Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.

Iklan

Asia

Alasan China jadi salah satu negara termahal untuk punya anak, dan ini bukan cuma soal uang

Jika diukur dari PDB per kapitanya, China adalah negara kedua termahal di dunia untuk membesarkan anak. Tapi ini bukan cuma soal biaya, ada harga lain yang mesti dibayar para orang tua.

Alasan China jadi salah satu negara termahal untuk punya anak, dan ini bukan cuma soal uang

Seorang ibu berjalan bersama putri kembarnya di sebuah jalan di Shanghai, China. (Foto arsip: REUTERS/Aly Song)

SINGAPURA: Pengeluaran untuk pendidikan menjadi salah satu penyumbang terbesar bagi tingginya biaya membesarkan anak di China, sebuah negara yang masih menganggap pendidikan tinggi sebagai kunci kesuksesan. 

Hal ini terungkap dalam laporan yang dirilis sebuah lembaga peneliti di China pada Februari lalu, yang menyatakan bahwa biaya membesarkan anak hingga usia 18 tahun di negara itu "hampir yang termahal di dunia", jika diukur dari produk domestik bruto (PDB) per kapitanya.

"Angka kesuburan di China telah mengalami penurunan tajam. Dengan jumlah anak yang lebih sedikit, para orang tua cenderung memusatkan lebih banyak sumber daya untuk membesarkan dan mendidikan generasi berikutnya ini," kata Dr Zhao Litao, peneliti senior di Institut Asia Timur, National University of Singapore (NUS).

Menurut pengamat, harga dari membesarkan anak di China lebih dari sekadar masalah uang. Ada pengorbanan lain seperti waktu yang terpaksa diluangkan atau hilangnya peluang karier bagi orang tua di China. Pengamat mengatakan, pengorbanan ini kebanyakan dialami oleh sang ibu akibat norma-norma yang masih berlaku di Tiongkok.

Pemerintah setempat memang memberikan berbagai tunjangan bagi para orang tua di China, namun pengamat beranggapan yang diperlukan saat ini adalah perubahan pola pikir soal peran orang tua dan definisi kesuksesan. 

MAHALNYA MENJADI ORANG TUA DI CHINA

YuWa Population Research Institute, lembaga yang merilis laporan tersebut, menyatakan bahwa rata-rata nasional untuk membesarkan seorang anak di China hingga usia 18 tahun adalah sekitar 538.000 yuan (Rp1,2 miliar). Biaya ini termasuk ongkos pengasuh dan penitipan anak, biaya sekolah dan buku-buku pendidikan serta kegiatan ekstrakurikuler.

Angka ini sekitar 6,3 kali lipat dari PDB per kapita China dan "hampir yang tertinggi di dunia", bunyi laporan tersebut.

Menjadi sorotan juga adalah bagaimana China jauh melampaui negara-negara lain dalam ongkos membesarkan anak ini, di antaranya negara tetangga Jepang (4,26 kali), Amerika Serikat (4,11 kali), Prancis (2,24 kali) dan Australia (2,08 kali). Di atas China, ada Korea Selatan sebagai negara dengan biaya termahal menjadi orang tua, mencapai 7,79 kali lipat dari PDB per kapita.

Beijing dan Shanghai merupakan kota termahal di China untuk membesarkan anak - dengan biaya masing-masing sekitar 936.000 yuan dan 1,01 juta yuan.

Jika turut memperhitungkan biaya pendidikan universitas, maka rata-rata nasionalnya naik lebih dari 25 persen mencapai 680.000 yuan (Rp1,5 miliar). Perhitungan pendidikan tinggi ini dimasukkan dalam laporan karena kebanyakan orang tua di China masih membiayai kuliah anaknya kendati mereka sudah berusia 18 tahun ke atas.

Para netizen mengkritisi laporan hasil riset tersebut melalui kolom komentar di media sosial Weibo, seperti diberitakan oleh Sina Finance. 

Salah satu komentar yang mendapat like lebih dari 6.000 berbunyi: "Perkiraannya seharusnya mencapai jutaan, 680.000 (yuan) terlalu sedikit."

"30.000 yuan setahun? Ini cuma pengeluaran rata-rata, tidak cukup untuk mereka yang tinggal di kota besar," kata pengguna lain.

Beberapa pengguna Weibo mempertanyakan laporan soal biaya orang tua di ibu kota Beijing yang menurut mereka seharusnya lebih tinggi. "Beijing seharusnya sekitar 2 juta yuan (Rp4,4 miliar), dan ini belum termasuk rumah...," demikian bunyi salah satu komentar.

Komentar lainnya yang mendapatkan sekitar 3.000 like mempertanyakan efektivitas penggunaan angka rata-rata sebagai tolok ukur.

"Keluarga normal yang membesarkan anak dengan nilai sekolah yang bagus hanya perlu membayar biaya kuliah beberapa ribu yuan saja per tahun," bunyi komentar tersebut.

"Sementara itu, keluarga kaya bisa menghabiskan ratusan ribu yuan untuk menyekolahkan anaknya di luar negeri... tidak ada gunanya menghitung secara rata-rata."

MEROGOH KOCEK DALAM-DALAM UNTUK PENDIDIKAN

Laporan YuWa menyebutkan bahwa biaya pendidikan adalah porsi terbesar dari keseluruhan anggaran orang tua dalam membesarkan anak di China. Masih banyak orang di negara ini yang menganggap pendidikan tinggi adalah kunci kesuksesan.

"Lulus (dari universitas ternama) menjamin masa depan yang cerah dengan status, kekayaan, dan bahkan kekuasaan," bunyi artikel yang dirilis oleh South China Morning Post pada 2017.

Alasan ini menyebabkan adanya "tekanan persaingan luar biasa yang memaksa orang tua mendapatkan pendidikan terbaik bagi anak-anak mereka", kata Zhao.

Proses memberikan pendidikan terbaik di China juga sudah dimulai sejak dini.

Sekolah-sekolah di negara ini memiliki kualitas yang tidak seragam. Kebanyakan keluarga di daerah perdesaan lebih memilih memasukkan anak-anak mereka di perkotaan, ketimbang sekolah desa yang dianggap "berkualitas rendah". Sementara keluarga perkotaan akan membeli apartemen mahal dekat sekolah unggulan atau membayar lebih banyak agar anak mereka bisa sekolah favorit.

Profesor Stuart Gietel-Basten dari Hong Kong University of Science and Technology (HKUST) menyuarakan hal yang sama, dengan mengkategorikan "sekolah mahal" dan kursus musik sebagai "biaya tambahan". 

"Tidak perlu memasukkan anak ke sekolah mahal untuk dapat pelajaran klarinet atau oboe, dan Anda tidak perlu TK dan tempat penitipan anak yang terbaik.

"Di Asia, keluarganya cukup kecil ... Kita dihadapi tekanan untuk membuat anak-anak kita sukses ... (dan) jalan menuju kesuksesan cukup sempit," kata Prof Gietel-Basten, yang juga menjabat direktur Pusat Ilmu Penuaan di HKUST.

"Meski di China daratan banyak universitas ... orang tua ingin anaknya sukses dan memilih kampus tertentu."

Sayangnya menurut Gietel-Basten, sikap orang tua ini dimanfaatkan oleh kampus untuk menangguk untung, namun pada akhirnya tidak memberikan perubahan yang berarti bagi keluarga mahasiswa.

Dengan adanya anak yang kuliah, maka beban keuangan keluarga di China semakin berat, kata Zhao.

"Bagi keluarga dari perdesaan, anggaran untuk kuliah anak memakan porsi 35 persen dari total pengeluaran rumah tangga. Jika ditotal, maka membesarkan anak di China biayanya sangat mahal."

KURANGNYA DUKUNGAN BAGI IBU

Hasil studi Yuwa institut juga menyebutkan bahwa membesarkan anak di China bukan hanya sekadar beban finansial - tetapi juga ada harga yang harus dibayar orang tua, terutama ibu, yaitu hilangnya waktu dan peluang.

Zhao yang mengutip survei pemerintah China pada 2017 mengatakan kurangnya pengasuhan keluarga adalah satu dari tiga alasan utama mengapa perempuan usia subur di China tidak ingin menambah anak.

Menurut laporan YuWa institut, faktor lain yang harus dipertimbangkan oleh "keluarga usia subur" yang membesarkan anak adalah cuti melahirkan, waktu yang dibutuhkan untuk mengawasi anak dan menjemputnya (dari penitipan anak), serta waktu yang dibutuhkan untuk membantu anak mengerjakan PR dan melakukan pekerjaan rumah tangga.

Laporan itu juga menyebutkan adanya pengurangan upah kerja per jamnya bagi pekerja perempuan, terutama ketika anak mereka berusia di bawah 4 tahun. Namun, hal yang sama tidak berlaku untuk pria ketika mereka menjadi ayah.

Selain berkurangnya jam istirahat bagi ibu dan ayah, ada juga pengurangan gaji ketika seorang perempuan memiliki anak. Menurut penelitian yang dikutip oleh laporan YuWa institut, setiap anak yang lahir di China membuat gaji perempuan turun 12 hingga 17 persen.

Gietel-Basten juga menunjukkan berapa banyak wanita di China yang terpaksa keluar dari pekerjaan karena tiadanya bantuan dari keluarga dan "harus melakukan semua pekerjaan rumah sendirian" karena kurangnya keseimbangan dalam peran gender.

South China Morning Post melaporkan, temuan dalam survei terbaru dan proposal yang diajukan selama rapat kongres besar China menyoroti bahwa perempuan di negara itu masih mengalami kerugian yang besar di berbagai bidang, mulai dari pengembangan karier hingga beban pekerjaan rumah tangga.

Laporan tahunan yang diterbitkan awal Maret lalu oleh platform rekrutmen Zhaopin.com menunjukkan bahwa perempuan berkarier di China mendapatkan gaji sekitar 13 persen lebih rendah dibanding kolega pria mereka. Kesenjangan ini tidak berubah selama beberapa tahun terakhir.

Sementara itu, lebih dari 70 persen perempuan karier menghabiskan lebih dari dua jam untuk melakukan pekerjaan rumah tangga setiap hari, sedangkan kurang dari setengah pria yang melakukan hal serupa, demikian laporan tersebut menyebutkan.

"Karena alasan-alasan seperti tingginya biaya persalinan dan sulitnya bagi perempuan untuk menyeimbangkan antara keluarga dan pekerjaan, rata-rata kesediaan untuk memiliki anak bagi masyarakat China adalah yang terendah di dunia," tulis laporan tersebut.

Angka kelahiran nasional di China mencapai rekor terendah yaitu 6,39 kelahiran per 1.000 orang tahun lalu. Penurunan selama beberapa dekade ini adalah akibat dari kebijakan satu anak yang telah berlangsung lama di Tiongkok. Kebijakan ini sempat dilonggarkan dua kali pada 2021, membuat pasangan di China boleh memiliki hingga tiga anak. Namun, kelonggaran ini tidak juga berhasil meningkatkan angka kelahiran bayi.

Laporan YuWa menyebutkan, ada "kebutuhan mendesak" di tingkat nasional untuk segera membuat kebijakan untuk meringankan biaya persalinan, misalnya dengan pemberian subsidi tunai dan pemotongan pajak, peningkatan layanan penitipan anak, kesetaraan pada jumlah cuti melahirkan dan cuti ayah, akses ke pengasuh anak dari luar negeri, memungkinkan pekerjaan yang fleksibel, dan memberikan perempuan lajang hak-hak reproduksi yang sama dengan perempuan yang sudah menikah.

PERLUNYA PERUBAHAN SIKAP

Komisi Kesehatan Nasional China mengatakan pada November tahun lalu bahwa pemerintah akan terus mempromosikan peningkatan layanan pengasuhan anak dan mendorong "lebih banyak jurusan layanan pengasuhan bayi dan balita" di sekolah kejuruan dan lembaga pendidikan tinggi. Pemerintah juga akan mendorong dukungan dari institusi medis untuk pengembangan layanan penitipan anak ini.

Beberapa daerah di China juga telah memberikan subsidi hingga 20.000 yuan (Rp44 juta) untuk keluarga yang melahirkan tiga anak. Beberapa daerah juga telah mengeluarkan kebijakan perumahan yang menguntungkan bagi keluarga dengan banyak anak.

Sebagai contoh, provinsi Guangdong tahun lalu menawarkan peningkatan rasio pinjaman bagi keluarga dengan banyak anak untuk membeli rumah pertama mereka. Orang yang memiliki anak berusia 3 tahun ke bawah juga mendapatkan pengurangan pajak penghasilan, demikian dilaporkan media pemerintah Global Times. 

Pada 2022, kota Hangzhou mengumumkan bahwa keluarga dengan tiga anak diizinkan membeli rumah tambahan di bawah peraturan kepemilikan rumah setempat. Keluarga-keluarga ini juga mendapatkan prioritas dibanding calon pembeli lain saat ingin membeli rumah yang baru dibangun. 

Kota Jingdezhen di Provinsi Jiangxi juga memberikan subsidi pembelian rumah sebesar 200 yuan per meter persegi untuk keluarga dengan dua anak, dan 300 yuan per meter persegi untuk keluarga dengan tiga anak. 

Meskipun mengakui adanya upaya pemerintah daerah untuk mendukung membesarkan anak - seperti bonus bagi bayi, tunjangan anak, dan membangun lebih banyak fasilitas penitipan anak, Zhao dari NUS menunjukkan bahwa tidak ada kebijakan terpadu di tingkat nasional.

"Mengingat tantangan utang pemerintah daerah, implementasi yang tidak merata dan tidak konsisten bisa menjadi masalah," tambahnya.

Selain itu, Gietel-Basten dari HKUST mengatakan bisa dipertimbangkan juga mengubah pola pikir mengenai kehidupan berumah tangga.

"Ini adalah tentang cara kita bekerja, ini tentang jam kerja yang kita miliki," katanya. "Ini tentang peran gender di rumah, tidak mungkin pemerintah mengaturnya.

"Ini adalah tentang pria yang mengubah sikap mereka dan bagaimana mereka berperilaku di rumah dan di tempat kerja. Ini adalah tentang atasan dan perusahaan yang mengubah aturan kepegawaian dan mengubah sikap tentang para orang tua dan memberikan dukungan." 

Zhao mengamininya, namun dia mengatakan tidak mudah untuk melakukannya.

"Pada akhirnya, diperlukan perubahan sikap di seluruh masyarakat tentang bagaimana mendefinisikan kesuksesan dan merenungi kembali apakah kompetisi yang tak berkesudahan dalam hidup benar-benar berarti.

"Sampai saat ini, perubahan sikap itu belum terlihat."

Source: CNA/da

Juga layak dibaca

Iklan

Iklan