Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.

Iklan

Asia

Deteksi kanker hingga mudahkan proses bayi tabung: Ketika AI merambah rumah sakit di Asia Tenggara

AI digunakan di berbagai rumah sakit di Asia Tenggara untuk mendeteksi penyakit dan membantu dokter melakukan diagnosis. Namun tidak semua tenaga medis mempercayai AI.

Deteksi kanker hingga mudahkan proses bayi tabung: Ketika AI merambah rumah sakit di Asia Tenggara

Dokter Azzeem Shahren menggunakan bantuan AI dalam mendiagnosis pasien. (Foto: CNA/Fadza Ishak)

KUALA LUMPUR: Azzeem Shahren, seorang dokter yang praktik di Kuala Lumpur, sering merasa terganggu saat melakukan konsultasi dengan pasien.

Seperti kebanyakan tenaga medis lainnya, waktu dan perhatian Azzeem terbagi antara mendengarkan pasien dan mencatat keluhan mereka.

Karena kewalahan, ia pun menggunakan teknologi sebagai solusinya.  

Sejak Mei tahun ini, Azzeem mengandalkan sistem operasi kecerdasan buatan (AI) untuk mentranskripsikan percakapan pasien secara real time.

Teknologi ini membantu mengidentifikasi kondisi pasien. AI juga menyarankan berbagai diagnosis berdasarkan riwayat medis elektronik.

Perangkat lunak ini mampu memindai profil pasien, mendeteksi kelainan yang mungkin terlewatkan oleh dokter serta memberi saran jika diduga ada kesalahan diagnosis.

"Saya dapat fokus sepenuhnya pada pasien tanpa terganggu dengan mencatat. Hal ini memungkinkan saya menangkap lebih banyak detail dan memberikan perawatan yang lebih baik," kata Azzeem kepada CNA.

Saat bekerja sebagai tenaga medis di klinik pemerintah, Azzeem mengaku harus mencatat semua percakapan dengan pasien secara manual.    

"Hal ini menghabiskan banyak waktu dan dapat menyebabkan kesalahan. Mencatat secara manual meningkatkan risiko kekurangan dosis pada obat atau hilangnya angka tertentu, dan ini bisa jadi masalah.

"Sistem yang ada saat ini dapat mendeteksi kesalahan-kesalahan itu dan memperbaikinya. Saat ini semakin banyak sektor swasta yang menggunakan teknologi AI," kata Dr Azzeem, yang bekerja di klinik pemerintah selama sekitar lima tahun sebelum akhirnya pindah ke swasta.

Klinik tempat Azzeem praktik adalah bukti merebaknya penggunaan AI di sektor kesehatan modern Asia Tenggara. Pasar sektor kesehatan digital di Asia Tenggara diperkirakan akan tumbuh hingga hampir US$6,1 miliar pada 2024, yang sebagiannya didorong oleh perkembangan teknologi AI.

Teknologi AI dapat mengubah metode perawatan kesehatan di Asia Tenggara, diagnosis penyakit kritis, hingga memudahkan proses administrasi pasien.

Kendati demikian, bagi beberapa orang yang berkecimpung di sektor ini, teknologi AI tidak dapat mengatasi semua masalah. Bagi beberapa tenaga medis yang masih memegang teguh cara tradisional, akan sulit membangun kepercayaan untuk menggunakan teknologi ini.

DATA REAL TIME UNTUK PERAWATAN DAN KALKULASI RISIKO

Di Singapura, ubin lantai interaktif mengubah metode perawatan tradisional bagi pasien penderita demensia, terutama untuk terapi fisik dan perawatan lansia.  

Teknologi bernama Moto Tiles ini dirancang untuk latihan fisik dan rehabilitasi, dengan algoritma AI yang menyesuaikan intensitas dan jenis latihan berdasarkan data real-time untuk memberikan terapi yang dipersonalisasi dan adaptif.  

Ubin ini dilengkapi dengan sensor tekanan dan lampu untuk menciptakan interaksi untuk mendorong aktivitas fisik dan kognitif.

Moto Tiles akan berubah warna ketika diinjak dan dapat menciptakan sebuah pola menarik.

"Pengguna dapat memilih berbagai permainan dan merancang kombinasi yang berbeda untuk menargetkan keseimbangan, pelatihan otak, memori, kecepatan dan koordinasi.

"Moto Tiles sering dimanfaatkan untuk berbagai penggunaan, seperti mendorong gaya hidup aktif dan rehabilitasi dengan cara yang menyenangkan dan inovatif," kata Chalene Goh, Terapis Okupasi Utama dan Koordinator Kesehatan di Allium Healthcare, kepada CNA.

Allium Healthcare adalah penyedia layanan kesehatan di Singapura yang khusus merawat lansia.

Moto Tiles - yang dirancang untuk latihan fisik dan rehabilitasi - memanfaatkan algoritma AI untuk menyesuaikan intensitas dan jenis latihan bagi pasien lansia. (Foto: Allium Healthcare)

Kavita Rekhraj, Leader Life Sciences & Health Care di Deloitte Asia Pasifik & Asia Tenggara, mengatakan ada beberapa contoh adopsi AI untuk kebutuhan medis di kawasan.

Di antaranya adalah mesin Singapore Eye Lesion Analyser (SELENA+) dan Community Acquired Pneumonia and COVID-19 Artificial Intelligence Predictive Engine (CAPE). 

SELENA+ adalah sistem piranti lunak AI yang dikembangkan atas kerja sama antara Singapore Eye Research Institute (SERI) dengan National University of Singapore (NUS). Sistem ini mampu mendeteksi kemungkinan munculnya penyakit mata kritis, seperti sakit mata karena diabetes, glaukoma dan degenerasi makula akibat usia.

Synapxe - badan pengembang teknologi kesehatan di Singapura - mengatakan SELENA+ mampu mengurangi beban kerja tenaga medis hingga 50 persen. Hasil pemeriksaan pasien juga dapat diperoleh dalam hitungan menit, dari sebelumnya yang bisa berjam-jam bahkan berhari-hari.

"Dalam penelitian sampai saat ini, pemindai gambar bertenaga-AI terbukti lebih cepat dan akurat dibandingkan dengan mata manusia. Dari sisi pasien, artinya mereka akan mendapatkan hasil yang lebih tepat dan cepat, biaya yang lebih murah dan kualitas hidup yang lebih baik," tulis Synapxe di situsnya.

Sementara CAPE yang dikembangkan Synapxe bekerja sama dengan Rumah Sakit Umum Changi adalah tool AI yang mampu memprediksi tingkat keparahan pneumonia berdasarkan pemindaian hasil X-ray.

CAPE telah mempelajari rekam medis elektronik dan hasil radiologi untuk menciptakan algoritma pembelajaran sehingga mampu memprediksi seberapa parah pneumonia pasien.

"Menggunakan lebih dari 3.000 hasil X-ray dan 200.000 data, CAPE dilatih untuk memberikan skor berdasarkan tingkat keparahan pneumonia," ujar Synapxe.

Pengujian validasi awal menunjukkan bahwa CAPE memiliki akurasi sekitar 80 persen dalam memprediksi pneumonia berat.

Skor risiko yang dihasilkan oleh CAPE dapat membantu dokter membuat keputusan. Pasien yang mungkin memerlukan perawatan kritis dapat dipantau secara ketat dan menerima perawatan secara tepat waktu, lanjut Synapxe.

MEMPERCEPAT PROSES DAN MENGHILANGKAN HAMBATAN

Rekhraj mengatakan teknologi AI membuka peluang model perawatan kesehatan baru di seluruh Asia Tenggara. Platform telemedicine berbasis AI, kata dia, bisa meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di daerah terpencil.

"Misalnya di Indonesia, sebuah platform telemedicine telah menggunakan AI sebagai asisten virtual berbasis chat untuk melakukan skrining awal melalui serangkaian pertanyaan, lalu memberikan rekomendasi bagi dokter.

"Cara ini membuat pengalaman konsultasi pasien lebih cepat dan efisien di daerah-daerah terpencil yang sebelumnya mengalami hambatan kepada akses pelayanan kesehatan," kata dia.

Kementerian Kesehatan Indonesia pada Mei lalu telah mengumumkan kolaborasi dengan Google Cloud untuk mengembangkan inovasi AI generatif di bidang kesehatan. Kolaborasi ini sejalan dengan tujuan pemerintah Indonesia dalam transformasi kesehatan digital.

Kemenkes RI mengatakan, kolaborasi ini juga bertujuan meningkatkan akses, pengalaman, dan hasil layanan kesehatan bagi setiap individu di Indonesia.

MENDETEKSI KANKER DAN MENINGKATKAN ANGKA KELAHIRAN

Sementara itu, klinik perawatan primer di Asia telah mengadopsi alat pemeriksaan bertenaga AI untuk membantu mendiagnosis kanker paru-paru dan tuberkulosis.

Sylvia Varela, Area Vice-President Asia AstraZeneca, mengatakan bahwa penggunaan rontgen dada dengan teknologi AI dapat mengidentifikasi tanda-tanda mencurigakan pada paru-paru pasien.

Teknologi AI ini diintegrasikan dengan sistem X-ray portabel yang memungkinkan algoritmanya membaca citra radiologi.

"Teknologi ini dapat membantu dokter mengidentifikasi nodul paru dalam waktu kurang dari semenit, mendeteksi dan menemukan hingga 29 penanda kanker, termasuk penanda yang mengindikasikan potensi kanker paru-paru, sehingga menghemat waktu, biaya, dan sumber daya," kata Varela kepada CNA.

Varela mengatakan, proyek untuk mendeteksi kanker terhadap 5 juta orang di seluruh dunia sampai 2025 telah dimulai. Sejauh ini pemindaian telah dilakukan terhadap lebih dari 2,5 juta orang. Sebanyak 1,5 juta di antaranya berasal dari Asia, yaitu India, Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand dan Vietnam.

AI yang diintegrasikan ke dalam program skrining ini telah membantu mengklasifikasikan dan membedakan berbagai penyakit pernapasan seperti tuberkulosis, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), asma, dan kanker paru-paru dengan lebih akurat, kata Varela.

"Misalnya, pasien dengan kanker paru terkadang salah diagnosis menderita tuberkulosis. Alat skrining dengan AI ini mampu memberikan pasien diagnosis yang tepat pada tahap awal penyakit, sehingga membuat kanker paru menjadi kondisi yang dapat diobati," lanjut dia.

Beberapa negara juga menggunakan AI untuk mengatasi penurunan angka kesuburan.

Salah satunya adalah Virtus Fertility Centre Singapore (VFCS) yang menggunakan teknologi ini dalam pemilahan embrio pada proses fertilisasi in vitro (IVF) atau bayi tabung. Dengan menggunakan AI, proses ini 10 kali lebih cepat dibandingkan ketika dilakukan secara manual oleh ahli embriologi.

Direktur VFCS, dr. Liow Swee Lian, dalam siaran persnya pada 13 Agustus lalu mengatakan bahwa selama siklus IVF, embrio ditumbuhkan dalam inkubator yang dilengkapi dengan kamera agar dapat dimonitor secara non-invasif selama lima hari masa inkubasi.

"Biasanya, para ahli embriologi menggunakan cara standar untuk menilai penampilan embrio melalui mikroskop.

"Namun piranti lunak berbasis AI mampu menganalisis data pencitraan yang ekstensif, yang diambil setiap 10 menit, untuk mengidentifikasi embrio yang berpotensi tinggi mampu mengembangkan jantung janin berdasarkan skor."

"Embrio dengan skor tertinggi kemudian dipilih oleh ahli embriologi untuk diproses."

MEMBANGUN KEPERCAYAAN PADA TEKNOLOGI BARU

Menurut para ahli, salah satu hambatan utama integrasi AI dalam pemeriksaan kesehatan adalah membangun kepercayaan terhadap teknologi baru ini.

Sebuah studi internasional yang dipimpin oleh Nanyang Technological University (NTU) di Singapura menemukan bahwa para dokter di bidang gastroenterologi secara umum mempercayai dan menerima alat medis AI.

Survei terhadap 165 ahli gastroenterologi dan ahli bedah saluran cerna di Asia-Pasifik menemukan bahwa delapan dari 10 orang mengatakan bahwa mereka menerima dan mempercayai penggunaan AI dalam mendiagnosis dan menilai polip kolorektal (tumor jinak di usus besar yang dapat berubah menjadi kanker).

Survei ini menemukan bahwa jumlah tahun pengalaman merupakan faktor yang sangat penting. Ahli gastroenterologi dengan pengalaman klinis kurang dari 10 tahun merasa penggunaan AI dalam bidang medis berisiko tinggi.

Goh dari Allium Healthcare mengatakan AI juga memiliki ketidakakuratan dalam diagnosis. Karena terkadang teknologi ini tidak mempertimbangkan aspek subyektif lainnya seperti nyeri sendi atau otot, serta rasa cemas pasien saat pemeriksaan atau terapi.

"Faktor-faktor subyektif ini memengaruhi kemampuan teknologi. Selain itu, beberapa terapis mungkin tidak nyaman menggunakan AI dan lebih memilih metode tradisional yang sudah terbukti efektif selama bertahun-tahun," ujarnya.

Ahmed Sochin, CEO dan pendiri Docspe - perangkat lunak EHR yang digunakan di klinik Azzeem di Malaysia - mengatakan bahwa saat ini mereka memiliki lebih dari 500 dokter, termasuk beberapa klinik yang telah menggunakan AI.

Dia mengakui awalnya ada keengganan dari para dokter untuk menggunakannya.

"Ini adalah pelayanan kesehatan, dan kita tahu ada hambatan dalam hal inovasi ketika berbicara soal regulasi dan tingkat pemahaman akan adopsi teknologi.

Selain dokter, pasien juga demikian. Ini selalu menjadi kendala. Apa yang kami lakukan adalah mencoba menjelaskan teknologi ini dengan cara yang sederhana," kata dia kepada CNA.

Dokter Azzeem Shahren mendemonstrasikan penggunaan AI di kliniknya di Kuala Lumpur. (Foto: CNA/Fadza Ishak)

Azzeem juga mengatakan banyak orang di dunia medis, terutama di institusi pemerintah, yang masih bersikeras menggunakan metode tradisional.

"Keengganan untuk merangkul inovasi ini sangat disayangkan, karena teknologi dapat secara signifikan merampingkan proses dan meningkatkan kualitas perawatan pasien.

Banyak rumah sakit yang kini menggunakan sistem elektronik, namun ada juga yang masih mengandalkan metode manual. Di rumah sakit swasta, menggabungkan teknologi seperti AI ke dalam perawatan pasien sangat penting untuk tetap kompetitif dan memberikan layanan yang optimal," katanya.

Ia menambahkan bahwa meskipun setiap dokter dilatih untuk mengkritisi segala sesuatu, namun kepercayaan terhadap AI sangatlah penting. Dia mengakui bahwa dia sendiri butuh waktu untuk mempercayai AI.

"AI berfungsi sebagai alat yang penting, memandu kita untuk memperluas diagnosis. Sebagai contoh, sakit tenggorokan dapat memiliki banyak penyebab, dan AI dapat membantu mengidentifikasi potensi tanda-tanda bahaya.

"AI mendorong kami untuk menyelidiki lebih lanjut atau mempertimbangkan pendekatan yang berbeda, yang pada akhirnya membuat kami menjadi dokter yang lebih baik dan mengurangi risiko kesalahan diagnosis," katanya.

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini.

Source: CNA/da

Juga layak dibaca

Iklan

Iklan