Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.
Iklan

Asia

Analisis: Ada pesan dari China di balik pengibaran bendera di pulau sengketa

Hanya saling terpaut beberapa hari, China dan Filipina mengibarkan bendera di Sandy Car, saling klaim di perairan sengketa. Menurut pengamat, China ingin pamer kekuatan kepada publik dalam negeri di tengah tekanan dari Amerika Serikat.

Analisis: Ada pesan dari China di balik pengibaran bendera di pulau sengketa

Tentara China mengibarkan bendera di Sandy Cay (kiri). Dibalas oleh pasukan Filipina (kanan). (Foto: Pasukan Penjaga Pantai Tiongkok/Satgas Nasional untuk Laut Filipina Barat)

SINGAPURA: Beberapa tentara berseragam pada 25 April lalu mengibarkan bendera nasional China di pulau Sandy Cay di perairan sengketa Laut China Selatan. 

Stasiun televisi pemerintah CCTV melaporkan pengibaran bendera tersebut, menyebutnya sebagai "bagian dari operasi kendali maritim terhadap kedaulatan Beijing".

Lalu pada 29 April, media China lainnya Global Times merilis foto tentara dalam operasi dengan sandi Karang Tiexian tersebut. Dalam foto-foto itu, tentara penjaga pantai China mengibarkan bendera dan membersihkan sampah plastik botol.

Sejak tahun 1990-an, bendera China memang telah ditancapkan di pulau-pulau sengketa oleh para nelayan, tentara angkatan laut, bahkan kelompok sipil dari China. Namun menurut pengamat, ini adalah kali pertama aksi semacam itu disiarkan di media pemerintah China setelah sebelumnya selalu dilakukan tanpa publikassi.

Pengamat mengatakan, dengan disiarkannya pengibaran bendera tersebut, China ingin menunjukkan bahwa mereka tidak takut berkonfrontasi jika ada eskalasi di Laut China Selatan di tengah ketegangan dengan Amerika Serikat.

Pengamat juga menduga dengan aksi itu, pemerintah China ingin menunjukkan kepada publik dalam negeri bahwa mereka tetap tegas dalam hal kedaulatan negara, meski tengah menghadapi tekanan dari luar.

Sandy Cay adalah gugusan tiga gosong pasir kosong dekat pos militer terluar Filipina di Kepulauan Spratly.

Pada 28 April, Penjaga Pantai Filipina membalasnya dengan merilis foto mereka mengibarkan bendera nasional di pulau sengketa.

Aksi pengibaran bendera oleh China dan Filipina ini menuai protes dari Vietnam, negara yang juga mengklaim sebagian wilayah di Laut China Selatan.

Vietnam mengirim nota protes kepada kedua negara, meminta mereka "menghargai kedaulatan Vietnam, mematuhi hukum internasional dan berkontribusi pada menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut Timur". Laut Timur adalah sebutan Vietnam untuk Laut China Selatan.

Belum ada komentar dari China dan Filipina terkait protes Vietnam tersebut. Namun pengibaran bendera oleh China dilakukan di tengah latihan militer gabungan antara Filipina dan Amerika Serikat di perairan sekitar.

Latihan itu disusul dengan kunjungan Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth ke Manila, membawa komitmen penguatan kerja sama pertahanan kedua negara.

“Untuk saat ini, sifatnya lebih ke simbolis. Ini provokasi tingkat rendah yang remeh dari kedua negara... Belum mencapai tahap yang mengkhawatirkan,” kata Adib Zalkapli, Direktur Pelaksana Viewfinder Global Affairs dan analis geopolitik untuk urusan Indo-Pasifik, mengomentari pengibaran bendera oleh China dan Filipina.

Namun menurut pengamat lainnya, China tengah menegaskan posisinya terkait sengketa wilayah dan tekanan dari luar.

“Ini adalah peringatan bagi Filipina untuk tidak mempererat hubungan pertahanan dengan AS... Ini sinyal yang mengatakan, lihat nih, ini yang bisa kami lakukan untuk melawan kalian,” kata Abdul Rahman Yaacob, peneliti program Asia Tenggara di Lowy Institute.

STRATEGI 'MENGIRIS SALAMI'

Abdul Rahman menegaskan bahwa meski pengibaran bendera bukan berarti perebutan formal atau klaim hukum atas kedaulatan sebuah wilayah, namun lokasi tersebut sangat dekat dengan kawasan yang dikuasai Filipina.

“Jika China membangun infrastruktur militer tertentu di sana, mereka dapat memantau dengan ketat aktivitas di pulau-pulau Filipina di sekitarnya,” kata dia.

"Dari sudut pandang militer, terumbu itu bernilai strategis."

Abdul Rahman mengatakan, langkah China ini juga merupakan ujian bagi pemerintahan Presiden Donald Trump yang telah berjanji akan menandingi pengaruh Beijing di Indo-Pasifik dengan meningkatkan kehadiran mereka.

Selain itu, pengamat mengatakan, manuver China tersebut adalah respons simbolis namun terukur atas rencana pembelian peluncur rudal Typhon milik AS oleh Filipina.

“Melalui unjuk kekuatan ini, China sedang mengirim pesan kepada Manila dan Washington,” kata Abdul Rahman. “Pesannya adalah: meskipun ada perjanjian pertahanan baru dan semakin eratnya kerja sama militer, kenyataan di lapangan tetap sama — yaitu, China masih dapat memaksakan kehendaknya di wilayah sengketa.”

Don McLain Gill, pengamat dan dosen di Departemen Studi Internasional, Universitas De La Salle, Manila, mengatakan aksi China itu kemungkinan adalah bagian dari strategi bertahap untuk memperluas jejak mereka di Laut Filipina Selatan - sebutan Filipina untuk Laut China Selatan.

Dalam tulisan opininya pada 29 April di platform ThinkChina, Gill menggambarkannya sebagai bagian dari strategi "mengiris salami" yang biasa dilakukan China di laut sengketa.

“Sandy Cay terletak sekitar sepuluh mil laut dari Terumbu Subi atau Zamora yang telah diduduki secara ilegal oleh China dan diubah menjadi pangkalan militer dengan landasan pacu,” tulisnya.

“Dengan menguasai gosong pasir tersebut, Beijing akan membenarkan klaimnya atas Terumbu Subi dan pada akhirnya menjadi batu loncatan untuk mendorong ekspansi lebih jauh ke Pulau Pag-asa, yang memiliki fasilitas militer Filipina dan dihuni sekitar 250 warga Filipina.”

Beberapa pengamat menjelaskan bahwa strategi “mengiris salami” adalah taktik yang dilakukan China untuk memperluas klaim teritorial di Laut China Selatan melalui rangkaian langkah-langkah kecil yang terkalibrasi.

Setiap langkahnya sangat terukur untuk menghindari konflik bersenjata, namun secara bertahap membuat China pelan-pelan merambah wilayah yang diklaim pihak lain. Seiring waktu, tindakan itu akan mengubah status quo.

Pasukan Filipina dan AS melintasi Sistem Pertahanan Udara Terintegrasi Marinir (MADIS) selama latihan militer gabungan tahunan “Balikatan” di pangkalan angkatan laut di San Antonio, Zambales, pada 27 April 2025. (Foto: Reuters/Eloisa Lopez)

Salah satu contoh yang sering dikutip oleh para pengamat adalah pembangunan pulau buatan oleh China yang dimulai sekitar tahun 2014. 

Awalnya China mengatakan reklamasi dilakukan untuk kepentingan sipil dan layanan publik, namun kenyataannya pembangunan di Fiery Cross di Kepulauan Spratly berkembang menjadi fasilitas militer dengan landasan pacu, instalasi radar, dan sistem rudal.

China berdalih pembangunan ini sifatnya adalah untuk pertahanan, namun berbagai pihak khawatir akan militerisasi yang kian meningkat di wilayah tersebut.

Contoh lain dari taktik "mengiris salami" adalah pengerahan kapal-kapal penjaga pantai dan angkatan laut oleh China ke perairan sengketa tanpa adanya konfrontasi.

Menurut Gill, sejak tahun 2017, kapal-kapal China tersebut semakin sering wira-wiri di Sandy Cay. Mereka bahkan membentuk semacam garis batas de facto yang mencegah nelayan Filipina mencari ikan di wilayah itu.

Setiap dua pekan sekali, China juga mengerahkan kapal induk Shandong ke perairan utara Filipina sebagai bentuk unjuk kekuatan yang terukur. 

Pada Selasa pekan lalu lalu, Shandong yang ditemani oleh armada kapal perusak, fregat dan kapal pendukung juga terlihat di laut sengketa saat berlangsungnya latihan gabungan militer Filipina dan AS.

Kapal induk itu melintasi Selat Luzon, jalur perairan penting antara Taiwan dan Filipina. Para pengamat mengatakan, dengan cara ini China sedang menantang aktivitas militer AS di kawasan dan menegaskan sikap mereka soal kebebasan pelayaran.

Dengan sandi Balikatan, Filipina dan AS menggelar simulasi penyerangan dan penggunaan senjata canggih seperti sistem rudal anti-kapal.

“Pengerahan (kapal induk China) jelas merupakan unjuk kekuatan di tengah latihan Balikatan yang berfokus pada teknik serangan rudal anti-kapal. China ingin memberi sinyal, bahwa apa pun yang dilakukan Filipina dan AS untuk mencegah pelayaran di perairan tersebut, angkatan laut (China) tetap akan menerobosnya jika terjadi konflik," kata Collin Koh, peneliti senior di S Rajaratnam School of International Studies, Singapura.

Kapal induk China, Shandong, ditampilkan dalam cuplikan layar dari video yang dirilis oleh Komando Teater Timur Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) China pada 1 April 2025. (Foto: Komando Teater Timur)

KEKHAWATIRAN MENINGKATNYA KETEGANGAN

Menurut Adib, pengamat dari Viewfinder Global Affairs, penyiaran pengibaran bendera di wilayah sengketa oleh media China memberikan makna simbolis yang lebih mendalam lagi.

"Pemilihan waktunya juga tepat," kata Adib.

"China tengah mendapatkan tekanan dari AS, terutama dengan penerapan tarif dagang baru. Selain itu, Beijing juga ingin menyampaikan pesan kepada publik dalam negeri bahwa meski ada tantangan dari luar, tetapi kepentingan nasional dan klaim teritori tetap menjadi prioritas utama."

Hal senada disampaikan Abdul Rahman dari Lowy Institute yang mengatakan bahwa langkah China ini juga dimaksudkan memberi pesan kepada publik di dalam negeri, terutama di tengah kondisi ekonomi saat ini.

Namun, ia memperingatkan agar tidak langsung mengaitkan perkembangan di Laut Cina Selatan dengan ketegangan perdagangan antara China dan AS.

“Negara-negara biasanya memisahkan isu ekonomi dari persaingan geostrategis,” katanya.

“Alih-alih menjadi respons langsung terhadap tarif AS, ini lebih kepada upaya meyakinkan publik China bahwa pemerintah Beijing tetap proaktif dalam menegaskan posisinya terhadap Filipina di perairan yang disengketakan.”

Pengamat sepakat, peristiwa di Sandy Cay telah memperburuk ketegangan antara China dan filipina.

Adib mengatakan China memang belum merebut pulau tersebut, namun jika Beijing melakukan tindakan lebih lanjut - seperti menurunkan pasukan atau membangun fasilitas permanen - hal itu bisa memicu risiko konflik dengan Filipina.

"Patut dicatat bahwa China belum mengambil tindakan lebih lanjut, sehingga untuk saat ini pengibaran bendera hanya aksi simbolik," kata dia.

"Tapi kenyataan bahwa mereka bisa mendarat di pulau tersebut menunjukkan kemampuan China untuk mengambil tindakan tegas jika mereka mau. Pendaratan itu sendiri adalah pesan jelas bagi Filipina."

Tentara Filipina menembakkan howitzer selama latihan militer gabungan tahunan antara pasukan AS dan Filipina dengan sandi "Balikatan", di Aparri, provinsi Cagayan, Filipina, 3 Mei 2025. (REUTERS/Lisa Marie David)

Abdul Rahman khawatir peristiwa terumbu Mischief pada 1995 akan terulang. Ketika itu, China melakukan pembangunan pertama struktur bangunan di pulau sengketa, memicu reaksi keras dari Filipina. Sejak saat itu ketegangan terus terjadi di antara kedua negara.

Abdul Rahman menampik dugaan sikap tegas Filipina terkait Laut China Selatan telah disetir oleh AS. 

“Dalam percakapan saya dengan pejabat Filipina, jelas pendekatan mereka terhadap Laut China Selatan diambil sendiri. Mereka berhati-hati agar tidak terlihat terlalu dipengaruhi oleh AS,” katanya.

“Saya tidak melihat ini sebagai perpanjangan upaya AS untuk mengendalikan ekonomi China.”

Di bawah pemerintahan Presiden Ferdinand Marcos Jr, Filipina mengadopsi strategi yang lebih tegas dalam mempertahankan klaim teritorialnya di Laut Filipina Barat, kata Gill dari Universitas De La Salle.

Gill berpendapat bahwa meskipun China belum sepenuhnya menguasai Sandy Cay, Filipina harus tetap waspada dan mempertahankan kehadirannya di perairan yang secara strategis penting itu.

Patroli gabungan yang terkoordinasi dan berulang dengan mitra pertahanan, tambahnya, sangat penting untuk menangkis upaya China yang berusaha membentuk status quo secara sepihak.

Kendati taktik yang dilakukan Beijing di Laut Cina Selatan, namun hubungan China dengan negara-negara Asia Tenggara secara umum tetap bersahabat dan didasarkan pada kepentingan bersama, kata Adib.

“Perkembangan terbaru ini juga datang setelah kunjungan yang dilakukan (Presiden China) Xi Jinping ke Kamboja, Vietnam, dan Malaysia,” katanya.

“Ini mencerminkan strategi yang terukur — Beijing ingin mempertahankan hubungan persahabatan, sambil menunjukkan bahwa mereka tidak akan mengkompromikan kepentingan utama, terutama kedaulatan di perairan sengketa.”

Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. Pastikan fungsi notifikasi telah dinyalakan dengan menekan tombol lonceng.

Source: CNA/da

Juga layak dibaca

Iklan
Iklan