'Kok diajak jalan?' Stigma sosial tak halangi bisnis ritel untuk rangkul autisme
Bagi para pengasuh penyandang autisme, memikirkan keluar untuk belanja saja sudah bikin cemas. Dapatkah toko-toko ritel bantu mereka? Sebagian sudah memulainya.
SINGAPURA: Sepekan jelang seremoni kelulusan sekolah, si kembar Amirizdzakir dan Amirizdzakwan memilih-milih pakaian untuk acara tersebut.
Saat kedua remaja itu keluar dari kamar pas mengenakan kemeja yang mereka inginkan, ayah mereka, Izwar Mohamed, tersenyum lebar.
Â
"Ini benar-benar bersejarah," ujarnya, bukan karena kelulusan mereka, tetapi karena apa yang tengah ia saksikan. Pada usia 18 tahun, kedua putranya untuk kali pertama mencoba pakaian di toko.
Kedua putranya, dipanggil Dzakir dan Dzakwan, memiliki keterlambatan perkembangan global serta ciri-ciri terkait gangguan spektrum autisme.
Keluar rumah bisa jadi pengalaman menegangkan untuk keluarga ini. Bagi Dzakir dan Dzakwan, tempat yang ramai dengan hiruk-pikuk suara dan musik dari toko-toko, berikut terangnya lampu dan beragam bau, merupakan stimulasi yang berlebihan.
Menurut ibu mereka, Norhayati Johari, keduanya bisa hilang kendali (mengalami meltdown) sampai-sampai jatuh ke lantai begitu tiba di tujuan.
Namun kali ini, sejam sebelum gerai buka, mereka mengunjungi Uniqlo 51 @ Ang Mo Kio, Singapura, untuk sesi belanja pribadi tanpa biaya tambahan, bagian dari inisiatif baru yang diluncurkan peritel mode tersebut tahun lalu. Sesuai permintaan keluarga ini, lampu-lampu diredupkan dan musik dimatikan.
Â
Belakangan ini, inisiatif serupa kian bermunculan, bantu jadikan pengalaman berbelanja bagi keluarga dengan kebutuhan khusus makin menyenangkan.
Sebagai contoh, bulan depan, 17 toko di enam pusat perbelanjaan Singapura — Causeway Point, Hougang Mall, Northpoint City, Tiong Bahru Plaza, Waterway Point, dan White Sands — di bawah Frasers Property Singapore akan mengadakan "waktu tenang" di jam pertama buka tiap satu atau dua pekan.
Dalam satu jam tersebut, lampu-lampu redup, tak ada musik, tak ada layar digital, dan tak ada pembersihan sehingga tak ada bau deterjen menyengat maupun nyaringnya penyedot debu. Para pembeli lain tetap dapat berkunjung pada jam ini.
Merek yang telah bergabung dalam program Inclusion Champions ini antara lain penyedia layanan potong rambut EC House dan toko mainan Toys "R" Us.
Para pakar dan orang tua dari anak-anak berkebutuhan khusus memuji hal ini sebagai langkah awal yang baik. Tetapi, dalam praktiknya, seberapa jauh kebutuhan mereka terpenuhi? Dan akankah dengannya masyarakat Singapura kian ramah autisme?
WAKTU, TEMPAT, EKSPLORASI
Dzakwan yang tak rewel setibanya di Uniqlo merupakan tanda pertama bagi keluarganya bahwa pengalaman belanja mereka sepertinya akan lancar. Ketimbang Dzakir, Dzakwan lebih sensitif terhadap bising dan tempat asing.
Tanpa musik di toko, keduanya terlihat nyaman, kata Norhayati kepada staf yang bertugas. Jika tidak, Dzakir bakal menariknya menuju sumber musik.
Dan jika biasanya Norhayati merasa "tertekan" karena harus memastikan keduanya tidak memengaruhi para pelanggan lain, kini Dzakir dan Dzakwan dapat melesat lintasi lorong-lorong toko dan menyentuh apa pun demi tuntaskan rasa ingin tahu mereka.
Yang demikian membantu menenangkan mereka, terutama di lingkungan baru, kata saudara perempuan mereka, Nur Laiyinah Najihah Noor Izwar, 22 tahun.
"Saya tadinya agak takut karena Dzakwan agak gelisah. Tapi karena dia punya waktu untuk diri sendiri, dan kesempatan untuk sedikit mengeksplorasi, itu bikin dia tenang dengan sendirinya," ujarnya.
Izwar, 56, pun terkejut senang mengetahui anak kembarnya punya selera berpakaiannya sendiri: Antara kotak-kotak dan polos, Dzakwan memilih yang terakhir.
Biasanya, Norhayati yang membelikan mereka pakaian. Di sini, "setidaknya mereka bisa menentukan pilihan sendiri," kata perempuan 52 tahun itu.
Kedua remaja yang nonverbal itu pun tampak menikmati waktu mereka di luar rumah. "Tidak kelihatan dari raut wajah, tapi dari gerakan mereka, bahasa tubuh mereka. Mereka sangat bangga," ujar Izwar.
Ia menambahkan, meski akan sangat membantu jika ada lebih banyak gerai Uniqlo dengan layanan belanja pribadi seperti ini, keluarganya senang berkendara dari rumah mereka di Pasir Ris ke Ang Mo Kio.
Toh mereka pun pernah mengunjungi penata rambut khusus yang teramat penyabar di Johor Bahru, Malaysia, demi merapikan rambut si kembar.
"Kalau kami benar-benar ke toko, ya cuma ambil lalu pergi," kata Norhayati. "Kami tidak punya ekspektasi yang terlalu tinggi karena kami datang dari (bekal pengalaman) nol, jadi ini bagus sekali buat kami.
"Setidaknya saya tahu ada tempat (di mana) saya tidak perlu khawatir (apakah si kembar) begini atau begitu. Tidak perlu mempersiapkan banyak hal; tinggal datang saja."
KEKHAWATIRAN PRAKTIS MASIH ADA
Waktu yang biasa dialokasikan untuk sesi privat Uniqlo adalah Kamis sebelum toko buka pada pukul 11:00. Sementara itu, waktu tenang Frasers Property adalah pada Senin dan Selasa pagi.
Namun, sebagai ibu tiga anak, Christine (ia minta disebut nama depannya saja) mempertanyakan apakah waktu-waktu di hari kerja tersebut cocok untuk orang tua yang bekerja seperti dirinya. Anak Christine yang kedua, usia 4 tahun, memiliki kebutuhan khusus.
Menurut EC House, mereka memilih jam pertama buka, ketika pengunjung biasanya tak padat, agar dapat "menanggapi (momen khusus) dengan lebih percaya diri".
Ke depannya, EC House mungkin akan mempertimbangkan untuk memperpanjang durasi waktu tenang atau menyelenggarakannya lebih dari sekali seminggu setelah "mengamati keefektifannya dan mengidentifikasi potensi konflik operasional".
"Kalau segala sesuatunya berjalan lancar, kami akan pertimbangkan untuk ekspansi (waktu tenang) ini ke gerai-gerai EC House lain di seluruh Singapura," ujar seorang juru bicara.
CEO Uniqlo Singapura, Yuki Yamada, menyatakan bahwa inisiatif terkini yang disebut Uniqlo Access ini merupakan "langkah awal". Peritel tersebut akan mempertimbangkan pengembangan layanan ini untuk mencakup akhir pekan. Mereka pun berencana memperluas layanan ini ke gerai-gerai baru maupun yang telah ada di Singapura.
"Kami akan menghargai lebih banyak umpan balik, positif maupun negatif, lalu kami akan lihat ... bagaimana kami bisa menyesuaikan bisnis kami," katanya. "Itulah cara kami maju ke tahap selanjutnya."
Waktu tenang mungkin bermanfaat bagi sebagian orang. Namun, Rajendran K. Sethuraj, 57, selaku orang tua menekankan beragamnya kebutuhan orang-orang di spektrum autisme. Misalnya, putranya menyandang autisme moderat; ia bisa baik-baik saja di keramaian, namun terpancing oleh aroma pisang yang samar.
Hal yang lebih penting bagi Rajendran adalah staf yang siap memberikan dukungan saat keadaan memburuk.
"Saat ada meltdown, (kami) hanya fokus (pada anak)," katanya. Apabila staf bisa mengarahkan ke area tenang terdekat di dalam toko atau pusat perbelanjaan, atau sekadar bertanya bagaimana mereka dapat menolong, menurutnya itu akan "sangat membantu".
Ia juga berharap layanan dukungan ini bisa lebih dikenali, misalnya dengan seragam maupun tanda khusus yang dikenakan oleh staf, ataupun tanda penunjuk toko mana yang ramah autisme.
"(Pusat perbelanjaan itu) kan besar sekali? Kalau Anda bilang, 'kami ramah autisme', bagaimana saya bisa tahu? Mana tanda-tandanya?" katanya.
"Publisitas gamblang seperti ini akan meyakinkan (para orang tua). ... Setidaknya mereka perlu tahu, kalau terjadi sesuatu, mereka tidak akan sendirian ataupun dihakimi."
Untuk itu, para penyewa yang menerapkan inisiatif dari Frasers Property, berikut para staf lini depan dan korporat, akan mengikuti pelatihan penanggap pertama untuk insiden-insiden terkait autisme, diselenggarakan oleh St Andrew's Autism Centre.
Sementara itu, Uniqlo telah melibatkan badan amal SPD yang mendukung para penyandang disabilitas belajar, fisik, dan sensorik guna melatih staf mereka tentang kesadaran akan disabilitas. Hingga kini, hampir 80 staf telah ikut serta.
Menurut Alina Chua, konsultan utama autisme di Autism Resource Centre (ARC) Singapura, beberapa tahun ini, mereka melihat adanya peningkatan permintaan dari berbagai organisasi untuk penyelenggaraan pelatihan kesadaran autisme. Aneka organisasi ini meliputi tempat-tempat wisata utama, organisasi masyarakat, dan penyedia transportasi.
BUKAN CUMA SOAL LABA?
Meski berbagai upaya ini patut diapresiasi, Dino Trakakis, pendiri penyedia terapi intervensi dini Autism Recovery Network, khawatir hal-hal tersebut tidak akan berkembang.
"Cuma perlu beberapa peristiwa — hal-hal tidak beres — yang akan bikin mereka stop," kata Dino. Jika amukan seorang anak membuat pelanggan-pelanggan lain kabur, bisnis-bisnis akan kehilangan potensi penjualan, paparnya.
"Ada 'jam tenang' atau 'jam berisik', toh harga sewanya sama saja. ... Memangnya seberapa besar mereka siap rugi?" tanyanya.
Menurut Yuki Yamada, biaya "tentu penting bagi kami untuk bertahan selaku bisnis di sini" tetapi itu "tidak terlalu jadi pertimbangan" bagi inisiatif Uniqlo ini, yang merupakan bagian dari konsep dan misi merek perusahaan: Made for All (Dibuat untuk Semua).
Dengan memikirkan nilai-nilai perusahaan “ketimbang sudut pandang keuntungan”, Uniqlo dapat mengembangkan lebih banyak inisiatif yang peduli akan komunitas, ujar direktur senior keberlanjutan Uniqlo Singapura, Hwee Lee. “Keuntungan itu untuk kita kembalikan ke masyarakat, kan?”
Mengenai disrupsi, menurutnya: "Ini soal melibatkan pelanggan kami dalam upaya ini.
"Satu tujuan utama kami adalah agar di toko-toko kami para pelanggan bisa turut merangkul para penyandang disabilitas yang berbelanja di sekitar mereka. Kalau mereka lihat ada yang butuh bantuan dan sedang dilayani oleh staf kami, mereka bisa sedikit bersabar."
Berdasarkan pengalaman dalam melayani pelanggan penyandang autisme, EC House menyatakan "mereka tidak seribet yang mungkin diasumsikan orang."
"Kuncinya adalah berkomunikasi dengan pengasuh dan bertanya bagaimana kami bisa bikin proses potong rambutnya lebih nyaman buat mereka," ujar juru bicara EC House. "Kami sering butuh waktu ekstra untuk beri perhatian, tapi tim kami sabar dan telaten."
Ditanya mengapa Frasers Property Singapore berinvestasi dalam program Inclusion Champions, Soon Su Lin selaku CEO mengatakan bahwa di pusat perbelanjaan "orang-orang dari berbagai latar belakang bertemu dan berbagi pengalaman".
"Maka dari itu, penting bagi kami untuk merangkul dan meningkatkan inklusivitas. ... Kami percaya kami bisa membuat perbedaan dengan memfasilitasi lingkungan yang lebih mendukung dan peduli di mal-mal kami."
Selain orang dengan autisme, perusahaan ini juga bertujuan mendukung para penyandang demensia. Beberapa toko serta semua konter layanan pelanggan — sejumlah 29 titik di 10 pusat perbelanjaan — akan jadi titik-titik kunjungan bagi penyandang demensia.
REGULASI ATAU INISIATIF SUKARELA?
Kekhawatiran lain yang dikemukakan Dino Trakakis adalah tidak meratanya layanan ini di Singapura.
"Kita perlu memahami (inklusivitas) sebagai masyarakat, bukan cuma ... sebagai satu atau dua perusahaan," ujarnya. "Supaya ke mana pun pelanggan berkunjung, (perlakuannya) akan sama."
CNA Insider menanyai dua grup real estat lain, mencakup lebih dari 20 pusat perbelanjaan di seluruh Singapura, dan keduanya tidak memiliki inisiatif serupa.
Dino menyarankan adanya regulasi yang mewajibkan penyelenggaraan pelatihan kesadaran disabilitas bagi perusahaan, khususnya di industri layanan. Namun, Ivan dari SPD berpendapat bahwa inisiatif sukarela "lebih efektif" dalam menciptakan masyarakat yang lebih inklusif.
"Untuk mempengaruhi peritel yang bisa dan mau melakukan perubahan itu — itu justru lebih berdampak, lebih manjur daripada memaksa mereka lewat undang-undang," ujar Ivan yang berkutat di pusat teknologi asistif SPD serta memimpin tim penyedia pelatihan untuk berbagai perusahaan.
"(Perusahaan-perusahaan perlu) melakukan ini-itu karena ingin mengadakan ruang yang bisa diakses. ... Ketika itu terjadi, perubahannya nyata dan mendalam."
Menurut Ivan, peritel juga perlu menyadari bahwa ada keuntungan yang hilang jika mereka enggan merangkul inklusivitas.
"Ada pasar penyandang disabilitas yang belum tersentuh, dan mungkin termasuk para pengasuh mereka juga, yang tidak akan mengunjungi suatu tempat karena tidak nyaman," ujarnya, mengacu pada disabilitas di luar gangguan spektrum autisme.
"Jika segmen ini Anda abaikan, bisa jadi Anda mencoret 25 persen dari keuntungan."
Ia menambahkan, menampilkan "lebih banyak kisah sukses" akan membantu memotivasi berbagai bisnis untuk menginvestasikan waktu dan sumber daya.
"Kita perlu terus bersuara," imbuhnya. "(Kita harus) bisa jalin hubungan dengan para peritel, organisasi, untuk bilang bahwa hal ini ... toh nantinya akan membantu staf mereka, organisasi mereka untuk lebih terbuka dan lebih berempati kepada masyarakat."
KE JENJANG BERIKUTNYA
Yang paling dikhawatirkan orang tua saat pergi bersama anak-anak mereka yang memiliki kebutuhan khusus adalah penilaian orang lain.
Rajendran ingat tatapan yang dilemparkan ke arah keluarganya tiap kali anaknya mengalami meltdown di tempat umum. Kadang ada komentar: "Sudah besar kok tidak tahu bersikap di tempat umum?" atau “(Orang) yang seperti itu kok diajak jalan?”
Namun, ia dan istrinya belajar untuk menerimanya dengan tenang. Putra mereka kini berusia 24 tahun dan bisa naik kereta sendiri.
"Kami bertekad membesarkannya seperti keluarga lain. Kami tetap keluar rumah; kami hadapi meltdown¬-nya," ujarnya. "Anak saya harus memiliki kualitas hidup yang baik. Dan keluar rumah adalah bagian dari itu."
Akan tetapi, bagi Christine, kemungkinan keluar rumah membuatnya "gamang".
Menurut Christine, anaknya yang berusia 4 tahun mengidap sindrom Williams, kondisi genetik langka yang ditandai dengan masalah makan, penyakit jantung, dan perkembangan yang lambat. Ia sensitif terhadap suara nyaring mendadak — meski pemicunya bisa apa saja — dan ia pun nonverbal.
“Sangat menegangkan” bagi Christine ketika ancaman meltdown yang diiringi tatapan orang-orang selalu ada.
Dan rasa bersalah terus menggerogoti Christine. Terakhir kali dia dan suaminya mengajak ketiga anak mereka — yang tertua berusia 7 tahun, yang bungsu 1 tahun — keluar untuk rekreasi bersama adalah ke S.E.A. Aquarium tahun lalu.
Akhir-akhir ini, jika tak keluar sebentar untuk makan sekeluarga, dia kadang mengajak anak sulungnya jalan berdua saja.
Terlepas dari rasa ragunya akan pengaturan waktu saat ini, Christine berharap akan ada lebih banyak toko yang "mengumumkan secara terbuka" bahwa mereka merangkul orang-orang berkebutuhan khusus.
"Jika ... anak saya meltdown, saya (tidak perlu) buru-buru pergi. Dan saya (tidak perlu) memaksanya untuk berhenti menangis," harapnya.
Itu juga akan menyemangati kami ... untuk lebih banyak keluar rumah, untuk bisa menjajal (inisiatif ini), ... untuk sekiranya jalani hidup yang lebih normal."
Dino Trakakis berharap ada kampanye nasional — seperti kampanye lawan diabetes — terkait autisme. Misalnya, meningkatkan kesadaran publik tentang perilaku para penyandang autisme dan apa yang dibutuhkan ketika terjadi meltdown.
Secara umum, pemahaman tentang autisme kian berkembang, kata Alina dari ARC. "Sebagai masyarakat, kita kini bisa naik tingkat ke jenjang berikutnya: bagaimana merespon autisme.
"Kita butuh penerimaan yang lebih luas terhadap beragam cara berpikir, bertindak, dan berkomunikasi."
Dan di situlah bisnis dapat berperan, ujar Ivan Tan. Efek menonjol dari makin banyaknya peritel yang terbuka terhadap penyandang autisme adalah dikedepankannya empati — perubahan sikap dari "saya tahu" ke "saya merangkul" — seiring kian lazimnya kita berinteraksi dengan para penyandang disabilitas, pungkasnya.
Baca artikel ini dalam bahasa Inggris di sini.