang di pemilu, jadi suara mana yang (lebih) kuat?" ucapnya.
Ketika ditanya apakah ia merasa pemerintah Sarawak seharusnya bisa membuat lebih banyak upaya dalam mendorong pelaksanaan penuh dari MA63 atau tidak, Abang Johari menyebutkan bahwa posisinya "sudah sangat jelas".
"Kami hanya ingin hak-hak yang sudah terkikis itu dikembalikan, itu saja. Dan ini sudah berjalan dengan cukup baik karena PM Federal sudah menaruh keyakinan pada Fadillah," tambahnya.
"Fadillah berasal dari Sarawak. Jadi, ia (Anwar) yakin bahwa Fadillah akan membuang hal-hal yang sifatnya abu-abu."
Meski para pendukung kemerdekaan Sabah dan Sarawak merasa sangat yakin bahwa mayoritas orang-orang di negara bagian akan setuju dengan mereka, Profesor Chin dari Universitas Tasmania berpendapat bahwa menurutnya, hal ini tidak tercermin di lapangan.
"Saya pikir mayoritas masyarakat Sabah dan Sarawak mengerti bahwa memperoleh kemerdekaan terdengar bagus, tetapi sebenarnya, logistik untuk memperolehnya sangat, sangat susah," terangnya.
Memang, Aziz Ali - pemilik usaha di Kuching dan mantan eksekutif satu maskapai - merasa ragu dengan kemampuan Sarawak dalam membentengi diri jika keluar dari Malaysia.
"Soal keamanan, saya mau jujur-jujur saja, kita tidak punya tentara sendiri," ujarnya, yang khawatir akan potensi serangan oleh negara-negara tetangga dan mengingat bagaimana Malaysia pernah bentrok dengan Indonesia selama peristiwa Konfrontasi dari 1963 hingga 1966.
"Kita harus bersatu di Malaysia. Namun pemerintah federal seharusnya mulai mengembalikan semua hak-hak kami sebagai mitra, bukan sebagai negara bagian."
Kitingan juga menepis pembicaraan soal pemisahan diri. Ia mengatakan bahwa perbincangan itu hadir karena kesal melihat bagaimana negara-negara bagian di Borneo diperlakukan.
"Sama seperti suami istri, kalau kita lagi ada masalah, kita bicarakan, bukan? Ini juga begitu, dan jawabannya adalah kita selesaikan. Saya yakin akan ada solusinya, tapi yang bisa diterima," ujarnya.
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini.